Chap 1 : Kucing Hitam
Kertas-kertas yang berserakan di lantai. Genangan air di berbagai tempat. Begitu juga dengan benda-benda lainnya yang tersebar di segala penjuru ruangan. Membuat siapa saja sadar telah terjadi sesuatu di ruangan ini. Ya, sesuatu yang luar biasa hebat! Lita hanya bisa mendengus kesal, melihat semua yang kini ada di hadapannya. "Kenapa nasibku begitu jelek," gerutunya kesal.
Terlahir di keluarga yang bergelimang kekayaan dan kedudukan tinggi, tidak serta merta menjadikan dirinya seorang yang hidup berkecukupan dan memiliki harta. Buktinya sekarang dia harus bersiap dengan semua tumpukan pekerjaan yang menggunung. Bahkan semua yang sudah ia kerjakan berbulan-bulan ini harus terbuang sia-sia hanya karena hujan. Iya, hujan! Jendela yang terbuka membuat semua proyek yang dikerjakan harus terbuang sia-sia. Jika seperti ini, kekalahan sudah dipastikan ada di depan mata. Sial. Salahku membiarkan jendela terbuka semalaman, saat aku keluar berpesta dengan teman-temanku, hatinya mengumpat keteledoran.
Alarm handphone dari tiga puluh menit yang lalu terus berdering. Percuma saja. Itu hanya seperti suara genderang kematian di telinga. Mencari alasan terbaik pun tak dapat mengangkat diri dari jurang kekalahan. Dia kalah. Benar-benar kalah. Kali ini tak ada cara yang bisa memperbaiki semuanya tepat waktu. Seharusnya presentasi telah dijabarkan setengah jam yang lalu. Namun, dirinya masih duduk terdiam di sini menyesali semuanya.
"Lita, kau di dalam? Buka pintunya!" teriakan seseorang dari balik pintu rumah tak lagi dia pedulikan. Itu pasti saudarinya Nilan. Untuk apa dia datang kemari. Menertawakan kehancuran? Nasib buruk ini sepertinya akan terus berlanjut.
"Artalita Kusuma, aku tahu kamu di dalam, keluarlah! Kau ingat, aku masih punya kuasa atas rumah ini. Jadi meski kau tidak berniat membuka pintu ini, aku tetap bisa meminta security untuk membukannya," ancamnya kemudian.
Ancaman yang sukses membuat kaki Lita melangkah ke arah pintu. Saat Lita membuka pintu, Nilan pun menerobos masuk. Tatapannya tajam, kemarahan jelas dari ekspresi yang dia berikan. "Mau jadi apa kamu! Seharusnya dari sejam yang lalu kau ke kantor menyiapkan presentasi!" teriaknya kesal. Ia mendekatkan hidungnya di tubuh Lita, "Bau apa ini! Lalu apa yang terjadi dengan rumah ini! Kau benar-benar tak terselamatkan."
Akhirnya kalimat itu ia ucapan lagi. Tak terselamatkan. Kali ini Lita merasa benar-benar mati. ia hanya tersenyum sinis dan menjawab sekenanya, "Setidaknya aku terlahir bukan untuk jadi penjilat."
Plaakkkk
Sebuah tamparan telak menghantam pipi Lita. Sakit? Tidak. Rasa sakit fisik tak terlalu berpengaruh di hidupnya lagi. Lita hanya kembali tersenyum sinis menanggapi. "Kalau tak ada perlu lainnya, silahkan pergi. Kau tahu arah pintu keluar 'kan?" ujarnya berlalu meninggalkan Nilan kembali ke kamar.
"Lita! Berhenti. Teserah kau mau melakukan apa saja. Aku kemari karena diminta Ayah untuk memanggilmu. Datanglah siang nanti ke rumah, Ayah akan menyampaikan sesuatu." Tak lama setelah itu suara bantingan pintu terdengar cukup keras.
Akhirnya dia pergi juga, batin Lita kemudian. Entah kenapa dia selalu membenci kakaknya. Anak emas ayah, Brata Kusuma. Lita kembali melihat sampah-sampah itu. "Sepertinya aku harus menutup mati semua jendela ini, agar angin dan hujan tak lagi melanda bagai badai seperti malam tadi. Atau mungkin aku harus pindah ke pulau yang tak berpenghuni. Agar terlepas dari semua permasalahan yang ada". Lita mengeluh dan segera mengambil kunci mobil, dan pergi meninggalkan semua permasalahan yang ada saat ini.
***
"Anda datang lagi," sapa seorang pria muda memakai seragam pelayan saat Lita memasuki kafe kecil yang berhadapan Sungai Musi. Lita hanya tersenyum kecut berusaha menanggapi. Memandangi aliran sungai yang bergelombang selalu membuat lebih tenang. Ada sesuatu yang selalu menariknya ke tempat ini.
"Satu jus mangga untuk Nona yang sedang gundah," godanya sambil menyodorkan minuman di atas meja.
"Terima kasih," jawab Lita. Meski begitu dia masih tak mengidahkan minuman beraroma menggoda di hadapannya. Angan membawanya terbayang saat di usia masih menginjak delapan tahun. Masa terbahagia. Saat seorang ibu masih selalu hadir menemani hari-hari. Tidak seperti sekarang, hanya Nilan dan selalu Nilan yang selalu menjadi kebanggan Ayah. Jika kecerobahannya malam tadi tidak ada, dia pasti bisa memenangkan presantasi itu dan mengalahkan Nilan.
Suara Handphone kembali terdengar. Kali ini sebuah pesan masuk ia terima dari Pria Tua Licik. Dia pun membuka pesan dengan malas.
"Jangan lupa datang siang ini, jam satu. Ayah tunggu di ruang kerja. Jangan sampai tak datang."
"Cih, masih menganggap dirinya seorang ayah, setelah apa yang dilakukannya terhadap ibu," gumam Lita menghapus isi pesan yang memualkan itu.
"Ibu, ibu, kenapa Pangeran Serunting dinamakan Si Pahit Lidah? Apa lidahnya begitu pahit?"
Suara rengekan anak kecil mengalihkan pandangannya. Diam-diam Lita memperhatikan aktivitas ibu dan anak yang berada di meja sebrang. Anak kecil berusia lebih kurang lima tahun. Memakai seragam Taman Kanak. Terlihat asyik membaca buku bergambar di atas mejanya. Berceloteh mengganggu ibunya yang terlihat sedang menulis sesuatu.
"Ibu, ibu, ternyata bukan karena lidahnya pahit. Tapi dia jago kutuk orang. Apa-apa yang dia bilang bisa terwujud. Keren ya Bu."
Lita tersenyum kecut mendengar kepolosan anak seusianya. "Aku juga mau bisa seperti Serunting, membuat semua keinginan bisa terwujud. Jika saja aku mempunyai kekuatan seperti itu, aku pasti bisa dengan mudah menggapai mimpiku. Apalagi mengalahkan Anak Emas ayah, Nilan. Tapi itu tak akan terjadi," gumam Lita pelan
Mitos yang melegenda, hanya cerita bualan orang tua lama saja. Mana ada orang yang punya kesaktian begitu di dunia ini, pikirnya kemudian. "Hanya satu hukum yang berlaku di dunia ini, yang lemah dia yang tertindas!"
"Bagaimana jika hal seperti itu memang ada di dunia ini, apa yang akan kau lakukan?"
Siapa itu? Lita mencari ke sekelilingi asal suara tadi. Ilusi 'kah? Sepertinya ia merasa mendengar suara seseorang yang sedang berbicara.
"Aku di sini, di belakangmu."
Sontak Lita langsung menolehkan kepala mencari asal suara. Tapi yang ditemukan hanya seekor kucing hitam yang sedang tiduran di atas bangku belakang. "Ini menakutkan, ada suara tak ada penampakannya, siang hari! Apakah hantu sekarang tak kenal waktu? Mereka bisa muncul kapan saja dan di mana saja. Menyebalkan! Bahkan hantu pun sekarang sudah berani mengganggu waktu santai." Lita bergegas mengambil tas dan berdiri ingin pergi.
"Tunggu! Kau mau ke mana?!"
Kali ini suara itu berhasil membuatnya tak percaya. Seekor kucing dapat berbicara? Tidak mungkin! Dia memandangi kucing yang kini berdiri di atas kursi di sampingnya. Ini gila, batin Lita tak percaya.
"Ini tak gila. Aku memang bukan kucing sembarangan."
Lita hanya berusaha menahan luapan emosi dengan apa yang dialami saat ini. Kucing ini tidak hanya dapat berbicara, ia bahkan membaca pikiran. Atau mungkin aku memang harus memeriksakan diri ke dokter? Lita menolehkan kepalanya ke segala arah, memastikan semuanya aman, sebelum akhirnya dia mengangkat kucing ini dan membawanya pergi. Setidaknya jika ingin memastikan ini semua benar, Lita harus membawa kucing ini keluar. Jika tetap di sini, sudah dipastikan orang-orang akan beranggapan dia gila.
***
"Jelaskan sekarang, kamu siapa?" tanya Lita saat di dalam mobil di parkiran.
"Siapapun aku tak penting. Sekarang katakan, apa kau ingin menjadi seperti Serunting?" ucapnya menantang.
"Apa kau bisa membuatku seperti itu?"
"Tentu saja."
"Buktikan." Lita menunggu jawaban dari kucing hitam yang duduk di sebelahnya. Dia menatap Lita dengan tajam. Ekornya yang panjang ia mainkan. Tapi tak ada apapun yang terjadi setelahnya. "Ayo, buktikan!" ucap Lita kembali memperjelas keinginannya.
"Akan kuberikan. Tapi berjanjilah satu hal. Apapun yang terjadi nantinya, jangan pernah kau limpahkan kesalahan yang terjadi nantinya padaku. Karena aku hanya pemberi jalan."
"Ya. Apapun yang terjadi nantinya aku tidak akan menyeret dirimu. Semua resiko yang terjadi aku tanggung sendiri."
"Oke, baiklah. Ulurkan tanganmu."
Lita mengulurkan tangan ke wajahnya. Kucing inipun mengendus-endus telapak tangan. Sebelum akhirnya sebuah cahaya yang terang menyilaukan berada di telapak tangan. Cahaya itu semakin lama, semakin meredup. Hingga menyisakkan pecahan bening yang semakin lama seperti tertanam di telapak tangan. "Apa ini susuk?" tanyanya tak percaya.
Tak ada jawaban, hingga ia sadari kucing hitam yang bersamanya tadi telah menghilang. "Ke mana perginya kucing tadi?" tanyanya tak percaya. Lita mencarinya di dalam mobil. Tapi tak ada di manapun, kucing itu benar-benar menghilang.
Dering ponsel, mengalihkan pencarian sosok kucing tadi. Anak Emas. "Apa lagi yang diinginkan dia kali ini," gerutu Lita melihat nama yang tertulis di layar ponsel. Karena tak kunjung diangkat, akhir sebuah pesan singkatpun masuk.
"Kau di mana? Ayo datang, semua orang menunggumu."
Walau terasa berat, tapi Lita harus tetap datang menemui pria tua itu. Jika tidak dia akan terus diterror sampai pergi menghadapnya. Atau mungkin dia memerintahkan seseorang untuk menculik dan membawa Lita ke hadapannya. Dia bisa melakukan apa saja. Dan sebaiknya Lita harus menemuinya kali ini. Lita pun bergegas menghidupkan mesin mobil, dan segera pergi ke arah yang telah ditentukan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro