4
Lampu jalan terdekat berada lima puluh meter di belakangku, di mulut gang tepat di tempat Sri berdiri. Sementara itu, lampu-lampu rumah di sebelah kananku mati, bangunannya tak berpenghuni sama sekali. Di depanku hanya ada gelap. Sawah-sawah tidak terlihat. Sementara itu, di kiriku terlihat siluet gelap tebing Gunung Kapur yang terjal (gunungnya tidak setinggi itu, disebut gunung cuma karena puncaknya adalah daerah tertinggi di Kota Mulia).
Aku merasa seolah mendengar suara ... tapi terlalu samar. Kutolehkan kepala ke belakang, memastikan Sri masih ada di sana. Setelah itu, aku terus maju. Kuarahkan senter ke rumah-rumah di samping kananku, mencari satu yang hidup tapi mati (hantu atau setan, maksudku).
Angin berembus meraba tengkukku. Kulirik siluet Gunung Kapur di kiri, berharap melihat secercah asap hijau yang diceritakan Sri. Tak ada apa-apa.
Angin berembus lebih kencang, membawa kilasan suara samar. Ada sedikit bunyi kelontang seperti barang besi yang jatuh. Beberapa kali begitu, kemudian terdengar samar suara tangis. Lalu—lalu—lalu .... Itu.
Suara ayam.
Cuma petok-petok pelan, seperti ketika ayam-ayam bergerumbul di pinggir jalan untuk mencari makan. Namun, lama-lama terdengar makin keras, temponya makin cepat. Dan seperti yang Sri ceritakan, suara itu seolah berasal dari tempat yang amat jauh, tapi juga amat jelas.
Jantungku mulai berdebar kencang. Mataku jelalatan ke sana-sini, mencari-cari. Akhirnya aku menurunkan ego, berbalik untuk mencari Sri. Kupanggil namanya keras-keras, tapi rupanya dia sudah tidak ada. Entah kabur atau hilang, yang jelas tiang lampu jalan itu bersih dari manusia.
Tanganku yang memegang senter mulai gemetar. Sudut mataku menangkap gerakan samar—semoga cua ilusi, kuharap ini cuma imajinasi—sulur-sulur yang berpendar kehijauan. Spontan, aku menoleh ke arah itu, tapi hilang.
Keringat mulai muncul di pelipis. Napasku terengah. Apa yang harus kulakukan sekarang? Kabur? Suara itu makin ramai, seolah ada puluhhan ayam sedang mengobrol. Setan yang dibicrakan jelas-jelas sudah hadir di sini.
Dan—oh, apakah terdengar suara gamelan juga?
Aku memaksa diri berpikir, berusaha sedikit tenang dan melawan panik. Aku harus menganalisis situasi.
Kalau aku pergi, jelas aku tidak akan melihat setan hijau itu, apalagi memotretnya. Tapi aku juga tidak akan punya bukti. Itu akan membuat Sri makin senang. Kalau Sri senang dan mengoceh panjang lebar soal ini, jelas aku yang bakal malu.
Kuputuskan untuk menunggu sebentar, sambil menetralkan napas. Suara itu tiba-tiba berhenti. Aku membuka mata. Untuk kedua kalinya dalam cerita ini, aku menjerit.
***
Ternyata keesokan harinya aku masih bisa berangkat sekolah. Aku memutuskan untuk berangkat pagi-pagi sekali dan naik angkutan umum sehingga kalaupun angkot ini hampir menabrak ayam, aku tak perlu melihatnya.
Aku sampai setengah jam sebelum bel. Masih lumayan sepi. Aku berhenti sebentar di depan cermin yang digantungkan di dinding pos satpam, melihat-lihat apakah kondisiku terlalu parah. Wajahku kusut dan pucat, rambutku yang terkuncir agak berantakan (bisa kurapikan nanti). Aku hanya tidak ingin banyak yang bertanya soal itu.
Ya, jelas. Sri bakal mencecarku dengan pertanyaan dan pernyataan bodohnya, berkoar-koar soal tadi malam. Namun, aku tidak berencana bercerita banyak.
"Pagi, Lis," sapaan itu membuatku menegang. Seseorang menepuk bahuku. Segera saja bayangannya terlihat di cermin. Cuma Dilla. Dia tersenyum miring, terlihat amat santai. "Tumben datang pagi-pagi banget. Biasanya juga hampir telat."
Aku merengut, setengah karena sindirannya, setengah lagi karena iri akan kekalemannya. Aku bertanya-tanya bagaimana reaksinya kalau yang mengalami kejadian semalam adalah dia, dan bukan aku. Dia tidak bakal menjerit. Dia mungkin masih bisa tidur tanpa mimpi buruk. Barangkali setan itu langsung diajaknya mengobrol atau berfoto. Barangkali kulitnya tidak akan tampak begitu pucat sepertiku sekarang.
***
Nanti sore update lagi 2 bab, belum diedit soalnya. Wkwk.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro