Chapter 05
Lanjut!!
***
Sudah sekitar sepuluh menit Raka pergi. Namun dia tak kunjung kembali, Fiona dan Aldo sudah merasakan suasana canggung selama Raka pergi. Sesekali mereka tersenyum ramah ketika beradu pandang.
Akhirnya. Dari jauh, terlihat Raka melambaikan tangan beberapa saat. Melihat itu, mereka terlihat lega. Entah kenapa, kedatangan Raka bagai melihat malaikat.
"Sudah berapa lama aku pergi?" tanya Raka Setelah tepat di depan mereka.
"Sudahlah itu tidak penting," balas Aldo.
"Kalian tidak duduk?" tanya Raka duduk duluan, "atau kalian sedang olahraga?"
Mereka duduk kompak. Raka tersenyum sendiri melihat hal itu. Apalagi wajah Aldo yang mulai memerah.
"Detektif Fiona, kau yakin bertemu dengan kami hanya untuk bersenang-senang? Ah. Pasti kasus Maya sudah selesai?" tanya Raka.
"Hmm," ucap Fiona dengan nafas berat, "sama sekali belum. Kasus ini cukup sulit karena tidak adanya CCTV yang mengawasi setiap kelas."
Aldo berbisik ke Raka, "Kenapa lu membahasnya sekarang? Bukankah hari ini dia ingin liburan?"
"Gue hanya mengira kalau kasusnya sudah selesai, itu aja." Raka membela diri.
"Ya sudah. Jangan dibahas lagi," ucap Aldo memperingati.
"Tak apa. Sudah nasib seorang Detektif untuk terus bekerja keras," ucap Fiona menyemangati dirinya.
"Baiklah, sekarang mari kita bah---"
Tiba-tiba terdengar teriakan siswi dari jauh. Tanpa pikir panjang, mereka berlari ke sumber suara.
Setiba di sana, terlihat seorang siswa laki-laki sedang memegang Pisau di leher seorang siswi di pojok bangunan. Tak ada jalan kabur, karena sudah dikelilingi oleh siswa yang menghadang.
"Pergi! Menjauh! Atau tidak, dia akan mati!" ucapnya mengancam.
Fiona dan Aldo segera maju ke barisan paling depan. Sedangkan Raka hanya diam di belakang, dia sempat berpikir untuk langsung menyerang orang itu. Namun dia terpikirkan David, jika dia gegabah, tentu saja David akan langsung tau kalau Raka adalah seorang pembunuh juga.
"Kau. Kau akan dihukum berat jika melukai temanmu sedikit saja!" ancam Fiona.
Namun, dia hanya tersenyum sinis, "Hukuman? Menjalani hidup saja sudah hukuman yang cukup berat! Apa? Apa, ha? Masuk penjara? Kehidupanku lebih berat dari penjara, tau! Keparat!" Makinya.
"Siapa nama anak itu?" tanya Fiona kepada Aldo.
"Genta Pratama Abyan," jawab Aldo.
"Terimakasih," kata Fiona lalu menghadap ke Genta, "Genta, aku tau hidupmu mungkin tak selancar yang yang kau inginkan, tak semulus yang kau khayalkan, tapi, percayalah. Suatu saat nanti, kau akan merasakan segala impianmu dengan kerja keras."
"Bullshit!" balas Genta cepat, "lu cuma bisa ngomong doang, lu cuma bisa memotivasi doang, lu gak tau gimana rasanya dicampakkan setelah kita berusaha sekuat tenaga untuk mencapai impianku. Kau tak pernah tau, keparat! Kau tak pernah tau!"
"Nah, bagaimana caramu mengatasinya, Fiona?" kata Raka dalam batin. Entah kenapa, secara mendadak, Raka malah berpikir bahwa Fiona bisa mengatasi hal ini.
"Kau ... kau harus merasakan sakitnya kegagalan agar bisa merasakan nikmatnya kesuksesan. Kau harus belajar bagaimana rasanya jatuh, kau harus mengenal apa itu bangkit! Bagaimana bisa kau sukses tanpa merasakan kegagalan?"
"Bodoh amat!" jawab Genta kasar. Nada bicaranya semakin lama, semakin naik saja.
"Kau," ucap David yang entah kapan sudah ada di kerumunan itu, "masalah kecilmu itu hanya seperti semut bagi kami, seorang Detektif. Yang kau perlukan hanyalah seorang teman, entah sampai kapan kau akan membodohi dirimu dengan kalimat 'aku tak butuh orang lain'. Carilah seorang teman, setelah kau bebas dari rehabilitasi." Genta seperti tersadar, dan dia menjatuhkan pisau tajam.
Fiona tentunya terkejut dengan kehadiran David, belum lagi ucapannya yang berhasil membuat pelaku tersadar. Fiona tersenyum senang melihat David.
"Fiona, tangkap dia. Aku tak bisa mengambil dua tugas sekaligus. Menjelaskan dua kasus diwaktu yang bersamaan itu sungguh melelahkan," ucap David berlalu pergi dari kerumunan.
"Sejak kapan kau ...." Tanpa basa-basi Fiona memasang borgol di pergelangan tangan Genta.
"Anda ditangkap atas kasus Percobaan pembunuhan. Anda mempunyai hak untuk diam. Silahkan hubungi pengacara Anda, untuk meminta pembelaan." Kini, dua borgol terkunci terpasang di tangan Genta.
***
Dua jam setelah kejadian, seperti biasa, parah murid membicarakan hal mengerikan tadi.
"Dasar si Genta, udah gila kali ya tuh anak."
"Tau, untung aja si Nay gak kenapa-kenapa," balas yang lainnya.
Sedangkan si Nay, korban kejahatan Genta, kini hanya melamun ketakutan di ruangan UKS, masih terbayang dengan kejahatan Genta. Guru piket sudah menanyakan apa Nay mau pulang saja, atau minta ditelpon kan orang tuanya. Namun Nay hanya melamun saja.
Nay Kanaya. Dia Putri tunggal dari orangtuanya. Tak heran jika dia memiliki segala hal yang dia inginkan. Semuanya tercukupi, terkecuali cinta. Nay memiliki rambut hitam panjang yang terurai, dilengkapi dengan bando indah silver berkilauan berbentuk love. Mata hitam pekat, dan bibir tipis berwarna merah muda.
Tak lama setelah itu, tiba-tiba orang tuanya mendatangi Nay disekolah. Pintu terbuka cepat, dan ibunya langsung pergi ketempat Nay.
"Kau baik-baik saja?" tanya Ibunya sambil memeluk hangat Nay. Dan Nay membalas pelukan itu.
"Tidak apa-apa. Sudah ada Detektif disekolah ini," ucap Nay mencoba tenang.
"Ayah. Lebih baik kita pindahkan putri kita ke sekolah lain, sekolah ini sudah tidak beres," paksa Ibunya.
"Tapi sayang---" Dengan cepat ibu Nay membantah ucapan Ayahnya. "Tidak ada tapi-tapi an. Cepat, urus formulir pindah."
"Ibu," ucap Nay mendongak ke ibunya, "bersabarlah dua semester lagi, Ibu. Aku sudah kelas tiga, kuharap ibu mengerti, karena hanya di sekolah ini, aku bisa masuk university favoritku." Nay berusaha meyakinkan Ibunya.
"Kau yakin, sayang?" Nay Mengangguk, "baiklah, ibu percaya padamu. Ibu akan bersabar satu tahun lagi. Jaga dirimu baik-baik, atau ibu akan mengirim banyak pengawal untuk menjagamu."
"Tak apa, ibu" ucap Nay melepas pelukan, "sudah ada Raka di sini, aku yakin selama dia ada disini, aku akan baik-baik saja."
"Raka? Kau sudah memiliki pacar, sayang?" tanya Ibunya. Seketika pipi Nay memerah malu.
"Aku akan mengusahakannya," gumam Nay malu-malu.
"Baiklah, Ibu selalu mendukungmu. Lakukan apa yang mau kau lakukan. Ibu akan tetap dipihak mu."
"Kami pergi dulu, dah," tambah Ayahnya menutup pintu.
"Raka," ucap Nay didalam batinnya. Dia senyum-senyum sendiri ketika mengingat Raka.
Tak lama berselang, dengan cepat Raka membuka pintu. Ia terlihat terengah-engah, nafasnya tidak teratur, sangat jelas kalau dia habis berlarian kencang untuk kesini.
"Kau ... Baik-baik saja?" tanya Raka dengan nafas yang masih terengah-engah.
"Iya, aku tidak apa-apa. Tenanglah Raka," jawab Nay khawatir. Dia bangun dan berjalan ke dekat Raka.
"Syukurlah," ucap Raka lega, "lalu, bagaimana bisa Genta berbuat itu kepadamu?"
"Jangan marah kepada Genta, dia hanya korban." Raka seakan tak percaya ucapan Nay. Bagaimana dia bisa bersimpati kepada orang yang hampir melukainya.
"Jelaskan," balas Raka. Seperti sudah mengetahuinya, Nay mengambil nafas dalam-dalam.
"Raka ... aku tau kau marah, tapi jika memang kau mau membalasnya, kumohon, jangan dengan cara menyakitinya. Buatlah dia sadar kalau orang-orang disekitarnya masih membutuhkan dia." Jujur, Raka tak mengerti sama sekali dengan ucapan Nay barusan.
"Aku tak akan menentang keinginanmu. Baiklah, akan ku usahakan." Nay tersenyum senang mendengar hal itu.
"Kalau begitu, pulang sekolah nanti ijinkan aku mengantarmu pulang, dan beristirahatlah," ucap Raka. Nay mengangguk setuju. Raka menutup pintu kembali, dan Nay kembali beristirahat di tempat tidur.
***
Fiona baru saja kembali dari kantor polisi, dia tak menyangka jika rencananya pagi ini akan rusak separah ini, padahal, dia sudah menyiapkan beberapa pertanyaan untuk mengumpan Raka.
"Dasar, anak sialan, dia tidak tau kalau aku sudah bersusah payah untuk memikirkan pertanyaan yang akan ku gunakan hari ini?" ucap Fiona setelah turun dari mobil diikuti rekan-rekannya.
"Bersabarlah," ucap rekan-rekannya sambil turun dari mobil satu per satu.
Tak lama kemudian, David dan Tita mendatangi Fiona.
"Tidak perlu dijelaskan lagi, Detektif Fiona, dan juga, waktu kita sudah tidak banyak." David menarik tangan Fiona, memaksanya ikut dibelakangnya. Melihat hal itu, tentu saja Tita cemburu. Pasalnya, dia adalah orang yang paling senang saat mereka putus.
"Cih ... selalu saja, Fiona, aku tak mengerti lagi apa isi hatimu itu, David."
"Lepaskan, David," paksa Fiona. Dia sedang berusaha melepaskan genggaman tangan David di pergelangannya. Namun David sama sekali tak merespon ucapan dari Fiona, dia terus saja berjalan menuju taman sekolah.
Setelah tiba di sana, David melepaskan tangan Fiona dengan lembut, "Maaf," ucapnya.
"Apa ada denganmu?" tanya Fiona heran.
"Waktuku sudah tidak banyak."
"Waktu apa? Kau memiliki penyakit?"
"Serius lah. Aku akan dipindahkan mulai lusa, dan aku ingin kasus kali ini cepat selesai."
"Lalu apa masalahnya?"
"Kau."
"Aku?" tanya Fiona tak mengerti. "Apa yang salah denganku?"
David berpikir sebentar, dia lupa kalau Fiona belum mengetahui apa-apa tentang racun itu. "Lupakan. Aku ... sudah tau pelakunya." Fiona benar-benar terkejut.
"Siapa?" tanyanya langsung.
"Candra. Siswa kelas dua belas IPA I."
"David, begini caramu menangkap seseorang? Tanpa bukti yang kuat?"
"Aku akan memberikan buktinya kepadamu nanti. Sekarang katakan, dimana Candra?"
"Candra, ada di ruangan music sekolah."
"Bagus, sekarang, mari tangkap pelakunya!" Kemudian mereka bergegas ke ruangan tersebut.
★BERSAMBUNG★
Hay, maaf ya, rencananya mau ku buat se-sadis mungkin, tapi aku masih belajar gimana bikin alur sadisnya. Mungkin akan ku terapkan di 2-3 chapter ke depan.
Oke, see you next chapter!
|Falufi AS|
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro