Cerita Sang Awan
Apakah kalian tahu? Sebuah perasaan dimana semuanya berpisah? Kesenangan itu kini hanya berlarut dalam kesedihan. Ku tahu bahwa semua ini akan hancur tapi ku terus bertahan walau akhirnya hanya menerima luka.
Hari ini ku termenung di meja makan. Tersenyum sendiri saat mendapat notif darinya bahwa Ibu sedang pergi. Kekuatan apa yang membuatku harus tersenyum lagi melihat sebuah foto dirinya.
Hari ini di Bandung tanggal satu agustus dua ribu dua puluh lima. Hujan turun dan membasahi daratan. Hmm, mungkin katak berkata bahwa aku tidak memanggilnya. Pasti, hanya pendongeng bodoh yang terus berkata itu.
Ku membuka jendela kamar dan melihat bagaimana kehidupan ini telah berbeda daripada dulu. Aku tak mengerti mengapa ku terus memikirkannya. Tapi, hatiku terus menyebut namanya.
Tolong sampaikan rinduku padanya Hujan. Hujan tolong agar hari itu tak terulang di pikiranku. Aku tidak ingin. Sungguh aku tak ingin.
"Hai kamu!" ku membalikkan badanku dan melihat seorang tersenyum tipis.
Dirinya menghilang dan ku harus tertunduk sedih. Mengapa! Mengapa dirinya harus muncul! Apakah aku harus membunuh otakku sendiri.
Ku mengumpat kesal. Apa aku terlalu bodoh untuk seorang manusia memikirkan orang yang telah mati.
Tuhan! Ku ingin pergi saja dari dunia ini dan panggil saja ku ke sisimu. Aku ingin itu.
Hatiku merasa sesak kembali saat mengingatnya. Mengingat sebuah masa dimana ku dapat mengenal perasaan. Perasaan indah yang ku kenal dengan nama cinta.
☁
"Kamu nggak mau pergi?"
Dia bertanya sambil memegang buku novelnya. Novel dengan nama hujan itu di genggamnya. Begitu erat dengan jaket coklatnya, sampai-sampai saling bersentuhan.
"Kamu ngga bosan?" tanyaku sambil melirik novelnya.
"Apa?" tanyanya balik.
Ohh ternyata dia ngga peka akan yang ku maksud. Aku tidak apa-apa apabila dia tak mengerti juga. Ku melangkahkan kakiku keluar apartemen, dirinya mengikuti dari belakang.
Air mengatakan pada Awan kalau dirinya tak bisa pulang. Iya, namanya Air dan aku Awan. Air dan Awan sungguh Indahkan?
Dirinya sudah terjebak untuk pulang karena hujan. Air melihat ke atasnya, awan mulai cerah kembali sambil memperlihatkan sebuah pelangi. "Aku pulang yah!" ucapnya.
Ku tersenyum. "Ga mampir dulu ke kafe?" tanyaku.
Air tersenyum sambil mengibaskan tangannya tanda salam perpisahan tiba. "Ngga apa-apa kok, tenang aja besok juga bisa."
Air pergi ke rumahnya dengan jalan kaki. Air tidak menyukai hujan, tapi hujan suka mengguyur Air kalau dirinya tak hati-hati.
Malam ini ku duduk di kursi apartemenku lagi. Mengotak-atik HPku sambil memainkan permainan kecil di tahun 2018. Sepertinya, permainan ini cuma dimainkan anak kecil saja hahaha.
Pekerjaan sebagai karyawan biasa membuatku banyak waktu senggang. Kebiasaan ini sudah dimulai sejak temanku menyaraniku memainkan game SAO ini.
Namanya Bintang. Laki-laki sekaligus sahabat ku dari kecil. Air, Awan, dan Bintang. 3 serangkai yang selalu saling membangun.
Ku mulai bosan dan melihat Instagram. Banyak orang ku follow disini. Kebanyakan hanya untuk sebuah tips permainan.
Ting!
Ku melihat ada notifikasi yang memperlihatkan updatean terbaru darinya. Walau, hanya sebuah quotes biasa tapi kata-katanya itu selalu menyejukkan. Ku memberi like pada postingannya.
'Hati ini tersenyum sendiri tanpa pernah mengatakan sejujurnya.'
Ku terdiam melihat kata-katanya. Sebuah rangkaian kata itu seperti misteri atau hmm teka-teki besar. Apa yang sebenarnya ia katakan? Apakah ia tak jujur pada seseorang?
Ku menggelengkan kepala untuk melupakannya mungkin tidak baik berbuat so udzon pada sahabat sendiri. Sebatas sahabat itu indah.
Ting!
Ahh ada pesan darinya. Ku melihat bahwa ia sedang online di IG. Ku langsung saja mengirim pesan padanya.
Airi.putri
Aku:lagi ngapain?
Air:lagi nunggu hehehe
Aku:nunggu siapa?
Air:rahasia :)
Setelah chattan itu ku terdiam. Sebaiknya, percakapan itu di hentikan saja.
Ku mematikan ponselku sambil menyimpannya di meja. Diriku bernafas perlahan menenangkan jantung. Jantungku berdetak agak cepat dari biasanya. Perasaan ini begitu aneh. Ku harus bertanya pada siapa? Apa pada Bintang? Baiklah akan kucoba bertanya padanya.
Keesokannya diriku datang ke rumah Bintang. Rumahnya agak besar untuk satu keluarga tinggal di dalam. Satu yang special di rumah ini adalah adanya banyak tanaman tumbuh di perkarangan.
Udaranya dingin berarti cukup oksigen, hahaha pastilah namanya juga bumi. Ku mengetuk pintu rumah Bintang lalu seseorang membukanya. Seorang berumur kepala 6 itu masih saja menjaga anak bungsunya.
Kami bertatap satu sama lain. Awalnya bingung namun senyumanku sepertinya menyadarkannya. "Oh nak Awan yah. Ayo masuk!"
Yahh; ini sudah pasti kebiasaan Ibu Bintang yang matanya mulai rabun. Mata itu tetap saja tidak ingin di pakaikan kaca untuk memperjelas penglihatannya. Sudah berapa kali ku menawarkan membelikannya kacamata tetapi Ibu Bintang tetap teguh pada pendiriannya.
Ruangan ini masih tidak ada perubahan. Tetap sama seperti dulu; yang pastinya sebuah karpet tua ini. Ibu Bintang menawarkan membikinkan teh. Karena, terbilang haus ku terpaksa mengiyakannya walau agak merepotkan.
Ku berjalan menaiki beberapa anak tangga menuju kamar Bintang. Ku lihat kamarnya tidak dikunci. Karena penasaran langsung ku dobrak pintunya untuk mengagetkannya.
"Hoi!"
"Apa?" tanyanya sambil duduk di kasur. Wajahnya dingin.
Huhh pasti lagi bermain game online. Ku duduk di kasur putih Bintang. Rapih sekali.
"Hmm Bintang! Kalau cinta itu apa?" tanyaku polos. Iya aku memang agak polos dalam hal beginian mungkin lelaki sepertinya mengetahuinya.
Bintang ikut terbangun lalu duduk di sampingku. Ponselnya di matikan. "Untuk apa kau bertanya seperti itu?"
Aku tak mengerti mengapa ku harus bertanya seperti ini. Namun, ada yang ingin terus menarikku untuk mengetahuinya.
Ku menggeleng pelan, "ayolah kau masa gatau cinta. Cinta itu seperti sebuah perasaan pada seseorang. Jelas?" tanyanya.
Ku tersenyum sendiri. "lalu siapa orang yang kamu cintai?"
Bintang mengerutkan alisnya. Tunggu, aku tak bercanda sungguh aku ingin tahu.
"Kau bakal tahu besok di kampus." ucapnya memberi petunjuk.
Bintang mengambil kunci motornya. Dirinya pergi keluar untuk mengambil uang terlebih dahulu. Tunggu, siapa yang Bintang cintai apakah Air?
Deg!
Rasanya ada yang aneh. Perasaan apa ini. Hatiku berasa sakit. Sakitnyapun terasa di pikiranku. Cemburu. Mungkin, hatiku sedang berkecamuk saat ini.
Pagi di kampus. Keadaan disini agak tenang untuk meringankan badmood. Para anak Universitas Pajajaran semakin banyak akhir tahun ini. Mungkin, mereka lebih semangat menyambut kelulusan mereka.
Motor hitam ini melaju ke tempat parkir. Banyaknya yang sudah bekerja membuat mereka memiliki penghasilan sendiri; coba aku yang dapat lebih seperti mereka. Dengan bekerja sebagai karyawan di perusahaan gajiku agak sedikit besar dalam perbulan apalagi mereka.
Ku melihat kanan dan kiriku. Mengapa rasanya sepi sekali? Apakah pelajaran sudah dimulai lebih awal daripada biasanya.
Ku berlari ke dalam gedung dan hampir saja menubruki kerumunan orang disini. "Ma-maaf ada apa ini?" tanyaku pada orang di depan.
"Awan yah! Aduh ini bapak mau masuk tapi ada yang malah pacaran." ujar Pak Wahyu.
Pak Wahyu agak kesulitan menerobos orang-orang sedari tadi. Bahkan, sebelum aku datang ke arah gedung sepertinya. Ku membantu Pak Wahyu membawakan laptopnya sambil ikut membantunya melewati kerumunan.
"Air!" teriak seseorang yang suaranya tidak asing lagi.
Bintang! Untuk apa dia disini. "Maukah kamu jadi pacarku?"
A-apa ini? Ku melihat ke arah kiriku. Bintang menggenggam tangan kanan Air. Raut wajah Air sepertinya sedang kebingungan untuk memutuskannya. Air kumohon janganlah kamu menerimanya.
"Maaf.." Air terdiam.
"Ada apa?" Bintang bertanya namun nada tinggi suaranya sudah tak enak di dengar.
"Aku ga bisa nerima kamu." Wajah Air semakin sembab. Air yang ku lihat sebagai gadis ceria, semakin berbeda.
"Aku ga bisa! Maaf!" Air berlari menjauhi kerumunan. Orang-orang memberi jalan untuknya.
Larian Air pergi menuju suatu tempat, tepatnya ke dalam lapangan basket. Ku harus mengejarnya. "Pak ini laptopnya maaf Pak!" ku memberikan laptop Pak Wahyu dengan cepat.
Ku berlari mengejarnya. Menatap sekeliling tempat. Tidak ada orang begitu sepi. Baiklah, ini lebih leluasa tuk mencarinya.
"Awan!" teriak seseorang yang agak keras.
Dari jauh ku lihat. Dari banyaknya rentetan tempat duduk, hanya ia sendiri. Air tersenyum sambil mengelap bekas tangisannya. Baju coklatnya mulai kusut. Air berdiri dan menghampiriku. Wajahnya tetap seperti biasa, tersenyum.
"Lo gak belajar?"
"Ngga." jawabku singkat.
"Kenapa lo ngga terima Bintang?" ku agak ragu bertanya seperti ini. Mengapa juga ku bertanya seperti ini.
"Rahasia!" Air menjulurkan lidahnya seperti mengejek.
Apakah secepat ini kamu menerima keadaan. Ku tak bisa mempercayai hatimu serta pikiranmu sekarang ini. Kamu pasti terluka saat menolak Bintang.
Ku mendekat padanya. Memeluk tubuhnya dengan lembut. "A-apa?!"
Air agak sedikit kaget melihat perlakuanku yang jarang seperti ini. "Lo harus diem keluarin semuanya." ucapku.
Tangan Air perlahan memeluk tubuhku. "Kenapa kamu harus segininya sama aku." perlahan tapi pasti tangisan mulai membasahi bajuku.
Aku tahu saat ini kamu terluka karena harus menolak Bintang. Tapi, mengapa Bintang harus melakukan itu dengan percayanya menembak Air di depan umum. Air kalau kamu tahupun ku memiliki perasaan padamu, maaf ku mengerti bahwa pasti kamu tak pernah menerimanya.
Air menangis sejadi-jadinya di pelukanku. Ku mengelus rambutnya yang hitam. Menghirupnya pelan, merasakan sesaknya perasaan Air sekarang. "Awan apa yang harus aku lakuin? Jawab Awan! Hiks.."
Air mulai melepas pelukannya. Terdiam mengelap air matanya. Mukanya masih sembab. "Aku pergi dulu!" Air keluar dari lapangan. Langkahnya pelan karena tenaganya sudah habis untuk dijadikan tangisan.
"Air!"
"Apa?" dirinya berhenti.
"Kenapa.."
"Ada apa?" tanya Air yang mulai membalikkan tubuhnya penasaran.
Ku mendekati Air dan Air mulai melangkah mundur. Ku menatap matanya yang masih merah itu. "Kenapa kamu ga terima Bintang? Apa kamu ngga suka?" tanyaku lebih halus.
Apakah aku harus mengucapkannya disini. Apakah ia benar tidak menerima Bintang. Apakah hatinya harus berkata lain.
"Aku bukan tidak suka... tapi ku menyukai seseorang. Mau tahu?" tanyanya. Air mulai melakukan teka-teki lagi. Air melanjutkan langkahnya.
Gadis itu agak berlari untuk saat ini. Ku mengejarnya dan menyamakan langkahku dengannya. "Siapa yang kamu suka?" tanyaku sedikit terburu-buru.
Jalanan aspal mulai terinjak-injak. Sepatu hitam Air terus mengajaknya berlari. Air tersenyum. "Inisialnya A!" langkah Air semakin cepat, "terus?"
Teman cewek Air mengibaskan tangannya. Teman sebelahnya memperlihatkan sebuah buku tebal tentang ekonomi. "Maaf gua pergi ke kelas dulu!"
Alasan lagi. Alasannya pasti beragam dan tidak dapat diganggu gugat untuk seorang Air yang diberikan banyaknya pertanyaan. Ku melepaskannya lagi untuk ke 515 kalinya. Hufhh lain kali ku harus mencegahnya kabur.
🌠
Ku membanting tubuhku di kasur. Air mengapa kamu menolakku. Ku kurang apa bagimu tuk menerimaku.
Pengorbananku ternyata hanya sia-sia saja. Mengharapkan seseorang di sukai lalu kamu nekat menyatakannya langsung dan dirinya balik memberi luka, hahaha bodoh! bodoh! Ku terlalu bodoh untuk menyukainya!
Sahabat kini masih berlakukah? Bagiku, bagi dia, dan bagi Awan. Maafkan aku Awan ku terlalu jahat melakukannya di depan umum.
Ku tak mengerti perasaanmu seperti apa bagi Air. Hati Air yang bahagia, ku rusak bagaikan piring mahal yang di pecahkan.
Larian Air dengan tangisan, hati ini merasa terus bersalah.
Ting!
Ku membuka handphone di meja. Banyak notif dengan mentag akun Instagram Ku. Notif ini terus membawaku melihat lebih dalam. Sebuah foto aku dan Air yang berada di depan kampus.
Adrian_12: 'Wahh lihat sok pd banget!'
Lucupi: 'Mo taruh dimana itu muka?!! @Bintang11'
Ratusan hujatan terus tertuju padaku. Salahku. Ini semua salahku. Tidak! Ini semua salah Air.
AIR! KU HARUS BUNUH DIA! LO HARUS SEHARUSNYA MATI AIR! LO UDAH BUAT GUA GILA SEKARANG DAN IMBALANNYA BERIKANLAH DARAH LO!
💧
Kemana semuanya? Disini sepi. Awan kemana kamu? Ku membutuhkan kamu sekarang. Kalau kamu tahu aku seperti ini.. apa yah yang bakal di lakukannya?
"Dokter cepat tolong putri saya!"
Suaranya samar sekali. Pendengaran ku ada apa Ini? Semakin tidak jelas. Suara peralatan serta monitor ini mirip seperti di rumah sakit. Orang-orang itu berwarna hijau gelap. Cahaya ini menyilaukan mataku.
Ku tak dapat bergerak. Air kenapa berat sekali tubuhmu ini? Ahh sakit ada apa di bawah sana. Perutku rasanya terkoyak habis. Penyakitku sepertinya sudah merenggut nyawaku lagi. Kanker yang tak dapat ku sembunyikan.
"Suster kita pindahkan ke ruangan."
Ruangan apa yang mereka maksud. Suara mereka semakin jelas. Pendengaranku sudah kembali. Mataku terbuka perlahan. Ada rasa berat yang tak dapat ku tahan, bagai besi saja.
Wajah mereka berdua terlihat sedih dari sini. "A-Ayah? Ibu?"
Ibu terperanjat kaget dan memegang lenganku. Hangat. Ayah meneriakkan 'dokter' drngan keras. Orang yang dipanggilkan datang dan meremeriksa langsung keadaanku.
"Apakah luka tusuknya dan kanker itu tidak menyebar hebat?" Ayah terlihat panik dari gurat wajahnya.
Awan kalau kamu ada apa akan seperti Ayah sekarang ini. Ayah yang kaget dan Ibu yang menangis.
"Pisau berkarat itu membuat infeksi hebat pada kanker. Kanker itu menjadi menyebar luas dan.." ucapan dokter berhenti sekejap. Pikirannya sedang menimbang sesuatu.
Tangan Ayah mulai mengguncang tubuh besar dokter itu. "Apa dok apa?!"
Dokter menggeleng pelan, "Kami sudah tak dapat menolongnya lagi. Tapi, saya perkirakan anak bapak memiliki waktu 24 jam lagi."
Arghk!!
Ibu menangis keras. Lebih keras daripada saat dia mengetahui keadaanku yang waktu 10 tahun lalu. Ayah pergi keluar bersama para dokter serta suster.
Tenang sekali di dalam sini. Tubuhku pun terasa sangat lemas. Lemas sekali. Ku ha-harus kuat. Ini demi Awan. "Ibu bolehkan ambilkan tasku?"
Mata Ibu masih merah. Ibu mengambilkan tasku lalu diriku mengeluarkan catatan buku kecil. Ahh apa yang bakal ku tulis yah buat bikin Awan nangis.
Ku tulis seluruh perasaanku padanya. Setiap 2 jam hidung ini mengeluarkan darahnya. Ibu masih menangis sambil mengelap darah putrinya.
Berjam-jam sudah berlalu belum ada yang datang dan ku bersyukur karena hal itu dapat terjadi disini. Seluruh luka ku ingin tahan sebentar saja.
Ku lihat jam dinding menunjukkan jam 4 subuh. "Ibu bangun.." suaraku semakin mengecil. Ibu melihat ke arahku pelan. "Ibu kalau matahari sudah terbit kasih ini pada Awan yah.. Aku mau sholat dulu."
Ibu meneteskan air matanya lagi, ku mengelapnya dengan jariku pelan. Ku berwudhu dengan debu dan berniat sholat subuh. Nafasku agak tersenggal-senggal. Sakit sekali sakaratul maut ini ya alloh. Bismillah.. ya Alloh semoga Awan bisa menerimaku di sisimu nanti. "Ashadu alla illaha ilallah.."
Mata Ibu melebar dan menggengam tanganku. "Wa ashadu anna muhammadarrasulullah.."
Titt!!
Suara monitor menyeru ke isi ruangan. Ibu menangis di tangan putrinya dengan kencang. Ayah terdiam menutup tangisannya menggunakan telapak tangannya.
Dokter dan Suster menghembus pasrah. Ibu dan Ayah saling berpelukan karena tak kuat melihat selimut putih itu menutup Air. "Ayah putri kita!"
Ayah menenggelamkan kepala istrinya lebih dalam. Menatap sendu kepergian anaknya.
☔
Aku melihat bagaimana seseorang yang ku sayangi, Air yang ku sayangi telah dipanggil ke sisi mu ya rabb.
Baju hitam ini melihat bagaimana Air dimasukkan ke dalam liang lahat. Hatiku begitu remuk saat mendengar kematiannya yang cepat. Bintang juga sudah di tahan dan di jebloskan ke dalam jeruji besi.
Hari dimana dia berbalik melihatku mungkin adalah pertemuan terakhir kami sebelum perpisahan yang sebenarnya.
Semua yang ikut mengantarkan kepergian Air telah pergi. Hanya ada diriku bersama Ayah serta Ibu Air. "Awan ada pesan untukmu dari Air."
Ibu Air mengambil sesuatu dari dalam tasnya. "Ini!" sebuah kertas berwarna pink. Ku mengambilnya dan ada 3 lembar. Jadi, ini adalah pemberian Air sebelum ia wafat.
'Assalamualaikum!
Lagi apa nih?
Awan makasih yah untuk seluruh kenangannya.
Lo pasti bakal tahu siapa yang bunuh gue.'
Ku membuka lembar kedua. Ada gambar ia dengan emot sedih.
'Sebenarnya, gue udah punya penyakit kanker lambung dari kecil.
Tapi, gue ngga mau kalau setiap orang harus terus bersedih cuman karena kondisi gue yang berbeda. Saat gue sedih sendiri lo terus semangatin gue. Dan, Awan sekarang lo buka kertas kecil yang gue lipat di kertas tiga.'
Lembar ketiga kosong, perlahan dan terlihat hanya ada lipatan kertas putih hanya disana. Ku membukanya perlahan.
'AKU SAYANG KAMU.'
Ku terdiam melihat hal ini semua. Mengapa hal yang ku tunggu harus berada di akhir. Mengapa kesabaranku harus di uji terus-menerus. "Ma-makasih bu!" ku memeluk Ibu Air.
Air terima kasih. Terima kasih atas semua yang kamu berikan. Air kata-katamu dan kertas ini akan terus ku pegang dan dijaga dengan baik. Rasanya hatiku agak tenang.
Hanya saja masih kurang.
Belum bisa kukatakan.
Kata "selamat tinggal" dari mimpi akan hari-hari yang telah di hitung.
Betapa buruk kita melepaskan.
Betapa baik kita mengenal.
Akankah aku masih bisa tertawa walau belum merasakannya?
⛅
"Awan!" teriak seseorang dari bawah. "Apa bun?" ku bergegas turun ke bawah. Melihat seluruh kerabatku berkumpul.
"Kalian semua.."
"Bintang!" ku memeluk sahabatku itu. "Kita pergi berdoa ke makam Air."
Hari ini saat ku termenung melihat hujan reda. Seluruh orang terdekat tersenyum. 1 Agustus 2025. 7 tahun yang lalu kita mengalami perpisahan namun ingat bahwa persahabatan ini akan terus berlanjut walau salah satunyapun menghilang.
Teman-teman Air berkumpul di rumahku. Mereka mengajak untuk berziarah ke makam Air. Air sudah lama yah kita tidak bertemu walau di batasi dengan tanah ini. "Air semoga kamu bahagia.."
*END*
Ditulis dengan 2678 kata + Author is Note
Yahh ini ceritanya publish kemarin jumat dan makasih bagi yang udah baca.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro