Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chap 8 : Penculikan

"Ken, sebaiknya kau pergi sekarang. Jika Nilan tahu kau ada di sini, perang dunia akan segera terjadi," usul Lita setengah mengusir Ken.

Ken melirik arloji di tangannya, pukul lima sore, "Sudah mau magrib, aku pulang sekarang. Jika kau butuh apapun hubungin aku."

Lita hanya menganggukkan kepalanya, kemudian berjalan mengantarkan Ken sampai keluar. Lita menatap punggung Ken yang mulai memasuki mobil, ada sedikit kelegaan di hatinya. Kejadian ini menyadarinya sesuatu, sahabatnya, Kensal Arifin, tidak pernah mengabaikannya. Hanya status yang berubah, sahabatnya akan segera menjadi menantu Brata Kusuma, suami dari saudaranya Nilan Kusuma. Ada getir saat ia mengingat itu semua. Tiga tahun lalu, Ken meminta dukungannya saat ingin mengutarakan cinta ke Nilan. Yang membuat kepulan sesak menyelimuti dadanya. Membuat jarak antara dia dan Ken. Tapi sekarang sudah seharusnya membuang jarak, dan mendukung Ken sepenuhnya.

Mobil yang dikendarai Ken sudah hilang sepenuhnya. Lita menutup pagar rumah, sebelum akhirnya mobil berwarna putih berhenti di dekatnya. Seorang pria keluar dan menyapanya, "Maaf Nona, bisa beritahu alamat ini?" sapanya sambil menunjukkan secarik kertas di tangan.

Lita yang mencoba membantu, melihat tulisan yang ada di kertas tersebut. Namun saat ia memfokuskan pandangannya ke kertas, pria itu tiba-tiba saja meletakkan sapu tangan dengan bau yang menyengat ke hidungnya. Lita terbelalak dan merontak melawan. Tetapi kesadarannya meredup. Pandangannya mengabur. Tubuhnya melunglai jatuh di dekapan pria tersebut. Setelah itu, Lita digotong dan dimasukkan ke dalam mobil putih yang ternyata sudah ditunggui oleh empat orang pria lainnya.

***

Lita mencoba membuka matanya perlahan. Rasa pusing yang mendera tak dihiraukan. Meski begitu ia tak bisa bergerak bebas. Baru disadarinya tangan dan kaki terikat di kursi yang ia duduki. Bahkan mulutnya tersumpal kain. Gelap. Matanya pun tertutup kain. Apa yang terjadi? batinnya kemudian saat menyadari keadaan saat ini.

"Sudah bangun?"

Lita yang mendengar pertanyaan itu sadar, seseorang kini berada di dekatnya, siapa? Ia merasa tangan yang kasar menyentuh ikatan matanya dan mencoba membuka. Lita menyipitkan matanya saat ikatan itu benar-benar terlepas. Cahaya yang menerjang penglihatannya, membuat sakit untuk sesaat.

Setelah ia dapat mengatur intensitas cahaya, Lita dapat melihat dua orang pria yang berdiri tak jauh darinya. Pria-pria yang berbadan besar. Membuat Lita sedikit bergidik. Entah apa yang akan dilakukan pria-pria ini terhadap dirinya.

"Bro, jangan kau coba-coba membuka sumpalan di mulut wanita ini, jika tidak ingin membatu seperti yang dialami Daus," ujar pria yang sedang duduk di kursi tak jauh darinya memperingatkan teman-temannya.

Lita memandang lama pria yang berbicara tadi. Ia mengenalinya. Pria yang bertato elang, yang dulu pernah bersikap kurang ajar dan mencoba merampoknya. Pria itu?! Apa mungkin dia dendam padaku? batinnya.

"Kapan Bos datang?"

"Sebentar lagi. Yanto sedang menunggunya di depan."

Lita hanya mampu berontak, meminta agar dilepaskan. Tapi bahkan tak dihiraukan pria-pria itu. Ada rasa takut menjalari dirinya. Jangan-jangan dia akan menjadi korban mutilasi seperti yang sering ia dengar di televisi akhir-akhir ini. Membayangkan semua itu membuatnya bergidik ngeri. Hingga matanya menangkap sosok pria yang tak jauh dari hadapannya. Berdiri dan seolah tak terjadi apapun.

"Pppttt ...." Suara Lita yang masih dibekap memanggil Wija meminta tolong. Tapi Wija hanya diam dan menggeleng membuat Lita melotot kesal.

"Jika aku bantu kau sekarang, yang ada kau akan mengutuk semua orang yang ada di tempat ini. Tidak. Aku rasa sekarang ini lebih baik," jelas Wija yang kini berada di dekat Lita.

Lita yang mendengar penjelasan Wija makin melototinya dan terus merontak. Hei, kau pikir terikat seperti ini enak! Hah! Lepaskan aku! batin Lita kesal membalas ucapan Wija.

"Dasar, tak sabaran. Tunggulah sebentar lagi, setidaknya sampai kau tahu siapa dalang ini semua," jawab Wija enteng dan segera menghilang.

"Heiiii!!!"

"Berhentilah meronta dan melawan Nona, nikmati saja hari-hari terakhirmu," ujar seorang pria yang mengejek Lita, yang membuat pria lainnya tertawa. Mereka menganggap Lita bagai boneka yang siap dimainkan kapan saja.

"Dasar pria aneh itu, pergi tanpa menolongku terlebih dahulu! Orang-orang ini, tunggu saja pembalasanku nanti." Lita memandangi mereka tanpa rasa takut sama sekali.

"Huh, tatapannya, atut dek, atut." Kembali pria lainnya mengolok tatapan Lita yang diiringi gemuruh tawa dari lainnya.

"Ehem," suara seseorang mengintrupsi semua dan membuat mereka berkumpul. Lita segera mencaritahu kehadiran seseorang yang baru tiba. Tapi karena ia tak bebas bergerak, ia tak dapat melihat jelas wajah orang tersebut.

Sial! Batinnya kemudian. Lita menagawasi mereka semua dari kejauhan. Seseorang bahkan melihat ke arahnya dan tersenyum licik. Membuatnya merasa mual dan ingin segera pergi dari sini. Namun apadaya ia masih terikat dan tak bisa bebas kemanapun yang ia inginkan. Apa yang direncanakan mereka semua, ucapnya dalam hati.

"Laksanakan." Perintah seorang wanita kepada empat pria tersebut.

Deg

Suara ini? Mungkinkah? Batin Lita mempertajam pandangannya mencari asal suara. Matanya mencoba menerobos kejauhan. Ia ingin memastikan apa yang dipikirkannya ini salah. Tidak mungkin dia, ujarnya kembali. Jantungnya berdegup tak beraturan. Akalnya membunuh logika. Ia tak ingin mempercayai apa yang ia dengar. Hingga matanya kini beradu pandang dengan pemilik suara. Kak Nilan, kenapa?! ujarnya tak percaya.

"Bangun!" teriak seorang pria yang menarik tangan Lita dengan paksa.

Lita yang masih terlihat bingung, hanya bisa melemah dan mengikuti pria tersebut. Namun matanya masih memandang sayu Nilan di kejauhan. Kakinya ingin berjalan ke arah Nilan dan bertanya langsung padanya, kenapa?! Lita tahu jika dia tak pernah diterima di rumah Brata Kusuma, tapi selama ini hanya Nilan yang terlihat baik dan mendukung keputusannya. Bahkan Nilan juga yang meminjamkan rumah pribadinya untuk di tempati Lita karena tak betah di rumah utama Keluarga Kusuma.

"Cepat!" teriak pria lainnya yang menyeret Lita dengan kasar.

"Ikat dia di sana," perintah yang lainnya.

Lita yang masih terlihat syok mengikuti tanpa berontak apapun yang dilakukan pria-pria ini. Kini Lita diikat di kursi dalam ruang kosong. Tak ada lampu. Hanya ada cahaya yang menyelinap di balik lobang ventilasi udara. Ia yang masih terlihat bengong membuat seorang pria kesal dan menyiramkan segelas air ke mukanya. Membuat ia terkejut dan menggelengkan kepalanya, seolah membuar air-air yang mengalir di wajahnya.

"Sadar juga nih anak," ujar pria tersebut dan kembali tertawa.

"Sekarang katakan, apa yang kau lakukan sehingga orang-orang itu berubah menjadi batu?!" seru pria tersebut.

"Kalian! Lepaskan aku atau kalian juga ingin merasakan seperti mereka!" ancam Lita yang ternyata sudah dilepaskan ikatan mulutnya.

"Perempuan laknat! Jika kau berani melakukan sesuatu kepada kami, maka orang ini yang akan merasakan kemarahan teman kami di luar sana!" pria itu balik mengancam Lita dengan menunjukkan foto Dwi sahabatnya di layar ponsel yang ia pegang.

"Dwi. Jika sejengkal saja kalian menyentuh dia, kalian akan menerima akibatnya!" kesal Lita.

"Jika kau tak ingin terjadi sesuatu kepada wanita itu, jawab pertanyaan tadi!" ujar pria itu kesal yang mendorong kepala Lita dengan jarinya.

Lita hanya menatapnya kesal. "Cuih ...," sambil meludahi pria tersebut.

"Kurang ajar! Plakkk ...," Pria yang marah menampar pipi Lita dengan kesal. Lita hanya membalas senyuman sinis.

"Kau cari mati!" pria tersebut hendak menampar Lita kembali. Namun ayunan tangannya terhenti saat seseorang mencegahnya.

"Hentikan! Aku menyuruh kalian mencari tahu yang terjadi, bukan malah seperti ini," ujarnya kesal.

"Nilan, kenapa?!" tanya Lita yang menatap Nilan iba.

Nilan yang mendengar namanya disebut membalikkan badannya dan tersenyum ke arah Lita, "Halo, adikku sayang. Bagaimana keadaanmu?" tanyanya basa-basi memegang wajah Lita.

Lita membuang mukanya tak suka. Membuat Nilan kesal dan menarik rambut Lita kasar, "Kenapa katamu, cih, ini semua karena aku membencimu! Sangat membencimu!"

"Wanita gila!" upat Lita tak takut.

Nilan yang mendengar upatan Lita hanya tertawa keras. "Aku benci kau, juga ibumu!!"

Lita hanya tertawa sinis mendengarnya, "Kau pikir aku menyukaimu? Hah!"

Plaakkkk

Tamparan kembali mendarat di pipi Lita. Warna merah tercap begitu jelas. Lita hanya bisa meringis menahan rasa sakitnya. Pria-pria menatap, menertawakan tiap adegan yang mereka perlihatkan. Kebencian dua saudara tertumpahkan saat itu juga. Baik Lita maupun Nilan mengeluarkan aura kemarahan.

"Kau! Kekuatan apa yang kau miliki hingga bisa melakukan hal-hal yang tak berguna."

Tak ada jawaban. Lita memilih bungkam. Tak peduli. Membuat kemarahan Nilan memuncak. "Baiklah. Kita lihat, apa kau akan tetap bungkam saat sahabatmu itu menjadi sasaran empuk anak buahku?!" ancamnya tak main-main.

Lita kembali menatap penuh amarah ke arah Nilan, "Kau ingin merasakan sendiri kejadian yang menimpa anak buahmu 'kah? Lakukan saja!"

"Kau mengacamku? Kau pikir aku takut? Haahhh!!" balas Nilan sengit. "Yanto, perintahkan anak buahmu menculik wanita itu sekarang!" ujar Nilan tak main-main.

"Baik, Boss!" jawabnya sambil mengambil ponsel di saku celana ketatnya. Saat ia hendak menggeser tombol dial, Lita berteriak menghentikannya.

"Tunggu!"

Semua yang ada di ruangan menatap Lita. Menunggu keputusan yang akan diambilnya. "Jangan bawa orang lain di permasalahan kita, Nilan. Akan kujawab."

Nilan tertawa mendengar jawaban Lita, "Bagus. Sekarang jawab."

"Aku memiliki kekuatan Serunting, saat diberikan seekor kucing hitam."

"Kucing hitam? Serunting? Maksudmu Si Pahit Lidah?" tanya Nilan memastikan pendengarannya. Lita hanya menganggukkan kepala merespon pertanyaan itu.

"Tak masuk akal! Berarti semua yang menjadi batu itu karena kekuatan Serunting?!"

"Iya!"

"Kalau begitu berikan kekuatanmu!"

"Kau bercanda? Mana mungkin bisa!"

"Kenapa tidak, pasti bisa! Sekalipun itu harus membunuhmu." Nilan tersenyum licik. Pikiran buruk menguasainya. Dendam dan kebencian memenuhi hatinya.

Lita bergidik melihat kelakuan Nilan. Ia tak menyangka Nilan bisa sekejam ini. Ternyata apa yang diucapkan Dwi selama ini benar. Nilan seperti Rubah, bahkan lebih buruk dari itu. Seharusnya aku sadar lebih awal, batinnya kemudian.

Tiba-tiba seorang pria dengan terburu-buru memasuki ruangan dengan membanting pintu, "Nona Nilan, anda harus segera pergi dari sini. Orang-orang Brata Kusuma sedang menuju kemari!"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro