Petaka Sabun Colek
BAGI Umar, curhatan Pak Panti tadi sore entah kenapa lebih mirip nasihat. Entah kenapa tadi Pak Panti seolah-olah berkata, "Jangan menyerah, Umar! Jangan galau kayak Bapak! Cukup Bapak aja yang gagal move on, kamu jangan!"
Maka, Minggu pagi pun menjadi hari di mana Umar harus tahu rahasia yang bikin Angel menjauh. Dan untuk itu dia tidak bisa melakukannya sendiri. Dia butuh dukungan. Kekuatan penuh seluruh personel UPIL pasti akan memberi dampak besar.
Tapi masalah timbul waktu muncul pertanyaan ketika Umar mengajak Prima dan Ilham, "Kenapa lo harus ke tempat Angel?"
Umar diam sejenak. Dia berpikir keras untuk menemukan jawaban paling logis, paling masuk akal tanpa harus jujur kalau dia suka sama Angel, dan sekaligus turut menggoda personel UPIL lainnya untuk berpartisipasi.
"Di sana ada WiFi ...."
"Oke, kita pergi," ujar Prima dan Ilham serempak.
Mereka pun berangkat, dan bahagia dengan motivasi yang berbeda. Kalau Prima dan Ilham bahagia karena bakal dapat sinyal WiFi, berbeda dengan Umar yang bahagia sebagaimana layaknya orang-orang yang jatuh cinta. Sebagaimana mereka yang cenderung melihat yang indah-indah. Mereka yang seolah enggak kenal dengan segala kemungkinan buruk. Seolah dalam hidup ini hanya ada satu pilihan yang ada: bahagia.
"Di sini?" tanya Prima ketika Umar berhenti mengayuh sepedanya.
Umar mengangguk. "Kita sampai," katanya seraya menatap sebuah rumah dengan pagar paling tinggi di kompleks.
Ternyata jarak antara rumah Angel ke panti cuma 100 meter. Selama ini (enggak lama-lama banget sih) Angel ternyata enggak pernah benar-benar pergi jauh. Dia cuma pindah status jadi "tetangga". Dan yang paling bikin Umar lega adalah: dari dalam rumah baru Angel betulan ada sinyal WiFi ....
"Emang sih ada Wifi ..., TAPI PASSWORD-NYA APA!?" protes Prima sambil memegang HP-nya.
Umar ternyata melewatkan satu fakta penting yang sebenarnya enggak terlalu penting karena tujuannya ke sana cuma minta kejelasan sama Angel: WiFi di rumah Angel dikunci pakai password.
"Justru karena itu kita butuh Angel," ujar Umar yang berhasil mencari alasan buat ketemu Angel.
"Tapi kenapa harus Angel? Kenapa bukan bapaknya aja?" tanya Ilham asal.
Karena gue sukanya sama Angel, bukan bapaknya, pikir Umar.
"Karena bapaknya galak! Kalian ngapain rame-rame ke sini?" celetuk seseorang yang adalah bapak Angel. "Pulang sana!"
"Kami udah sampai sejauh ini, dan dengan gampangnya diusir begini? Om kira kami bakal pulang dengan tangan kosong!?" ujar Ilham setengah mengancam. Dia sudah lama banget enggak update status di internet.
"Jadi kalian mau apa?" kata bapak Angel.
"Minta password WiFi!" Prima ikut-ikutan mengancam.
"O-om ...," sapa Umar, canggung.
"Umar! Ada kamu ternyata! Kebetulan banget Om lagi mau curhat!" kata bapak Angel.
Umar menatap lega ke arah bapak Angel. Dia lega setelah tahu Angel menjadi anak dari sepasang suami-istri penyayang. Dia kenal banyak sama orang tua angkat Angel. Kalau para tetangga mengenal orang tua Angel adalah orang paling kaya di kompleks, Umar sendiri mengenal mereka sebagai pekerja keras.
Terutama bapak Angel. Saking pekerja kerasnya, dia bahkan sanggup melakukan pekerjaan lunak: dia pernah jadi penguras jamban waktu merantau mencari pekerjaan di Afrika Selatan. Dan berkat pengalaman traumatis itu, dia jadi punya kebiasaan mengosongkan septic tank para tetangganya karena di kompleks enggak ada jamban. Dan berkat itu pula-lah, di antara para tetangga muncul perdebatan soal "misteri bersihnya septic tank". Dan kelak misteri bersihnya septic tank akan menjadi legenda daerah, dan turun-temurun diceritakan dari anak ke cucu tanpa tahu dalangnya siapa, dengan Umar yang jadi saksi bisu-nya. Shhh!
"Tapi, Om, saya ke sini buat ketemu Angel," kata Umar.
"Angel-nya di sini. Kenapa?" ujar Angel mendadak muncul. "Kalau soal ucapan gue waktu itu, jawabannya masih sama."
"Emangnya apa sih rahasia yang sampe bikin lo menjauh dari gue?" balas Umar frustrasi.
"Rahasia, Mar. Kalau lo sampe tau, kita mungkin gak bisa sahabatan lagi ...."
"Tapi emangnya ada sahabat yang gak mau ketemu sama sahabatnya sendiri?"
Tapi Angel cuma pergi seakan Umar enggak penting, seakan persahabatan mereka dari kecil bukan apa-apa.
Dan untuk memecah suasana yang enggak enak, bapak Angel pun berkata, "Kalian tau gak kenapa Om bikin pagar tinggi-tinggi?"
"Kenapa, Om?" tanya Prima dan Ilham yang sebenarnya enggak mau tahu, tapi cuma demi kesopanan.
"Kalian pikir daerah ini sepenuhnya aman? Ada bahaya besar yang menunggu di luar sana! Sama kayak kerjaan Om dulu, di sekitar sini berkeliaran pedagang organ manusia! Tapi Om sudah gak kerja gitu lagi kok-tobat. Om sudah cerita sama Umar. Dia tau."
Baik Prima dan Ilham bergidik, lalu menghadap ke arah Umar untuk memastikan. Ini kenapa alur ceritanya berubah horor, ya? Hedeh ....
Umar mengangguk. Ya, dia memang tahu. Tapi dia tidak tahu bahwa tak jauh dari situ, dari dalam mobil sedan mewah, sepasang suami-istri memperhatikan dengan gelagat mencurigakan. Shhh!
*****
Malamnya, sebelum tidur, Umar masih kebingungan soal rahasia macam apa yang bikin Angel menjauh. Apa itu jangan-jangan karena dia kurang wangi? Kalau itu masalahnya, berarti dia harus berhenti jadi saudara seperketekan Prima dan Ilham. Beradu ketek dengan personel UPIL lainnya sama halnya seperti mencampur senyawa asam yang satu dengan yang lain.
"Kira-kira apa yang bikin Angel ngejauh, ya?" gumam Umar tanpa sadar.
"Klise, Mar, klise. Dia ngejauh pasti gara-gara gak mau bergaul sama anak panti kayak kita lagi, gak mau deket-deket sama yang masa depannya gak jelas kayak kita," jawab Ilham ketus. "Iya kan, Prim?"
"Mungkin," jawab Prima.
Dengan setengah jengkel, Ilham melanjutkan, "Orang kayak Angel itu bagusnya di-AHHHHHHH-"
"Yak, mati lampu, Saudara-Saudara," keluh Umar dan Prima serempak.
"AHHHHHHH-fiuh, untung udah nyala lagi ..., eh, selain gelap karena mati lampu, kalian tau apalagi yang gelap dan gue takutin?"
"Lipatan ketek gue?" kata Umar spontan.
"Bukan. Tapi masa depan kita ...," kata Ilham dengan mata menerawang jauh.
"Gue cuma mau diadopsi bareng kalian," celetuk Prima.
"Gue juga ...."
"Gue juga ...."
"Kita juga ...."
Para personel UPIL pun berpelukan. Mereka terharu ....
Sementara itu Udin, si figuran nasi kotak, semakin jarang muncul. Belakangan ini diketahui dia punya hobi baru: mencuci baju. Bahkan tiap pagi dia muncul dari pintu ke pintu menawarkan jasa mencuci baju secara cuma-cuma. Parahnya lagi, dia bahkan cenderung jadi fanatik. Dia akan melakukan apa saja supaya orang mau memakai jasanya. Mulai dari cara yang halus kayak, "Baju lo kok rada kotoran gitu sih? Lo tau gak kalau kuman penyebab penyakit itu bisa menyerang kapan saja melalui pori-pori kulit? Sini dicuciin!" Atau, kalau yang agak kasar cenderung ke arah kriminal kayak, "Lo kok bajunya kotor gitu!? Lepasin gak! Sekalian sama celananya! Lepasin di sini, saat ini, gak mau tau! CEPETAN!"
Panti pun seketika berubah jadi tak aman. Setiap penghuninya resah, seakan kapan saja pakaiannya bisa dipaksa untuk tanggal. Seluruh anak panti enggak ada yang tahu pasti sejak kapan kegiatan mencuci baju jadi mendarah daging bagi Udin. Mereka cuma tahu Udin bakal uring-uringan kalau sehari enggak mencuci baju. Dan Umar tahu apa alasan di balik hobi baru si Udin. Shhh!
Kalau dipikir-pikir, sebenarnya hobi si Udin termasuk kategori hobi yang membantu sesama-dia membersihkan baju yang kotor. Namun pada prakteknya, Udin enggak pernah pilih-pilih korban. Mau itu bersih atau kotor, semua harus dicuci. Yang kotor dicuci, yang bersih dikotori supaya kemudian bisa dicuci. Dan sekarang, tepatnya tengah hari, para personel UPIL lagi dikejar Udin yang berlari telanjang dada dengan badan dilumuri oli. Niatnya sih biar gampang mengotori baju para personel UPIL.
"Jangan kabur, UPIL! Kalian itu UPIL, jadi harus kayak upil: kotor!" lengking Udin. "Cepetan diem! Berhenti woy! Gue udah capek!"
"Gue juga ...," kata Ilham.
"Gue juga ...," Prima ikut-ikutan.
"Kita udahan, ya ..., gue ngerti lo butuh baju kotor, Din, tapi gak gini juga caranya. Masih ada banyak cara yang lebih halal," jelas Umar sok bijak kepada Udin. "Ayo kita pulang, berpelukan, dan berdamai layaknya seorang saudara ...."
UPIL dan Udin pun berpelukan karena terbawa suasana.
"Makasih, Mar, sekarang gue sadar lo lebih bego dari yang gue duga." Udin tersenyum licik menunjuk baju para personel UPIL yang kena oli dari badannya. "Bajunya gue yang cuciin, ya ...."
Dalam perjalanan ke tempat cucian di belakang panti, Udin sudah banyak memakan korban. Sekarang dia sudah menenteng selusin baju lengkap dengan celananya. Dan dari kebanyakan korban, rata-rata pakaiannya diambil paksa cuma gara-gara kena tetesan air pas lagi minum "air putih". Sungguh sebuah tragedi ....
Sesampainya di tempat cucian, para personel UPIL pun memberontak. Mereka sepakat bahwa Udin layak menerima ganjaran. Dan rasanya, enggak ada ganjaran yang lebih pas dibanding merebut seluruh pakaian kotor dari Udin, lalu mencucinya perlahan-lahan di depan mukanya. Sekilas itu memang agak bodoh dan tak layak dianggap hukuman. Tapi bagi penggiat mencuci baju seperti Udin, itu azab.
Dan Udin pun pasrah setelah melewati pergolakan batin. Dia tak punya dan tak diberi pilihan. Dia hanya bisa mengangguk lemah ....
"Tapi, minimal izinin gue berkontribusi melalui sabun colek gue," Udin memelas.
"Tenang, Din, kami gak sekejam itu kok," kata Umar sok dewasa seraya menepuk pundak Udin, "kasih aja sabunnya ke Ilham. Tangan gue licin kena oli, susah buka bungkusnya."
"Tangan gue juga licin, Mar. Tadi gue melukin Udin terlalu erat. Suruh Prima aja," kata Ilham.
Prima mengangguk. Kebetulan dia satu-satunya orang yang enggak memeluk Udin penuh nafsu. Dan setelah bungkus sabun coleknya dibuka, Umar dan Ilham mulai mencuci helai demi helai pakaian kotor di depan Udin. Mereka berdua tampak puas ....
"Din, gue lagi nyuci kerahnya lho!" goda Umar.
"Ini celananya gue kucek, Din!" Ilham ikut-ikutan.
"Wih, sabun colek lo wangi banget, Din! Ini mereknya apaan sih?" goda Umar, lagi.
"I-nni sabun c-col-ek yang l-ag-gi prom-mo berhad-ddiah di TV ...," akhirnya Prima berbicara, "dan gue dapet hadiah utama pas lagi gosok bungkusnya-GUE DAPET SERATUS JUTAAA!"
Suasana berubah hening. Detik selanjutnya baik Prima, Ilham, dan Udin ditemukan saling menindih satu sama lain. Mereka rebutan bungkus sabun colek.
"Bodoh amat sama cuciannya, Din! Lo boleh ambil semuanya! Gue duitnya aja!" seru Ilham. "Lo juga, Prim! Serahin aja bungkusnya sama gue!"
"Lo kira gue bego!? Lo pikir nyerahin duit seratus juta pilihan yang rasional, Ham!?" tolak Prima. "Lo juga, Din! Lo urus baju kotor aja deh!"
"Itu bungkus sabun colek gue, Bego! Gue yang beli! Jadi serahin sekarang!" ujar Udin, yang perlahan-lahan menjadi tokoh yang cukup penting dan layak "diperhitungkan" dalam cerita ini.
Umar diam di tempat. Dia mengambil waktu untuk berpikir sejenak. Di saat seperti inilah dibutuhkan sosok yang dewasa, sosok yang mampu melerai pertikaian, yang mampu mendinginkan suasana. Dan dia sadar Pak Panti yang tiba-tiba muncul bukanlah sosok yang memenuhi kriteria, meskipun dia "tua". Kenapa Pak Panti tak memenuhi kriteria? Itu karena Pak Panti menaruh dendam sama Udin. Pak Panti sendiri sebenarnya adalah orang yang pakaiannya paling sering diambil paksa. Dan kedatangannya pun cuma untuk mengambil pakaiannya yang barusan diambil paksa.
Sadar tak ada yang bisa diandalkan, Umar pun melerai sendirian.
"Biarin gue yang nentuin siapa yang pantes menangin hadiah sabun coleknya!" tegas Umar yang sudah merebut bungkus sabun colek yang jadi rebutan. "Jadi, yang layak dapetin adalah-"
"Gue! Karena tujuan gue mulia!" celetuk Prima.
"Bukan, tapi gue! Tujuan gue lebih mendesak!" potong Udin.
"Kalian gak ada hak! Yang beli sabun colek itu gue!" Udin memperkeruh.
"DIAM!" bentak Umar. "Gini, mending gue bongkar aja rahasia kalian satu-satu biar kalian bisa nilai sendiri siapa yang lebih berhak!"
Baik Prima, Ilham, dan Udin serempak setuju. Mereka satu sama lain yakin dengan kepentingan pribadi mereka masing-masing.
"Prima, tujuan mulia. Lo butuh duit itu untuk jadi dokter spesialis kulit, supaya bisa mencegah banyak orang biar enggak kena kudis kayak lo dulu ...."
Prima mengangguk ragu-ragu. Dia bingung antara harus bangga sama tujuan mulianya, atau justru malu karena aib soal kena kudisnya tersebar.
"Ilham, tujuan lo mendesak. Lo butuh duit itu untuk operasi plastik. Kenapa? Jawabannya gampang banget: lo jelek."
Ilham mengangguk setuju alih-alih marah dibilang jelek di depan umum. Pada beberapa orang yang terjerat situasi tertentu, kadang uang mampu membeli harga diri.
"Dan Udin, lo-"
"Lo gak pantes dapet apa-apa, Udin, selain goceng buat ganti duit beli sabun colek lo!" celetuk Ilham. "Tujuan lo gak ada! Gak penting!"
"Ya, bener!" Prima setuju. "Jadi duit hadiahnya bakal dibagi dua buat gue sama Ilham! Lagian, lo gak butuh-butuh duit banget, kan?"
"Siapa bilang gue gak butuh?" jawab Udin. Wajahnya tersenyum penuh arti. Dan Umar tahu senyuman Udin adalah untuk kabar buruk. Shhh!
BOOM!
Tiba-tiba pintu panti dibanting terbuka. Kemudian disusul lengkingan tajam, "UDINNN! KELUAR LO, UDIN! BAYAR UTANG-UTANG LO! GUE TAU LO TINGGAL DI SINI!"
UPIL dan Udin buru-buru mencari sumber suara. Ketika mereka sampai, ternyata seisi panti sudah berkumpul di sana. Mereka bingung dengan keberadaan seorang wanita asing yang menatap tajam Udin. Tak ada yang bisa menjelaskan situasi yang tengah terjadi, kecuali Udin dan Umar.
"Batas waktunya udah lewat! Bayar utang-utang lo sekarang!" ujar si wanita asing kepada Udin. "Setelah ditambah bunganya, totalnya seratus juta, ya! Cepet!"
"LO NGUTANG SAMA RENTENIR, DIN!?" Ilham kaget.
"SERATUS JUTA BUAT APAAN, UDINNN!?" kata Prima. "LO PAKE NARKOBA JANGAN-JANGAN!"
"Gak gitu, gue bisa jelasin ..., gue sama sekali gak pake narkoba. Semua ini gara-gara sabun colek. Semua ini gara-gara sebuah merek sabun colek ternama ...," ujar Udin sambil menatap penuh arti. "Seandainya aja gue gak terjerat segala keinginan duniawi ini ...."
"NGOMONG APAAN SIH LO!?" bentak Ilham.
"CEPET JELASIN!" Prima geram.
"Gue pake seratus juta buat beli sabun colek biar menangin bungkus sabun colek berhadiah yang kita rebutin barusan," kata Udin dengan satu tarikan napas.
"Dan sekarang kalian udah bisa nilai kan siapa yang pantes dapetin duit hadiahnya?" ujar Umar kepada Prima dan Ilham.
Prima dan Ilham mengangguk paham. Umar benar-Udin memang lebih butuh duit dibanding mereka. Kemudian Umar pun membayar hutang si Udin dengan bungkus sabun colek di tangannya. Dan itu agak berat sebenarnya, karena Umar sadar bungkus sabun colek di tangannya mewakili mimpi sahabat-sahabatnya, mewakili mimpi saudara-saudaranya. Ini tentang cita-cita mulia Prima dan tentang Ilham yang enggak pengin jadi yang paling terbelakang soal tampang ....
Panti pun kembali damai ketika rentenir itu pergi.
"Tapi gue masih bingung. Lo kan ngutang buat menangin hadiah dari sabun colek ..., sadar gak kalau jumlah utang lo sama nomimal hadiah utama sabun colek itu sama? Lo jadi dapet apa sih!?" tanya Prima, satu-satunya orang yang berpikir paling jernih.
"Gue dapet apa? Gue dapet persediaan sabun colek selama setahun, dan itu gue simpen di gudang. Makanya belakangan ini gue jadi suka nyuci baju ...," kata Udin tersenyum bangga dalam dialog terakhirnya pada cerita ini. Sekarang dia bukan figuran nasi kotak semata. Dia sudah dapat banyak dialog panjang.
Nyaris seisi panti mencerca udin dalam hati, "BEGO LO!"
Jawaban Udin sukses bikin seisi panti memandang dengan sebelah mata. Tapi Umar tahu alasan Udin yang sebenarnya adalah karena ingin punya pencapaian. Selama ini Udin enggak pernah punya prestasi. Paling enggak, minimal pas melamar pekerjaan nanti di CV-nya dia bisa bikin: pemenang hadiah utama sabun colek. Tanpa diundi lho!
Kadang hidup adalah soal prestise, soal kebanggaan. Sama halnya kayak Udin, yang melalui prestasi ingin dianggap ada.
Tiap rahasia punya alasannya sendiri. Dan Umar jadi saksi kunci setiap rahasia yang ada. Shhh!
*****
"Wanita yang nagih utang tadi Susan ...," gumam Pak Panti, yang dari tadi bengong dan baru bicara pas anak-anak panti mau bubar.
Umar kaget. Susan adalah nama mantan pacar Pak Panti yang bikin gagal move on!
"Dari mana kamu kenal sama dia, Din!?" kata Pak Panti seraya mengguncang bahu Udin dengan dramatis. "Kasih tau Bapak!"
"Saya dapet nomornya dari selebaran di tiang listrik. Bapak mau?" kata Udin. Kali ini benar-benar jadi dialog terakhir Udin. Janji deh ....
Pak Panti mendadak tersenyum. Tapi anehnya, senyumnya malah bikin Umar cemas.
"Bapak senyum kenapa?" Umar gelisah.
Tiba-tiba Pak Panti memberi isyarat agar seluruh penghuni panti kembali berkumpul. Lalu dia berseru, "ADA KABAR BAIK, ANAK-ANAK! PANTI KITA BAKAL PUNYA UTANG!"
Yang pernah ngerasain kayak si Udin mana suaranya??
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro