Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

0.2 Halo, Dunia Fantasi!

Setelah ditabrak truk, semuanya jadi gelap. Tadinya aku pikir itu adalah jemputan spesial ke tanah orang mati. Ternyata bukan. Soalnya, mana mungkin di tempat seperti itu ada manusia hidup yang sibuk bekerja di kebun teh.

Bagaimana aku tahu kalau mereka masih hidup? Begini. Aku melayang mendekati mereka, berniat menyapa. Lalu seseorang tiba-tiba jadi pucat terus menunjuk-nunjuk ke arahku. "H-ha ... HANTU!" teriaknya histeris.

Semua orang langsung menoleh ke arahku dan respons mereka kurang lebih sama saja. Beberapa tersandung sampai terjerembap saat hendak lari. Ada satu pemuda yang wajahnya jatuh menimpa kotoran ... entah kotoran kucing atau anjing. Aku tertawa terbahak-bahak karenanya, membuat mereka kian histeris.

Tidak sampai sepuluh menit, tempat itu sudah kelihatan seperti desa hantu. Hanya ada aku yang melayang ke sana-sini. Beberapa kali kudapati ada yang mengintip dari sudut jendelanya.

Apa mereka semua orang indigo? Dari tadi sampai sekarang aku sama sekali tidak punya niat untuk menampakkan diri, jadi harusnya aku tak kasat mata bagi orang-orang biasa.

"Eh? Orang-orang desa ke mana?"

Aku menoleh ke ujung jalan yang menuntunmu keluar desa. Di sana berdiri seorang gadis dengan rambut pirang bergelombang yang panjangnya sampai ke pinggang. Membayangkan perawatan rambutnya saja aku sudah pusing.

Pakaiannya yang didominasi dengan warna merah dan sedikit warna cokelat kelihatan ... mahal? Bukan mahal yang mewah, tapi mahal yang seperti koleksi para cosplayer. Dia benar-benar kelihatan seperti karakter fiksi yang lolos dari dunia 2D.

Sebentar. Kayak karakter fiksi? Belasan orang yang bisa melihatku yang sudah jadi hantu ini? Jangan-jangan....

"Hei, kau," panggil si gadis, "hantu yang di sana!"

Refleks aku celingak-celinguk terus menunjuk diriku sendiri. "Aku?"

Dia berkacak pinggang. "Ya, memangnya ada hantu lain yang senang menakut-nakuti orang desa siang-siang begini?"

"Bisa jadi," jawabku sambil mengendikkan bahu.

Gadis itu menepuk kening terus geleng-geleng. Dia kemudian berbalik ke arahnya datang. "Saatnya memanggil pengusir setan."

Dikuasai rasa penasaran, aku bergegas menyusulnya. Tidak butuh waktu lama dan ... eh? Kenapa aku merasa sedikit lelah? Ah, pasti cuma perasaanku.

"Hei, kamu ini penyihir, ya?" tanyaku begitu tiba di sampingnya.

Alih-alih menjawab, dia justru balas bertanya, "Kau ini hantu yang kaya, ya? Dari tadi kulihat kau melayang terus, menghabiskan energi jiwamu."

"Hah? Energi jiwa?"

Bohong atau tidak, aku langsung berhenti melayang. Begitu kakiku yang telanjang menapak tanah, seketika bulu kudukku berdiri. Setahuku hantu tidak bisa begini!

Cukup lama aku melongo kayak orang bodoh karena terlewat syok. Si gadis pirang sudah jauh di depan. Setelah kurang lebih setengah tahun melayang ke sana kemari, aneh rasanya untuk berjalan, apalagi berlari. Beberapa kali aku tersandung dan nyaris jatuh tersungkur. Untungnya aku masih pandai menyeimbangkan tubuh atau bisa langsung melayang supaya tidak mencium tanah.

"Hei, Pirang, ini di mana?" Kalau masih hidup, napasku pasti sudah memburu sekarang.

Kudapati Pirang mengernyit saat menoleh ke arahku. Dia terdiam sebentar baru membalas, "Desa Tea Blossom. Kenapa kau mengikutiku?"

Kalimat terakhirnya itu daripada pertanyaan lebih kedengaran kayak peringatan supaya aku pergi. Biarlah, memangnya gadis remaja yang kelihatannya baru puber ini bisa berbuat apa pada hantu.

"Aku nggak tahu mesti ke mana, terus kamu kelihatannya nggak takut sama aku," jawabku, berusaha ramah supaya dia tidak terang-terangan mengusirku.

Tempat ini asing sekali. Orang-orangnya juga aneh. Masa ada satu desa yang penduduknya orang indigo semua. Terus kenapa Pirang pakai baju cosplay begini buat mampir ke desa teh? Setahuku, di bagian bumi mana pun tidak ada yang seperti ini. Ditambah, nama Tea Blossom untuk sebuah desa itu aneh. Seperti di dalam cerita fiksi saja, saat penulisnya bingung harus kasih nama apa.

"Kau serius mau ikut aku ke tempat pengusir setan? Mandiri sekali," katanya terus tertawa.

Aku pun bertanya, "Memangnya kamu seriusan mau ke tempat pengusir setan?"

Dia diam, barangkali terkaanku tepat sasaran. Memang kelihatan bohong dari air mukanya. Aku tersenyum penuh kemenangan.

"Ngomong-ngomong, ini di negara mana?" tanyaku lagi sambil melihat-lihat sekitar. Kelihatannya seperti di daerah pelosok di area pegunungan. Hijau yang menyegarkan sejauh mata memandang. Kalau ini bukan di luar negeri dan aku secara ajaib paham bahasa baru sejak ditabrak truk aneh, mungkin ini isekai alias dunia lain.

Baru mau menertawai pemikiran anehku, Pirang menjawab, "Negeri Folief di benua Terra."

"Hah?"

>v<

Aku dan Pirang duduk berhadapan di meja makan. Oh, cuma Pirang yang makan. Aku, kan, hantu. Mana bisa hantu makan. Walaupun makan malam Pirang kelihatan enak, aku tidak akan bisa mencicipinya.

Paha ayam dengan saus yang seperti kari, potongan-potongan kentang serta wortel, dan jangan lupakan nasi hangat. Siapa yang tidak akan tergiur coba? Hantu saja tergiur.

"Oi, apa yang kau lakukan di rumahku?" tanya Pirang dengan tatapan yang barangkali mampu membuat dahiku bolong. "Kau sudah setuju untuk pergi setelah aku menjelaskan yang kutahu soal tempat ini."

Karena tampak jelas dia sedang menahan diri untuk tidak melempar garpunya ke wajahku, aku pun bercerita dengan jujur dan sedikit serius. Siapa tahu garpu itu garpu sihir atau semacamnya yang bisa melukai tubuh astral ini.

Intinya, setelah pisah jalan dengan Pirang yang sampai sekarang belum memperkenalkan dirinya, aku pergi jalan-jalan. Ya, jalan kaki karena rupanya ada yang namanya energi jiwa. Energi itu tidak tak terbatas kayak di bumi, jadi aku harus hemat-hemat.

Awalnya aku pengin cari desa lain. Siapa tahu ada orang yang tidak takut hantu kayak Pirang, tapi kalau bisa yang baik dan ramah. Dengan tujuan itu aku mengikuti jalan setapak di padang rumput yang sepi. Karena keburu bosan, aku jadi belok arah dan masuk ke hutan.

Di hutan ada banyak hewan-hewan kecil kayak tupai, burung, sesekali tikus tanah. Aku juga melihat satu-dua babi hutan. Dua-duanya sempat mencoba menyerudukku tapi tembus. Mereka harus jadi hantu dulu baru bisa selevel denganku.

Sampai di situ masih aman damai. Lalu aku ketemu semacam kemah yang ada api unggunnya. Tahu-tahu sudah malam saja, pikirku waktu itu. Berharap ada manusia di sana, aku mendekat. Ternyata itu kemah goblin, makhluk-makhluk kerdil yang kulitnya hijau.

Aku sempat takut tapi langsung lega karena mereka tidak bisa melihatku. Jadilah aku mengintip ke dalam salah satu tenda dengan pola-pola aneh. Di dalamnya ada goblin yang sedikit besar dan memegang tongkat kayu alih-alih pentungan. Bajunya juga beda, mungkin si pemimpin.

Baru mau kujahili, tiba-tiba dia buka mata. Matanya merah dan jelas-jelas dia menatapku! Lalu, dengan suara berat yang agak serak, dia merapalkan sesuatu sambil memutar-mutar tongkatnya.

Perasaanku sudah tidak enak dari situ, tapi aku malah diam menonton karena kelihatannya lucu dan keren juga. Saat muncul makhluk-makhluk putih kecil bersayap, aku memekik karena gemas. "Lucu banget!"

Tahu sebutan "kecil-kecil cabe rawit"? Nah, makhluk-makhluk itu begitu. Mereka tiba-tiba jadi ganas. Matanya menyala merah; mulutnya terbuka menampirkan gigi-gigi runcing. Masih lucu kalau saja mereka tidak mengejar dan berusaha mencabik-cabik tubuh astralku sambil mengeluarkan suara melengking.

"Gendang telingaku kayaknya sempat pecah dan aku hampir mati buat yang ... ketiga atau kedua kali, ya?" Aku memikirkannya sejenak dan berakhir mengendikkan bahu. "Entahlah."

Sepanjang paruh akhir ceritaku, Pirang tampak menahan tawa. Sendok dan garpunya diletakkan di kedua sisi piring.

Aku bertopang pipi sebelah kanan dengan siku bertumpu pada meja. Di dunia ini aku bisa memilih mau melakukan kontak dengan benda-benda atau menembusnya. "Kalau mau ketawa ya ketawa aja," ucapku sedikit ketus.

Pirang benaran ketawa sampai keluar air mata. Tak sampai satu menit dia sudah berhenti kemudian bertanya, "Lalu?"

Dia masih ingin aku lanjut cerita rupanya. Aku refleks menghela napas dan mengembuskannya walau sebenarnya tidak perlu. "Habis itu, aku dikejar sampai keluar hutan, ke padang rumput yang ada jalan setapaknya. Baru makhluk-makhluk terkutuk itu hilang."

"Hmn, lalu bagaimana kau menemukan rumahku?" tanya Pirang. Dia kembali melanjutkan makan malamnya.

"Aku ingat arah kamu pergi tadi."

"Kau tertarik buat jadi asistenku?" tanya Pirang tiba-tiba.

Kaget. Aku terdiam sampai mengerjap-ngerjap kayak orang bodoh. Tak lama kemudian aku tertawa kecil. "Kamu baru aja merekrut hantu buat jadi pembantu?"

"A-sis-ten," dia meralat. Makan malamnya terjeda lagi. "Direkrut untuk jadi asisten penyihir itu jarang-jarang, tahu. Harusnya kau bersyukur."

Bocah ini lumayan arogan juga. Aku jadi sebal. Sebentar saja karena kemudian aku membelalakkan mata begitu menyadari sesuatu. Telunjuk kuarahnya padanya saat aku bertanya, "Kamu penyihir?"

Pirang tersenyum miring sambil melipat tangan di depan dada. "Benar. Sekarang ini kau sedang berhadapan dengan penyihir terkuat di Folief."

Bibirku membulat, ber-oh ria. "Pantes keliatan masih bocah, padahal auranya tua."

Hening sejenak.

Tiba-tiba Pirang berdiri sembari menggebrak meja. "Siapa yang kau bilang tua, hah!?"

"Kamu. Memangnya siapa lagi?"

Pada saat itulah aku mengetahui bahwa garpunya memang bisa mengenai jidat astralku. Setelah ini aku akan belajar cara membuat bagian tubuh tertentu bisa ditembus sementara yang lain tidak. Aku tidak mau mendadak jatuh dari kursi, menembus dudukannya, lantai, bahkan lapisan tanah dan batu sampai ke inti planet.

Bersambung....

Clou's corner:
Ini nulisnya ngebut karna challenge, jadi bilang ya kalau ada typo dsb

Makasih udah baca cerita random ini <3

25-09-2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro