Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2- Strategi untuk Bertahan (a)

“Yang terpenting itu bagaimana kita membentengi diri sendiri.”

●•••●•••●

Siapa yang tak kenal Azzam Hudzaifa Al-Ghazali, santri nomor wahid dari pesantren putra? Kepopulerannya bahkan melebihi putra dan putri pemilik pondok pesantren Al-Azhar sendiri. Cowok itu berhasil menyelesaikan hafalan 30 juznya sebelum lulus tsanawiyah. Ia juga pintar dan memiliki akhlak mulia. Wajahnya bersih dengan postur tubuh tinggi. Bisa dikatakan Azzam memiliki nilai 9 per 10 untuk seorang cowok idaman. Tak heran jika ia sangat terkenal di kalangan para santriwati. Meski bangunan gedung dan hampir seluruh kegiatan santri putra dan putri dilakukan terpisah.

“Duh … beruntung banget sih kamu, Za! Kalo aku pasti udah langsung sujud syukur bisa jadi delegasi bareng sama Azzam,” seloroh Bitna. Hafiza langsung menimpuknya dengan bantal.

“Dih, lebay deh!”

“Seriusan! Kamu kok bisa sih stay cool gitu sering-sering jadi delegasi bareng Azzam? Padahal kan dia calon imam idaman dunia-akhirat semua santriwati di sini. Iya nggak, Rul?”

Nurul hanya membalas dengan senyum tipis. Cewek itu sedang duduk bersandar pada dinding samping tempat tidurnya sendiri di seberang. Kedua tangannya memeluk bantal. Sedangkan Bitna dan Hafiza duduk bersama di ranjang milik Hafiza.

 “Nggak semua juga kali!”

“Emang kamu enggak?” cecar Bitna to the point. Hafiza terdiam sesaat. Tak bisa dipungkiri Azzam memang memiliki kriteria-kriteria sebagai pria idaman. Namun, untuk saat ini bukan hal itu yang perlu diperdebatkan.

“Udah ah, kenapa malah ngeributin Azzam sih?” Hafiza bersungut-sungut. “Aku tuh masih galau mau ikutan progam pertukaran pelajar ini.”

“Galau kenapa, Za?” tanya Nurul penasaran. Hafiza menghela napas panjang.

“Habisnya … selama ini kan aku udah terbiasa hidup di pesantren. Lingkungannya terjaga. Maksud aku, pergaulannya itu loh!” Lalu ia bergidik ngeri, membayangkan selama satu semester ke depan harus berbaur dengan cowok dan teman-teman baru yang kadar pemahaman agamanya beragam.

Yaelah, Za. Kamu kayak orang yang tinggal di gua aja! Dulu kan kamu sempat sekolah TK sama SD umum. Terus kamu juga punya kakak cowok. Iya kalo Nurul, sejak kecil tinggal di pesantren!” Lagi-lagi Nurul hanya tersenyum tipis mendengar komentar Bitna. Entah kenapa cewek hitam manis itu lebih banyak diam sejak tadi.

“Tapi kan beda, Na. Dulu aku masih kecil, sekarang udah baligh. Lagian Bang Hammam kan mahram aku. Beda cerita kalee ….”

Bitna terkikik. “Paling nggak kan masih sama-sama cowok! Eh-eh, udah hampir jam empat nih. Ke gazebo, yuk!” 

Sontak Hafiza menoleh ke arah jam dinding yang menggantung di sebelah lemari. Lima menit lagi sebelum jarum panjang tepat di angka dua belas. Ia belum sempat mandi dan ganti baju gara-gara langsung dicegat begitu kembali dari kantor.

“Kalian duluan deh. Aku mau ganti baju dulu,” ujar Hafiza. Bagaimanapun ia merasa tidak pede jika harus berkumpul dengan masih mengenakan seragam. Kentara banget kalau belum mandi! Setidaknya ia bisa menyemprotkan parfum di beberapa titik gamisnya agar tampak segar.

Pukul empat tepat Hafiza keluar kamar dan bergegas menuju gazebo. Setiap sore ia dan enam santriwati lain memiliki jadwal setor hafalan bersama Ustazah Dinar. Letaknya di gazebo Umar, tak jauh dari masjid.

Sayup-sayup suara tilawah Al-Qur’an terdengar saat jarak kakinya semakin dekat ke masjid. Suara itu makin jelas ketika mata Hafiza menangkap punggung-punggung berbalut jilbab lebar yang duduk berkelompok di teras masjid. Kelompok serupa juga terlihat pada empat bangunan kayu dengan pilar penyangga tanpa dinding di sekitarnya.

Hafiza terus berjalan sambil merenung. Lantunan ayat-ayat suci yang saling bersahutan itu meresap dalam hingga ke sudut-sudut hatinya. Suara yang selalu ia dengar tiap pagi, sore, dan malam selama hampir lima tahun ini selanjutnya akan sangat ia rindukan. 

Ah, andai saja ia tak perlu ke SMA umum dan cukup pindah ke pesantren lain. Mungkin rasanya tidak akan se-mellow ini.

Hafiza sedikit terlambat di pertemuan sore itu. Namun, Ustazah Dinar mafhum. Barangkali Hafiza masih butuh waktu untuk menenangkan diri setelah kabar mengejutkan tadi, pikirnya. Beliau lantas memintanya membantu menerima setoran santri seperti biasa. Giliran Hafiza sendiri masih nanti, setelah semua anggota sudah selesai menyetor tambahan hafalannya. Kali ini ia kebagian menyimak Nurul. Hafalan cewek itu tinggal tiga juz lagi menuju khatam. 

Kegiatan setor hafalan selesai menjelang petang. Langit cerah sore hari berubah menjadi kemerahan. Gurat-gurat awan jingga bercampur dengan warna lembayung yang semakin pekat di garis cakrawala. Matahari tak lagi terik, namun bersinar lembut seakan mengucap salam perpisahan pada hari yang telah berlalu. Dan sebentar lagi malam mengukuhkan keberadaannya pada waktu yang sudah ditetapkan oleh Penguasa Semesta Alam.

“Sesungguhnya pada pergantian malam dan siang, dan apa yang diciptakan Allah di langit dan di Bumi, pasti terdapat tanda-tanda (kebesaran-Nya) bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Yunus: 6)”

●•••●•••●

Hafiza bersujud di atas sajadah. Ia baru selesai mengkhatamkan Al-Qur’an dan tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk bermunajat pada Allah. Keningnya menyentuh Bumi, tetapi di saat yang sama hatinya terasa begitu dekat dengan Sang Pencipta.

Begitu bangkit dari sujud, lengan Hafiza langsung ditarik. “Za, Za, sini deh!” Rupanya sejak tadi Bitna sudah menunggu di belakang punggungnya.

“Apaan sih, Na?” protes Hafiza. Kakinya tersaruk-saruk ujung mukenah yang belum sempat dilepas. Namun, Bitna tak mau tahu dan terus menyeretnya menjauhi tikar yang biasa mereka gunakan untuk salat di kamar.

Setiap kamar di pesantren Al-Azhar dihuni oleh empat orang. Ukurannya cukup besar, tiap kamar juga memiliki kamar mandi sendiri. Ada dua ranjang susun, empat lemari satu pintu, dan empat meja lipat untuk masing-masing santri. Selain itu, masih ada sisa tempat kosong yang bisa digunakan untuk salat ataupun belajar bersama.

Bitna mendudukkan Hafiza di depan lemari miliknya dan Nurul, di antara dua ranjang susun yang bersebelahan. Kepalanya ikut berputar mengekori langkah Bitna yang mengitari punggungnya. Sekilas ia bisa melihat Nurul yang sedang duduk bersandar di atas tempat tidurnya mengangkat wajah. Apa yang hendak dilakukan oleh teman-temannya tampak lebih menarik daripada novel di atas pahanya.

“Malem ini kamu bakal belajar privat tentang, survival guide for moslem girl in senior high school,” Bitna berkata mantap seraya mendaratkan pantat di sisi kiri Hafiza.

“Berhubung aku, kamu, dan Nurul nggak ada yang pernah sekolah di sekolah umum, jadi kita bakal berguru ke yang berpengalaman. Taraaa …!” Kedua tangan Bitna terentang ke arah tempat tidur di depan mereka, seakan menyambut bintang tamu spesial di acara talk show televisi. Sementara di atas sana, Felisha yang duduk bersila ikut berlagak sok. Tangan kanannya bersedekap sedangkan yang kiri mengusap dagunya yang bergerak naik-turun.

“Halo, Kak!” Mata Felisha seakan hilang ditelan pipi saat ujung-ujung bibirnya tertarik hingga ke mata. Kulit putihnya kontras dengan rambut lurus sebahu yang tampak hitam berkilau ditimpa cahaya lampu.

“Pfffth!” Nurul tak bisa menahan tawa di belakang mereka. Sedangkan Hafiza hanya terbengong-bengong keheranan.

“Bentar-bentar,” Hafiza merentangkan sepuluh jemari di depan badan. Ada hal yang ingin ia luruskan. “Bukannya Felish SMA-nya juga di pesantren ini?”

“Iya, tapi seenggaknya kan waktu SMP dia pernah di sekolah umum.” Felisha mengangguk-angguk cepat saat pandangan Hafiza beralih padanya.

“Kami nggak pengen kamu mengalami culture shock di sana, Za. Kamu nggak cuma membawa nama baik pesantren, tapi juga santri secara keseluruhan. Tunjukin bahwa kita juga bisa jadi remaja kekinian, nggak miskin pergaulan!”

Hafiza tertawa geli. Ia tak menyangka pemikiran dua sahabatnya sudah sejauh itu. Padahal ia masih di Indonesia, belum pergi ke Inggris seperti rencana masa depannya nanti. “Iya deh, asalkan kekinian dalam arti yang baik loh ya?!”

“Ih, Kak Hafiza, mah. Masa nggak percaya sama Felish sih?” Bibir Felisha mengerucut. Wajah orientalnya kini tampak sebelas-dua belas dengan boneka Piyo-Piyo yang sedang ia peluk.

“Iya, iya, Kakak percaya! Jadi, apa aja yang perlu dipelajari?”

Felisha berdeham kecil. Ia mengangkat tungkai dari lantai dan menyilangkannya di atas tempat tidur. Hafiza dan Bitna harus sedikit mendongak agar bisa melihat wajahnya yang berubah serius. “Pertama, cari tempat duduk yang strategis.”

Hening. Semua ikut menyimak baik-baik meski materi ini tidak mungkin keluar di ujian pesantren akhir semester nanti.

“Di sekolah umum, biasanya kita bakal lebih cepat akrab sama temen-temen yang duduk di sekitar kita. Makanya, usahakan Kak Hafiza bisa dapat tempat duduk di deretan cewek-cewek berjilbab dan jauh dari para cowok.”

Hafiza mengangguk-angguk mengerti. Ia tidak menyadari di sebelahnya Bitna tersenyum lebar. Puas dengan idenya yang bermanfaat bagi Hafiza.

“Yang kedua, bersikap ramah dan jangan jadi orang ansos.”

“Apa benar kalo di sekolah umum murid pendiam itu bakal di-bully?” Nurul menyahut cemas. Novel di tangannya sudah benar-benar tertutup sekarang.

Felisha mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di dagu. “Mmmm … nggak juga sih. Cuman kalo masih baru dan pendiam gitu takutnya malah dikira jutek, terus nanti dikucilin.”

“Tenaang … Hafiza kita kan, disukai banyak orang,” Bitna meraih bahu Hafiza agar merapat, “kamu nggak perlu khawatir.”

“Bener itu, Kak! Nah, selanjutnya yang ketiga, jangan sampai terlibat sama orang-orang berpengaruh di sekolah.”

Hafiza mengernyit. Orang-orang berpengaruh? Maksudnya Kepala Sekolah? Tapi apa hubungannya orang nomor satu di sekolah itu dengan dirinya?

“Orang-orang berpengaruh di sini maksudnya murid-murid populer di sekolah, Kak. Entah itu ketua OSIS, anaknya pemilik sekolah, kapten tim basket, pokoknya yang kalo disebutin namanya, satu sekolah udah pada langsung tahu,” Felisha seperti bisa membaca keheranan di wajah Hafiza. “Yah, meskipun sebaiknya Kakak nggak perlu bermasalah sama guru-guru juga sih. Ngomong-ngomong, sejauh ini apa ada yang mau Kakak tanyain?”

Hafiza berpikir sejenak. “Kalo di sekolah kamu dulu, ceweknya banyak yang berjilbab nggak?”

Felisha menjawab cepat dengan sangat ringan, “Nggak ada. Hampir semua pake rok di atas lutut malah!”

“Astagfirullah!” Hafiza dan Bitna memekik bersamaan, sementara Nurul langsung lunglai di atas kasur. Felisha malah terkikik geli.

“Ya iyalah, Kak, nggak ada yang pakai jilbab! Kakak-kakak pada lupa ya kalo dulu aku masih sekolah di SMP Katolik?” 

Penjelasan itu membuat tawa ketiganya pecah. Namun, tetap saja ada kelegaan yang menenangkan. Mereka benar-benar lupa bahwa Felisha adalah seorang mualaf yang baru masuk Islam satu bulan sebelum kedatangannya di pesantren. Maka tak heran jika di awal-awal ia sering membuat keributan. Culture shock, begitu istilahnya jika meminjam kata-kata Bitna tadi. Bahkan akibat ulahnya, Hafiza sampai terluka dan batal mengikuti Musabaqah Tilawatil Qur’an atau MTQ Nasional.

Saat itu Felisha mencoba kabur dengan memanjat pohon asem. Namun, dahan yang dipijaknya patah sehingga ia tergelincir jatuh. Beruntung, Hafiza yang saat itu sedang mencarinya berada di sana. Secepat kilat ia berlari dan menggunakan tubuhnya untuk menghalangi kepala Felisha agar tidak menghunjam tanah. Felisha tidak mengalami luka serius, tetapi qadarullah kaki Hafiza terkilir sehingga harus memakai kruk selama dua minggu.

“Ehem. Yang keempat …,” Felisha kembali memasang tampang serius. Namun, dua detik berikutnya ia menggaruk-garuk kepala bingung. “Ng … yang keempat ….”

“Masih ada nggak, nih?” desak Bitna tak sabar. Entah karena penasaran atau menahan kencing, duduknya sudah tidak tenang sekarang.

 “Ah ya, aku ingat sekarang!” Tangan Felisha yang terkepal dan telapaknya beradu cepat. “Yang keempat sekaligus terakhir ini justru poin penting.”

Hafiza merasakan jantungnya berdebar-debar. Bitna sudah duduk dengan tegak, sementara Nurul memasang telinga baik-baik.

“Yang keempat, jangan lupa sering-sering kasih kabar ya, Kak. Kami pasti kangen banget sama Kak Fiza. Meski nanti bakalan ada santri baru yang menempati kamar ini, tapi tetep aja rasanya beda kalo nggak ada Kakak.”

Seperti ada air bah yang diguyurkan ke dalam dada Hafiza, lalu terus meluap hingga tumpah di kedua sudut matanya. Rasa takut kehilangan itu bahkan tiba sebelum kata perpisahan terucap. Tanpa dikomando, Felisha, Bitna, dan Nurul kompak memeluknya, mencoba membagi beban seperti halnya kamar dan banyak hal yang selama ini mereka lakukan.

To be continued>>

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro