Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Apa Namanya Jika Bukan Cinta?

Kaivan tidak masuk ke kantor hari ini.

Aku mengendalikan diri sebisanya untuk tidak mencari tahu ke mana gerangan Kaivan. Apa yang membuatnya tidak msuk kantor dan mengabaikan semua panggilan dari Pak Sam ataupun Bu Ratih yang sibuk meminta update pengerjaan proposal kredit Idrus Hamid?

"Sagita, minggu ini kamu bisa selesaikan proposal kreditnya, tidak?" Pak Sam sudah uring – uringan sejak tidak melihat Kaivan hadir pada morning briefing pagi tadi.

"Draft – nya akan saya print dan serahkan ke meja Bapak be ...."

"Saya tidak mau draft, Git! Saya mau proposal finalnya!" Pak Sam menyela ucapanku dengan intonasi suara yang meninggi. Pria itu masih betah berdiri gusar di depan kubikelku.

"Tapi, saya belum terima laporan KAP dan KJPP final dari Kaivan, Pak."

"Ya, kamu minta-lah langsung ke oeang KAP dan KJPP-nya, Git!" Pak Sam tidak akan pernah bersedia dibantah. Dia kemudian beranjak dari kubikelku hanya untuk memanggil Bu Ratih. "Bu Ratih, sini dulu, Bu!"

Ibu Ratih datang tergopoh – gopoh tak sampai dua menit kemudian. "Ya, Pak?" Kini Pemimpin unit dan wakilnya itu berdiri di depan meja kerjaku, seolah bersiap memberikan penghakiman atas pekerjaanku yang tak juga rampung.

"Kaivan ke mana sih, Bu? Dia tidak masuk alasannya apa? Sakit? Urusan keluarga? Ponselnya mati."

"Saya juga tidak terinformasi nih, Pak." Bu Ratih menyahut. "Saya sudah hubungi dia dari pagi tadi tapi hapenya tidak aktif."

"Kaivan ini gimana, sih!? sakit di saat – saat genting begini." Pak Sam masih menyerocos sambil menggulir layar ponsel pintarnya. "Pak HBB sudah tanyain kita kapan bisa komite Idrus Hamid. Tahu kan si Idrus itu gimana? Dia telponin Pak HBB terus!"

Yap! Idrus Hamid memang sudah menyusahkan sejak dini. Memberikannya tambahan kredit hanya akan menambah masalah. Tapi, tentu saja tidak ada yang mau mendengarkan ucapanku meski aku bersumpah bahwa aku datang dari masa depan dan sudah melihat dengan mata kepala sendiri kekacauan yang Idrus Hamid buat pada unit kami.

"Saya mau proposal final sudah ada di meja saya hari Kamis ini!" Pak Sam menoleh ke arahku.

Kamis itu dua hari lagi dari sekarang. Permintaannya sama sekali tidak masuk akal selama aku belum memegang hasil final laporan keuangan dan laporan penilaian jaminan. Menyediakan laporan tersebut adalah tugas SRM sementara kondisi hubunganku dengan Kaivan belakangan ini membuatku jarang bisa berkoordinasi dengannya terkait hal itu. Jadi, aku sama sekali tidak memiliki petunjuk mengenai progres pembuatan laporan – laporan oleh pihak ketiga tersebut. Ya, bagian itu memang salahku. Seharusnya aku bisa lebih profesional dalam berhubungan dengan Kaivan. Tetapi, bagaimana caranya bersikap profesional pada pemuda yang sebelumnya pernah kamu nikahi? Di mana pun aku berada sekarang, bukankah sebenarnya aku masih istri Kaivan? Tidak ada kata cerai terucap dari bibir kami. Astaga! memikirkan hal itu sekarang benar – benar membuat kepalaku pening.

"Bagaimana, Gita? Bisa, kan!?" Seruan Pak Sam mengejutkanku dari lamunan singkat yang tadi tercipta.

"Tapi, saya belum terima ...."

"Saya tidak mau tahu, Sagita!" Pak Sam kembali menyela. "Bu Ratih, tolonglah dikawal. Coba Ibu hubungi kantor KJPP dan KAP yang dipakai. Suruh cepat!"

"Baik, Pak. Nanti saya akan coba hubungi mereka."

"Sama Kaivan juga. Coba hubungi dia terus! Bilangin jangan dulu sakit sebelum proposal Idrus Hamid selesai." Usai mengucapkan hal itu, Pak Sam menjauh dari kubikelku dan masuk kembali ke dalam ruangannya."

"Duh, Gita ... Gita ... ke mana sih SRM kamu ini?" Kini berganti Bu Ratih yang mencecarku.

Aku menggeleng pelan. "Tidak tau, Bu."

"Ck! Ya sudah, kamu coba hubungi orang KAP dan KJPP untuk minta mereka cepat sediakan laporan finalnya. Saya juga akan hubungi atasan mereka."

"Iya, Bu."

Ibu Ratih pun menyusul beranjak dari hadapanku. Dari kubikelku, aku bisa mendengar Bu Ratih bertanya, "Adri, si Kaivan ke mana, sih? hari ini tidak masuk, mana hapenya mati. Sakit atau ke mana dia?"

"Waduh, saya juga tidak tahu, Bu," sahut Adri.

"Kok bisa nggak tahu, kan kamu temannya."

"Iya, saya temannya Bu, bukan ibunya. Jadi, ya Kaivan tidak perlu laporan ke saya 24 jam termasuk untuk kasih tahu alasan dia tidak datang ke kantor hari ini." Aku bisa mendengar jawaban Adri.

"Ah, kamu ini pintar banget nyahut!" Ibu Ratih membalas. "Fani, ada surat sakit dari Kaivan tidak?" tampaknya Ibu Ratih belum menyerah dan masih terus mencari keberadaan Kaivan pada sekretaris unit.

"Nggak ada nih, Bu," suara Fani.

"Jadi dia hari ini bolos, gitu? Sudah siang begini belum ada keterangan."

"Kacau banget, ya." Aku terkejut. Entah sejak kapan Hara menggeser kursinya untuk berpindah ke samping kursi kerjaku.

"Apaan?" sahutku.

"Kacau banget kantor ini dibuat Kaivan. Dari tadi pagi loh, Pak Sam uring – uringan cari dia. Cuma Kaivan yang berani nggak masuk kantor dan matiin hape."

Hara tidak tahu yang terjadi tadi malam di depan rumah kosku lebih kacau lagi. Sedari tadi aku berusaha untuk tidak menyalahkan diriku sendiri sebagai penyebab ketidakhadiran Kaivan hari ini. Dia tidak datang ke kantor bukan karena kejadian tadi malam, kan? Kejadian di mana kami berdua sama – sama menangis. Kejadian yang berakhir dengan aku memintanya untuk tidak mendekatiku lagi.

"Kalian nggak lagi ada masalah, kan?" pertanyaan Hara kembali membuatku terkejut.

"Masalah apa?" aku mengernyit.

"Ya, apa saja!" Hara memelototiku.

"Tidak, kok. Kami baik – baik saja."

"Kamu yakin?" Kening Hara berkerut sembari memandangku.

"Maksud kamu apa, sih, Ra? kenapa jadi seolah – olah aku yang salah karena Kaivan tidak hadir hari ini?"

"Jadi, benar sudah terjadi sesuatu?"

"Hah?"

"Kalian ketemu tadi malam?"

"Ah, itu ...."

"Ngaku saja lah, Git. Kamu itu tidak ada bakat bohong!"

Ya, aku memang tidak pandai berbohong dan Hara, entah bagaimana, selalu bisa menebak apa yang sedang aku sembunyikan di dalam pikiranku. Jadi, kurasa, aku pun tidak bisa lebih lama lagi menyebunyikan kejadian tadi malam darinya.

"Ya, kami bicara tadi malam," ujarku akhirnya.

"Bicara apa?" kejar Hara.

"Aku bicara tentang semua kejadian yang aku alami."

"Apa!? maksudnya gimana?"

Aku menghela napas panjang. "Awalnya kami sedikit bertengkar dan berakhir dengan aku mengatakan semuanya kepada Kaivan."

"Maksudnya semuanya?"

"Ya, semuanya, Ra. Peristiwa aneh yang membuatku kembali ke masa lalu, masa depan yang kujalani sebagai istrinya, kematian anak kami Bin ...."

"Stop!" seruan Hara membuatku terdiam seketika. "Kamu cerita semua itu ke Kaivan?" Kelopak mata Hara makin melebar saat memandangku. "Kamu gila, apa!?"

"Ya. Mungkin Kaivan memang menganggapku gila setelah aku bilang semua hal itu ke dia. Wajar kalau dia tidak percaya. Siapa yang bisa percaya!?"

Hara melongo sambil mengerjapkan matanya berkali – kali. Dia menyeret mundur kursi kerjanya yang beroda untuk menjauhi kubikelku. "Sudah dipastikan kamulah penyebab Kaivan tidak masuk hari ini, Git."

"Kenapa aku?" tanyaku bingung. Aku masih belum mengerti ke mana arah pembicaraan gadis berkaca mata ini.

Hara mengendus dengan keras. "Kadang – kadang, kejujuran hanya akan memperkeruh suasana, Gita."

"Maksud kamu, lebih baik aku bohong saja?" tanyaku.

"Maksudku, kadang kala ada situasi di mana kamu tidak perlu mengatakan apa pun," ucap Hara. "Kalau Kaivan tidak percaya, dia memang akan menganggap kamu gila. Dan mencintai wanita yang ternyata gila, adalah alasan yang pantas untuk patah hati. Kalau Kaivan ternyata mempercayaimu, kalau aku jadi dia, aku tidak harus berbuat apa. Menerima kenyataan kalau memaksakan bersama akan menyakiti orang yang kita cintai adalah hal yang juga menyakitkan untuk diri kita sendiri, bukan?"

"Kaivan mencintaiku? Dari mana kamu dapat kesimpulan kayak gitu, Ra?"

"Kamu bilang kan di kehidupan sebelumnya, Kaivan berusaha mendekatimu, memutuskan hubungan dengan Meyra sampai akhirnya kalian menikah? Apa itu namanya kalau bukan karena dia cinta? Di kehidupan yang sekarang, Kaivan pun sedang melakukan itu. Berusaha mendekati kamu, memutuskan Meyra. Lalu apa namanya itu jika bukan cinta?"

Ucapan Hara mulai terdengar masuk akal di telingaku. "Aku mengatakan kebenarannya agar dia menjauhiku."

"Semoga itu yang terjadi. Bukan sebaliknya."

Sebaliknya? Memangnya apa lagi yang bisa terjadi?[]


*HBB = Head of Business Banking

*KAP = Kantor Akuntan Publik

*KJPP = Kantor Jasa Penilai Publik

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro