0.4 Tugas Jaga Rumah
Terakhir kali aku menemani Emily mengantar pesanan ramuannya, ada orang yang jatuh pingsan dan ada yang pingsan berdiri. Bukan pengalaman baik bagi mereka dan Emily, tapi bagiku itu hiburan yang amat luar biasa. Kayaknya aku tertawa sampai lima menit waktu itu dan tidak berhenti mengungkitnya di perjalanan pulang.
"Karena itu, kali ini tugasmu adalah menjaga rumahku," ujar Emily sambil mengenakan tas selempangnya.
"Heee...." Walau mengerti, tak lupa aku mengeluh dengan wajah cemberut. Separuh tubuh astralku ada di lantai dua. Sekarang ini aku sedang mengintip ke bawah, menembus susunan papan kayu. "Memangnya sebelum aku gentayangan di sini, ada yang kamu suruh jaga rumah tiap kamu pergi?"
"Tidak."
"Terus kenapa?"
Emily mengembuskan napas pelan, kemudian menoleh padaku dengan senyum yang sedikit menjengkelkan. "Karena aku tidak akan bisa menyelamatkanmu dari para skeleton atau goblin dukun."
Seketika aku merinding. Dia ada benarnya juga. Aku masih hantu pemula di dunia ini. Tapi mana mau aku tinggal di rumah membosankan ini sendirian. Aku bisa mati lagi karena kelewat bosan.
"Oh, ya." Tampaknya Emily teringat akan sesuatu saat sedang mengikat tali sepatu botnya. Tanpa menengok ke belakang, dia berucap, "Aku baru ingat kalau hari ini akan ada seseorang yang datang. Kau boleh mengganggunya kalau bosan."
Seringai jahil langsung terbit di wajahku. Aku mulai terkikik-kikik, memikirkan keisengan macam apa saja yang bisa kulakukan nanti. Lalu, saat Emily membuka pintu dan hendak melangkah keluar, aku menyadari sesuatu.
"Hei, Pirang." Buru-buru aku mencegatnya di depan sana. Ini enaknya jadi hantu, bebas ke mana-mana.
Si gadis penyihir mengangkat sebelah alisnya. Dari penampilannya dia sudah siap untuk melakukan perjalanan panjang. Tas selempang, topi penyihir, dan kotak kayu berisi botol-botol ramuan yang telah disulap menjadi tas punggung. Penampilannya tak pernah gagal mengingatkanku bahwa aku sedang berada di dunia lain, bukan bumi yang kukenal.
Kesampingkan soal penampilannya. Aku geleng-geleng terus menunjuknya, "Ada yang aneh. Kamu selalu marah kalau aku bikin tamu di rumah atau orang-orang di desa kaget. Kenapa kali ini malah kasih saran buat usilin orang yang bakal datang?"
Emily menelengkan kepalanya, sok polos. Padahal senyum yang sedang dia pakai itu berkali-kali lipat lebih mengesalkan daripada yang tadi. "Sesekali usil tidak apa, bukan?" katanya lantas mengendikkan bahu sebelum berjalan menembusku. "Aku ini bukan orang membosankan seperti yang kau kira."
Aku berbalik, menatap punggungnya yang lama-lama makin jauh. Sampai tubuh fananya itu hilang di antara semak-semak dan pepohonan, aku tidak berhenti memasang ekspresi tak percaya. Demi apa pun, aku menolak percaya kalau dia hanya tidak ingin aku mati bosan di rumah atau berkeliaran di luar dan berakhir dilempar ke tanah orang mati oleh para monster.
Berapa kali pun aku mengatainya mencurigakan atau menyumpahi agar dia tersandung dan jatuh di atas kotoran hewan, hatiku tak kunjung puas. Mungkin karena tubuh astral ini tidak punya hati.
Apa aku masih punya organ dalam? Eh, itu tidak penting!
Siapa orang yang bakal berkunjung ke rumah Emily? Dan kenapa Emily tidak mengabari orang itu kalau dia harus mengantar pesanan ramuan hari ini? Nah, itu baru penting!
Meski amat sangat mencurigakan, kurasa menunggu di rumah lebih aman daripada pergi ke luar dengan risiko mati untuk kedua kalinya sebelum sempat menikmati keindahan dunia fantasi ini sepenuhnya. Jadilah aku menunggu di tempat favoritku: atap rumah Emily. Tepatnya di samping cerobong asap.
Akan lebih baik untuk mengamati dari atap lantai dua, sih. Tapi aku lebih suka rebahan di sini. Biasanya akan ada burung-burung mungil berwarna biru yang mampir, mencoba hingga di kepalaku tapi malah tembus. Lalu mereka akan berpindah ke tepian cerobong asap. Ciutan mereka merdu, aku suka.
Sepuluh menit....
Satu jam....
Tiga jam....
Baiklah, aku muak. Lama sekali aku menunggu dan tidak ada batang hidung manusia yang muncul. "Kayaknya aku lanjut belajar ramuan diam-diam saja."
Begitu ujung jari kaki astralku melakukan kontak dengan rumput di halaman, aku langsung dihantam oleh sesal yang begitu dalam. Lah, sejak kapan aku dramatis begini?
Ya, aku menyesal juga kesal. Karena ketika diriku menapak halaman, muncul segel persegi panjang yang melayang sejajar dengan dadaku, berbaris memutar membentuk lingkaran sempurna. Segel itu kayak kertas jimat, tapi transparan dan sedikit bercahaya biru.
"O-oh, j-jiwa yang malang!" seru seorang anak laki-laki yang muncul dari balik semak-semak. "Aka---akan ... aku...."
Dengan malas aku menanggapinya. "Kamu mau apa, hah?"
Wah, kedengaran ketus. Sengaja, sih.
Sementara anak laki-laki itu salah tingkah seperti orang bodoh, aku memanfaatkan waktu untuk mengamatinya. Dari postur tubuh, barangkali dia sepataran Emily, remaja umur enam belas tahun.
Lalu, pakaiannya. Anak laki-laki yang masih tergagap-gagap ini memakai kaus entah model yang bagaimana di balik jubah tanggungnya itu. Dia juga mengenakan sarung tangan yang tidak punya jari---untungnya dia masih punya. Kalau celana, modelnya longgar dan mungkin kurang bahan jadi cuma sampai setengah betis.
Oh, aku hampir lupa soal alas kaki. Dia cuma pakai sendal, tapi sendal laki-laki yang agak keren. Rambut hijaunya acak-acakan. Aku hampir mengira dia menempelkan semak belukar di kepalanya demi berkamuflase.
"K-kenapa hantu ini tidak bisa kubuat menyeberang?!" Anak itu mulai panik. Dia menoleh ke kanan, kiri, belakang, bahkan atas. Dikira bakal ada seseorang atau sesuatu yang tiba-tiba muncul untuk menolongnya.
Sambil mengamatinya barusan, aku sempat dengar kalau dia menyebut dirinya seorang exorcist. Calon exorcist terbaik, katanya. Aku hampir kelepasan tertawa. Berkat ocehannya, aku jadi dapat ide.
Berdeham, kusiapkan tenggorokan untuk berbicara ala stereotip hantu. Oh, jangan lupa memiringkan kepala dan menatapnya dengan tatapan paling kosong yang kubisa.
"Kau ... makhluk fana. Beraninya kau mengusir ketenanganku," ucapku perlahan dengan suara agak berat dan serak. Aku pun tertawa, masih mempertahankan pose dan tatapan. "Kau pikir mantra konyol ini bisa mengusirku dari dunia? Lucu sekali."
"J-jangan banyak o-omong! Aku sudah mengurungmu dengan mantra terkuatku! K-kau tidak akan bisa keluar dari sa---sana!" teriaknya sambil menunjuk-nunjukku. Tidak sopan.
Tawaku makin kencang---karena ini memang lucu. Mataku juga terbuka lebih lebar. Bisakah aku memanipulasi penampilan agar rongga mataku hanya diisi hitam pekat? Kalau bisa, itu akan seru.
Emily pernah mengajariku soal mantra para exorcist. Kalau cahayanya biru, berarti masih lemah. Dia bilang, kemungkinan besar aku bisa merusaknya dengan mudah karena tabungan energi jiwaku cukup banyak.
Berbekal rasa percaya diri yang ditanamkan Emily, aku menepis barisan mantra mirip kertas jimat di hadapanku. Seketika lapisan transparan yang mengurung tubuh astral ini pecah. Benar-benar pecah seperti kaca jendela yang dilempari batu.
"Nah, siapa tadi yang bilang aku nggak bakal bisa keluar?"
Bersambung....
Clou's note:
Tadinya aku pikir chapter ini bakal 600 atau 800 kata doang, ternyata tembus seribu juga.
Jantungan dikit dikejer deadline challenge. Aku masih harus ngetik enam chapter lagi ueeeeee (╥﹏╥)
Terus kok Jelly jadi kayak keren gitu ya /heh
27-09-2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro