Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

34. It's Not the Same. No it's Never the Same!

It's not the same,
No, it's never the same
If you don't feel it too.
If you meet me halfway,
If you would meet me halfway,
It could be the same for you.
- Realize, Colbie Caillat

***

Rei menatap ponselnya dengan mata lelah. Berpuluh-puluh pesan ia kirim pada Rika, tidak satupun balasan yang ia dapat.

Aku sudah melakukan hal yang benar, bukan? Aku sudah mengatakan kalau kami masih bertunangan, kan? Aku bahkan sudah mengatakan keseluruh siswa-siswi kalau aku dan Alika sudah berakhir. Tapi kenapa...

Setelah pernyataan itu, tidak ada respon apapun yang di dapatkan Rei selain kekecewaan yang terlihat jelas di mata gadis itu.

Tidak ada keterkejutan seakan gadis itu sudah tahu sebelumnya akan apa yang akan ia katakan.

Bahkan ketika Rei mendekatkan diri kearah gadis yang ternyata telah menangis itu, menarik gadis itu kedalam pelukannya, tidak ada kalimat bantahan atau usaha untuk membuat Rei menjauh. Tubuh gadis itu seakan tidak bertulang.

Lemah... lelah... pasrah.

"Kali ini, bukan karena ancaman Kakek. Tapi karena aku memang menginginkan pertunangan ini."

Kalimat itu yang Rei bisikkan ditelinga Rika sebelum gadis itu sesengukan di dadanya dan membalas pelukannya.

Tapi hanya itu.

Hanya pelukan itu dan segalanya kembali berbeda.

Gadis itu seakan tidak berjiwa. Yang tersisa hanya raganya. Bahkan ketika Rei menawari untuk mengantarnya pulang, Gadis itu hanya diam sepanjang jalan dan turun begitu sampai. Meski Rei bertanya atau mengajaknya bicara, Rei seperti bicara pada patung.

Namun sekali lagi, dimana letak kesalahan Rei?

Apa ia terlalu memaksa? Memaksakan kehendak untuk mengungkapkan sebuah fakta?

*

Menyerah tidak pernah menjadi sebuah pilihan. Setidaknya tidak bagi Rei.

Pagi-pagi sekali Rei sudah menyambangi rumah Rika dengan seragam olah raganya untuk mengajak gadis itu pergi bersama. Jarak 2x lebih jauhpun sanggup ditempuhnya meski ia harus bangun lebih pagi disaat ia sulit tidur semalam.

"Ohayo, Ojii-san!" Sapa Rei begitu Kakek Rika membukakan pintu di hadapannya.

"Oh, Ohayo, Rei! Ayo masuk." Ajak Kakek Rika yang memberikan senyum ramah kepadanya.

"Aku ingin menjemput Rika, Kek. Apa Rika sudah si-"

Wajah kakek Rika berubah menjadi senyuman miring sebelum menyela ucapan Rei. "Rika... sedang tidak enak badan, Rei. Jadi dia tidak masuk sekolah hari ini. Kakek sudah mengabari Mike mengenai itu."

Senyum di wajah Rei juga menghilang. Apa karena Rika sakit? Bersamaan dengan deklarasinya kemarin? Atau karena Rika ingin menghindari dirinya? Atau karena kakek yang sudah lebih dulu mengabari Mike?

"Kakek tidak tahu kau akan kemari, karena beberapa hari belakangan, Mike yang terus menjemput Rika, jadi Kakek memberitahu Mike agar ia tidak perlu kemari." Seakan bisa membaca kekecewaan di wajah Rei, Kakek Rika menjelaskan cepat alasannya menghubungi Mike daripada Rei.

Rei mengangguk maklum. Meski hatinya masih terasa ada sebuah batu ganjalan.

"Tapi, Rei... Apa kemarin terjadi sesuatu? Rika terlihat murung dan dia bahkan tidak menyentuh makan malamnya." Mata tua Kakek Rika menatap pemuda di hadapannya dengan tatapan cemas. "Rika tidak mengatakan apapun ketika Kakek bertanya."

Rei menghela nafasnya. "Aku sudah memberitahunya, Kek. Mengenai pertunangan kami."

Kakek Rika tersenyum, mengangguk mengerti dan menepuk bahu Rei, seakan menguatkan pemuda itu. "Dunia tidak berakhir meskipun Rika mengabaikanmu."

Rei mengulas senyum simpul dan memgangguk. "Boleh aku menemui Rika sebentar, Kek?"

"Keatas saja. Kakek akan membuatkan sarapan untukmu. Pasti datang sepagi ini kau belum sarapan, kan?" Tanya Kakek yang dijawab anggukan oleh Rei.

"Terima kasih, Kek."

Rei lalu berjalan menaiki undukan tangga menuju ke lantai dua, berhenti di depan pintu kamar Rika dengan langkah ragu.

Bagaimana kalau Rika kembali bersikap dingin kepadanya? Bagaimana kalau Rika tidak mau melihatnya? Bagaimana kalau...

Berhenti menjadi pengecut, Rei! Kau bahkan belum mencobanya! Kau bahkan sudah melakukan hal memalukan dengan mendeklarasikan cintamu kemarin. Satu atau dua penolakan dari Rika tentu tidak akan membuatmu mati! Batin Rei menggerutu. Ia menarik nafasnya dalam, dan mengangguk. Ya, kalau ingin menang, jangan pernah memasukkan kata menyerah kedalam sebuah pilihan.

Rei mengetuk pintu di hadapannya, kemudian membukanya perlahan sebelum mendapat sahutan dari dalam.

"Rika?" Panggil Rei. Matanya menatap lurus ke satu-satunya kasur yang berada di kamar itu, dimana satu orang gadis masih berbaring, menggulung dirinya dengan selimut tebal tanpa menghiraukan panggilan Rei barusan.

Rei berjalan mendekat dan melihat gadis itu memejamkan matanya.

Ia tidak tidur. Entahlah, tapi Rei tahu kalau Rika sedang tidak benar-benar tidur saat ini. Meski matanya memejam, tapi Rei bisa melihat bibir bawah gadis itu yang sepertinya sedang digigit. Menandakan gadis itu sedang gugup.

Tanpa mempedulikan kegugupan gadis itu, Rei duduk di sisi kasurnya, dan menyentuh kening gadis itu dengan telapak tangannya.

Sedikit demam. Mungkin karena tenggelam kemarin?

Rei tersenyum miring melihat wajah Rika yang kembali terlihat gusar. Apalagi saat Rei mengelus lembut kepalanya seakan Rika adalah barang pecah belah yang rentan terhadap sentuhan.

"Maaf, Rika." Gumam Rei. "Maaf kalau ternyata aku masih mengambil keputusan egois." Dengan mengatakan hal sesensitif itu tanpa memikirkan perasaan Rika setelahnya, bisa dikatakan egois, kan?

Rika mendengar ucapan Rei. Ia tidak tidur seperti dugaan Rei. Ia pura-pura tidur begitu mendengar suara Rei yang memanggilnya. Dan permintaan maaf Rei barusan sukses membuatnya kembali menangis setelah semalaman ia menangisi dirinya yang selama ini selalu menjadi pihak terbodoh.

Bagi Rika, permintaan Maaf Rei adalah karena Rei kembali mengambil keputusan egois untuk mengorbankan dirinya lagi, menjadikannya batu loncatan dan kembali membodohinya dengan kata cinta. Rika kehilangan kata-katanya untuk menanggapi Rei yang dirasanya sudah menang telak atas kekalahan dirinya yang total, bahkan disaat Rika mengira dirinya akan menang, ternyata Rika sudah kalah. Dan selalu kalah.

Rika masih memejamkan matanya meski airmatanya sudah mengalir dari sudut mata. Ia tidak lagi mendengar suara Rei, namun masih merasakan kehadiran laki-laki itu di sekitarnya.

Dan saat sisi kasur Rika bergerak, Rika merasakan selimut bawahnya tersibak sedikit. Sentuhan lembut menyentuh pergelangan Kakinya yang terkilir, kemudian sesuatu yang empuk di letakkan di bawahnya, dan Selimut yang tersibak tadi, perlahan kembali menutup.

Rika menahan nafas saat ia mencium wangi parfum Rei yang kemarin di hirupnya ketika tidak bisa menahan tangis di pelukan Rei.

Sentuhan lembut benda kenyal yang asing bagi Rika, menyentuh keningnya.

Rei menciumku? Jantung Rika berdebar kencang. Ia khawatir Rei bisa mendengarnya dan tahu kalau ia hanya pura-pura tidur.

"Maafkan aku, Rika-chan."

Tubuh Rika menegang sesaat. Dan ketika langkah Rei menjauh, disusul dengan bunyi pintu yang tertutup, Rika membuka matanya dan membiarkan airmata mengalir bebas dari sana.

Ia menegakkan posisinya dan menatap kekosongan yang tersisa. Tangannya bergerak menyentuh keningnya yang masih menyisakan jejak hangat dari kecupan Rei. Dan matanya tertuju pada Kaki dan alas lembut yang masih tertutup selimut.

Ia menyibak pelan selimutnya, mendapati kakinya yang masih sedikit bengkak akibat kemarin kembali terkilir setelah menendang dinding akibat melakukan putar balik saat berenang, kini terbaring nyaman diatas boneka beruang miliknya.

Makanya kembali mengarah ke pintu, dan ia kembali menangis tanpa bisa mengatakan satu kalimatpun untuk menggambarkan keresahan dan kebimbangan hatinya saat ini.

Ia ingin mempercayai Rei lagi, tapi rasa percayanya telah habis akibat perbuatan laki-laki itu sendiri. Rika bahkan tidak tahu apa ia harus senang, atau malah sedih dengan kenyataan yang ia dapatkan ini.

***

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro