Gaung
Aku melirik ke arah Kaivan yang sejak menyusulku masuk ke dalam mobil belum juga mengeluarkan sepatah kata pun. Jemarinya mencengkram roda kemudi, pandangan matanya lurus ke depan dan dari rahangnya yang tampak mengetat, aku bisa menebak bahwa suasana hatinya sedang tidak baik.
Hei, bukankah seharusnya aku yang marah? Dia seenaknya menyeretku ke dalam mobil, melemparkan tasku sambil berkata, "Ini tasmu. Barang – barang di atas meja sudah aku masukkan ke dalam. Aku harap sudah semuanya."
Dering ponselku berbunyi. Menandakan sebuah pesan baru saja masuk. Aku menggulir layar dan menemukan pesan dari Hara di sana. 'Kamu ngapain pergi sama Kaivan? Wah, cari masalah banget sih kamu, Git!' begitulah bunyi pesan Hara. Aku mengernyit heran karena dari mana Hara tahu aku sedang bersama Kaivan? Kecuali kalau tadi dia melihat Kaivan membereskan barang – barangku di meja dan membawa tasku turun.
'Kamu tidak tau apa yang sudah terjadi di sini!!' rupanya pesan dari Hara belum usai. Pesan lainnya masuk dan membuat keningku makin berkerut.
"Kamu bilang sama Hara kalau aku pergi sama kamu, Kai?" tanyaku akhirnya. Pandangan Kaivan masih lurus ke depan. Tampak tak menggubris ucapanku. "Sebenaranya kita mau ke mana, sih?"
Kaivan masih tak menyahut tetapi kurasakan laju mobil yang kutumpangi semakin kencang.
"Adrenalin membuat pikiranku tenang." Di masa lalu, maksudku, di kehidupanku sebelum ini, ah, apa pun itu, Kaivan memang kerap melajukan kendaraannya dengan kecepatan mendekati maksimum. Motor, mobil, apa pun yang tengah dikendarainya. Dia sering berbuat begitu jika pikirannya kalut. Saat kami berkendara dan bertengkar, maka dia akan membuat mobilnya melaju kencang. Saat kami saling diam dan tak berbicara, maka dia akan mengebut dengan motornya.
"Perbuatan yang ceroboh dan tidak bertanggungjawab." Aku sering menasehatinya seperti itu.
"Kamu takut? Aku tidak akan membuatmu terluka, Sagita. Aku tahu batasanku."
"Aku tidak takut aku terluka. Aku tahu kamu selalu mengerti batasannya saat sedang berkendara bersamaku. Aku tahu kamu tidak akan mencelakaiku. Kalau mau membunuhku, kamu bisa melakukannya di rumah saat aku sedang tidur. Yang aku takutkan kalau kamu tidak sedang bersamaku. Kamu tidak mengerti batasan dan mungkin juga tidak akan segan – segan mencelakai dirimu sendiri."
Percakapan seperti itu pernah terjadi di antara kami, beberapa pekan setelah Bintang meninggal. Kami berkendara ke pantai, bermaksud untuk saling instrospeksi diri, tetapi malah berujung dengan pertengkaran yang hebat.
"Bagaimana kalau kita bercerai saja, Kai?"
"Sialan! Jangan pernah bilang itu lagi!"
"Tapi, kenapa? Toh kita tidak bahagia!!!"
"Aku tidak akan pernah menceraikan kamu! Ratusan atau bahkan jutaan kali pun kamu memintanya."
"Aku benci kamu, Kaivan! Aku sudah tidak cinta lagi sama kamu! Ceraikan saja aku!"
Teriakanku saat itu kembali menggema di dalam benakku. Semua kenangan akan kebersamaanku dan Kaivan memantul – mantul di dalam kepalaku. Aku memejamkan mata erat – erat sembari menggeleng beberapa kali, berusaha mengusir kenangan akan pertengkaranku dengan Kaivan yang begitu menyesakkan. Kami terus saja saling menyakiti tetapi entah kenapa Kaivan tak juga menceraikanku dan entah kenapa aku tidak memiliki tenaga dan keberanian untuk menggugat perceraian.
Bersama dengan Kaivan saat ini, di dalam kendaraan yang tengah melaju kencang, kembali menghadirkan sensasi tidak menyenangkan ke dalm diriku. Semua perasaan negatif yang timbul di setiap pertengkaran kami, frustasi, putus asa, takut, cemas, semuanya menyeruak kembali di dalam ingatanku. Bersama Kaivan saat ini, membuat kepalaku benar – benar sakit.
"Kalau kamu tidak mau bilang kita ke mana, aku tidak akan segan – segan membuka pintu mobil ini dan melompat keluar!" seruku mengancam. Aku bisa merasakan keringat mengaliri tengkukku, keringat dingin, karena menahan mual dan pening di kepala.
Aku merasakan mobil Kaivan melambat. "Kita sudah sampai," katanya kemudian.
Aku tidak tahu berapa lama persisnya kami sudah berkendara. Tetapi ketika melihat keluar melalui kaca jendela mobil, senja sudah lama berlalu. Langit mulai gelap dan di depan kami ada pantai yang menghampar.
"Ayo turun." Kaivan menoleh ke arahku dengan cengiran yang tercetak lebar di wajahnya.
"Ngapain kita ke sini?" tanyaku bingung.
"Bikin proposal kredit," jawab Kaivan.
"Hah?"
"Ya, jalan – jalanlah, Git. Masak bikin laporan keuangan, sih?" Kaivan kembali menyengir. "Yuk, turun." Dia berkata seperti itu seolah – olah tidak terjadi apa – apa di antara kami. Seolah – olah kami memang sudah merencanakan kunjungan ke pantai di senja ini dari jauh – jauh hari. Seolah – olah dia tidak menyeretku dari pekarangan kantor untuk masuk ke dalam mobilnya tadi.
Aku menyusul Kaivan keluar dari mobil. Seketika bunyi debur ombak dan angin pantai menyambutku. Napasku tertahan untuk beberapa detik. Suasana pantai di malam hari membuatku sesak. Sesak dengan kenangan yang kini bercampur aduk di dalam kepalaku. Kaivan sangat menyukai pantai, menyukai hampir semua aktivitas di alam, lapangan, gunung, tetapi pantai adalah tempat favoritnya. Ketika masih berpacaran dulu, kami sering menghabiskan waktu di pantai, di pantai ini, membicarakan apa saja. Aku suka mendengarkan Kaivan bercerita, tentang masa kecilnya, tentang cita – citanya, tentang impiannya, tentang apa pun.
Kaivan melompat naik dan duduk di atas kap mobilnya yang sudah sengaja dia parkirikan menghadap ke pantai. "Bagus, kan?"
Aku mengangguk.
"Pernah ke pantai malam – malam?"
Pernah. Sering. Kamu yang mengajakku kemari.
Aku menggeleng. "Tidak pernah."
"Padahal pantai di dekat rumahmu itu bagus," ujar Kaivan.
"Rumahku?"
"Rumah orang tua kamu. Di kampung." Kaivan menjelaskan. "Tempat kita minum kelapa muda sama Pak Seno waktu OTS kemarin. Di sana kalau malam – malam jauh lebih bagus. Bintang yang tidak kelihatan di kota, bisa kelihatan di sana."
Aku menoleh ke arah Kaivan dan melihatnya menengadah menatap langit yang sudah berwarna kelabu tua.
"Di sini, bintang jarang kelihatan. Kalau pun terlihat, tidak semuanya. Sudah banyak tertutup polusi."
"Kamu ajak aku kemari hanya untuk bilang kalau pantai dan langit di kampung halamanku jauh lebih bagus?" tanyaku. Tanpa sadar aku tersenyum dan ikut menengadah ke langit malam. Beberapa bintang tampak mulai mengerlip. Malam ini cerah jadi mungkin ada lebih banyak bintang lagi yang akan bersinar di sana.
Aku mendengar Kaivan tertawa sebelum berkata, "Kamu tahu tidak kalau beberapa bintang yang kita lihat sekarang sebenarnya sudah mati berjuta – juta tahun yang lalu."
"Aku tahu," gumamku.
"Kamu tahu?" Kaivan tercengang.
"Saat melihat bintang, sebenarnya kita sedang melihat masa lalu. Cahaya bintang yang kita lihat sekarang sebenarnya adalah cahaya yang dipancarkannya berbulan – bulan, bertahun – tahun atau bahkan jutaan tahun yang lalu. Jarak bintang yang sangat jauh, membutuhkan waktu bagi cahanya untuk merambat. Bahkan ada beberapa di antara bintang – bintang itu yang sudah terlanjut mati, baru cahayanya bisa sampai ke bumi. Ajaib, kan?" Kaivan pernah menjelaskan hal itu kepadaku.
"Romantis." Aku menanggapi.
"Romantis?"
"Ya, romantis. Meski dia sudah mati, dia tetap menepati janjinya untuk melepaskan cahayanya sampai ke bumi. Meski sudah mati, masnusia – manusia di bumi masih bisa melihat keindahannya."
"Iya, juga, ya," gumam Kaivan. "Ajaib dan romantis. Kalau punya anak nanti, gimana kalau kita kasih nama Bintang?"
"Ngaco kamu!"
"Kok ngaco?"
"Ya, nikah aja belum."
"Oke, besok aku akan ke rumah bapak kamu."
"Ngapain?"
"Melamar anak perempuannya."
Percakapan random yang pernah terjadi di antara kami itu kembali menggema di dalam kepalaku. Berdentuman seperti letusan kembang api.
"Mau naik?" pertanyaan Kaivan mengejutkanku.
"Apa?"
Kaivan memukul pelan kap mobil di sampingnya. "Mau duduk di sini juga? pantainya kelihatan lebih bagus dari sini."
"Bukannya sama aja?" sangkalku. Dan apakah Kaivan tidak lihat pakaian yang kukenakan? Mana mungkin dengan rok formal selutut begini aku bisa memanjat untuk duduk di atas kap mobilnya?
Tetapi, yang tak kusangka adalah Kaivan melompat turun dan dalam gerakan yang sangat cepat mendekatiku, memeluk dan mengangkat tubuhku dalam satu kali hentakan.
"Ahhh!! Kai, apa – apaan, sih!?" Aku menjerit. Lenganku refleks merangkul bahunya. Dan entah bagaimana prosesnya, aku sudah berhasil didudukkan oleh Kaivan di atas kap mobil.
"Jangan khawatir. Kamu ringan banget, kok." Kaivan kembali menyengir. Jarak wajahnya begitu dekat dengan wajahku dan aku baru menyadari kalau aku belum melepaskan rangkulanku dari bahunya.
"Gila kamu!" Khawatir Kaivan bisa mendengar bunyi detak jantungku yang sedang bertalu dengan begitu tidak tahu dirinya, cepat – cepat aku melepaskan rangkulanku, mendorong tubuhnya untuk menjauh.
Kaivan hanya balas tertawa sambil merogoh saku celananya. Dia mengeluarkan sebungkus rokok dan lighter dari sana. Dia mengeluarkan sebatang dan menjepitnya di bibir. "Tidak apa – apa kan kalau aku ngerokok?"
"Aku tidak punya hak untuk melarang," sahutku cepat.
Kaivan kembali terkekeh, dia memantik lighter dan mengarahkan ujung rokok pada api kecil itu. Setelah rokoknya menyala, Kaivan mengisapnya sekali dan mengembuskan asap rokoknya ke langit malam. Setelah itu dia kembali melompat dan duduk di atas kap mobil. Di sampingku.
"Sagita Riusara. Pasti zodiac kamu sagitarius," gumam Kaivan.
"Bukan! Gemini," sahutku asal yang disambut tawa membahana Kaivan. Pemuda itu menoleh ke arahku. "Git, kamu tahu tidak nama tengahku?"
"Nggak!" seruku.
"Bohong."
"Kenapa aku harus tahu?"
"Karena kita sekantor. Anak – anak kantor saling tahu nama lengkap masing – masing."
"Iya. Iya. Oke, aku tahu nama lengkap kamu. Memangnya kenapa, sih?" tanyaku.
"Kamu tahu tidak, konon katanya, Sagitarius dan Leo adalah pasangan yang cocok."
Oh, please! Jangan pernah katakan hal itu lagi Kaivan. Tidak di kehidupan yang lalu, tidak di kehidupan saat ini! Aku teringat bagaimana di kehidupan yang aku jalani sebelum ini, di awal perkenalan kami, di morning briefing kantor, Kaivan mengatakan hal itu. Hal yang kemudian menjadi awal kedekatan kami.
"Aku tidak tahu. Dan aku tidak percaya horoscope," kataku. Di kehidupan kali ini, aku tidak akan membiarkan kita menjadi dekat lagi, Kai.
Kaivan tersenyum. Masih sambil menatapku dia berkata, "Tapi sekarang kamu tahu, kan? dan mungkin nanti kamu juga akan percaya."
"Soal horoscope?" tanyaku.
"Soal Sagitarius dan Leo adalah pasangan yang cocok." Setelah mengucapkan hal itu, Kaivan mendekatkan wajahnya ke arahku dan entah setan apa yang membuat tubuhku malah terkunci di saat seharusnya aku melompat turun.
Saat kesadaranku sudah kembali, aku rasa itu sudah sangat terlambat, karena bibir Kaivan sudah mendarat di bibirku. Lembut tetapi juga menuntut. Yang paling membuatku heran adalah tubuhku tidak menolaknya sama sekali. Aku membalas kecupan Kaivan.
Kami berciuman di pantai, di bawah langit malam yang bertabur beberapa bintang.
Ciuman kami terasa asin seperti laut dan beraroma rokok yang berpadu pasta gigi.[]
Jangan tegang dong bacanya. Hahah.
Saya nggak update hari Minggu besok. Kita ketemu lagi Senin atau Selasa. Selamat berlibur.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro