KUCING MERAH
"Kakak!" Suara cempreng anak perempuan merusak nyanyian alam seperti kasak-kusuk dedaunan yang masih menempel manja di pepohonan, kerisik daun kering yang sesekali terbang mengulir di atas rerumputan, dan siulan angin yang merdu di telinga.
Seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang tengah memanfaatkan bayang pohon raksasa untuk bersembunyi dari sinar matahari, mengangkat kepala untuk melihat kehadiran sang adik tersayang setelah tiga bulan lamanya tidak bersua. Ia menutup buku yang sudah menyita atensinya selama satu jam dan membenahi tatanan rambut hitam pekat ke belakang sebelum merentangkan tangannya untuk menerima tubuh perempuan yang terpaut enam tahun darinya.
Suara deris rumput kering terdengar selaras dengan tapak kecil yang terus berlari memperpendek jarak. Rambut ikalnya bergoyang, rok yang dikenakan melambai ringan, dan senyum semringah seakan membawa kelopak bunga beterbangan mengelilinginya. Dia benar-benar bagai musim semi di tengah-tengah gurun tandus.
"Tasya!" Tubuh sang kakak sempat doyong ke belakang saat menerima adik di pelukan. Aroma bunga tercium tipis dari tubuh mungilnya, dia tahu siapa pemilik wangi ini, tetapi dia belum juga menemukan keberadaannya sejauh mata memandang.
"Kak Niko!" Tubuh tak lagi berjarak. Lengan saling bertautan membentuk simpul mati yang sulit untuk dipisahkan.
"Apa kabar Adikku Sayang. Kamu sehat?" tanya sang kakak sambil mengelus rambut dan punggungnya. Merasakan kehangatan yang berbeda dari selimut yang biasa memeluk tubuh di kala malam.
"Sehat! Kak Niko gimana?" Tasya menjauhkan wajahnya dan menatap wajah sang kakak yang terlihat semakin tirus.
"Baik baik baik. Kakak tidak pernah bisa lebih baik lagi jika melihat Tasya datang." Dia menatap lekat-lekat wajah merona sang adik, melihat kerlipan menggodanya, dan bibir mungil yang tertarik kedua sisi sama lebar. "Ah, kakak kangen sama Tasya."
"Tasya juga sudah kangen main sama Kakak lagi." Dia kembali memeluk tubuh sang kakak yang saat mengenakan pakaian serba putih dengan jaket berwarna senada dengan tali- tali di pinggangnya.
"Kapan Kakak bisa pulang? Mau sampai kapan Kakak ada di sini?" Tasya berucap manja yang membuat Niko melepas pelukan dan mengusap pipi gembulnya.
Niko memilih tidak langsung menjawab sambil mengamati detail wajah yang hanya dilihat tiga bulan sekali. Berusaha mematri raut yang sedang adiknya pasang sekarang ke dalam otak sebelum waktu kembali menghapusnya.
"Kakak sendiri juga tidak tahu." Dia mengembus napas panjang. "Semoga saja ga lama lagi."
"Tasya sudah bosan bermain sendiri di dalam rumah. Kangen main sama Kakak dan kucing-kucing kita." Ia kembali bergelayut di leher sang kakak dan menghirup aroma steril yang membuatnya rancu dengan bau rumah sakit. Karena dilihat dari sudut mana pun fisik kakaknya dalam keadaan prima yang tidak membutuhkan penanganan rumah sakit.
"Iya, doakan kakak bisa cepat pulang dan kita bermain warna dengan kucing lagi."
"Ah! Benarkah, Kak? Kita bisa main warna bersama kucing lagi?" pekiknya senang.
"Sshh ... jangan keras-keras, jangan sampai Mama dan Papa dengar rencana kita." Dia meletakkan jari di depan mulut, sementara matanya melirik jauh dan mendapati kedua orang tua tengah berdiri di pinggir taman bersama pria tua. Mereka tampak sedang berbincang dengan serius sambil sesekali melihat ke arah mereka duduk.
"Iya," lirihnya. "Tasya sudah ga sabar lagi main warna sama seperti dulu."
"Warna apa yang kamu mau? Biar kakak siapkan caranya dulu." Mereka terus mempertahankan bisik-bisiknya, karena ini adalah rahasia yang mengikat mereka berdua.
"Merah! Merah yang menyala sama seperti terakhir kali," jawabnya antusias di telinga Niko.
"Ah, kalau begitu kakak harus memikirkan tempatnya dulu kalau begitu. Jangan sampai Mama menemukan lokasi kita mewarnai kucing-kucing lagi." Dia menjeda untuk berpikir. "Kamu yakin tidak mau mewarnai mereka dengan warna putih saja?"
"Ga mau, Tasya jijik ngeliatnya. Merah lebih bagus. Karena warnanya sama dengan bunga mawar Mama yang ada di kebun depan." Si perempuan mungil memperlihatkan iris kecokelatan lebar-lebar dan mengatup kedua tangan di depan dada berharap sang kakak mau mengabulkan permintaannya.
"Ah, baiklah. Nanti kalau kakak sudah boleh pulang, kita pulas mereka semua dengan warna merah." Niko tersenyum lembut dan kembali mengelus rambut lembut adiknya. "Ngomong-ngomong, ada berapa kucing yang kamu punya sekarang?"
"Tiga ekor dan akan bertambah. Kata Mama si Belang lagi hamil dan beberapa bulan lagi anak-anaknya lahir. Kakak harus lihat saat mereka melompat dari atap ke tanah, lincah sekali!" Ia bercerita seru.
Sementara bibir merah mudanya terus membentuk kata, Niko hanya bungkam dan memperhatikan wanita berambut bob bertubuh langsing berjalan mendekat. Dia tahu pertemuan mereka akan segera berakhir.
Memeluk erat sang adik kesayangannya untuk terakhir kalinya, dia membisikkan kalimat, "Jaga kucing kita baik-baik. Tunggu kakak pulang dan kita akan bermain sampai puas dengan mereka."
"Tasya, sudah saatnya kita pulang, Nak." Suara lembut sang mama mendayu dari kejauhan.
"Baik, Ma," balas Tasya berteriak.
"Tenang saja Kak, adik pasti akan menjaga mereka semua," ucapnya lirih di telinga dengan tangan menutup kedua sisi mulut.
"Adik pintar." Niko mengelus kepala sang adik sambil tersenyum.
"Tasya, ayo, kita pulang. Ayah sudah menunggu." Berbeda dengan sang adik yang suka hati bertemu dengan kakaknya. Sang mama justru hanya diam dan menatap was-was anak pertamanya. Tidak ada kehangatan dan kasih sayang yang terpancar, hanya ada kecemasan dan ketakutan.
"Apa kabar, Niko. Kamu sehat?" Pertanyaan yang dilontarkan pun datar, seakan dia sedang berucap basa-basi kepada orang asing.
"Aku sehat, Ma. Dan semoga Mama juga selalu diberi kesehatan." Niko tersenyum sambil mengucap pengharapannya.
Air muka yang tenang dan kalimat tertata rapi menunjukkan betapa matang pembawaan Niko. Semua orang tua seharusnya bangga dengan kedewasaan yang dia miliki, tetapi tidak dengan kedua orang tuanya.
"I-iya, terima kasih. Kami pulang dulu. Tiga bulan lagi kami datang lagi." Dengan satu kalimat itu sang mama mengakhiri obrolan mereka. "Yuk, Tasya."
"Iya, Ma. Dadah Kakak. Sampai ketemu lagi." Tasya mengayunkan tangan ke arah Niko yang ikut balas melambaikan tangan.
Sementara itu, di pinggir taman. Pria bertubuh jenjang dengan kumis tebal terlihat serius berbincang dengan dokter pakaian putih yang di jasnya terjahit label nama dr. Waskito, Sp. KJ.
"Jadi, secara klinis anak saya belum menunjukkan tanda perbaikan." Dia mendengkus berat. Gurat kasar yang terpahat di antara alis dan kantung mata tebal menjadi bukti hidup penuh stres yang dijalaninya.
"Maaf. Walau dia jauh lebih tenang dibandingkan awal datang, tetapi beberapa kali dia masih melakukan kekerasan terhadap binatang kecil secara sembunyi-sembunyi. Suatu hari aku pernah menggeledah kamar tidurnya di waktu rekreasi seperti ini dan menemukan bungkusan kertas berisi puluhan semut hitam tanpa kepala di tempat sampah," jelas Dokter Waskito dengan wajah memelas.
"Apa sebenarnya yang sudah kami lakukan, Dok? Apa ada sikap kami dalam mendidik yang salah selama ini?" tanyanya dengan suara tercekat. Dengan tatap sayu dia menatap anak laki-lakinya yang kembali melanjutkan bacaannya sepeninggal sang adik dan mamanya.
Dokter itu menggeleng. "Jika yang kalian ceritakan mengenai pola asuh Niko dan lingkungan pergaulannya benar. Maka aku cuma bisa bilang kemungkinan penyebab Niko menjadi psikopat seperti ini adalah genetik."
Pria itu menurunkan pandangan dan kembali mendengkus kasar. Tangan besarnya mengacak-acak rambut yang sudah terlebih dahulu berarakan di atas kepala, mempertontonkan dengan jelas rasa frustasinya.
"Baiklah, Dokter, terima kasih untuk waktunya. Kami percayakan kesehatan mental Niko di tangan Dokter. Semoga tiga bulan lagi kami akan mendapat berita yang lebih bagus dari ini." Dia menjabat erat tangan keriput sang dokter.
"Semoga, Pak Darma. Semoga ...."
THE END
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro