Chap 7 : Kebaikan
"Tolong!"
Suara teriakan di kejauhan membuat rasa penasaran Lita. Tanpa sengaja dia sudah berdiri dan memasang telinganya lebih tajam. Mencari tahu apa yang saat ini ia dengar.
"Tolooongggg!"
Teriakan itu semakin panjang terdengar, bahkan suara dentuman keras terdengar mengiringi setelahnya. Lita bergegas mencari arah suara. Siapapun itu, dia yakin seseorang sedang mengalami kesulitan.
Hingga jeritan tadi menuntunnya ke sebuah gang kecil yang tak jauh darinya. Seorang pria tergeletak berlumuran darah. Seorang perempuan lainnya menangis di sisinya. Tak jauh dari mereka tiga orang pria bertopeng sedang mengacungkan senjata mereka ke arahnya yang baru tiba.
"Ada apa ini?" tanya Lita ragu memandangi kejadian di depan matanya kini.
"Tolong, suamiku ...," isak sang wanita yang terus mengusap tubuh pria yang kini bahkan tak sadarkan diri.
"Hei, berani juga kau datang kemari wanita cantik?" leceh seorang pria yang tak jauh dari Lita berdiri.
"Itu akibat karena berani berteriak tadi," pria yang mengacungkan senjata tertawa senang karena perbuatannya.
"Psikopat!" upat Lita tak senang.
"Kau! Beraninya berkata seperti itu! Cari mati?!"
Lita tak merasa takut dengan ancaman pria yang telah menodongkan senjata api berlaras pendek di depannya. Raungan wanita yang meratapi suaminya terdengar jelas.
"Diam kau! Atau kubuat seperti suamimu. Cepat serahkan semua barang berharganya sekarang!" gertakan pria lainnya yang berusaha mengambil tas hitam yang tergeletak di dekat pria yang sedang sekarat.
"Jangan! Aku mohon! Jangan ambil tas itu. Ada hak orang lain di dalamnya," teriakan wanita tadi mencoba kembali merampas tas, tetapi tenaganya tak cukup kuat melawan kekuaan pria bertopeng yang menendangnya tanpa ampun.
"Berhenti!!" teriakan Lita yang kesal membuat tiga pria bertopeng itu menghadap kepadanya.
"Kalian bertiga tak punya hati! Keras seperti batu!" teriakan kemarahan Lita membuat tangannya bereaksi kembali, panas menyerang telapak tangannya. Lita menggenggam tangannya sekuat ia bisa. Walau ia meringis sakit jika tak tertahankan.
Tanpa Lita lihat ketiga pria bertopeng itu telah mengeras bagai batu. Kutukannya kembali. Warna hitam di telapak tangannya pun kembali membesar. "Sial! Seharusnya aku bisa lebih menahan diri," upatnya melihat lingkaran hitam.
Lita tersadar saat teriakan histeris dari wanita yang ditolongnya. "Mereka semua, membatu."
"Tak usah pedulikan mereka, kita harus menyelamatkan suamimu," ujar Lita yang melihat darah terus mengalir dari perut pria tersebut. Lita memeriksa keadaannya yang ternyata masih bernapas meski sangat lemah.
"Telepon rumah sakit!" perintahnya kemudian.
Wanita itu berlari ke arah tas dan mulai mencari ponsel yang ada di dalamnya. Lita memperhatikan darah yang terus mengalir dan mencoba memikirkan sesuatu. "Aku harus mencobanya."
Lita mengarahkan tangan kirinya ke arah yang terluka dengan sedikit gemetar. "Jika memang ini baik, lakukanlah. Hentikan pendarahannya dan sembuhkan lukanya."
Sinar itu kembali datang. Namun lebih terang dari biasanya seolah membungkus tubuh yang terluka. Perlahan meredup, dan menghilang.
"Apa yang kau lakukan?" tanya wanita tadi tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Lita hanya diam tak menanggapi. Denyutan panas masih terasa di tangannya. Apapun itu, Lita sendiri ingin melihat hasilnya.
"Mas Rifky." Teriakan wanita yang berlari mendekati Lita saat ia menyadari pria yang terluka itu mulai membuka matanya perlahan dan sadar.
Berhasil, batin Lita tak percaya melihat semuanya. Lita terkagum tak menyangka dengan yang terjadi. Kekuatan ini terbukti sudah, lebih hebat dari apa yang dipikirkannya selama ini. Saat dua orang yang ia selamatkan sedang berbicara, Lita bergegas segera pergi meninggalkan tempat itu. Ia tak ingin perbuatannya kali ini menjadi masalah nantinya. Tapi konsekuensi dari itu semua harus ia terima. Rasa panas terbakar masih terasa pekat dari telapak tangannya.
Lita melihat warna hitam yang semakin melebar di tangannya, bahkan terasa sangat kaku. Bahkan jika itu kebaikan tetap saja efeknya menyakitkan, batinnya melihat itu semua.
"Karena kekuatan itu bukan milikmu." Suara Wija membuyarkan lamunan Lita.
"Kau!" ujar Lita tak percaya melihat Wija yang sudah kembali di dekatnya.
"Ceroboh! Baru kutinggalkan beberapa jam kau sudah membuat banyak kekacauan."
"Bukan urusanmu. Apa kau sudah mendapat apa yang dicari?" ujar Lita kesal.
Wija hanya diam dan tak ingin menaggapi. Membuat kesal Lita yang menunggu jawabannya. "Aku pergi," ujar Wija singkat kemudian kembali menghilang.
Lita yang melihat kepergian Wija menjadi makin kesal, apalagi dia belum mendapat jawaban atas pertanyaannya, "Dasar Jailangkung!" gerutunya dan juga berlalu.
***
Dua hari berlalu setelah kejadian terakhir. Lita cukup penasaran kenapa tak ada berita kehebohan yang terjadi tentang malam itu. Semua tenang. Padahal ia cukup yakin, apa yang terjadi kemarin dapat menghebohkan jagad raya ini. Apalagi wanita itu melihat semua kejadian, termasuk tiga orang yang berubah mengeras layaknya batu karena kutukannya. Remote televisi yang dari tadi ia mainkan kini dilemparkannya ke atas meja.
"Aneh, seolah tak pernah terjadi sesuatu," gumammnya penasaran. "Tapi ini lebih baik. Berarti aku bisa keluar dengan tenang sore nanti."
Tok tok tookk
Suara ketukan pintu mengalihkan perhatiannya, "Siapa?" tanya Lita yang mulai berjalan mendekati pintu utama. Saat ia membuka pintu, Lita hanya mendengus kesal saat yang ia lihat adalah Ken, "Oh, Kau! Kenapa kemari?"
"Kita harus bicara," jawab Ken yang langsung menerobos masuk ke rumah.
"Hei, berhenti! Aku rasa tak ada yang akan kita bicarakan lagi," teriak Lita kesal berusaha mengusir Ken.
"Ini tentang perbuatanmu."
Ucapan Ken sontak membuat Lita terdiam, dengan terbata-bata ia pun bertanya, "Per-buatan a-pa?"
"Jika kau punya kekuatan sedahsyat itu, bukan berarti kau bisa dengan seenaknya menggunakan semuanya!" amarah Ken membuat intonasi suaranya meninggi dan mampu membuat Lita terdiam.
"Darimana kau tahu? Ah ...," pertanyaan itu tercekat saat ia kembali menyadari tak terjadi apapun setelah kejadian terakhir. "Apa ayah tahu?"
Ken membuang napas beratnya. Ia menatap Lita lekat. "Karena itulah aku kemari."
Itu menjelaskan semuanya. Kenapa semua bersikap tenang dan seolah tak pernah terjadi sesuatu. Brata Kusuma, dalang di balik ini semua. "Seperti biasa," gumam Lita tak suka.
"Sejak kapan?"
Sebuah pertanyaan yang tak mampu Lita jawab pasti. Yang ia tahu, kekuatan ini ada sejak kucing hitam itu memberikan sesuatu yang ia anggap susuk di tangannya. Lita pun menceritakan semuanya, tiap detail kejadian yang ia alami, dan juga konsekuensi yang ia dapatkan karena menggunakannya.
"Kau gila!" upat Ken kesal menatap telapak tangan Lita yang mulai hampir menghitam keseluruhan. "Jika kau tau apa yang kau dapatkan, kenapa tak dibuang saja!"
Lita hanya menggeleng menjawab pernyataan itu, "Aku tak bisa membatalkan kekuatan ini. Bahkan pria aneh itupun tak bisa mengeluarkannya."
"Di mana pria itu?"
"Entahlah. Dia belum datang kembali kemari."
"Sebaiknya kita menemui Pak Brata sekarang, dia pasti tahu apa yang akan dilakukan saat ini," usul Ken yang mengetahui jika Brata Kusuma sudah mencari tahu apa yang terjadi terhadap putrinya.
"Tak sudi aku meminta bantuannya!" jawab Lita tak suka.
"Dan kau punya ide lain?!"
Lita kembali mendengus kesal. Meski itu satu-satunya pilihan ia tak akan pernah meminta bantuan ayahnya. "Aku lebih memilih mati daripada datang menemuinya," ujar Lita ketus meninggalkan Ken.
Ken yang memahami kebencian Lita hanya bisa pasrah, "Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang?"
"Entahlah. Mungkin, menikmati semuanya," jawab Lita sambil menyeduh teh beraroma melati yang sudah dingin.
***
Wija berdiri di salah satu dahan pohon akasia yang tumbuh dengan rimbun. Melihat Lita dari kejauhan. Dia tak bisa mendekat saat ini, karena kehadiran Ken di sana. Namun matanya melihat kedatangan seorang wanita muda lainnya. Yang terdiam memandangi mobil putih yang terparkir di halaman rumah Lita.
"Wanita itu lagi," gumam Wija yang melihat kepergiannya dan terlihat kesal. "Aku penasaran siapa sebenarnya dia, sebaiknya aku ikuti."
Dengan sekejab Wija terbang menyusul mobil dan duduk di bangku penumpang, ia memakai Siwar Trisula miliknya agar tak terlihat orang lain. Lama Wija memandangi paras ayu wanita tersebut dari pantulan kaca spion. Bukan untuk mengagumi kecantikannya, melainkan Wija merasa wajah wanita ini tak asing diingatannya.
"Lita, Lita, dan selalu Lita!" teriaknya kesal. "Kenapa Biang Masalah itu selalu dapat tempat di hati orang banyak, entah ayah, ibu, juga Ken."
Hingga suara dering ponsel mengalihkan amarahnya. "Selamat malam Nona Nilan, saya telah mendapatkan informasi tentang kejadian yang ditutupi Bapak Brata Kusuma dua hari yang lalu," ujar suara pria berintonasi berat dari seberang ponselnya.
"Ceritakan." Setelah itu wanita yang ternyata Nilan saudara Lita mendengarkan semua cerita yang sudah ditutupi oleh banyak pihak atas perintah Brata Kusuma. Nilan terlihat mengkerutkan dahinya tak percaya.
"Apa kau yakin dengan ini semua?" ucapnya meminta pejelasan pasti.
"Iya Nona, saya yakin. Perampok yang dulu anda perintahkan juga mengalami kejadian yang sama. Salah satu dari mereka berubah menjadi patung batu, setelah Nona Lita mengucapkan sesuatu," jelas sang penelpon kembali menyakinkan Nilan.
"Baiklah. Aku ingin membuktikannya sendiri. Perintahkan orang-orang untuk menculik Lita sekarang secara paksa! Dan segera bawa ke tempat biasa," perintah Nilan yang ditanggapi dengan jawaban dari seberang ponselnya.
Wija yang mendengarkan itu semua segera menggeleng tak percaya. Ia pun memerintahkan Siwar Trisulanya untuk segera membuat dirinya berteleportasi ke tempat Lita. Tak ada waktu lagi. Sepertinya sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Ia harus segera bergegas.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro