Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

38. What Should i do?!

Mike menatap prihatin kearah sahabatnya yang sudah berdiam diri duduk menatap jendela di kamar tidurnya dengan tatapan kosong sejak 4 jam yang lalu.

Mike harus menarik sahabatnya itu turun dari panggung karena laki-laki itu terlihat tidak berjiwa semenjak Rika menamparnya di tengah panggung, lalu membawanya ke rumah. Mike tidak bisa mengembalikan Rei ke keluarganya dalam keadaan seperti ini. Mike tidak tahu apa yang harus ia jawab kalau-kalau Keluarganya menanyakan apa yang terjadi pada semata wayang mereka.

"Rei, kau yakin tidak mau makan?" Tanya Mike setelah diam cukup lama memperhatikan Rei.

Tidak ada jawaban yang Mike terima. Mike terpaksa melangkah mendekati Rei, menepuk pundak laki-laki itu dan menariknya ke alam kesadaran sebelum raganya dimiliki oleh makhluk lain, dan itu menakutkan!

"Rei." Panggil Mike lagi.

"Apa yang harus aku lakukan lagi untuk membuktikan perasaanku pada Rika, Mike?" Gumam Rei. Itu adalah kalimat terpanjang pertama setelah ia terdiam.

"Mungkin Rika hanya terkejut melihatmu tiba-tiba naik keatas panggung, Rei." Mike mencoba membela Rika meski kalau ia pikirkan lagi, tidak ada reakso terkejut yang seperti itu kecuali kalau gadis itu kecewa.

"Rika membenciku, kan?" Tanya Rei pelan. "Kau sering bersamanya, kau pasti tahu kalau Rika membenciku sepenuh hatinya, kan?"

Mike menggeleng, namun karena gelengan itu tidak bisa di lihat oleh Rei, maka Mike menegaskan sangkalannya melalui ucapan. "Rika tidak seperti itu."

Rei menoleh, tatapannya antara suka dan tidak. Suka karena Mike benar, Rika bukan tipe orang pendendam. Tidak suka karena Mike yang mengingatkannya akan hal itu mengenai Rika.

"Lalu apa yang harus ku lakukan? Apapun yang kulakukan sekarang, tidak pernah terlihat baik di mata Rika. Apapun yang kulakukan seakan memiliki mata pisau yang selalu menyakitinya lagi... dan lagi... apapun yang kulakukan, aku tetap tidak bisa mengembalikan rasa percaya Rika padaku." Lirihnya mampu memilukan siapapun yang mendengar suaranya termasuk Mike yang tidak pernah melihat sahabatnya berada pada tahap separah ini dalam patah hati.

Tidak ada Rei si Idola sekolah, atau Rei yang angkuh dan disegani. Sekarang di depan matanya hanya ada Rei yang rapuh, lemah hanya karena seorang wanita yang menolaknya.

"Aku tidak mau mengatakan ini, Rei. Karena ini hanya akan terkesan menuduh tanpa suatu bukti. Tetapi... perubahan Rika, sepertinya ada hubungannya dengan apa yang Alika katakan pada Rika saat pertandingan dulu." Ucap Mike ragu.

Mata Rei melebar, seakan seluruh kesadarannya sudah kembali berkumpul, ia langsung berdiri dan berhadapan dengan Mike. "Apa yang Alika katakan?"

Mike menggeleng. "Aku tidak tahu. Rika hanya mengatakan kalau apa yang kau ucapkan di lapangan dulu, dan apa yang Alika katakan, sama. Rika mengucapkan sesuatu seperti batu loncatan atau sebagainya. Kurasa kau sebaiknya bertanya langsung-"

"That witch!" Geram Rei seraya mencengkram erat lengan Mike hingga Mike mengaduh tanpa suara. "Aku tidak pernah menjadikan Rika sebagai batu loncatan! Aku mencintai Rika, karena aku memang mencintainya! Aku harus menemui penyihir sialan itu!"

"Rei tunggu!" Seru Mike menahan lengan Rei. "Ini sudah malam."

"Aku harus segera menyelesaikannya, Mike! Aku tidak mau Rika salah pahan terlalu lama padaku. Aku tahu Rika mencintaiku, dan aku tahu rasa sakitnya terus menyangkal rasa itu." Sahut Rei tidak sabaran.

"Ada hal yang lebih penting dari itu sekarang, Rei." Teriak Mike tegas. Rei berhenti bergerak dan memperhatikan Mike dengan mata penuh tanya.

Apa lagi yang lebih penting dari Rika sekarang ini?

"Annastasia bilang kalau hasil beasiswa Harvard diumumkan hari ini." Mike berdeham dan menatap Rei, berharap ia tidak perlu melanjutkan ucapannya. Tetapi melihat wajah bodoh Rei, Mike yakin kalau Rei masih belum mengerti arah pertanyaannya. Jadi Mike mau tidak mau kembali melanjutkan ucapannya tadi, "Lalu bagaimana denganmu? Apa Harvard menerima calon dokter sepertimu?"

*

Rei menatap tanpa semangat kearah layar laptopnya. Tidak peduli berapa kali ia merefresh laman itu, tulisannya tidak berubah satu katapun.

Dirinya diterima di Harvard untuk jurusan kedokteran yang selama ini menjadi impiannya.

Itu artinya, selepas tahun ajaran ini, dirinya harus bertolak ke Amerika Serikat untuk menjalani program Foundation sebelum menempuh kelas kedokterannya di Harvard.

Dan itu artinya, ia hanya memiliki waktu 4 bulan dari sekarang sebelum meninggalkan Indonesia.

Lalu apa yang harus ia lakukan sekarang? Bagaimana dirinya bisa mengembalikan kepercayaan Rika kalau dirinya harus pergi lebih jauh lagi? Apa yang harus ia lakukan kalau akhirnya ia hanya akan kembali pada Rika untuk kemudian pergi lagi?

Apa yang harus Rei lakukan? Keduanya sama penting bagi Rei. Keduanya adalah masa depan dimata Rei. Rei tidak mau melepas salah satunya.

Tidak akan mau.

*

Hari Rei selanjutnya tidak seperti biasa. Berita mengenai dirinya di terima di Harvard membaca sukacita bagi seluruh keluarganya, tapi tidak dengan dirinya.

Pentas seni yang sejatinya berlangsung selama 2 hari itu alhasil hanya dihadiri pada hari pertama, diikuti oleh libur pribadi yang Rei ambil dengan alasan mengurus keperluan universitas yang nyatanya hanya dihabiskan seharian di atas kasur dengan tidak bersemangat.

Jangankan mengurus keperluan universitas, mengirim laporan daftar ulang saja belum. Padahal batas waktunya adalah akhir bulan ini, yang berarti besok adalah hari terakhir Rei harus mengirim pendaftaran ulang atau beasiswanya di Harvard hangus sia-sia.

Melihat keadaan satu-satunya penerus keluarga Hinata seakan sedang berada di jembatan antara hidup dan mati, Ibu, Ayah, dan Kakeknya mau tidak mau khawatir.

Tidak banyak yang bisa mereka lakukan karena menurut mereka, ini adalah masalah anak muda yang memang harus mereka selesaikan sendiri. Mereka harus belajar bertanggung jawab dan menyelesaikan masalah, bukan hanya membuatnya.

Tetapi kalau sampai masa depan sudah menjadi ancamannya, Kakeknya tidak bisa tinggal diam.

Sore itu, Kakeknya masuk kedalam kamar Rei, berharap bisa menarik Cucu satu-satunya itu kembali ke kehidupannya dan menjauhi kehancuran yang sedang ia tuju.

"Rei Hinata." Panggil Kakeknya begitu laki-laki tua itu duduk di sisi kasur Rei.

Rei mendengar panggilan itu, tetapi tidak berniat menjawab. Ia hanya merepon melalui gerak matanya tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.

"Sampai kapan kau mau menghancurkan hidupmu sendiri hanya karena cinta?" Tanya Kakeknya tanpa menoleh kearah Rei. Kakeknya sendiri sadar kalau dirinya ada andil dalam kondisi Rei saat ini. Laki-laki itu menghela nafas saat tidak juga mendapat jawaban dari Rei, ia kemudian melanjutkan ucapannya. "Kalau memang ini membebanimu... maka anggap saja perjodohan ini tidak pernah ada."

Rei yang tadi pasif merespon, kini langsung menegakkan tubuhnya dan menatap kakeknya seakan kakeknya baru mengabarkan kalau besok dia akan mati.

"Kakek tahu kau memikirkan Rika dan ancaman Kakek mengenai posisimu, kan? Maka itu, lupakan. Anggap saja itu semua tidak pernah ada." Ulang Kakeknya tanpa menatap Rei yang sudah menatapnya dengan mata menyala penuh kemarahan yang selama ini terpendam di dirinya.

"Apa maksud kakek?!" Tanya Rei tidak mampu mengontrol suaranya.

"Kejar mimpimu, lupakan perjodohan ini." Ulangnya.

"Setelah semua kekacauan yang terjadi, sekarang kakek memintaku melupakan perjodohan ini?! Kenapa tidak dari kemarin saat aku bersikeras membatalkannya? Kenapa tidak dari kemarin saat aku masih menatap Rika seperti kutu parasit?! Kenapa tidak dari kemarin saat aku membencinya? Kenapa harus sekarang? Kenapa harus disaat aku mau mempertahankan Rika? Kenapa harus disaat aku tidak bisa lagi kehilangan Rika? Kenapa harus disaat aku mencintai Rika? Kenapa?!" Seru Rei menyuarakan semua kegundahan juga kekesalannya. "Kenapa semua orang berpikir kalau aku menjadikan Rika sebagai batu loncatan agar aku bisa mendapatkan posisiku di rumah sakit keluarga? Kenapa bukan hanya Rika yang berpikir seperti itu, tetapi Kakek juga menuduhku hal yang sama! Kenapa tidak ada yang mempercayaiku kalau aku mencintai Rika bukan karena dia adalah syarat, tetapi karena dia adalah Rika!"

"R-rei..." gumam Kakeknya pelan. Terkejut mendengar kemarahan Rei yang meluap. Laki-laki muda itu sudah cukup menelan seluruh kekecewaannya selama ini, dan ini adalah puncak yang bisa di tahan olehnya.

"Kalau memang Rika tidak percaya kalau aku tulus mencintainya bukan karena syarat atau posisi, atau apapun, baiklah... Rei tidak akan menerima beasiswa di Harvard maupun menjadi dokter. Rei akan melakukan apapun kalau itu bisa membuat Rika kembali percaya padaku." Putus Rei.

"REI HINATA!!" Pekik Kakeknya terkejut. "Lalu siapa yang akan melanjutkan rumah sakit keluarga, hm?! Kau jangan gila! Harvard juga menjadi dokter adalah impianmu sejak kecil. Kau rela-"

"Aku rela, Kek!" Balas Rei. Ia kemudian terisak, "Aku rela kehilangan segalanya asalkan Rika percaya kalau aku mencintainya dan tidak menjadikannya batu loncatan atau apapun yang dia pikirkan mengenaiku. Aku rela asalkan Rika memaafkanku." Lirih Rei. Ia terjatuh di atas kasurnya dan mengerang frustasi.

Kakeknya yang melihat keterpurukan itu secara langsung, tidak tega dan menepuk pundak bergetar Rei. Ia tersenyum kecil dan memanggil nama Rei pelan.

Rei mengeluh dan menarik nafasnya dalam, "maafkan aku, Kek. Aku tidak bermaksud meneriakimu. Aku..."

"Rei, angkat kepalamu." Pinta Kakeknya. Rei menggeleng. Ia masih menunduk tak berani menatap mata Kakeknya yang baru ia teriaki.

Kemudian Rei merasakan sesuatu melingkar di lehernya, sebuah liontin menggantung di depan wajahnya. Begitu mengenali liontin itu, Rei langsung mendongak.

"Ini kalung Rika, kan?" Tanya Rei memastikan.

Kakeknya tersenyum tidak menggeleng, tidak juga mengangguk. Ia menjawab, "Balik liontin itu dan lihat nama yang ada disana."

Rei menurut dan membalik liontin itu, ia membaca namanya disana kemudian mengernyit. Kalau namanya yang tertulis disana, berarti ini miliknya, kan? Lalu kalung milik Rika?

"Kami menyimpannya untukmu dan berencana memberikannya kalau kau sudah besar." Ucap Kakeknya menjelaskan. "Satu liontin ini tidak memiliki arti, kau harus menemukan pasangannya. Tapi Kakek yakin kau sudah menemukan pasangannya, kan?"

"Kalungku dan kalung Rika...?"

Kakeknya mengangguk, "kami memang sudah berencana menjodohkan kalian sejak kecil, ingat? Tetapi sekali lagi, kakek dan siapapun tidak bisa memaksakan perasaanmu, kami hanya bisa berusaha mendekatkanmu dan memasrahkan perasaan kalian pada diri kalian sendiri."

Rei mengernyit tidak mengerti, kepalanya terlalu penuh akan permasalahannya, menjadikannya tidak dapat berpikir jernih selain dirinya dan Rika memang memiliki sebuah benda pengikat selama ini.

"Cinta bisa menunggu, Rei. Tetapi cita-cita dan impianmu, tidak akan bisa menunggu." Kakeknya kembali menepuk pundak Rei pelan. Ia tersenyum menyemangati cucunya, "Kalian sudah pernah berpisah lebih jauh dan lebih lama dari ini. Kakek yakin, 4 atau 5 tahun lagi, jika kalian memang ditakdirkan bersama, kalian akan bertemu lagi."

"M-maksud kakek?" Gumam Rei. Ia mengerti maksud kakeknya, tetapi hatinya tidak mau untuk mengerti.

Kakek tidak lagi menjelaskan, tetapi hanya menepuk pundaknya dan melangkah pergi.

Rei mengerti, Kakeknya meminta untuk mengambil beasiswa itu dan berarti menyerah sementara akan Rika. Rei mengerti, tetapi hatinya tidak.

Apa yang harus ku lakukan?

***

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro