Chap 9 : Kenangan
Tiba-tiba seorang pria dengan terburu-buru memasuki ruangan dengan membanting pintu, "Nona Nilan, anda harus segera pergi dari sini. Orang-orang Brata Kusuma sering menuju kemari!"
"Apa?!" serunya terkejut. "Bagaimana bisa ayah tahu," ujarnya panik.
"Nona sebaiknya kita pergi sekarang. Gadis ini biar mereka yang urus," sela Yanto.
"Tidak! Dia ikut denganku! Aku masih ada urusan dengannya."
"Tapi ...,"
"Yanto, bawa dia dan ikut denganku sekarang! Perintah Nilan yang bergegas pergi. Yanto yang mendengar titah itu bergerak menarik Lita supaya mengikuti mereka. Sedangkan pria lainnya bergerak berlawanan arah mencoba mengulur waktu agar mereka bisa keluar dari sini. Lita mengikuti dengan terpaksa.
Matanya melihat ke sekeliling, mencari Wija yang sampai saat ini tak terlihat.
Di mana pria aneh itu! Saat dibutuhkan malah menghilang, batinnya.
Mereka berjalan setengah berlari ke arah mobil yang di parkir tersembunyi di antara pepohonan tertutup terpal berwarna senada dedaunan. Lita baru menyadari jika dia disembunyikan jauh dari kota. Yang terlihat di sini hanyalah pohon-pohon karet yang berjajar rapi. Jelas ini area perkebunan. Telinganya dapat mendengar suara deru mobil di kejauhan, bahkan diiringi letusan senjata api.
"Masuk!" teriak Yanto yang mendorong tubuh Lita agar segera memasuki mobil. Nilan sudah duduk di kursi penumpang. Lita mengikuti perintah dengan malas. Yanto mulai mengendarai mobil dengan kecepatan penuh. Meninggalkan tempat itu dengan tergesa-gesa. Menerobos di antara pohon-pohon karet. Menjauh. Hingga suara bising yang didengar Lita tadi sudah tak terdengar.
"Kita mau ke mana Nona?" tanya Yanto sopan sambil mengendarai mobil.
Nilan diam sesaat, tampak memikirkan sesuatu, "Rumah lama."
"Baik."
Mobil kini sudah memasuki jalanan beraspal. Melaju kencang dalam kesunyian. Yanto terlihat serius memandangi jalanan. Kecepatan tinggi membuatnya waspada. Nilan hanya diam setelah menjawab pertanyaan Yanto tadi. Seolah sedang berpikir akan sesuatu. Membuat rasa penasaran Lita yang kini memandanginya dengan tangan terikat. Saat ini bisa saja Lita menggunakan kekuatan yang ia miliki untuk melumpuhkan Yanto juga Nilan. Tapi tak dilakukannya. Ia memilih diam dan mencaritahu apa yang akan direncanakan Nilan untuknya.
"Jika kau macam-macam, Dwi yang akan menerima akibatnya," ujar Nilan yang kembali mengancam.
Lita tak berniat menanggapi dan hanya memandangi jalanan. Melihat ratusan batang karet di kedua sisi yang berjajar seolah bergerak berjalan mengikuti laju mobil mereka. Bahkan gerimis mengiringi perjalanan ini. Lita menyunggingkan senyumnya saat teringat suatu kejadian lampau. Saat dia dan Nilan baru dipasangkan menjadi saudara. Mereka yang masih anak-anak mencoba belajar mengerti keadaan yang terjadi. Bagaimana mereka bisa menjadi saudara jika baru dipertemukan.
***
"Nilan, ini adikmu Lita," ujar seorang wanita yang tak lagi muda memulai pembicaraan.
Nilan kecil tampak manis dengan rambut panjang yang dikuncir kuda, memegang boneka teddy kesayangannya, mengulurkan tangan, "Hallo, aku Nilan. Adikku cantik ya Bu," ucapnya polos memandang Lita kecil di depannya.
Lita yang saat itu baru kehilangan ibunya tak berniat mengobrol dengan siapapun, terlihat murung. Tak banyak bicara. Hingga tidak menanggapi uluran tangan Nilan di depannya. Kemudian berlari menjauhi mereka.
"Lita! Mau ke mana Nak?" wanita yang dipanggil Ibu oleh Nilan mencoba mengejarnya. Namun langkahnya terhenti saat Nilan kecil menahan tangannya.
"Biar Nilan yang kejar Bu." Kemudian dia berlari menyusul Lita yang telah hilang di balik semak tak jauh darinya. "Lita, tunggu!"
Kaki Lita terus berlari tanpa arah. Airmata mengucur deras membasahi pipinya. Ia tak ingin tinggal dengan keluarga yang membuat ibunya meninggal. Keluarga inipun tak akan benar-benar menerimanya. Ia hanya ingin bersama ibunya. Lita menangis sesegukan di balik pohon akasia. Duduk mendekap kedua kaki mungilnya.
"Lita kenapa menangis sendirian?"
Lita melihat Nilan yang berhasil menyusul. Ia menggeleng kepalanya pelan. Kemudian kembali meringkuk menatap akar pohon di dekatnya. "Aku merindukan ibuku."
"Jangan menangis. Ibumu sudah di surga. Lagipula kau masih punya aku. Aku 'kan kakakmu," bujuk Nilan memeluk erat Lita. Ikut menangis bersamanya.
"Benarkah? Kalian tak membenciku?" tanya Lita polos.
"Tentu saja. Kita 'kan keluarga," jawab Nilan bersemangat.
Ingatan beberapa tahun silam membuat Lita tersenyum kecut. Saat ia melihat rumah yang berdiri kokoh di depannya. Rumah besar tempat pertama kali mereka membawa Lita masuk ke keluarga ini. Di masa semua terasa hangat. Nilan yang selalu mengalah dan memberikan semua yang ia punya untuk Lita, adiknya. Ayah yang meski sibuk dengan bisnis tetap meluangkan waktu untuknya. Hanya pandangan wanita yang menganggap dirinya ibu baru untuknya yang tidak Lita sukai.
Wanita paruh baya itu tetap menjadi kenangan buruk untuk Lita. Istri pertama ayahnya yang membuat ibunya meninggal. Meski ibu tiri yang tak pernah menyiksa dirinya. Tapi tatapan wanita itu mampu membuat ribuan jarum tertanam di hati Lita. Sesak. Ia membenci semuanya.
"Ikut aku!" bentakkan Nilan membuyarkan lamunan Lita. Membuat langkah kakinya mengikuti perintah Nilan menuju area belakang rumah. Meninggalkan Yanto yang bertugas menjaga garda depan.
"Apa maumu mengajak aku ke sini," tanya Lita penasaran ke arah Nilan saat mereka berdiri saling berhadapan.
"Aku ingin kau menyerahkan pecahan Kristal itu!"
"Cih, sudah kukatakan, jika kau bisa mengambilnya, ambil saja."
"Sombong. Selalu begitu. Sok kuasa."
Lita mendelik ke arah Nilan. Aku, sok kuasa? Gak ngaca tuh anak! Batinnya kemudian. "Kekuatan ini tak berguna, malah akan menyakiti inangnya. Untuk apa aku berbohong, jika kau bisa mengambilnya, ambillah."
NIlan memandangi telapak tangan Lita yang ia perlihatkan. Hitam. Hampir mengeras. Tapi seakan tak peduli, Nilan kembali bertanya, "Lalu bagaimana caraku mengambilnya?"
"Tidak tahu. Seseorang pernah berkata padaku, Kekuatan ini hanya bisa terlepas jika aku ... mati."
"Ya sudah, kau mati saja untukku," jawab Nilan enteng, seolah-olah sangat mudah mempermainkan kematian. Kini di tangannya telah bertengger senjata laras pendek yang mengarah ke Lita. "Lagipula aku selalu ingin kau pergi, se-la-ma-nya!" lanjutnya sambil memperjelas ucapannya.
Dada Lita terbakar amarah melihat perbuatan Nilan. Kakinya mundur satu langkah. Kini suara degup jantung terdengar tak beraturan. "Apa yang kau lakukan?!" serunya melihat Nilan yang dengan mantap ingin membunuhnya.
"Selamat tinggal adikku."
Tanpa sadar Lita memalingkan wajahnya dan memejamkan matanya begitu erat. Inikah akhir hidupku, batinnya kemudian.
"Tunggu!!"
Teriakan itu membuat pandangan Nilan dan Lita mengarah kepada sosok pria yang berdiri tak jauh dari mereka. Pria tampan dengan rambut gondrong yang terkuncir rapi. Memakai kemeja bermotif persegi berwarna biru tua. Senada dengan celana jeans yang ia kenakkan. Dialah Wija, yang kini berpenampilan layaknya manusia normal masa kini. Melepas semua atributnya sebagai Hulubalang Selatan. Hanya Siwar Trisula yang masih terselip di pinggangnya dan tak terlihat oleh siapapun juga. Penampilannya berubah, jika ia harus menjadi manusia biasa.
Wija menatap mereka berdua dengan tak percaya, "Kalian bersaudara, kenapa ingin saling bunuh?"
"Siapa kau? Mengganggu saja?!" seru Nilan kesal dan mengarahkan senjatanya di hadapan Wija.
"Hei Nona, letakkan mainanmu itu. Sebelum ada yang terluka."
"Beraninya kau!" Nilan menarik pelatuk yang langsung terdengar suara letusan dengan benda tajam yang mengarah telak ke arah Wija.
Wija hanya tertawa meremehkan itu semua. Sontak saja peluru yang melesat itu tak bisa menembus raganya. Siwar Trisula selalu melindungi dirinya dari bahaya yang mengancam. "Puas Nona bermainnya?" ujarnya menggerakkan satu jari dan melemparkan senjata itu jauh dari mereka. Yang membuat Nilan syok tak percaya dengan apa yang dia lihat.
"Pria aneh, kenapa baru datang?"
"Karena aku harus mengambil sesuatu untuk menuntaskan semua ini."
"Aku harus pergi menyelamatkan Dwi," ujar Lita bergegas. Namun gerakannya terhenti saat mendengar ucapan Wija.
"Temanmu sudah di tempat yang aman."
Beberapa saat kemudian Yanto dan beberapa pengawal lainnya yang berhasil menyusul, mendengar suara letusan senjata berlari datang menghampiri mereka. Yanto melihat Nilan yang berdiri terpaku terlihat marah dan bergegas mendekati Wija dan mulai mencoba melukai pria tersebut.
Lima banding satu, jelas Wija kalah jumlah. Tapi dengan mudah ia dapat melumpuhkan mereka semua. Yanto dan keempat orang lainnya kini sudah terkapar tak sadarkan diri. Nilan yang yang melihat semua itu menjadi kesal dan bergerak ingin melarikan diri. Namun kakinya seolah tertanam di dasar tanah. Tak dapat bergerak. Sekuat mungkin ia mencoba melangkah, maka semakin berat ia rasakan. Kini ia pasrah saat melihat Lita dan Wija mendekatinya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro