1~Miraculous Birthday Gift
Tok tok tok ....
Kudengar tiga kali pintu kamarku diketuk dari luar, setelahnya diikuti datangnya sebuah suara lembut.
"Oliver ... bunda masuk ya."
Kriett ....
Aku masih berbaring mendekam di bawah selimut tebal. Tak kuhiraukan Bunda masuk sampai terucap darinya perkataan yang hari ini sama sekali tak ingin kudengar keluar dari mulut siapapun.
"Selamat ulang tahun yang ke delapan belas ...."
"Sudah kubilang nggak usah bicara padaku hari ini kalau yang keluar dari mulut bunda hanya ucapan menjijikan itu."
"Bunda tahu," tukas Bunda singkat. Ia duduk di pinggir kasurku sembari memegang sebuah box marmer kecil yang entah apa isinya. Diletakkan ya benda berukuran mini itu di atas nakas.
Bunda menyibak gorden kamarku sehingga pancaran matahari pagi serta merta menyeruak menyinari ruang kamar, membuatku menyipitkan pandangan akan silaunya.
"Seenggaknya hari ini kamu harus stretching atau sekedar berjemur, ayo lah keluar rumah biar otot-ototmu nggak kaku."
"Nggak. Berjemur apa? Yang ada aku mati kedinginan di luar," culasku sinis memandangi tiap kepingan salju yang ramai-ramai jatuh dari luar jendela kamar. Zürich¹ terasa luar biasa dingin hari ini, rasanya cocok untuk ajang seharian bermuram durja.
"Seenggaknya hiruplah udara segar, apa nggak suntuk seharian di kamar?" Ia mengoceh lagi dan kembali mengambil box marmer tadi. "Bunda cuma mau kasih hadiah ini."
Dibuka box kecil yang ternyata sebuah kotak musik. Di dalamnya ada sebuah penari porselen mungil, yang kutebak kalau musiknya disetel penari itu akan ikut berputar-putar.
"Bunda bisa nggak sih? Stop! Ngga usah bawa-bawa sesuatu berbau ulang tahunlah! Itu apalagi, kotak musik? Cih, sangat kuno," aku mendecih kesal dan memilih membungkus badan dengan bed cover lagi. Dengan begitu aku bisa menggumam di dalam lindungan selimut tebal, "Apa bunda nggak tahu zaman sekarang orang pakai kotak musik hanya untuk properti film horor?"
"Apa kamu kira ayah bakal tersenyum bahagia di atas sana lihat kamu begini? Kamu harus membiasakan diri, sudah lima tahun lamanya Oliver ...."
Mendengar Bunda mulai membawa-bawa almarhum Ayah membuatku jengkel dan makin membenamkan seluruh badan dalam bed cover.
"Maaf kalau bunda banyak omong, bunda harap kotak musik ini bisa membantu kamu rindu masa-masa gemilang dulu ... mimpimu berharga Nak, kamu tahu ayah sangat bangga."
Sudah muak dengan wejangan Bunda yang kalau didiamkan makin merembet kemana-mana, lebih baik aku menyetopnya dengan mengangkat topik lain. "Pasti Bunda dapat barang itu dari toko antik Tuan Fantasi apalah itu."
Nah kan, Bunda baru bisa bungkam.
"Benar kan? Sudah kubilang berhentilah menemui si kakek tua aneh itu."
"Aneh? Apa maksudmu aneh?"
"Anak kecil dari rumah sebelah jadi gila membicarakan makhluk-makhluk magis setelah pulang dari tokonya, semua orang juga tahu kakek itu aneh."
"Hm ... bunda pergi ke markt² dulu, hati-hati jaga rumah."
Bunda tak menghiraukan dan pergi menutup pintu kamarku. Akhirnya aku bisa leluasa rebahan di hari libur. Namun tidak saat Bunda kembali membuka pintu-membuat sebuah celah kecil di sana.
"Nak ... kekurangan mu itu nggak pernah jadi suatu alasan penghalang, kamu tahu itu. Juga ... nanti malam kita adakan ibadah doa mengingat lima tahunnya Ayah."
Cklek. Pintu kembali ditutup.
Wejangan terakhir yang ditinggalkannya sukses membuatku bisu. Kusibak selimut tebal yang menutupi badanku. Kupandangi bagian bawah tubuhku yang sampai hari inipun secercah rasa kelam waktu itu masih terulang nyata. Kaki kananku hanya tersisa sampai lutut.
Cacat.
Yang lebih mengenaskan dari itu, lima tahun lalu, hari ini, tepat pada tanggal 9 Maret-agenda nahas alasanku tidak pernah lagi berniat mengingat yang orang-orang biasa rayakan, ulang tahun.
Flashback On~
9 Maret 2016
Pagi hari itu membawakan aura yang amat gemilang. Oliver Hugo berhasil menjadi juara pertama penari dansa terbaik tingkat kelas menengah dan berkesempatan menjadi penampil solo, di salah satu teater musikal termegah di Zürich, Bernhard Theater³.
"Iver! Selamat ulang tahun!" seru Alfred Hugo dengan bangganya.
Pipi putranya jadi bersemu merah, "Ah Ayah, sudah yang ke delapan kali pagi ini Ayah menyelamatiku."
Keduanya sedang berada dalam perjalanan menaiki taksi yang melaju landai menuju ke Bernhard Theater. Salju lebat yang turun pagi hari itu menyelimuti Zürich, tak mampu membekukan semangat antusiasme ayah-anak di dalam sebuah taksi kuning.
"Kau ini, tidak tahu betapa bangganya ayah. Kemenanganmu adalah kado ulang tahunmu sendiri."
"Ekspektasi Ayah ini terlalu tinggi."
"Hey apa-apaan? Kamu ini memang penari yang sangat berbakat!"
"Haha terima kasih ayah."
Bahkan sang supir pun tak bisa menahan senyumnya menyaksikan antusiasme mereka dari kaca spion.
Atelelele~
Atelelelelet~
"Oh Bunda menelepon," kata Iver sambil mengangkat panggilan pada ponselnya.
"Halo, sudah sampai mana Ver?"
"Masih setengah jalan Bun, taksinya nggak dibolehin melaju cepat, salju sedang turun lebat soalnya."
"Baiklah pelan-pelan saja. Yang penting hati-hati sampai sana, kamu nggak akan telat kok."
Alfred menggerakkan jemarinya, meminta Oliver untuk memberikan ponsel itu padanya. "Iya Sayang, aku masih nggak enak nih kamu nggak bisa ikut pergi menonton pertunjukan perdana Iver karena tiket kursinya habis terjual."
"Ah sudahlah, menonton dari televisi rumah bersama ibu-ibu tetangga juga nggak kalah seru."
"Ya sudah ya Bun, ku tutup teleponnya," ujar Oliver memutuskan sambungan sebelum Ayah dan Bundanya mengobrol terus hingga bisa-bisa baterai ponselnya berkurang banyak.
"Iya! Bersenang-senanglah di atas panggung."
Tiit.
Tepat sepersekian detik setelah panggilan telepon diputus, sebuah truk tronton besar bermuatan kayu melaju kencang dari arah berlawanan. Rem truk yang sangat pakem berlawanan dengan jalan tol yang diselimuti licinnya es-membuat truk itu tergelincir menabrak taksi yang ditumpangi Oliver dan ayahnya.
Kecelakaan hebat terjadi. Supir taksi selamat dengan mengalami luka serius, ayah Oliver meninggal dunia karena berusaha melindungi putranya dari himpitan besi mobil-yang pada akhirnya Oliver selamat, dengan kaki kanan yang harus diamputasi.
Flashback Off~
Usai doa malam untuk Ayah, aku jadi tak banyak bicara. Kuputuskan untuk kembali ke kamar saja daripada sesak terus-terusan menyaksikan isak tangis bunda. Setidaknya mengurung diri di kamar jauh lebih baik.
Kuraih kotak musik pemberian bunda di atas nakas. Kubuka dan terlihatlah porselen balerina mungil dengan ukiran nama emas pada alas patungnya.
Shindy.
Kuputar tuas pada kotak musik itu hingga alunan nada terlantun. Musiknya membuatku larut dan terenyuh. Sekuat apapun, tak mampu lagi kutahan bulir-bulir di pelupuk mata yang jatuh bebas bak air bah.
Lullaby malam ini, berduka.
₊̣̇.ෆ˟̑*̑˚̑*̑˟̑ෆ.₊̣̇.
Tengah malam-menjelang dini hari. Aku tengah dalam kondisi telentang di atas ranjang. Saat kurasakan hawa dingin berdesir menyusupi pori-pori kulit tubuh.
Kotak musik di atas nakas masih mengalunkan irama yang tenang memanjakan pendengaran. Sampai alunannya terhenti secara tiba-tiba, begitu juga dengan si balerina yang mogok berputar. Tidak sebelum patung porselen mini itu berputar lima kali lebih dari kecepatan normalnya. Kotak musiknya kini dibalut asap bercahaya dan ....
Boom!
Asap yang menyelimuti kotak musik menghilang, begitu juga dengan si balerina. Lalu sesosok wanita berpakaian gaun dansa putih glamor berdiri tepat di depan ranjang tidurku. Topeng dansa—masquerade mask⁴ yang terpasang menutupi separuh wajahnya membuatku takut.
Namun tidak sampai ia menari dengan elegan-bersamaan dengan kotak musik yang tiba-tiba mengalun. Sorot rembulan yang masuk melalui celah-celah ventilasi lah yang menjadi lampu sorot untuknya.
Aku terpana.
Ia melesat cepat mengakhiri tarian solonya dan bersimpuh di samping ranjangku. Sosok ini makin mendekatkan wajahnya padaku dan mulai berbisik. Membuat bulu roma di sekujur tubuhku meremang. Merinding luar biasa.
"Oliver Hugo, selamat ulang tahun."
₊̣̇.ෆ˟̑*̑˚̑*̑˟̑ෆ.₊̣̇.
Keesokan harinya aku terbangun dari mimpi aneh. Ah, ini semua pasti karena kemarin Bunda terus saja membicarakan tarian. Aku mengambil kruk⁵ di sebelah kasur dan bersiap untuk membersihkan diri.
Saat tertatih-tatih merambati nakas untuk mencari handuk di laci, kusadari ada sesuatu tak asing di atas meja kecil itu. Sebuah masquerade mask. Topeng tari dansa berwarna hitam glamorn yang semalam dipakai penari wanita-yang keluar dari ....
Kupandangi kotak musik yang terletak di tempatnya. Di atas nakas yang sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Mana mungkin sih. Tuh kan, aku jadi berpikir aneh-aneh. Rumor Tuan Fantasi gila itu sepertinya sedikit demi sedikit mulai mengintimidasiku. Kuambil topeng itu, harus kutanyakan dulu pada Bunda.
"Bun! Bunda! Ini masquerade mask punya siapa?"
Bunda yang keluar dari dapur sambil membawa dua mangkuk sereal-memicingkan matanya. "Bunda baru aja lihat, kamu dapat dari mana?"
Aku makin tak percaya mendengar itu, kugelengkan kepalaku cepat sebelum kecamuk aneh memaksa masuk menghantui pikiranku. "Sudahlah lupakan, Oliver mau keluar menghirup udara."
Tepat sesaat setelah aku menggerakkan kruk beranjak ke teras rumah, Bunda menggumamkan sesuatu.
"E-eh seperti topeng tari wanita. Jangan-jangan ...."
"Bunda?" lirihku heran.
"Ah nggak bunda nggak tahu, hati-hati Nak saljunya licin! Jangan lupa kelas homeschool-mu mulai jam 8!"
1369 words
Ensiklopedia✧˖*°࿐
1. Zürich: Zürich adalah kota terbesar pusat perdagangan di Swiss. Zürich menjadi salah satu kota yang sangat penting di dunia bersama Jenewa. Penduduknya berbicara bahasa Jerman Swiss.
2. Markt: (bahasa Jerman) pasar.
3. Bernhard Theater: Teater yang terletak di Sechseläutenplatz di Zürich. Teater ini didirikan oleh dan dinamai Rudolf Bernhard pada tahun 1941. Sampai sekarang, masih digunakan untuk acara pertunjukan seni terutama musikalitas.
4. Masquerade mask: Topeng penyamaran telah digunakan dalam film klasik seperti The Phantom of the Opera, Romeo and Juliet, Lone Ranger, dan Gossip Girl. Mereka masih digunakan di banyak jenis media saat ini.
5. Kruk: Suatu alat bantu jalan yang berupa tongkat dengan pegangan alat ditengah supaya dapat digunakan sebagai pegangan, pemakaian alat dengan cara dijepit di ketiak. Alat ini dibutuhkan bagi mereka yang mengalami patah kaki atau mereka yang cacat sehingga sulit dalam berjalan.
◣ Regards, Reyn ◥
hai, ketemu lagi di lapak berbeda :)
eh iya aku ada kasih Dear Mr. Fantasy reference, biar beda kalo sana latarnya Tambora ini di Swiss hwhw
oiya source ensiklopedia tentunya dari wikipedia dan sumber dukun internet lain yang terpercaya 😀🙏
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro