Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

06. IMPRESSION

Namaku Eden.

Aku bekerja di industri hiburan dan telah membintangi sekitar dua puluhan judul film yang dipasarkan secara internasional. Namaku masuk dalam golongan aktris kelas A yang selalu diperhitungkan oleh sutradara Hollywood. Majalah Time pernah memasukkanku dalam daftar seratus anak muda paling berpengaruh di dunia. Bisa dibilang, aku berpartisipasi dalam memajukan industri perfilman bangsa. Aku tidak bekerja sendirian. Ada sekitar tiga puluhan staff termasuk pengawal pribadi yang membantuku. Mereka orang-orang yang kupilih secara personal untuk mendukung pekerjaanku selama ini. Dekade ini menjadi tahun-tahun keemasanku dan yang paling produktif sepanjang sejarahku berkarir.

Di usia yang ke tiga puluh tiba-tiba aku dipanggil ke kampung halaman. Nenekku sakit. Keluargaku -yang sangat jarang kutemui akibat padatnya aktivitas- memintaku untuk pulang. Karena semuanya serba mendadak, manager ku marah karena aku dibuat membayar penalti akibat pemutusan kontrak sepihak. Kerugianku mencapai jutaan dollar. Namun, aku berhasil meyakinkan manager dan agensi kalau aku akan mengganti semua kerugian serta membereskan urusanku dalam waktu singkat.

Oh, ternyata tidak semudah yang kukira.

Di kampung halaman, nenekku terbaring lemah. Satu-satunya permintaan beliau adalah agar aku menikah sebelum beliau meninggal. Lagi-lagi, segalanya serba tiba-tiba. Agensiku menggila begitu aku mengabarkan mereka tentang rencana keluargaku. Mereka bilang keputusan untuk menikah akan berisiko pada karirku yang sedang berada di puncak. Lagi-lagi aku harus meyakinkan mereka bahwa ini demi membuat nenekku lega. Lagipula, pernikahan tidak pernah tertulis dalam kontrakku karena semua orang mengira aku tidak ingin menikah selamanya. Dan sekarang, agensiku harus menambahkan pasal baru mengenai pernikahan dan anak karena kejadian ini saat perpanjangan kontrakku beberapa tahun lagi.

Singkatnya, manager ku menawarkan opsi pernikahan kontrak yang akan berakhir setelah nenekku meninggal. Terdengar kasar, memang. Tapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk menebusnya. Kerugian akibat agenda pernikahan akan membuatku bangkrut karena urusan keluarga bisa menyita perhatianku dari daftar kontrak yang tak ada habisnya sampai tiga tahun ke depan.

Usai mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan, akhirnya aku dapat pulang ke kampung halaman dengan tenang. Setidaknya aku punya waktu satu minggu untuk menyelesaikan urusan apa pun menyangkut keluarga dan warisan. Jujur saja, warisan yang akan ditinggalkan nenekku tidak akan seberapa dibandingkan kekayaanku saat ini. Namun, aku sangat menyayangi beliau. Di antara semua anggota keluarga, nenekku adalah satu-satunya pendukungku saat karirku sedang merosot di awal-awal dahulu. Aku ingin menemuinya setelah bertahun-tahun tak berjumpa. Dan pesan beliau hanya satu. Menikah.

Aku menyetujuinya karena sudah membahas ini lebih dulu dengan agensi. Nenekku senang bukan kepalang. Beliau yang awalnya terbaring lemah, langsung bisa duduk dan berjalan pada esoknya. Aku lega. Keluargaku juga. Lalu dimulai lah perjodohan. Aku meminta kepada nenek untuk diberi waktu menyeleksi para calon pendampingku kelak. Beliau tidak keberatan. Toh, hanya satu orang yang dicalonkan untukku. Nenek bilang, calonku ini adalah teman masa kecilku. Sayangnya aku tidak ingat. Terlalu banyak orang yang kutemui selama ini. Kenangan masa kecil tentu mengabur oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan.

Asistenku memesan tempat di sebuah restoran untuk mengakomodasi pertemuan kami. Well, lebih tepatnya, dia memesan satu restoran hanya untukku dan calonku. Ini kali pertama kami bertemu. Mungkin ketika bertemu dengannya nanti, aku akan merasa familier.

"Eden?"

Aku menoleh saat seseorang memanggilku. Segera saja aku berdiri dan mengulurkan tangan lebih dulu. Aku sengaja tidak langsung mencopot kacamata agar aku bisa menilai penampilan calonku ini tanpa membuatnya tersinggung. Dia membalas uluran tanganku. Telapak tangannya hangat dan sedikit kasar khas laki-laki.

"Menunggu lama?" Dia kelihatan tidak enak karena menyadari gelasku yang sudah kosong. Kami sama-sama menurunkan tangan.

"Aku biasa datang lebih dulu karena enggak suka ditunggu," jawabku terus terang. "Jadi, kamu..."

"Kealan."

Ah, sekarang aku ingat. Dia anak teman masa kecil ibuku. Ayahnya orang Irlandia. Dia memang sering bermain denganku sewaktu kecil. Tidak kusangka dia tumbuh dewasa menjadi sosok yang menawan. Aku tidak melebih-lebihkan. Kealan punya aura menarik yang mampu membuatku tersenyum tanpa sadar. Banyak aktor dan pekerja seni yang memiliki pesona seperti Kealan. Mereka terlahir untuk menarik perhatian. Tapi, Kealan berbeda. Aku harus tahu apa pekerjaannya.

"Silakan duduk," ujarku. "Aku Eden."

Kealan tersenyum lebar. "I know."

Tentu saja dia tahu. Tadi dia menyebut namaku lebih dulu. Kami memesan minuman dan makanan pendamping. Obrolan kami baru dimulai ketika pelayan menghidangkan pesanan kami di meja.

"Jadi, wow..." Kealan tampak sedikit antusias. Dia mengelap telapak tangannya di paha, kelihatan gugup. "Keamananmu di depan restoran lumayan ketat. Aku harus menunjukkan ID untuk mengonfirmasi kalau aku tamu yang sedang kamu tunggu."

"Maaf. Terkadang mereka berlebihan," ujarku penuh sesal.

Kealan menggeleng. "Aku mengerti. Mereka hanya menjalankan tugas. Maaf, aku hanya tidak menyangka kalau kita benar-benar akan bertemu."

"Berkat nenek." Dia mengangguk. "Jadi, apa kesibukanmu?"

"Selain pekerjaan?" Lagi-lagi Kealan tersenyum sehingga aku harus melepas kacamataku agar tidak terlihat seperti gadis arogan. "Tidak ada," lanjutnya.

"Aku juga."

"Tentu saja."

Kami sempat diliputi kecanggungan selama beberapa saat. Ini situasi yang baru bagiku. Di mana aku memiliki banyak bahan obrolan tapi pita suaraku menolak untuk bekerja sama. Biasanya, aku jarang sekali terjebak dalam situasi canggung. Kali ini berbeda karena di depan Kealan... aku hanyalah Eden, kenalan keluarganya. Aku tidak bisa berakting seperti di depan orang lain karena keluarga kami saling mengenal.

"Aku bekerja di bidang IT dan finance." Kealan memecah keheningan di antara kami. "Pekerjaan utamaku pengembang perangkat lunak, tapi belakangan aku berkecimpung di dunia investasi. Bagaimana denganmu?"

Aku menyesap minumanku seraya berpikir. Kira-kira, apa yang tidak pernah disiarkan di berita tentangku selain gosip, rumor berkencan, dan penghargaan yang kuraih?

"Kemarin aku sibuk mempromosikan film terbaru."

"The Juvenile?"

Aku tersenyum seraya mengangguk.

"Aku sudah menontonnya. Di bioskop. Bersama rekan-rekanku." Kealan menambahkan. Ada senyum bangga dari rautnya yang maskulin. Aku baru ingat kalau Kealan memiliki mata abu-abu yang diwariskan dari ayahnya. Aku jarang bertemu pemilik mata abu-abu yang tidak menarik. Kealan salah satu yang paling menarik. Sulit kupercaya dia tidak bekerja di industri hiburan sepertiku. Setidaknya, dia bisa terjun ke dunia modeling mengingat paras dan perawakannya yang-

"Eden?"

Aku mengerjap. "Ya?" Kemudian aku tersenyum malu. "Maaf, apa pertanyaanmu tadi?"

"Sampai kapan kamu akan berada di kota?" ulangnya.

"Aku mengambil cuti selama seminggu." Seminggu yang membuatku rugi hingga jutaan dollar. Aku tersenyum kecut karena mengingat uang yang harus kugelontorkan. "Kealan, katakan terus terang, apa kamu menerima perjodohan ini?" tanyaku tanpa basa-basi.

Kealan mengangguk. Respon yang sudah kuantisipasi. Dia menelan ludah. Aku dapat melihat jakunnya bergerak naik turun selama kami saling menatap.

"Kamu?" Dia balik bertanya.

"Sejujurnya, setengah iya, setengah tidak."

"Kurasa aku bisa memahaminya. Pernikahan tidak termasuk dalam kontrak kerjasamamu dengan agensi atau sponsor atau yang lain."

"Ternyata kamu mengerti." Aku tersenyum kecil.

"Tapi, apa benar kamu sama sekali tidak menginginkannya?"

Aku mengangguk. "Pernikahan tidak pernah masuk dalam rencana masa depanku. Begitu pun dengan anak."

"Boleh kutahu alasannya?"

Aku mengedikkan bahu. "Punya anak merepotkan. Aku tidak percaya diri bisa membesarkannya secara optimal atau sesuai standar ibu pada umumnya. Bagaimana jika pada akhirnya aku membesarkan seorang kegagalan? Siapa yang harus disalahkan selain si Ibu?"

"Wow," gumam Kealan. "Aku baru mendengar yang seperti itu." Dia tersenyum kecil. "Tapi sekali lagi, aku memang belum pernah bertemu orang yang punya pemikiran menarik selain dirimu."

"Menurutmu pemikiranku menarik?" Seharusnya dia menyebutku pesimistik. Banyak yang bilang begitu.

Kealan mengangguk. Ini hal baru.

"Bagaimana dengan pernikahan? Kenapa kamu menginginkannya?" tanyaku penasaran.

"Sebelum aku menjawab, kamu harus berjanji untuk tidak menertawakanku."

Belum-belum aku sudah terkekeh. Ekspresinya lucu. Seperti anak kecil yang takut ketahuan habis melakukan kesalahan. "Oke, maaf. Aku janji."

"Beberapa tahun belakangan aku sering merasa kesepian. Ada hal yang hilang, tapi tidak tahu apa. Bukannya aku tidak pernah mencoba berkencan. Perempuan-perempuan yang pernah kukencani sering kali tidak memiliki kedekatan emosional seperti yang kuharapkan. Beberapa orang bilang kalau aku terlalu judgemental karena menilai seseorang dari asumsi yang kubuat sendiri."

"Asumsi adalah yang terburuk."

"I know. Aku menyesal pernah begitu. Sekarang aku sedang dalam tahap menjadi lebih realistis. Lalu, aku dengar dari ibuku kalau ibumu berusaha menjodohkan kita atas permintaan nenekmu. Yadda-yadda, lalu kita bertemu hari ini." Dia mengakhiri kalimatnya dengan senyum kecil. Senyum yang benar-benar menawan karena aku bisa melihat lesung kecil di bawah bibirnya.

"Mengakui kekurangan bukan hal yang mudah. Somehow, I'm proud of you. Terima kasih sudah memberitahu."

Ujung telinga Kealan memerah. Dia memutus kontak mata kami dengan melakukan kegiatan lain. Seperti menghabiskan minuman, misalnya.

"Untuk membuat ini lebih menarik, bagaimana jika aku membiarkanmu membuat asumsi tentangku dan sebagai gantinya, aku akan mengklarifikasi apa yang kamu pikirkan tentangku, begitu pun sebaliknya. Cukup adil, 'kan?"

Kealan tampak berpikir. Kemudian dia mengangguk. "Ini bisa menghemat waktu kita. Pengawal pribadimu di depan bilang, kita hanya punya waktu sekitar dua jam untuk mengobrol."

"Sayangnya begitu, maafkan aku."

"Tidak. Aku mengerti, kok. Lalu, kita mulai dari siapa?"

"Kamu bisa mulai." Aku suka mendengarkan orang berasumsi tentangku. Itu membantuku menilai orang yang sedang kuajak bicara. Jika dia tidak menarik, biasanya aku tidak akan repot-repot mengklarifikasinya.

Kealan tidak tampak gugup lagi. Sikapnya berubah lumayan cepat. Mungkin sejak tadi dia berusaha menguasai diri agar tidak terlihat canggung di depanku.

"Kamu orang yang mandiri. Cenderung terlalu mandiri," mulainya dengan hati-hati.

Not bad, pikirku.

"Sepertinya kamu akan menolak perjodohan ini atau... melakukan kesepakatan pernikahan yang tidak akan merugikanmu," lanjutnya.

Benar-benar not bad.

"Kamu orang yang sulit ditebak dan segala yang kamu lakukan sebenarnya dilakukan dengan penuh perhitungan. Kalau yang ini aku sangat yakin 100% karena karirmu adalah buktinya." Dia tersenyum. Aku juga. "Lalu... kamu tidak punya teman dekat atau tidak pernah membiarkan orang lain cukup dekat denganmu untuk mengenalmu lebih dalam. Yang ini aku dengar langsung dari nenekmu."

"Fair enough," sahutku tak keberatan. "Ada lagi?"

"Kamu tahu kalau kamu cantik dan menarik."

Tawaku menyembur. Itu di luar ekspektasiku. Dia ikut tertawa atas penilaiannya sendiri. Aneh sekali. Dia mengatakan semuanya dengan benar.

"Apa kamu melakukan riset sebelumnya?"

Dia mengangguk samar, masih tertawa. "Aku lupa pernah mendengarnya dari wawancara yang mana."

"Sepertinya aku memang pernah mengatakan itu pada reporter. Tidak kusangka kamu menontonnya."

"Well, aku harus mencari tahu latar belakang calon yang dikenalkan padaku."

Aku mengangguk. "Tentu." Sayangnya, aku tidak punya waktu untuk melakukan hal itu.

"Jadi, bagaimana? Ada yang salah dari asumsiku?" tanyanya penasaran.

Aku menggeleng. "Awal yang bagus."

Dia tersenyum lega. Mungkin karena mengetahui kalau aku tidak tersinggung sama sekali.

"Boleh kumulai?" tanyaku.

"Silakan."

"Umm...," Aku berpikir sebentar. "Kamu mematahkan hati setidaknya lebih dari tiga perempuan dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir."

Dia tidak menunjukkan ekspresi tertentu. Dia hanya... menunggu.

"Kamu punya banyak teman dan pergaulanmu sangat luas."

Dia mengangguk.

"Aku sulit menebak sebenarnya kamu benar-benar pemalu atau karena bertemu denganku secara khusus hari ini."

"Sulit untuk mengendalikan diri saat bertemu orang seterkenal dirimu."

"Masuk akal," timpalku. "Dan... kamu tidak sadar kalau kamu menarik. Kamu hanya sadar kalau dirimu lebih cerdas dari orang kebanyakan." Memori itu tiba-tiba muncul di kepalaku. Aku teringat Kealan yang sering diberi hadiah oleh ayahnya karena selalu menjadi juara satu di sekolah. "Kamu memilih karir yang tepat. Apa aku benar?"

"Pertama, hubungan terakhirku sekitar empat tahun yang lalu. Dan itu karena aku dicampakkan."

"No way!" sahutku tak percaya.

"Itu yang sebenarnya." Sekarang dia kelihatan lebih rileks. "Aku memang kenal banyak orang, kamu benar tentang itu. Tapi, hari ini adalah pengecualian. Aku benar-benar cemas sebelum datang kemari. Bertemu denganmu membuatku berdebar. Kurasa itu hal yang biasa kamu dengar sehari-hari dari para pengagummu."

Lagi-lagi aku tersenyum. Ucapannya membuatku tersanjung.

"Dan yang terakhir. Terima kasih karena sudah menyebutku menarik." Dia kelihatan tulus saat mengatakannya. "Apa aku punya kesempatan untuk mengenalmu lebih jauh?" tanyanya tiba-tiba.

"Aku harap begitu." Aku juga tulus saat mengatakannya. Kealan orang yang baik dan menarik. Jika aku mengenalnya lebih lama, mungkin aku akan jatuh cinta padanya. "Kita punya waktu seminggu untuk saling mengenal."

"Great!"

"Bagaimana dengan pekerjaanmu?"

"Akan kuatur. Pekerjaanku lebih fleksibel daripada pekerjaanmu."

Kami mengobrol hal lain. Sulit untuk menyangkal pesona Kealan. Dia benar-benar menarik dan teman bicara yang asyik. Kalau saja bukan karena pesan dari manager yang mengingatkanku untuk membahas kontrak pernikahan, aku pasti benar-benar terhanyut oleh pertemuan kami yang menyenangkan.

"Kealan, ada yang harus kubahas denganmu."

"Tentu. Apa itu?"

"Tentang pernikahan."

"Biar kutebak. Kamu ingin kita melakukan perjanjian pra-nikah?"

"Hampir sama. Tapi ini lebih bersifat sementara," jawabku hati-hati. "Agensiku mengira kalau kita hanya akan menikah sampai nenekku tutup usia."

"Apa?" Dia terkejut bukan main.

Aku meringis. Mau bagaimana pun cara penyampaiannya, tetap saja terdengar kejam dan tidak masuk akal. Wajar jika respon Kealan begitu.

"Tidak perlu buru-buru. Kita masih punya waktu untuk memikirkannya."

Ponselku berbunyi. Dari asistenku yang menunggu di luar gedung.

"Eden, waktunya habis. Kita ada janji dengan produser setengah jam lagi." Aku menghela napas berat sebelum menutup telepon. Meski telah mengambil cuti, beberapa pekerjaan lain tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Aku ada diskusi dengan seseorang yang akan membiayai proyekku selanjutnya.

"Maaf, Kealan. Aku harus pergi."

Kealan mengerjap. Dia belum pulih dari bom yang kulempar tadi. Bom berisi proposal kawin kontrak. Entah bagaimana keputusannya nanti. Aku tidak ada waktu untuk menunggu lebih lama.

"Baiklah. Kita akan membahas ini besok," ujarnya diplomatis.

"Kamu boleh mengajukan klausul yang menurutmu menguntungkan." Aku membereskan barang bawaanku.

"Aku tidak yakin akan menerimanya."

"Apa?"

"Permintaan agensimu. Tentang kawin kontrak." Aku terpaku sesaat. Keputusan itu diambilnya dengan cukup cepat, mengingat kami belum lama saling mengenal. "Kita pikirkan besok," lanjut Kealan. Sorot matanya membuatku berpikir kalau keputusannya sudah final. Tak ada keraguan mengenai itu.

Kepala keamananku berjalan menghampiri kami. Dia menganggukkan kepala sekilas sebelum mengambil alih barang bawaanku.

"Sepertinya aku yang harus menunggumu memikirkan ini masak-masak." Kealan berujar lagi setelah aku membisu cukup lama. "Kita pikirkan besok," ulangnya.

Entah bagaimana, aku mengangguk sekilas. Kukenakan kembali kacamataku sebelum pergi meninggalkannya.

***
- 08 Oktober 2022 -

.

.

.

Kesan pertama jadi inspirasiku menulis ini di tengah-tengah nulis Magoirie. Isi otakku sering gitu, suka tetiba nemu potongan adegan yang ga jelas awal dan akhirnya. Ujung-ujungnya tetep kutulis karena sayang kalau enggak ada kenangannya. Aku suka nama Kealan. Ganteng banget kedengerannya. Hope you guys enjoyed it.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro