Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BALLOONS

Aku masih melayang rendah di atas hutan Michelstadt ketika kulihat anak-anak mengendarai sepeda. Aku tahu aku mengenal mereka dan sebaliknya. Itulah mengapa aku amat heran walaupun tetap ingin menjumpai mereka.

"Turunkan aku."

Balon merah persik itu perlahan mengantarku tepat saat mereka terkejut. Michael Junior melompat-lompat dan berlari memelukku. "Beatrice! Itu dia Beatrice! Oh, aku sebenarnya tidak mau kau pergi—apa lagi kau punya balon keren sekarang."

Filip melotot. "Kacau. Kau pergi naik itu? Kau pikir ini dongeng?"

"Sungguh aneh, tapi setidaknya kami menemukanmu. Betapa paniknya Mama saat kau benar-benar hilang dari pekarangan."

"Bukan kemauanku—tapi kalian." Aku merengut, beralih pada seorang gadis kecil yang bersembunyi di belakang Edbert. Dia kira abang tertua kami bisa melindunginya? Dia kira Papa Hedvika akan terus menurutinya? Bagian kedua tidak mustahil juga.

"Tidak apa-apa, Hedvika. Minta maaf. Beatrice tidak bakal menggigitmu kali ini," tutur Michael Junior.

"Memang tidak pernah," sanggahku sebal.

***

Sudah lama sejak Papa Hedvika menyuruhku keluar rumah atas perintah Hedvika. Dia mungkin manis dari luar, tetapi aku tahu di dalamnya tidak. Juga karena Edbert, Filip dan Michael Junior sepakat bahwa aku-pembuat-onar, maka aku pergi saja hingga bertemu balon cantik.

Tahu-tahu, dia membawaku terbang. Mengelilingi Michelstadt ke seluruh penjurunya bahkan sampai aku dapat melihat Odenwald. Melewati jembatan besar dan sungai-sungai yang mengaliri desa. Di sana ada rumah Garold yang ayahnya adalah botani—dia ternyata anak yang rajin. Orang-orang di sekolah hanya tahu dia badung. Garold pun terbelalak saat aku mendarat di kebunnya.

"Kau terbang!" Dia menunjukku. "Pakai balon."

Aku memandang tali balon dengan sedih. "Dia tahu aku tidak pantas di rumah dan menjemput."

"Tapi—terbang!"

"Kau ingin?"

Ketika Garold memegang tali itu dan terpejam, kakinya sama sekali tidak beranjak padahal punggungnya sudah terbungkuk-bungkuk. "Balon rusak," katanya sambil cemberut.

"Berarti kau sudah pantas di sini. Keluargamu sayang."

"Apa keluargamu tidak?"

"Mereka hanya mau Hedvika. Hedvika berkuasa menangis dan menjerit sehingga orang-orang harus patuh. Hedvika mengancam dan merengek."

"Buruk sekali." Garold duduk di atas batu, bertopang dagu. Aku ikut juga.

"Tapi, katanya aku lebih buruk."

"Kenapa?"

"Aku mengatakan hal-hal buruk seperti tangan Hedvika akan sejelek katai jika disengat lebah, rambut Hedvika rontok jika terus mengomel, Barbie Hedvika mengupil saat tidak dilihat ... kemudian dia marah. Orang-orang pun tersulut marah."

"Lalu, kau diusir?"

"Mama bilang hanya pura-pura, tapi aku tak butuh pura-pura lagi. Papa Hedvika amat murka sampai wajahnya lebih merah dari hari biasa. Aku takut."

"Takut dipukul? Dibentak?"

"Aku takut jika dia berhenti menyayangiku."

***

Hari menjelang petang saat balon kembali membawaku terbang. Lampu-lampu telah gemerlapan, pertokoan tutup untuk persiapan makan malam ... tidak ada lagi anak yang bermain Bruder Jakob di halaman. Semua pulang ke rumah, bersih-bersih dan duduk manja menunggu ibu selesai masak. Aku kian merasa lapar dan meminta balon turun. Kami mendarat di jembatan batu di atas sungai.

"Kau punya roti?"

Balon itu menggeleng ditiup angin. Aku memeluk diriku sendiri dengan gemetaran sampai sebuah kereta kuda terdengar, keretak-keretak sebelum berhenti. "Oh oh, mein Gott!" seru wanita dari jendela. "Ada anak perempuan."

"Aku kenal dia," kata anak lelakinya yang ikut melongok. Ternyata Aldrich. Hatiku semakin panas karena dia mengingatkanku pada Hedvika: mereka sama-sama anak cengeng, manja dan senang melapor. "Apa perlu kita ajak ke Den Haus?"

"Tidak," lirihku karena terkejut dan hendak berlari. "Tidak ...."

"Tunggu," panggil Mama Aldrich saat turun dari kereta dan menahanku. Dia membelai rambutku, menyeka air mataku yang nyaris berderai. "Ikutlah dengan kami."

Akhirnya, aku masuk ke dalam kereta yang kembali bergerak. Mama Aldrich menawarkanku manisan, cokelat hangat dan roti. Aku tak bisa berbohong saat perutku keroncongan. Malu sekali.

"Tak apa, aku juga begitu," kata Aldrich seraya menepuk-nepuk perutnya. "Kata Papa, itu lonceng makan malam."

Tubuhku kembali gemetar saat mengingat Papa Hedvika. Dia tak pernah bilang soal lonceng apa pun. Dia hanya makan sambil merengut dan bercerita tentang pekerjaan pada Mama, anak-anak dilarang ribut. Namun, tentu saja kami selalu ribut. Aku juga tak mengerti. Hampir setiap malam kejadiannya selalu sama: aku bertengkar dengan Hedvika, Filip menambah masalah, Michael Junior membela Hedvika. Edbert akan sok dewasa dengan ceramah yang tak pernah kudengar.

"Kami mengantarmu pulang." Mama Aldrich tersenyum.

Aku melotot. "Tidak."

"Kami tidak tahu bagaimana keadaanmu, Sayang, tapi memang tidak aman berkeliaran sendiri. Yakinlah bahwa rumahmu satu-satunya tempat."

Aku berdiri menahan keseimbangan, menggenggam erat tali balon. "Tidak bisa. Aku mau turun."

"Sayang—"

"Mohon maaf!" seruku. Aldrich dan ibunya terkejut, namun sais tetap diperintahkan berhenti. Aku keluar dari kereta kuda itu dan berlari. Perlahan memasuki jalan bata tanpa lampu, merasa tubuhku semakin ringan ... melayang ke angkasa.

***

Itu masih tengah malam saat akhirnya aku melintasi hutan Michelstadt yang berkabut. Di sana ada pendar cahaya bersama iringan anak-anak. Aku tak percaya mereka melakukan ini. Mereka sungguh masih para saudaraku? Yang selalu bertengkar dan ribut denganku?

"Kami pastikan Papa dan Mama tidur lelap setelah seharian melaporkan kau yang hilang—sangat khawatir," kata Edbert. "Untunglah kami bisa pergi tanpa ketahuan."

"Pakai ini." Filip melemparkan mantel besar ke wajahku. "Tadinya aku membawa itu karena berpikir kau tidur di kolong jembatan."

Hedvika sempat tertawa sebelum bungkam karena aku mendelik padanya. Michael Junior kembali membujuk. "Ayolah, Hedvika."

Gadis kecil itu perlahan melepas cengkeraman dari celana Edbert dan mengulurkan tangannya dengan wajah sebal. Bibirnya bahkan tak bisa lebih maju dari pada itu. "Maaf."

Aku menjabat tangannya sehingga dia terkesiap. "Dingin!"

"Memang sebaiknya kita segera pulang," titah Edbert. "Ayo, Anak-anak! Beatrice, kau naik sepeda dengan Filip. Aku akan membonceng para bayi."

"Aku bukan bayi!" desis Hedvika. "Aku empat tahun!"

"Aku juga empat, tapi suka menjadi bayi," celetuk Michael Junior.

Filip menghela napas. "Sudahlah, Bayi-bayi. Kalian semua bayi. Kau juga, Ed."

"Kau yang bayi," timpal Edbert jengkel.

Aku mengikat tali balon di pergelangan tangan sebelum berpegangan pada Filip. Kami mulai berkendara menuju rumah di tengah udara malam yang semakin dingin. Tetapi, entah bagaimana hatiku begitu hangat seolah cahaya-cahaya perapian melingkupi kami. Melindungi kami dari kegelapan malam dan mengikat kami dengan tali yang kuat. Jangan sampai terpisah.

Aku tahu aku marah. Aku sedih. Namun, aku tak bisa mengelak bahwa aku merindukan mereka. Semua pertengkaran itu sebelum semua canda tawa. Tak ada yang bisa menggantikannya.

Tak akan pernah.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro