Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2 [2/5]

2 - Second Meeting

--oOo--

Kicau burung gereja terdengar cukup nyaring dari balik jendela. Cahaya mentari sudah mencuri-curi tempat untuk menyinari celah kamar yang masih remang-remang.

Vania pamit untuk berkeliling setelah menyelesaikan sarapan paginya dengan hidangan lezat dari seorang nenek yang notabene pemilik penginapan tersebut.

Yukata berwarna biru dengan obi merah-hitam melekat di tubuhnya sedari tadi. Sudah merupakan kebiasaan bagi para turis melakukan kegiatan di dalam ryokan dengan memakai yukata, termasuk jalan-jalan ke luar.

Gadis itu memakai geta sebelum menapakkan alas kakinya tersebut di jalan. Kepalanya menoleh ke sekitar, mencari tempat yang menarik perhatiannya.

Hingga iris kecokelatan itu berhenti pada sebuah toko bunga di seberang jalan. Tempat dia pertama kali bertemu dengan pria manis kemarin sore. Mengingatnya saja membuat kedua sudut bibir Vania terangkat ke atas tanpa diperintah, ditambah semburat merah tipis di pipinya.

Suara tepukan alas geta beradu dengan aspal jalan yang belum dilalui banyak orang pagi itu. Vania mengerjapkan matanya tatkala langkahnya telah terhenti di depan pintu kaca, tersadar dengan apa yang ia lakukan.

'Ugh ... Kenapa aku ke sini!?' batinnya berteriak.

Vania membalikkan tubuhnya, bergegas menjauhi tempat itu. Namun, suara pekikan seorang pria tiba-tiba terdengar, memekakan telinganya di saat yang bersamaan.

"Ada gadis cantik! Aku pasti bermimpi! Ini masih pagi!"

Gadis itu terpaksa mengurungkan niat untuk kabur kemudian berbalik untuk mengecek siapa yang berseru seperti perempuan tadi.

Seorang pria berambut caramel tampak mengulas senyum ceria sambil membuka pintu kaca lebar-lebar. Sebuah celemek berwarna hijau melingkari pinggangnya, tangannya terangkat untuk menyambut kedatangan si gadis.

"Selamat datang di toko bunga kami, Nona Cantik! Anda datang di waktu yang pas saat toko buka. Biarkan saya mengantar Anda melihat-lihat!"

Vania hendak menolak, tapi dia merasa tidak enak hati pada pria berisik di depannya. Kepala dianggukkan penuh paksaan. Kakinya pun mengekori langkah pria tersebut masuk ke toko.

Aroma bunga mendominasi indera penciuman kedua insan tersebut. Wangi dan menyegarkan. Gadis itu tampak merasa nyaman di dalam sana. Iris kecokelatan miliknya mengamati berbagai bunga yang memanjakan mata.

Pria berambut caramel itu mengoceh tak henti-henti tentang jenis bunga yang dijual di toko tersebut. Namun, Vania lebih fokus dengan pengamatannya dibanding omong kosong pria itu.

Pandangan terpaku pada bunga dengan kelopak berwarna kebiruan. Mata Vania berbinar ketika menatapnya dan pria di dekatnya tadi terlihat menyadarinya.

"Anda menyukai bunga ajisai itu, Nona?"

Vania menoleh pada si kepala caramel sembari mengangguk, mengulas senyum manis yang membuat dada pria tersebut berdegup kencang. Rona merah langsung menyebar di pipi pria itu dalam sekejap.

"K-Kalau begitu ambil saja, Nona! Gratis~ Saya akan membungkuskannya untuk Anda!"

Mata gadis itu membulat saat mendengar penyataan si pria. Bukan maksudnya untuk meminta atau mendapatkan bunga tersebut secara cuma-cuma.

"Tidak, Tuan. Aku akan--"

Sebuah pukulan mendarat di kepala si pria sebelum Vania menyelesaikan perkataannya. Tatapan horor dia layangkan pada pria pendek di sebelah si kepala caramel.

"Kau bilang apa, Aho!? Gratis!? Gratis, kepalamu! Yuuki-san akan murka jika kau memberikan secara gratis! Kita sedang krisis moneter, sialan!"

Pukulan lanjutan menghujami tubuh pria malang tersebut. Pria berambut belah tengah itu menghentikan pukulannya setelah merasa cukup. Vania bergidik ngeri pada pria pendek nan galak di hadapannya.

"Jadi, apa kau mau membeli bunganya, Nona?" Seringan tercetak jelas di wajah pria berambut belah tengah itu.

Vania mengangguk sambil menelan ludah pahitnya di kerongkongan. Gadis itu melangkah menuju meja kasir lalu mengeluarkan beberapa lembar yen dari dalam tas mini yang dibawanya.

Si pria meninggalkan rekannya yang sudah babak-belur ke meja kasir. Si kepala caramel mendengkus sebal pada pria pendek tadi.

Tangan si belah tengah membungkus bunga hydrangea dengan cekatan kemudian menukar bunga tersebut dengan yen di tangan si gadis. Seringaian masih tersungging di wajah menyebalkannya.

"Terima kasih sudah berbisnis dengan kami, Nona. Datanglah lagi."

Vania membungkuk sopan sebelum berbalik dan memutar kedua bola matanya. Dia merasa kasihan dengan pria berisik yang menyambutnya tadi. Gadis itu melangkahkan kakinya ke luar toko sembari membawa bunga hydrangea di tangannya.

Bruk!

Bagian bawah tubuh Vania mencium ubin toko lebih dulu dibanding yang lainnya. Bunga hydrangea miliknya jatuh dan tergeletak mengenaskan di lantai.

"Maafkan aku, Nona."

Suara itu lagi.

Gadis itu mengangkat wajahnya guna memastikan kalau tebakannya tidak meleset. Benar saja, itu adalah pria manis kemarin sore!

Pipi Vania memanas ketika jemarinya bertautan dengan pria itu yang berniat baik membantunya bangun. Dia menelan ludah. Jantungnya seakan mencoba melompat ke luar dari tempatnya.

"Maaf soal bungamu, Nona. Aku akan membungkuskan yang baru."

Pria itu menyunggingkan senyum manis, beranjak mendekati tempat bunga ditanam. Jantung Vania makin tidak karuan detaknya setelah melihat senyuman pria tersebut. Kupu-kupu dalam perutnya seakan semakin menggila.

"Apa-apaan kau, Jitsui!? Kenapa kau memberikan bunganya secara gratis!?" ucap si pria belah tengah dengan nada ketus pada pria manis tadi.

Namanya Jitsui. Akhirnya gadis itu mengetahuinya tanpa bertanya langsung pada pria tersebut.

Pria berambut sewarna jelaga itu menghela napas panjang sebelum menyelesaikan buket mininya untuk diberikan pada Vania.

"Aku yang akan membayarnya, Hatano-san. Kau tidak perlu khawatir. Jadi, berhentilah mengoceh," kata Jitsui sembari mengulas senyum yang membuat bulu roman si belah tengah--Hatano meremang.

Vania berjengit dari posisinya saat merasakan tangan Jitsui menepuk bahunya, membuyarkan segala lamunannya. Pria itu mengulas senyum manisnya sembari menyodorkan buket mininya pada Vania.

Rona merah di pipi gadis itu semakin terlihat jelas saja ketika dirinya memuji ketampanan Jitsui dari dekat dalam hati. Degup jantung semakin menggila tatkala punggung tangan Jitsui menempel pada dahinya.

"Kau sakit, Nona? Wajahmu memerah."

Vania menggeleng cepat sebelum membungkuk sopan. Kakinya melangkah lebar-lebar ke luar toko, ingin cepat-cepat kembali ke penginapan.

"Ah, apa kau Nona yang kemarin? Luka di kakimu sudah baikan?"

Gadis itu menghentikan langkahnya yang hampir menapak di aspal jalan. Vania menoleh ke belakang, mendapati Jitsui menatapnya dengan air muka khawatir.

Ia menelan ludah. Wajahnya semakin memanas saja. Bagaimana Jitsui tahu kalau kakiku terluka!? Vania mencak-mencak dalam lamunannya sendiri.

Dengan cepat gadis itu menganggukkan kepalanya, mengisyaratkan bahwa lukanya sudah tidak apa-apa. Jitsui mengulas senyum sebagai respon kemudian melambaikan tangannya.

"Datang lagi, ya?"

Sekali lagi, Vania dibuat menjelma menjadi robot yang hanya bisa mengangguk untuk merespon segala perkataan Jitsui tanpa mengucapkan kata-kata berarti.

Setelah jalanan mulai lenggang, gadis itu menyeberang sampai mencapai penginapan. Dia segera masuk ke kamarnya, meletakkan bunga hydrangea biru di atas meja kemudian melihat ke arah cermin.

Wajah tembam itu tampak dihiasi rona merah yang begitu kentara. Keringat pun tak lupa menambah kekacauan pada wajahnya.

"Pantas saja pria itu mengira aku sakit. Lalu, apa-apaan dengan perhatiannya? Dia mencoba merayuku?" gumam Vania sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

Vania Aileen Haynsworth tidak semudah itu ditaklukan, wahai Tuan Jitsui.

Namun, nyatanya jika dihadapkan dengan Jitsui secara langsung, pernyataan dalam benak gadis itu hanya tinggal omong kosong belaka.

Jujur dia tidak nyaman memiliki perasaan suka ini--yang membuat dirinya salah tingkah dan berbuat konyol sendiri, tapi dia juga tidak sepenuhnya benci. Menikmati suara detak jantungnya sendiri dalam setiap detiknya.

"Mungkin aku tidak akan sanggup melihat wajah Jitsui lagi besok. Tidak baik untuk jantungku. Aku akan fokus jalan-jalan saja mulai besok."

Vania sudah bertekad untuk menghindari pria manis kemarin sore itu. Dia mengabaikan perasaan memuakkan dalam dadanya.

Sungguh, dia berharap perasaan tersebut hanyalah sebuah angin lalu yang dapat dilupakan hanya dengan jalan-jalan ringan.

--oOo--

To be continued.

Total Words: 1187 words.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro