Chap 5 : Pria Aneh
Para pencuri bersenjata itu merasa tak suka melihat Lita yang tidak takut, bahkan berbalik mengancam mereka. Mereka dengan tatapan beringas mulai mendekati dan mengancam Lita. Bahkan seseorang sudah mulai hendak menyentuh rambutnya, sambil berucap melecehkan, "Perempuan kurang ajar! Beraninya kau mengancam kami! Cih, walau di sini tidak ada barang berharga tapi kau bisa menyerahkan tubuhmu yang molek itu, iya 'kan, Bro?" ujar pria yang bertato. Kedua pria itu kembali tertawa.
Lita yang mulai kesal kembali berdiri dan mengacungkan telunjuknya ke arah pencuri itu, "Kalian berdua jangan sampai membuatku marah, enyah atau kalian mati!" ancam Lita kembali.
"Wanita ini! Mulutnya harus di sempal timah panas baru bisa diam."
Pencuri yang terlihat sangat marah mengarahkan senjatanya ke arah wajah Lita dan siap menembakkan kepalanya. Namun Lita sama sekali tak bergeming. Ia menatap marah pria tersebut dan mulai berucap tak terkendali lagi, "Kau, apa tak punya telinga seperti batu!"
Lita kembali menahan panas telapak tangan kirinya yang entah kenapa semakin terasa menusuk dari yang terakhir kalinya, dan seperti yang lalu, ia melihat pria yang mengancamnya perlahan berubah mengeras dan menjadi patung batu. Lita tersenyum sinis melihat semuanya. Satu lagi Pencuri yang tersisa berlari ketakutan saat melihat rekannya membatu. Lita yang melihat kepergiannya hanya berteriak, "Berlarilah yang jauh! Jika tidak aku akan membuatmu men--," belum sempat ia melanjutkan ucapannya, mulutnya sudah dihentikan Wija yang telah berdiri di sampingnya.
Wija menatap Lita tak percaya. Kemarahannya lah yang membuat pecahan kristal itu bekerja. Ia membuang napas perlahan, masalah ini cukup rumit. Ditambah Lita ternyata bukanlah gadis yang sabar. Sepertinya mengeluarkan pecahan kristal ini tak segampang yang ia perkirakan.
"Apa yang kau lakukan!" teriak Lita kesal sambil mengeluarkan buah jeruk yang menyumpal mulutnya.
"Apa kau tak bisa menjaga ucapanmu."
"Mereka yang salah! Kenapa mencuri di rumahku, cari mati!" ujar Lita membela diri. "Lagipula kenapa kau ada di sini!!"
"Kau bisa mengusir mereka tapi tidak harus menjadikan mereka batu. Yang rugi dirimu sendiri," jawab Wija santai.
"Aku tak butuh pendapatmu. Sekarang pergi dari rumahku."
"Lihat telapak tanganmu."
Lita yang merasa bingung dengan ucapan Wija mulai melihat telapak tangannya. "Menghitam. Seingatku kemarin tidak seperti ini," gumamnya pelan.
"Lingkaran hitam itu akan terus membesar jika kau tetap tak bisa menjaga ucapanmu," ujar Wija sambil duduk di bangku menghadap keluar memperhatikan sesuatu.
"Maksudnya?"
"Setiap kali kau menggunakan kekuatan kristal itu secara berlebihan, maka tempat di mana kristal itu tertanam akan menghitam dan mengeras."
"Mengeras? Artinya kutukan yang kuberikan pada orang lain akan balik menyerang tubuhku dengan perlahan?" tanya Lita ragu.
"Ya. Seperti itulah. Makanya kembalikan kristal itu padaku."
"Kucing itu bahkan tak bilang apa-apa padaku. Tunggu dulu! Maksudmu kristal itu susuk yang yang diberikan kucing itu padaku?" tanyanya tak percaya.
"Ya."
"Ya sudah. Ambil ini," ujar Lita yang menyodorkan tangannya di hadapan Wija.
Wija hanya diam dan menatap tangan Lita. Lalu sedetik kemudian membuang pandangannya ke tempat lain. "Sayangnya untuk mengambilnya, tak semudah menanamkannya."
"Kenapa?! Kau bilang mau mengambilnya, kenapa sekarang bilang tak bisa?" tanya Lita dengan kesal.
"Itu kesalahanmu sendiri, menerima sesuatu tanpa tahu akibatnya."
Lita yang mendengar itu menjadi terdiam. Alasan dia menerima kekuatan ini memang dengan didasari dendam. Mungkin ini memang karma yang harus dia jalani. "Lalu apa yang harus aku lakukan?" tanyanya pelan.
Wija menatap sayu Lita. Dia mengerti ini semua kesalahan wanita ini sendiri. Dendam membutakan hatinya sesaat. Tapi semua yang terjadi tak dapat diubah seperti membalikkan telapak tangan, "Satu-satunya jalan kau harus menjalani ini semua. Sampai kristal itu lepas sendiri dari dirimu. Kau harus menjalani kehidupanmu ini seperti Serunting."
"Serunting? Ah, iya, aku memang meminta kekuatan seperti Serunting," ujar Lita pasrah. "Lalu bagaimana cara Serunting lepas dari kekuatannya?"
"Kematian."
"Itu artinya aku akan memiliki kekuatan ini sampai aku mati?" tanya Lita butuh penjelasan. Yang hanya dijawab anggukan pelan dari Wija.
"Tinggal pilhannya kau mati, kristal itu lepas, atau kau menjadi batu karena tak bisa menjaga ucapan dan kebiasaanmu itu," ujar Wija memperjelas semuanya.
"Aku tak akan memakai kekuatan ini jika tak ada yang menggangguku."
Wija hanya acuh tak mendengarkan ucapan Lita. Melihat kejadian tadi membuat Wija yakin wanita ini tak akan semudah itu dapat mengendalikan kekuatannya. Jika dia masih tak dapat mengendalikannya seperti tadi, pilihan kedua benar-benar akan terjadi di hidupnya.
"Hei, aku sepetinya melihat sesuatu, apa itu tadi mobilnya Nilan," ucap Lita yang melihat ke arah jalanan di bawah. "Tunggu dulu, apa aku bisa melihat sejauh itu," gumamnya tak percaya.
Lita melihat ke arah Wija, ternyata pria itu sudah berbaring di sofa dan memejamkan matanya. Lita hanya mendengus kesal, "Pria ini, bisa-bisanya dia tertidur sembarangan tanpa izin terlebih dahulu. Bahkan aku tak tahu namanya." Meski terasa kesal tapi Lita tak berniat membangunkan Wija. Karena dia sendiri sudah sangat lelah. Lita berjalan ke arah kamarnya, melewati patung batu pencuri tadi, Mungkin gak mereka yang jadi batu ini kembali bangun nantinya? Batinnya kemudian.
***
Mentari pagi menyelinap dari jendela kamar Lita yang terbuka sedikit gordengnya. Alarm jam telah mulai berbunyi dari sepuluh menit yang lalu. Namun, Lita masih terdiam di tempat tidurnya, enggan untuk beranjak bangun. Lingkaran hitam yang mengelilingi matanya pagi ini menandakan, wanita ini sama sekali tak bisa memejamkan matanya malam tadi. Ia memandang lekat telapak tangannya yang menghitam.
"Coba aku tak meminta kekuatan Serunting, mungkin semuanya tidak menjadi seperti ini. Kasihan Arya, tapi ini juga salahnya dia sendiri, seenaknya mengatakan hal yang menyakitkan," gumamnya meratapi semua yang terjadi.
"Aaaaahhhh ... Bodo' amat lah! Yang penting jangan selalu mengutuk orang 'kan, biar gak bernasib sama seperti mereka," teriaknya kesal.
Lita duduk di ranjangnya dan mulai mengacak rambutnya kesal. Semoga hari sialku sudah berlalu pergi, batinnya menyemangati diri. Lita kemudian turun dari ranjangnya dan mematikan alarm yang masih terus berdering. Lalu beranjak keluar dan memastikan pria aneh semalam masih di rumahnya tidak.
Saat ia keluar dari kamar, rumahnya yang semalam masih sangat berantakan sudah kembali menjadi rapi. Barang-barang yang berserakkan sudah tertata rapi di tempatnya. Rumahnya, tak pernah sebersih ini sebelumnya. Apa ini ulah Nilan? Tapi itu tak mungkin, pikirnya kemudian dan mulai memeriksa rumah. Satu-satunya yang masih terlihat sama hanyalah patung batu pencuri itu, yang hanya saja sudah bergeser di pojokkan ruangan. Matanya langsung tertuju di Sofa di ruang keluarga. Pria aneh itu tak ada, mungkinkah dia yang melakukan semua ini kemudian sekarang sudah pergi, batinnya kembali.
"Aku masih di sini," ujar Wija yang telah berdiri di dekatnya.
"Astaga! Mengagetkan saja!" teriak Lita yang terkejut dengan kemunculan Wija.
"Aku sudah tahu cara termudah mengeluarkan pecahan kristal itu dengan cepat," ujar Wija kemudian sambil memandangi tangan Lita.
"Bagaiman caranya?" tanya Lita antusias menatap Wija serius.
Wija memegang tangan kiri Lita dan menarik ke dekatnya, "Potong," ujarnya singkat mempraktekkan tangannya seolah sebuah pisau yang memotong pergelangan tangan Lita.
Lita yang terkejut menarik tangannya dan melipatkan ke belakang tubuhnya, "Hei! Solusi macam itu! Pergi kau dari rumahku!" teriaknya kesal dan mendorong tubuh Wija.
"Ya sudah kalau tak mau," ujar Wija santai dan langsung pergi menghilang.
"Benar-benar orang aneh! Seenaknya saja memberi solusi tak masuk akal seperti itu!" gerutu Lita yang segera masuk ke kamarnya untuk segera bersiap melanjutkan aktivitasnya hari ini. biar bagaimanapun dia harus mengambil barang-barangnya di kantor. Karena kantor itu sudah bukan haknya lagi.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro