Yang Takkan Terpisah
"Riski, liat sini!"
Ah, menyebalkan. Teriakannya membuyarkan semua rumus matematika yang sedang kususun. Aku berusaha mengabaikannya, tetapi ia malah mengulangi teriakannya—dengan volume lebih tinggi dari sebelumnya.
"RISKI, ADA KUCING!"
Waduh! Kucing? Dengan gerakan cepat, segera kututup buku penuh coretanku, dan melesat ke halaman depan. Kalau bicara soal kucing, entah kenapa tidak bisa kusembunyikan ekspresi kegirangan menahan gemas ini.
"Mana, Bang?" tanyaku antusias.
Bang Azka—kakak yang hanya berselisih 1 tahun denganku—segera membawa anak kucing berwarna oren belang hitam tersebut ke dekatku. Dengan gemas, aku mengelusi buntelan berbulu tersebut. Nampaknya si oyen pun menyukai elusanku.
"Ris, ke rumah nenek yuk. Duit tipis nih, belum beli bahan makanan lagi," ujar Bang Azka tiba-tiba.
"Kan masih ada telor," jawabku masih fokus bermain dengan si oyen.
"Yaelah makan telor terus. Sekali-kali makan sayur. Nenek biasanya sering masak sayur tuh."
Ah, benar juga kata Bang Azka. Sudah satu minggu ini menu makanan kami tidak jauh-jauh dari telur. Ya ... beginilah nasib anak yang ditinggal orangtuanya merantau. Apalagi yang ditinggal 2 anak bujang yang cuma bisa masak air, nasi, mi, sama telor dadar begini. Makan apa aja yang penting kenyang judulnya mah.
"Yaudah ayuk! Tapi ini si maong gimana? Mau adopsi nggak?" tanyaku sembari mengangkat tubuh mungil si maong ke hadapan Bang Azka.
"Nggak ada duit buat beli whaskis. Udah tinggal aja. Kapan-kapan kita kasih makan ikan kalau Bapak udah kirim uang lagi."
Mengangguk paham, kuturunkan kembali anak kucing tersebut ke lantai. "Yaudin, ayok ke rumah nenek sekarang!"
Tanpa berganti pakaian, kami berdua pun pergi ke rumah nenek berjalan kaki. Tidak terlalu jauh, hanya saja jalannya harus melewati persawahan agar lebih cepat sampai. Terbukti, dalam waktu ±15 menit kami sudah sampai di rumah nenek.
"Kalian ini, padahal masih satu desa aja jarang main ke rumah nenek. Kalian sibuk ngapain sih di rumah? Hm?"
Ya, begitulah. Sesampainya di sana, kalimat pertama yang dilontarkan nenek selalu begitu. Namun wanita berusia lebih dari setengah abad tersebut juga selanjutnya selalu mengelus kepala kami berdua yang hanya cengegesan.
"Tugas daring, Nek. Bikin sibuk," jelasku yang tak sepenuhnya berbohong.
"Duh, duh. Kalian udah makan belum?"
Nah ini pertanyaan yang kami tunggu-tunggu. Kali ini Bang Azka yang menjawab, "Belum, Nek. Di rumah adanya telor doang. Tuh si Riski pantatnya jadi bisulan gara-gara makan telor terus dari kemarin."
"Sembarangan!" ucapku sembari menabok lengan Bang Azka cukup keras.
"Hush, Kiki, nggak sopan kamu begitu sama abangmu," tegur Nenek. "Kaka juga, jangan suka jailin adeknya. Kalian ini, ga pernah akur tapi betah-betah aja ditinggal berdua di rumah ya."
Bang Azka nampak cengengesan lagi. Ngeselin banget mukanya, sumpah. "Azka mah nggak jail, Nek. Cuman ngomongin kenyataan aja. Riskinya aja tuh yang nggak terima kenyataan."
Baru saja hendak kubalas perkataan Bang Azka, Nenek sudah menyela lebih dahulu. Oke, Bang Azka, kali ini kau selamat.
"Udah udah. Kalian udah SMP, masih berantemnya kayak anak TK aja."
Selanjutnya, kami berdua pun tidak menyahut lagi. Nenek segera mengajak kami untuk pergi ke meja makan. Meski tinggal sendirian, nampaknya nenek tidak begitu malas memasak banyak makanan. Buktinya kini sudah ada sayur kangkung, tempe goreng, dan sambal tomat tersaji di meja makan. Cacing-cacing di perutku tentu kini sedang bergejolak. Lauk pauknya begitu menggugah selera.
Kebetulan kami berdua belum sarapan pagi, padahal kini sudah hampir duhur. Tapi ini sudah kebiasaan kami juga sih. Sarapan sekaligus di waktu makan siang. Demi menghemat beras, dan karena di antara kami berdua sama-sama malas memasak juga. Hehe.
Akhirnya kami makan bersama. Tidak ada suara saat sesuap demi sesuap makanan memasuki mulut. Karena di keluarga kami, berbicara saat sedang makan itu tidak sopan.
****
"Bang, udah seminggu Ibu sama Bapak nggak nelepon. Aku kangen," celetukku dengan mata yang berfokus pada televisi.
"Ah, iya. Bentar, coba abang coba telepon."
Selanjutnya Bang Azka langsung menuju kamar dan mengambil ponselnya. Ia nampak mengotak atik ponselnya itu, dan menempelkannya ke kuping setelahnya.
"Kok nggak aktif ya ditelepon?" gumam Bang Azka sembari kembali mengotak atik ponselnya.
Mendengar itu, wajahku sedikit panik seketika. "Beneran?"
"Bentar bentar." Bang Azka pun kembali mencoba menelepon hingga ke lima kalinya. Dan hal yang sama terus terjadi, hanya ada suara operator yang menyambutnya.
Nampak frustasi, Bang Azka menyugar rambutnya kasar. Diletakkannya ponsel tersebut ke meja depan tv, dan memilih duduk di sampingku.
"Ah, mungkin udah tidur kali," ujar Bang Azka dengan santainya. Tapi aku yakin betul kalau hatinya tidak sedang sesantai itu.
Ya, aku juga berharap begitu. Namun tak ayal hatiku terasa cemas. Bagaimana kami membeli bahan makanan lagi jika uang yang kami pegang sudah habis nanti? Aku tidak bisa membayangkan hal seperti itu. Sungguh. Ah, aku egois sekali ya ternyata. Alih-alih mencemaskan orangtuaku yang tanpa kabar, malah lebih mencemaskan isi perut sendiri. Bodoh banget.
"Bang, lulus SMP nanti kita bakal lanjut SMA, 'kan?"
Mendengar pertanyaan randomku barusan, membuat Bang Azka kontan menoleh. Ia tak langsung menjawab, malah menertawakanku. "Kamu kenapa sih? Yaiyalah. Pakai ditanya lagi! Jaman sekarang, lulus SMP doang bisa kerja apa?"
Sudut bibir kiriku pun terangkat miring dengan mata mendelik menatap Bang Azka. "Ya kan cuman nanya!" ketusku sembari kembali mengalihkan pandanganku ke acara televisi—yang sama sekali tidak menarik.
"Emang kamu besar nanti cita-citanya mau jadi apa?" tanya Bang Azka.
Sedikit tertegun, aku baru menyadari bahwa aku belum pernah sejauh itu memikirkan masa depan. Bahkan aku sendiri tidak tahu apa keahlianku.
"Kalau Abang sih pengin jadi pilot. Biar bisa terbang kemanapun Abang mau. Jadi kalaupun kerjanya jauh, dan mendadak kangen Ibu Bapak, bisa langsung terbang nemuin mereka." Bang Azka mengatakan itu dengan mata berbinar-binar menatap ke televisi. Wah, aku tidak tahu kalau Bang Azka punya mimpi sehebat itu. Bagaimana denganku?
"Abang mau jadi pilot di umur berapa?" tanyaku tiba-tiba.
Wajah Bang Azka sontak menghadap padaku. Manik matanya bergerak-gerak ke atas seolah sedang menerawang sesuatu. "Mungkin ... 25an. Berarti 12 tahun lagi yah? Masih lama."
"Bukannya 13 tahun lagi? Kan usia Abang masih 12, baru 13 tahun bulan depan," sanggahku dengan raut muka bingung.
"Ya sama aja taun ini usia Abang 13 tahun atuh," jawab Bang Azka sembari merotasikan bola matanya.
"Yaudah hayuk tidur udah malem. Kamu nggak ngantuk?"
Pertanyaan Bang Azka tersebut lantas membuatku menggeleng. Aku tidak merasa mengantuk. Sekarang masih jam 8 malam. Ah, sebaiknya aku belajar dulu sebelum tidur. Biasanya dengan belajar, membuatku cepat mengantuk.
Kumatikan televisi, dan segera berjalan melangkah menuju kamar. Diikuti dengan Bang Azka yang terlebih dahulu memastikan seluruh pintu rumah terkunci.
"Eh, Riski! Riski! Bapak telepon!"
Teriakan Bang Azka tersebut tentu saja seketika membuatku bergegas keluar kamar. Tanpa bisa menahan ekspresi bahagia, aku mendengarkan dulu percakapan Bang Azka dan Bapak.
"Iya. Ini dengan anaknya Pak Huda. Kenapa ya?" sahut Bang Azka pada seseorang di seberang telepon sana.
" .... "
"Ini beneran?"
Senyumanku perlahan memudar melihat mata bulat Bang Azka mulai berkaca-kaca. Bahkan tangan abangku itu mulai sedikit bergetar. "Kenapa, Bang?"
Tak menghiraukan pertanyaanku, Bang Azka lebih memilih mengobrol dengan orang di telepon sana dengan sedikit terisak. "Ini salah sambung, 'kan?"
"BANG, ADA APA?! ABANG KENAPA?!" bentakku yang hendak merebut ponsel Bang Azka. Namun dengan kasar, Bang Azka malah mendorongku menjauh. Mataku ikut berkaca-kaca tanpa tersadar. Bahkan aku tak tahu kenapa tiba-tiba pasokan udara di paru-paruku terasa menipis. Rasanya sesak.
Sementara itu, Bang Azka masih saja terisak memegang ponselnya di telinga. Mata sembabnya menatapku menyedihkan.
****
Hah, konon orang bilang, usia ke-13 adalah usia yang paling sial. Tapi nampaknya kala itu justru aku mendapatkannya satu tahun lebih awal. Atau mungkin karena tokoh utamanya di sini adalah Abangku yang waktu itu berusia 13 tahun? Haha, entahlah.
Itu semua terjadi 14 tahun yang lalu. Dan selama 10 tahun pula aku belum melihat lagi wajah Abangku itu secara langsung. Kami terpisah karena sepasang suami istri memutuskan untuk mengasuhku. Menjauhkanku dari Bang Azka yang masih menetap di panti asuhan. Bahkan kita tinggal di negara yang berbeda selama itu.
Namun aku senang karena sekarang akan segera kembali menemuinya. Ya, hari ini aku sudah sampai di bandara Soekarno-Hatta dari penerbangan negara Turki.
Seturunnya dari pesawat, aku tak henti-hentinya mengembangkan senyum meski tertutupi masker hitam. Tak lama kemudian, seorang pria dengan membawa banner bertuliskan, 'RISKI NUR HUDA, DI SINI PILOTMU!' menarik perhatianku. Wah, ternyata pria itu tak sendirian. Seorang gadis kecil berusia kisaran lima tahun juga tengah terduduk di pundaknya.
"Bang Azka?" tanyaku pada pria tersebut, memastikan.
"Wah, ini Riski? Abang nggak ngira kamu bakal setinggi ini euy!"
Aku terkekeh mendengar aksen berbicara Bang Azka yang belum berubah sampai sekarang. Dengan segala rindu yang tak terbendung, segera kuraih Bang Azka yang sekarang lebih pendek dariku untuk kupeluk.
"Jangan peyuk-peyuk Papanya Cila!"
"Aw, aw." Aku sedikit meringis saat sebuah tangan mungil menjambak rambutku. Ah, kami baru sadar bahwa ada makhluk kecil yang menangkring di pundak Abangku ini.
"Gadis cantiknya siapa ini?" gemasku sembari mencoba mencubiti pipi gembul balita tersebut.
"Ini Sila, anakku sama Hani. Belum pernah Abang ceritain ya? Hehe, sengaja biar jadi kejutan."
Aku mendecak mendengarnya. Selama ini kukira Bang Azka masih berstatus pacaran sama Mbak Hani. Sampai-sampai sering kuejek bujang lapuk karena nggak dinikah-nikahin juga pacarnya. "Yaelah, kalau tau punya keponakan seimut ini, aku langsung pulang dari dulu, Bang," candaku sembari mencoba mencubiti lagi pipi Sila. Tentu saja gadis gembul itu malah merajuk.
"Udah ah, yuk, pulang dulu. Biar ngobrolnnya enak di sana. Kita udah nyiapin banyak makanan buat kamu, lho," ajak Bang Azka. Aku pun mengangguk.
"Gimana? Bang Azka masih bercita-cita jadi pilot nggak?" tanyaku random sembari menunjukkan banner yang tadi dipegang Bang Azka.
"Hehe. Udah jadi pilot kok. Pilot di kehidupan sendiri selama 10 tahun ini. Sekarang udah siap-siap mau mendarat nih."
"Kenapa mendarat sekarang, Bang?"
"Biar nggak lupa daratan," canda Bang Azka garing. Namun tetap saja aku ikut menertawai jokes bapak-bapaknya itu. Setidaknya, aku menikmati pertemuan ini. Pertemuan setelah perpisahan yang panjang memang tidak pernah mengecewakan rasanya.
TAMAT
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro