Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. Anak Jalanan

Arunika memimpin jalan, gadis itu bersenandung kecil sembari memandang jalanan kota yang ramai. Mobil dan motor berlalu dengan cepat, pengendaranya tampak tak ingin berhenti sejenak dan memandang sekitar.

Tak lama, gadis itu berhenti di depan lampu pejalan kaki yang berubah menjadi merah. Matanya memandang ke pertengahan jalan, ada beberapa anak kecil yang menunggu lampu merah muncul. Di masing-masing tangan ada tisu ataupun makanan ringan. Tak lama lampu pejalan kaki berubah menjadi hijau, kendaraan berhenti, tapi meski begitu Arunika lebih memilih sedikit menyingkir dan tetap memandang anak-anak yang mulai menjual barang yang mereka bawa.

Danudara heran, dia tak menduga gadis itu malah berdiri diam dan melihat para anak jalanan selama itu. Menunggu selama satu menit lampu jalan berubah menjadi merah, para anak-anak itu berjalan ke arah mereka. Danudara melihat salah satu anak melambai dengan semangat.

Danudara sontak menoleh pada Arunika, hendak bertanya dan malah mendapati gadis itu juga melambaikan tangannya.

"Halo, Kak!" sapa anak itu dengan senyum lebar. Bingung menguasai Danudara, meski demikian dia lebih memilih melihat situasi.

Arunika sendiri membalas senyum anak kecil itu kemudian mengelus kepalanya gemas. "Halo juga, bagaimana kabar kalian?" tanyanya.

Sang anak menikmati elusan dari Arunika, sebelum angkat suara. "Kabar kami baik, Kak. Terima kasih karena mau membantu kami," jawabnya kemudian.

Lama mereka berbicara, Danudara terjebak dalam kebingungan. Pemuda itu baru saja hendak bertanya saat Arunika menarik tangannya untuk mendekati anak-anak yang berada di sekitarnya. "Dia teman Kakak, boleh ikut juga, kan?" tanyanya kemudian. Para anak kecil itu mengangguk dengan semangat, dan tanpa basa-basi lagi mereka menjauh dari lampu merah.

Berjalan bersama, para anak kecil itu berceloteh banyak hal. Rata-rata tentang bagaimana pengalaman mereka berjualan, ada pula yang menceritakan masalah rumah. Mereka terlihat dekat, dan Danudara sendiri baru pertama kali melihat Arunika bersikap hangat.

Mereka berhenti di depan warung makan. Tanpa pikir panjang masuk. Danudara sedikit ragu, tapi tak memiliki kesempatan protes karena Arunika sudah lebih dulu menariknya ke dalam. Mereka kemudian duduk di bangku yang disediakan.

"Kalian mau pesan apa?" Arunika bertanya saat semuanya sudah menyamankan posisi. Para anak-anak sontak menyebutkan menu yang diinginkan, walau rata-rata ayam goreng. "Kau, mau pesan apa?" Arunika memandang Danudara, pemuda itu diam sejenak, matanya memandang menu yang ada di daftar menu.

"Samakan saja denganmu," ujarnya kemudian. Arunika hanya mengangguk dan berlalu, tiba-tiba seseorang menarik sedikit seragamnya.

"Kakak menunya disamakan dengan Kak Ika?" seorang gadis berusia 7 tahun bertanya polos, Danudara membalas dengan anggukan.

"Kayaknya kakak harus pesan es, deh." Anak yang terlihat paling besar di antara yang lainnya bersuara, membuat Danudara bingung.

"Memangnya kenapa?"

"Karena Kak Ika itu pencinta makanan pedas," celetuk anak lainnya. Dia memandang Danudara sebentar. "Kak Reihan pernah sekali menyamakan menunya dengan Kak Ika, dan akibatnya dia sakit perut hampir seharian penuh."

"Hei, tak begitu, ya, Silvi!" Anak paling tua yang dipanggil Reihan protes. Sedang anak yang menyeletuk-Silvi-dia terkekeh sebentar.

"Kakak hati-hati saja intinya," ujarnya kemudian diam. Arunika tak lama kembali, sembari mengatakan bahwa mereka harus menunggu sampai menunya dibawa ke meja.

Sekitar sepuluh menit semua menu ada di depan mata. Terlihat menggoda, berbeda dengan Danudara yang memandang makanannya dengan pandangan aneh.

Rendang dengan bumbu yang kelihatan menghitam menemani nasi di piring, dilengkapi dengan kuahnya yang kental dengan warna serupa. Arunika memandanginya tanpa mengatakan apa pun, gadis itu baru ingat kalau Danudara tak terlalu menggemari pedas. Namun, yah, itu keputusannya sendiri. Arunika tak akan bertanggung jawab jika ada apa-apa dengan sistem pencernaan Danudara.

"Tak makan?" Arunika bertanya saat tidak merasakan pergerakan dari pemuda itu. Jemari tangan kanannya sudah mengambil segumpal nasi, hendak menyuap ke mulut.

Danudara menatap Arunika, pemuda itu sedikit mengerutkan keningnya. "Memangnya harus pakai tangan, ya? Nggak bisa pakai sendok gitu?"

Mendengar pertanyaan Danudara, Arunika tertawa. Gadis itu tak menduga akan mendapatkan pertanyaan yang cukup aneh.

"Ya, bisa, sih. Tapi lebih enak makan pakai tangan. Lihat, tuh, yang lain aja makan pakai tangan. Masa kamu pakai sendok? Malu, dong." Mendengar ucapan gadis itu membuat Danudara langsung melihat sekitar. Para anak kecil menyantap makanan dengan lahap, seakan-akan hanya itulah makanan yang mereka dapatkan hari ini.

Merasa terdorong Danudara ikut melakukan hal serupa, seumur hidup baru pertama kali pemuda itu makan memakai tangan. Pada suapan pertama, rasa panas menyebar ke seluruh mulut Danudara, pemuda itu lantas menjangkau gelas, menegak isinya sampai tandas. Nahas, rasa pedas masih bertahan membuat matanya berair.

"Air, ada air dingin?!" tanyanya panik kepada Arunika. Gadis itu tertawa melihat wajah Danudara. Disodorkannya air dingin yang baru saja dibawa oleh pelayan warung makan.

"Makanya, kalau nggak tahan pedas jangan sok samakan menu," ujarnya kemudian terkekeh. Danudara sendiri hanya mendelik pada Arunika.

"Mana kutahu kamu suka pedas," ketusnya kemudian.

"Yah, Ibu soalnya hanya memasakkan makanan kesukaanmu, mana mungkin kau tahu aku suka pedas." Arunika mendengus sebentar. Selama dua bulan gadis itu harus menahan diri untuk melewatkan makan karena menu yang tak memiliki cita rasa pedas.

Mendengar ucapan Arunika Danudara diam, pemuda itu tak menyadari bahwa selama ini menu yang dirinya santap sesuai seleranya. "Kupikir Ibumu memasakkan menu-menu tersebut buat ayah."

"Ya, benar sih, tapi kan banyak juga menu kesukaanmu." Gadis itu tak membahasnya lagi kemudian, dia terfokus pada makanan yang disantap. Sedang Danudara, pada suapan ketiga pemuda itu menyerah, dia segera memesan menu baru yang sama seperti anak-anak.

Usai makan, mereka keluar dari warung dengan wajah berseri. Anak-anak itu melambaikan tangannya kemudian berlari pergi dari lokasi warung setelah mengucapkan terima kasih.

"Mereka ke mana?" tanya Danudara penasaran.

"Kembali bekerja, mereka tak akan bisa tidur nyenyak jika tidak membawa pulang pundi-pundi uang," jawab gadis itu kemudian berjalan.

Kerutan muncul di dahi sang pemuda. "Tidak sekolah?"

"Mana mungkin mereka bisa sekolah, mereka tak memiliki uang," jawab Arunika sembari menggeleng. Mengatakan hal itu membuat hatinya hancur, jika saja gadis itu bisa melakukan hal lebih selain memberi makan mereka.

"Tidak kau ajari saja?" Pertanyaan Danudara selanjutnya membuat Arunika melotot.

"Kau kira aku pintar apa? Kalau pintar sudah sejak dulu kuajari," jawabnya sembari mendengus. Hal tersebut malah membuat Danudara tertawa.

"Mau aku yang mengajari?"

"Kau? Tidak, terima kasih. Mending aku cari mentor lain saja buat mereka," ujar Arunika memutuskan penawaran dari saudara tirinya.

°°°

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro