2~Night Changes
Mau tak mau aku mencoba ide konyol yang terus saja menggerayangi pikiran. Malam berikutnya, kunyalakan kotak musik dan tetap terjaga. Benar saja, tepat pukul dua belas malam keanehan kotak musik itu terjadi lagi sama persis seperti di mimpi.
Sesosok wanita mengenakan kostum dansa putih anggun, melesat keluar dari kotak musik. Balerina nya jadi menghilang. Wanita itu linglung mencari sesuatu dalam kegelapan malam.
"Kau siapa?" tanyaku dengan nada selirih mungkin berusaha tak mengagetkannya.
"Kupikir pertanyaan itu tak terlalu penting," jawabnya cepat sambil berpaling ke arahku.
Wajah bak malaikatnya bersinar seterang cahaya bulan di tengah kegelapan malam. Alis hitam tebal runcing, mata berbintang seindah galaksi, hidung bangirnya, bibirnya yang berwarna merah ranum. Rambut pendeknya yang digerai sebahu menyempurnakan kesan angelic dirinya.
Kuambil kotak musik di atas nakas, seingatku ada suatu nama terukur di sana. "Shindy?"
Ia menoleh cepat.
"Itu namamu?"
Shindy hanya mengangguk dan lanjut lagi kelimpungan mencari sesuatu.
"Apa yang kamu cari?"
"Topeng."
Segera ku obrak-abrik seisi laci meja tempat dimana aku menyimpan masquarade mask berwarna hitam yang tadi pagi tak sengaja kutemukan tergeletak di atas nakas. Sepertinya aku tahu siapa pemilik topeng dansa wanita itu.
"Ini?"
Shindy mengangguk dua kali dengan antusias. Akupun ikut menyunggingkan senyum senang. Namun tidak lama hingga-entah saking berapi-apinya, Shindy memelukku erat. Diriku yang kaget, ditambah aku yang berdiri hanya dengan satu kaki jadi terguncang-kami berdua terjerembap jatuh di atas ranjang.
Karena posisinya yang kurang mengenakkan. Shindy terjatuh di atas tubuhku. Buru-buru aku berusaha memindahkan posisi tubuh namun sulit karena Shindy yang masih dalam euphoria-nya justru lanjut mengoceh.
"Entah apa bentuk budi yang harus kubalas ...."
"Ah tidak perlu itu hanya-"
"Harus. Itu kewajibanku. Aku punya waktu 2 jam ke depan untuk membalas kebaikanmu."
"T-tapi aku tidak-"
"Baiklah!
Shindy terus-terusan memotong perkataanku. Membuatku hanya bisa menelan saliva dan berharap cemas bisa cepat-cepat menghilang dari situasi tak nyaman ini.
"Biar aku yang memberi hadiah. Berdansalah bersamaku," ujarnya dengan tatapan intens, lalu berguling telentang di sebelahku. Barulah aku bisa bernapas dan sel-sel darahku kembali berjalan. Hampir saja aku dibuat mau pingsan.
"Dengan syarat, hanya kau yang boleh melihat wajahku," lanjutnya segera bangkit menarik lenganku.
₊̣̇.ෆ˟̑*̑˚̑*̑˟̑ෆ.₊̣̇.
Kami berdua diam-diam menyusup keluar rumah di tengah malam. Setelah aku memberikan dua helai parka jacket¹ pada Shindy, karena pakaian yang dikenakannya sekarang ini bukanlah bahan yang cocok untuk dipakai keluar di malam bersalju. Aku langsung menelepon taksi online agar datang menjemput.
"Pak teater dansa yang masih buka, mana ya?" tanyaku sesaat setelah masuk ke dalam taksi diikuti Shindy yang duduk di bangku belakang denganku.
"Yang terdekat Bernhard Theater."
Deg.
"Ah itu agaknya ... yang lain Pak?"
"Teater Eleven² di pusat kota," jawab Pak Supir ragu, selanjutnya ia menatapku lekat lewat kaca spion. Kupikir dia berpikir aneh, ada difabel yang bersikeras pergi ke teater dansa di tengah malam-sampai, "Tunggu ... apa aku mengenalmu?"
Belum sempat aku menjawab, Bapak itu sudah berbicara lagi.
"Ah maaf sudah larut malam, penglihatanku mulai kabur. Haha sepertinya salah orang."
"Baiklah yang terdekat saja Pak," putusku akhirnya memilih Bernhard Theather. Shindy hanya punya waktu dua jam, dari itu banyak yang akan terbuang sia hanya untuk perjalanan ke Theather Eleven di pusat kota Bahnhofstrasse³. Meski cemas meyakinkan diri sendiri bahwa itu semua sudah lewat lima tahun lalu-malam ini pasti baik-baik saja.
"Apa tidak apa-apa?" tanya Bapak supir tiba-tiba membangunkan lamunanku.
Tidak mungkin bapak ini ... entahlah, aku hanya mengangguk canggung.
"Kau tahu kaki ku ini ...." lirihku tak yakin dengan topik apa yang harus dibahas.
"Memanganya kenapa?" Shindy menoleh sembilan puluh derajat ke arahku. "Itu sama sekali bukanlah sebuah kekurangan."
"Pesta yang besar dan meriah," ucap Shindy tiba-tiba dengan tatapan kosong.
"Maaf?"
"Itulah arti namaku," terangnya singkat, namun kali ini aku melihat bintang di matanya. "Kuharap kita pergi ke suatu tempat yang besar, supaya aku bisa leluasa membalas kebaikanmu."
"Tapi mengapa kau mengajak ku berdansa?" tanyaku asal, berusaha menjaga ritme obrolan terus berjalan.
"Karena kau seorang penari," jawabnya cepat disertai kekehan pelan, namun tawa kecilnya langsung berhenti-berubah jadi ekspresi datar. "Tidak, karena hanya itu yang bisa kulakukan."
"Apa itu tidak lucu?" tanyanya sinis, kini ekspresinya seperti orang yang sedang menuntut-penuh keseriusan.
Aku menggeleng pelan, tak tahu harus bereaksi bagaimana. "Lalu mengapa kau mendatangiku?"
"Entahlah, kata hatiku?" Ia lanjut tertawa keras sampai membuat Pak Supir bergidik. Agaknya ia mulai terusik dengan wanita aneh bertopeng dengan emosi naik turun berada di kursi tumpangnya.
Seperti tadi, tawanya langsung surut dalam sepersekian detik. "Haha kotak musiknya ada padamu kan."
Shindy menatap ku kesal dengan alis tebalnya yang bertaut. "Apa masih tidak lucu?"
Pada detik itu tak tahu kenapa aku hanya bisa terbahak keras. Selera humor Shindy sangat aneh. Untunglah, karena jokes-jokes yang Shindy lontarkan- tentunya hanya dirinya seorang yang mengerti letak dimana kelucuan candaan anehnya. Perjalanan ke Bernhard Theater malam itu berlalu cepat dengan rasa khawatir ku yang ternyata tidak seberapa.
₊̣̇.ෆ˟̑*̑˚̑*̑˟̑ෆ.₊̣̇.
Sesampainya di Bernhard Theater, aku sedikit terkejut karena gerbang auditorium⁴ yang masih terbuka. Kami berdua langsung masuk-disambut dengan suasana teater gelap dengan audio speaker yang memutar acak musik dansa klasik. Panggung megah terpampang di depan mata dengan sekedar pencahayaan minim.
Shindy menuntunku perlahan naik ke atas panggung. Aura antusiasme terpancar dari senyumnya meski ia memakai topeng separuh wajah. Kutinggalkan kruk di pinggiran dan segera bergerak ke tengah panggung bersama Shindy.
Ia memapahku dengan sangat lihai. Membuatku merasa nyaman, tidak takut akan goyah sedikit pun berdiri dengan satu kaki. Kami pun mulai melakukan dansa tango⁵ saat musik berganti ke Beethoven - Für Elise.
"Shindy ... apa yang akan terjadi jika orang selain diriku melihat wajahmu?"
"Kau akan tahu saat itu terjadi. Tidak akan terjadi karena topeng ini padaku."
"Maksudku ... wajahmu kan cantik sekali."
Ritme musik berubah cepat. Begitupun dengan tarian kami. Shindy sangat pengertian, saat ada gerakan memutar dia terlebih dahulu memegangi bagian pinggangku baru berpindah. Tarian berlangsung mulus.
"Ternyata kau sungguh penari betulan?" tanya Shindy terkejut denganku yang cermat mengikuti gerakan.
"Terimakasih sudah membantuku, ini pertama kalinya lagi setelah lima tahun terakhir."
"Indah. Kamu dianugerahi bakat."
"Entah makhluk apa dirimu ini? Sosokmu berkali-kali lipat lebih indah."
Kami terus-terusan memuji satu sama lain selama tarian berlangsung. Setelah tiga setengah menit lagu habis, kami pun usai. Lagi-lagi netra Shindy memancarkan biar bintang di dalam topeng hitamnya.
"Aku ingin melihat paras jelitamu," ujarku refleks membuka masquerade mask pada wajah Shindy.
Lampu sorot panggung menyala usai lagu berakhir. Membuat ku bisa memandang wajah malaikat Shindy dengan cemerlang. Akan tetapi, lampu panggung lainnya segera menyala dan sorotnya mengarah pada kami berdua.
Spotlight.
Aku merasa aneh karena tiba-tiba seperti ada orang lain yang memerhatikan kami. Sesaat setelahnya, seluruh pencahayaan di auditorium menyala. Semua kursi penonton penuh, banyak dari mereka yang berdiri dari bangkunya-tercengang. Begitupun denganku.
Shindy!
Topeng Shindy kulepas. Kini lebih dari 200 orang di auditorium menyaksikan wajahnya. Raut wajah Shindy berubah sembap seketika. Ia melepaskan pegangan dan aku jatuh tak berdaya menyaksikan Shindy berlari keluar dari tribun sambil menahan tangisnya. Lalu audiens mulai bertepuk tangan dan bersorakan.
Seorang MC naik ke atas panggung dan menanyaiku, "Wah aku tidak tahu pembuka acara malam ini adalah teman penari kita dari kalangan difabel dan temannya yang cantik jelita ...."
Ia lanjut berbicara sambil mebantuku bangkit berdiri. Aku sama sekali tak bisa menanggapi karena kerongkongan yang rasanya tersendat. Seketika bisu di tempat.
Kupandang lekat masquerade mask hitam di genggaman. Shindy pergi dengan meninggalkan barang paling berharganya.
1212 words
Ensiklopedia✧˖*°࿐
1. Parka jacket: Jenis jaket tebal, dipakai dalam cuaca dingin, dilengkapi dengan hoodie, panjangnya selutut, dan biasanya dibagian dalam dilapisi bulu atau bulu sintetis agar menjaga tubuh tetap hangat.
2. Theater Eleven: Adalah teater paling besar di Zurich. Berdiri di sebelah Pusat Pameran Zurich dan Hallenstadion dan dibuka pada tanggal 3 Desember 2006 dengan musik rock We Will Rock You . Teater ini melayani pertunjukan tamu non- subsidi dan sebagian besar dimainkan dengan musikal.
3. Bahnhofstrasse: Adalah jalan pusat kota utama Zürich dan salah satu jalan perbelanjaan paling mahal dan eksklusif di dunia. Pada 2011, sebuah studi menyebut Bahnhofstrasse jalan paling mahal untuk properti ritel di Eropa, dan yang ketiga termahal di dunia.
4. Auditorium: Ruangan yang dibangun untuk memungkinkan audiens mendengar dan menonton pertunjukan.
5. Tango dance: Tarian mitra yang berasal dari tahun 1880-an di Argentina. Tango sering dipraktikkan di rumah bordil dan bar pelabuhan, di mana pemilik bisnis mempekerjakan band untuk menghibur pelanggan mereka dengan musik. Tango kemudian menyebar ke seluruh dunia. Banyak variasi dari tarian ini yang saat ini ada di seluruh dunia.
◣ Regards, Reyn ◥
HSHS PLS BARU PERTAMA NULIS GINIAN T_T CRINGE? MAAFKAN T_T
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro