2
Aku sudah pernah bilang kan, kalau aku benci ayam?
Biar kuberi tahu alasannya: mereka itu bodoh dan tidak tahu diri. Iya, aku tahu ayam itu binatang dan wajar saja kalau mereka bodoh. Silakan melabeliku tidak waras atau semacamnya, tapi kesabaranku benar-benar habis kalau soal ayam.
Akuilah, kalian pasti pernah mengalami hal yang sama denganku. Pasti kalian pernah mengendarai sepeda, kemudian melihat seekor ayam di pinggir jalan agak jauh di depan kalian. Ayam itu melongok ke kanan-kiri, tapi tak kunjung bergerak sampai jarak sepeda kalian tinggal semeter di dekatnya, lalu si Ayam tiba-tiba berjalan pelan menyebrang, dan saat sadar dia akan ditabrak, dia malah nekat berlari menyebrang sambil bersuara petok-petok keras sehingga si pengendara terpaksa mengerem mendadak dan membuat dirinya sendiri hampir terjungkal.
Paham kan betapa kesalnya aku?
Ayam benar-benar pernah merugikanku. Dulu sekali, waktu aku mungkin baru kelas satu SD, entah, aku tidak benar-benar ingat waktu tepatnya. Inilah yang mengantarkanku pada kalimat terakhir di bab sebelumnya.
Saat itu aku sedang bersepeda. Aku baru saja akan pulang dari rumah temanku di daerah Giok. Giok bagian situ selalu merupakan daerah sepi penduduk. Yah, kejadian selanjutnya bisa ditebak.
Seekor ayam kecil lewat—jenis ayam berwarna-warni yang biasa diperdagangkan di pasar pada hari Minggu. Aku tidak melihat ayam kecil itu sampai ban sepedaku melindas tubuhnya. Sepedaku tergelincir, oleng hingga akhirnya jatuh ke samping. Aku terjengkang, lutut dan siku tergores dalam. Kala melihat warna merah di sana, aku langsung menangis.
Kemudian aku melihat bangkai si ayam. Bulu yang sebelumnya berwarna hijau cerah kini telah berwarna merah darah. Lehernya tertekuk secara tidak wajar. Matanya masih melotot terbuka. Sementara itu, teman-teman warna-warninya mengerumuni, mengeluarkan suara petok-petok yang memuakkan.
Aku memandangi mereka sambil terisak, bingung dengan perasaanku sendiri. Aku marah, tapi juga merasa bersalah. Tepat saat aku memutuskan untuk mengubur bangkainya, ayam-ayam yang lain menoleh ke arahku. Mungkin cuma khayalanku saja, tapi mereka seolah melotot kearahku, persis seperti pelototan ayam yang sudah mati itu.
Seolah masih kurang saja, si pemilik ayam keluar dari rumah, menemukan ayamnya mati, lalu memarahiku. Dia seorang remaja cowok, jelas jauh lebih tua dariku yang baru sekitar tujuh tahun. Aku disuruh mengubur bangkai ayamnya setelah dia puas marah-marah.
Sejak itulah aku mendapat mimpi-mimpi buruk. Soal ayam. Anak ayam. Ayam-ayam yang melotot ke arahku, menjanjikan pembalasan dendam atas matinya teman mereka.
Itulah alasan lainnya aku membenci ayam. Karena itulah aku masih mengerem di belakang ayam, dan bukannya menabraknya saja.
Kadang-kadang mereka membuatku takut.
***
Aku jarang sekali dekat-dekat Giok sejak hari itu. Aku selalu menghindarinya, takut kalau hantu ayam tersebut akan menghampiriku. Kuakui itu gila dan konyol, tapi pengakuan tersebut tak dapat mengubah apa yang kurasakan selama bertahun-tahun.
Hantu petani tua dari mitos-mitos soal Giok dan gunung kapur barangkali bisa kuatasi, tapi aku bakal menyerah soal hantu ayam bermata melotot.
"Sumpah, teman dekatku lihat sendiri! Waktu itu dia mau beli buku tulis di toko deket-deket situ, malem-malem, darurat soalnya buku PR matematikanya habis. Katanya dimulai dengan suara kayak bel sepeda, kring-kring atau ting-ting, pokoknya itulah, terus—"
Ocehan Sri dipotong oleh seruan, "Mungkin setannya lagi belajar naik sepeda." Beberapa anak tertawa, tapi Sri tetap melanjutkan.
"Terus ada suara yang lebih pelan, kayak suara kayu yang ditancepin ke lumpur basah, terus tanah di deketnya kayak diterangin cahaya hijau-hijau gitu."
Semua mulai diam. Rasa penasaranku pun sama besarnya dengan rasa muak.
"Terus dia noleh ke belakang—"
"Goblok," seseorang berkomentar.
"Samar-samar gitu, di depan teras rumah kosong, ada cahaya hijau. Kalian mungkin nggak percaya—awalnya aku juga enggak—bentuk cahaya ijo itu kayak ayam! Atau unggas lain—"
Saat itulah tanganku mengentak. Aku hampir terjengkang dari bangku karena kaget. Untung saja tidak.
"Lis! Kamu kenapa? Mulai takut, ya?" Sri nyengir aneh ke arahku.
"Ng-nggak, kok," kataku dengan usaha keras untuk menetralkan suara. "Ma-mana ada yang takut kalau setan itu bentuknya ayam."
"Ih, kamu enggak pernah lihat aja. Terus ya, habis itu ada suara petok-petok ayam. Kedengerannya keras banget, tapi juga kerasa kayak dari jauh. Suara itu kayak manggil nama dia, tapi pake bahasa ayam! Pernah bayangin nggak tuh?"
Sekarang tanganku gemetaran. Kusembunyikan dengan mengepal dan menaruhnya di pangkuan. Mimpi burukku tentang ayam barangkali bakal terdengar seperti itu kalau diceritakan.
Mungkin begini yang dirasakan orang waktu mendengar ocehan Sri soal hal-hal yang terjadi di Kota Mulia. Jelas ketakutan, tapi juga penasaran.
"Terus waktu dia kedip, itu ayam ilang! Terus pas dia balik lagi buat siap-siap lari, di depannya ada—"
Sesuatu menyentuh pundakku, sedikit bagiannya mengenai leherku—
"Setan yang tadi! Yang hijau itu! Badannya udah kayak manusia biasa, tapi—"
Aku menyadari, yang menyentuh bahuku itu terasa agak berat, tapi juga terasa ringan dan lembut, seperti ... seperti ....
"Kepalanya masih kepala ayam!"
Aku menjerit.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro