5
"Kamu kenapa? Sakit? Kok mukamu pucet pucet." Dia memiringkan kepala. Tangannya terangkat, menyentuh dahiku. "Iya nih, agak panas. Kenapa nggak istirahat di rumah aja?" Keningnya sedikit berkerut.
Yah, sebenarnya aku tidak merasa begitu sakit. "Nggak apa-apa kok, Dil. Semalem Cuma nggak bisa tidur aja."
"Yaudah. Ke kelas, yuk. Nanti agak siangan kuambilin obat di UKS."
Kami berbalik, berjalan bersisian ke kelas. Murid-murid lain mulai berdatangan, tapi suasana masih cukup sepi.
Aku berharap Dilla yang menjadi teman sebangkuku, dan bukannya Sri. Dilla itu baik sekali. Kalem pula, sehingga bisa mengimbangiku yang gampang panik.
"Eh, Wilis! Apa kabar? Semalem berhasil, nggak, kencan sama setannya?"
Sialan. Sri, berdiri di ambang pintu kelas dengan wajah secerah matahari pagi. Ngapain sih, Sri datang sepagi ini?
"Hah? Kamu jadi nyari setan?" Tanya Dilla dengan ata berbinar.
Seketika kutarik harapanku sebelumnya. Iya, Dilla itu super baik dan super kalem, tapi dia juga super suka bergosip dengan Sri.
"Ceritain dong, Lis." Aku sudah pernah bilang kan, kalau aku benci Sri?
Dilla menatapku juga, berharap aku akan bercerita.
Aku masuk ke kelas mendahului mereka, bergumam, "Belum ngerjain PR dari Pak Panca."
"Tapi kan Pak Panca nggak pernah ngasih PR! Lagian sekarang nggak ada PKN!" Sri berseru.
Aku sudah belajar mengabaikan seruan Sri selama bertahun-tahun.
***
Aku barangkali bisa menghindar ketika istirahat. Namun, saat guru-guru rapat dan jam pelajaran kosong, aku tidak bisa ke mana-mana.
"Ayolah, Lis," Sri memohon, masih dengan senyum menyebalkan itu.
"Udah kubilang, aaku lagi males ngomong," balasku sambil melipat tangan di meja dan menjatuhkan kepala di atasnya.
"Lah, bilang aja kalau kamu lari. Kamu kabur kan, waktu ngelihat hantunya?"
Aku mengerucutkan bibir. Aku sudah memutuskan untuk diam. Namun, cewek gila ini hampir bisa memancingku.
"Emang kenapa, sih? Kamu sampai pipis di celana? Oh, atau kamu malah nggak ke sana sama sekali, jadi nggak bisa cerita apa-apa?"
Dahiku mengerut mendengarnya. Sambil mendengus, kepalaku terangkat. Aku memang tidak berminat cerita, tapi bukan berarti aku tidak punya sesuatu untuk diceritakan.
"Awas aja kalau sampe ada yang takut." Dan aku mulai bercerita, menambah-nambah efek dramatis agar mereka semua tegang dan takut.
Beberapa kali mereka kaget, bahkan sampai ada yang memekik saat aku sampai pada bagian bicara-dengan-hantu.
Oh iya. Aku lupa. Aku belum menceritakan padakalian kejadian setelah aku menjerit. Tentu saja masih ada lanjutannya.
***
Tahu apa yang kulihat saat itu? Setan. Setan betulan.
Badannya berpendar kehijauan. Sulur-sulur pendek melecut dari sekitar garis tubuhnya yang berbentuk manusia. Dan kepalanya ayam. Lengkap dengan jengger dan paruh dan bulunya. Itulah alasanku menjerit.
Namun, yang kurasakan selain takut hanyalah lemas. Kakiku seolah menancap ditanah, seberat seratus ton, tak bisa digerakkan. Tanganku gemetar tak keruan. Satu-satunya yang dapat kulakukan hanyalah menutup mata sambil berkomat-kamit tak jelas.
"Ampun, Setan. Ampun. Tolong jangan apa-apain saya, Mbah Setan. Apa aja, tolong jangan pake bentuk ayam. Saya di sini Cuma gara-gara si Sri yang nyuruh saya uji nyali. Ampun, Tan, saya nggak ada niat apa-apa."
Yah, begitulah. Aku meracau. Kata-kata yang keluar dari mulutku tidak relevan sama sekali.
"Iya, iya. Buka aja mata kamu. Sekarang udah nggak ada ayam."
Napasku tersentak. "Si-siapa yang barusan ngomong?" Kuberanikan diri mengintip sedikit. Hijau. Di depanku masih ada pendar hijau, terang sekali malahan.
"Duh, aku jadi ayam kamu takut. Aku jadi manusia juga takut. Terus aku harus jadi apa?"
Eh? Yang ngomong beneran si setan ijo?
"Emang di sini ada siapa lagi? Iyalah, aku yang ngomong!"
Anehnya, suara itu terdengar cukup ramah meskipun diliputi rasa kesal. Aku membuka mata perlahan, menyesuaikan diri dengan pendaran hijau itu. Sekarang kepalanya seperti manusia normal, bukan lagi kepala ayam. Laki-laki, barangkali seumuran denganku. Dia sebenarnya cukup rupawan, kalau kulitnya berwarna seperti biasa, tidak transparan, dan tidak berkobar dengan api hijau.
"Tadi kamu bilang apa? Kamu ngapain ke sini?" dia bertanya. Mulut hijaunya benar-benar bergerak ketika bicara, seolah dia benar-benar manusia ... dan hidup.
Jantungku masih berdebar-debar, tapi aku memaksakan seringaian kecil. Aku ketakutan setengah mati, tapi untungnya masih ada suara yang bisa keluar. "Ka-kamu setan? Beneran setan? Bisa ngomong?"
Dia mendengus. "Menurutmu?"
Desahan lega keluar dari mulutku. Sepertinya dia tidak berbahaya. "Boleh minta foto?" aku mengangkat ponsel. Senterku jatuh entah di mana, cahayanya mati.
Sepertinya aku terlalu cepat menyimpulkan. Harusnya aku tidak berharap akan semudah itu.
Karena setelah aku bertanya, mata si setan berkobar, seolah terbuat dari api hijau yang sedang panas-panasnya.
Dia mendekatiku. Aku mundur. Hawa dingin tak alami melingkupi sekitar. Wajahnya beberapa senti dari wajahku. Aku terempas dalam posisi duduk.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro