Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. First Touch!

Rei membuka mata pagi itu dan memijat kepalanya. Ia melihat jam yang terletak di nakasnya yang menunjukan pukul tujuh pagi. Seingatnya, hingga pukul tiga malam, ia masih terjaga akibat memikirkan ucapan Alika dan juga alasan untuk membatalkan pertunangan ini. Rei mengerang kesal, meskipun sudah berpikir semalaman, ia tidak juga mendapatkan jawaban yang diinginkan.

Rei bangkit dari kasurnya dan berjalan ke kamar mandi hendak mencuci mukanya, namun Rei merasa pagi itu terasa janggal karena ia tidak mendengar suara keluarganya yang biasanya sudah berisik dari subuh untuk mempersiapkan acara liburan keluarga.

Setelah mencuci mukanya, Rei bergegas keluar kamar dan mendapati keheningan luar biasa. Apa mereka masih belum bangun? Rei berjalan kearah kamar orang tuanya dan mendapati keheningan lain, begitu juga kamar Kakeknya.

Baru hendak bersyukur karena merasa dirinya sudah ditinggal pergi, ponsel di saku celana Rei bergetar menandakan telepon masuk dari kakeknya.

"Kau sudah bangun ternyata." Sahut Kakeknya terdengar riang di seberang sana. "Kalau begitu cepat bersiap dan jemput Rika di rumah. Aku dan Kakeknya juga ayah dan ibumu sudah hampir sampai di penginapan."

"Apa?" Seru Rei tidak percaya. Kenapa mereka sudah hampir sampai? Kenapa mereka meninggalkannya?

"Hanya itu yang bisa kau katakan? Berterima kasih lah karena kita tidak akan mengganggu waktu kalian di perjalanan." kata kakeknya penuh kemenangan. "Cepat, Rika menunggumu!" Panggilan itu terputus sebelum Rei bisa mencerna apa yang kakeknya katakan saat otaknya masih belum berfungsi maksimal pagi itu.

Seperti hari sebelumnya, yang bisa Rei lakukan atas keputusan egois kakeknya hanyalah mengerang kesal. Rei kemudian bersiap-siap dan mengambil beberapa helai baju yang akan ia pakai dan menjejalkannya secara kasar di dalam tas. Sebelum memutuskan untuk meninggalkan kamarnya, Rei melihat sekeliling dan memastikan kalau tidak ada barang keperluan lainnya yang tertinggal.

Mobil Rei melaju memotong kemacetan menuju rumah Rika yang berjarak satu jam dari rumahnya. Waktu menunjukan pukul 9 dan ternyata Rika sudah menunggu diluar rumahnya. Begitu Rei sampai, Rika langsung masuk tanpa menunggu perintah Rei.

Rei dan Rika terdiam sebentar sebelum Rei memacukan mobilnya menuju pantai. Kalau di pikir, ini adalah kali pertama mereka ditinggal berdua di dalam satu mobil setelah kejadian malam itu. Mengingat kejadian itu, Rei hanya tersenyum masam meskipun tiba-tiba saja jantungnya berpacu tidak karuan cepatnya.

Setidaknya menurut Rei dan Rika, mereka tidak perlu berduaan lagi setelah mereka sampai di pantai nanti. Setidaknya itulah yang mereka yakini saat itu. Tidak ada dari mereka yang membuka suara meski hanya bertegur sapa sampai mobil Rei masuk ke daerah penginapan yang tidak asing bagi Rei.

Rei dan keluarganya sudah sejak dulu sering menghabiskan beberapa liburan di penginapan ini, karena pemilik penginapan ini adalah anak dari sahabat kakeknya. Maka Rei dan keluarganya sering mendapat berbagai penawaran, bahkan kamar VIP.

Rei dan Rika di antar oleh seorang staff penginapam tersebut menuju kamar yang sudah di pesan oleh Kakeknya. Awalnya Rei sempat curiga saat staff itu menyerahkan 2 buah kunci kamar ke Rei. Sudah merupakan rahasia umum kalau penginapan atau hotel hanya menyediakan 2 buah kunci untuk setiap kamar dan itu berarti, Keluarganya tidak memegang kunci kamarnya saat ini, atau mungkin Kakeknya meminta kunci lebih?

Kecurigaan Rei terbukti begitu memasuki Kamar penginapannya dalam kondisi kosong, kecuali sebuah tas gitar yang diletakkan di atas kasur yang Rei pernah lihat di dalam kamar Rika, dan sepertinya itu milik Rika.

Bahu Rika juga merosot kaget begitu melihat keheningan yang kembali ia temui setelah tadi pagi saat ia bangun dan mendapati rumahnya dalam keadaan kosong. "Kemana mereka semua?" Rika seakan menyuarakan pemikirannya dan juga pemikiran Rei.

Rei sempat melirik kearah Rika, namun ia hanya menggidikkan bahu. Rei kemudian berjalan kearah kamar mandi dan mendapati ruangan itu juga kosong. "Apa mereka sedang keluar?" Rei mengeluarkan ponselnya dan menelepon Kakek.

"Rei, kau sudah sampai?" Tanya Kakeknya bersemangat. Rei yakin Kakek itu sedang tertawa lebar.

"Kalian dimana?" Tanya Rei tanpa basa basi.

"Oh.. Kami? Kami sudah mau sampai di Jakarta sebentar lagi."

"APA?!" Seru Rei mengagetkan Rika yang tengah menunggunya di sofa kecil yang terletak di sebelah pintu masuk kamar. "Kenapa kalian ada disana? Lalu... Lalu... Demi Tuhan, apa yang sedang Kakek rencanakan?" Geram Rei memijat pelipisnya. Kepalanya sekarang terasa pusing akibat kejutan tidak lucu kakeknya ini.

"Liburan. Liburanmu dan Rika sebagai sebuah keluarga kecil. Bukankah itu terdengar indah?" Rei bisa mendengar suara tawa Ayah dan Ibunya di dalam telepon. "Kau tidak boleh kalah dengan Mike. Nikmatilah liburan ini, anggap saja sebagai kesempatanmu untuk makin mengenal satu sama lain."

"Kek! Kau tidak bisa memutuskan seenaknya. Aku dan Rika adalah pria dan wanita. Setidaknya kau harus menanyakan pendapat Rika sebelum memutuskan!" Sergah Rei seraya melirik Rika yang tampak bingung karena Rei membawa namanya.

"Tentu saja aku sudah menanyakan pendapat Rika. Dan Rika terdengar setuju dengan rencana liburan ini." Rei menatap Rika tidak percaya. Entah apa lagi rencana Rika sekarang. "Sudahlah, kau tidak bisa menolak, Rei. Tidak ada satu orangpun dari kalian yang boleh pulang sebelum waktunya. Kau ingat milik siapa penginapan itu, kan? Segala kebutuhan kalian sudah kami siapkan disana termasuk bahan masakan. Selamat bersenang-senang!"

"Tung..." panggilan terputus, lagi.

Rika menunggu penjelasan Rei, tapi nampaknya Rei menatapnya tajam seakan marah akan suatu alasan yang tidak diketahui Rika. Sebenarnya apa yang Rei dan kakeknya bicarakan tadi?

"Kau menyetujui rencana liburan ini?" Tanya Rei datar, masih menatapnya tajam.

"Apa?"

"Apa kau menyetujui rencana liburan ini pada Kakek?" Suara Rei membesar, membuat Rika sempat terlonjak akibat terkejut.

"Ojii-san... Sempat menanyakan itu saat aku berkunjung ke rumah." Jawab Rika sedikit takut akibat di tatap oleh Rei seakan Rei ingin menerkamnya hidup-hidup.

"Dan kau menyetujuinya? Perempuan macam apa kau, hah?" Bentak Rei lagi. Ia tidak menyangka kalau ternyata Rika nekat menjalankan apapun untuk menjadikan ia miliknya.

"Apa maksudmu? Bukankah kau juga menyetujuinya?" Tanya Rika memberanikan diri untuk berbicara. Ia rasa Rei telah salah paham, dan salah paham itu dapat mencoreng nama baiknya dimata Rei.

"Apa maksudmu?" tanya Rei datar.

"Aku tidak sepenuhnya menyetujui keputusan Ojii-san. Aku... Berkata aku akan setuju kalau kau juga menyetujuinya, karena aku tahu kalau aku tidak bisa memutuskan itu sendirian. Ojii-san juga berjanji akan menanyakan persetujuanmu." Air mata Rika mengalir bersamaan dengan penjelasan yang mengalir dari bibirnya.

Begitu melihat air mata Rika, Rei seakan tersadar. Rei kemudian menghela nafas panjang dan menyodorkan tissu di hadapan Rika. "Maaf." gumamnya.

Rika menerima tissu itu dan menghapus jejak air mata yang mengalir di pipinya. Ia tidak mau menangis, tapi kenyataan kalau Rei salah paham padanya melebihi batas kewajaran, membuatnya tidak dapat menahan air mata itu.

"Mereka kembali ke Jakarta." Rei memberi tahu kabar buruk yang baru ia terima.

"Apa?" Rika tidak yakin dengan pendengarannya sendiri.

"Sejak awal Kakek berencana meninggalkan kita berdua disini." Rei menghela nafas lelah. "Tidak ada yang boleh meninggalkan penginapan ini sampai tiga hari kedepan."

Mata Rika membesar tidak percaya. Berdua dengan Rei di penginapan yang hanya menyediakan satu kasur selama tiga hari? Perjalanan 2 jam ke sini saja sudah cukup menyiksa hati Rika, bagaimana dengan tinggal berdua selama tiga hari kedepan?

Rei juga ikut melihat sekeliling dan juga kasur yang mendapat perhatian kedua orang disana. Rei lalu menghela nafas, "Kau tenang saja, aku tidak akan berbuat macam-macam. Aku akan tidur di sofa nanti." Rei terlihat menyerah dan ia berkeliling untuk berburu perlengkapan yang kakeknya katakan.

Rika hanya mengangguk. Namun jantungnya berdebar tidak karuan. Ia harus melihat Rei selama tiga hari kedepan dari pagi sampai malam. Ini tidak bagus untuk kondisi jantung dan perasaannya.

Kryukkk....

Rei menoleh dari balik lemari yang sedang ia bongkar dan melihat ke arah Rika yang wajahnya mulai memerah. "Kau sudah lapar?" tanya Rei. "Bisa-bisanya kau lapar disaat seperti ini." Sindir Rei.

"Aku tidak bisa mengontrolnya." Keluh Rika.

"Kau bisa masak? Kebetulan Kakek meninggalkan banyak bahan masakan disini."

"Aku bisa membuat Onigiri." Jawab Rika yakin.

Rei mengernyit. "Selain itu?" Rika terdiam dan tampak berpikir keras. Rei menghela nafas pasrah. "Apa yang sebenarnya bisa kau lakukan?" Tanya Rei sambil menggeleng pelan. "Sebaiknya siang ini kita makan mie instant saja. Aku sedang tidak ada semangat untuk memasak."

"Kau bisa masak?" tanya Rika tidak percaya.

"Setidaknya aku lebih ahli dari pada dirimu." Ejek Rei sambil mengeluarkan dua buah mie instant.

"Maaf." Gumam Rika merasa bersalah. Sejujurnya, Rika memang merasa gagal menjadi seorang perempuan. Selain penampilannya yang tidak cantik, tidak pandai belajar, setidaknya ia harus memiliki keahlian harus ia kuasai. Namum ternyata selain bermain musik, Rika tidak memiliki keahlian lain yang dapat ia banggakan.

"Aku hanya bercanda." Sela Rei. "Aku juga hanya bisa memasak beberapa menu kesukaanku saja."

"Setidaknya itu lebih baik dari pada Onigiri." Bela Rika mengulum senyumnya.

Rei berjalan dan menyerahkan mangkuk mie instant pada Rika dan mengambil tempat di sofa sebelahnya. "Benar juga apa yang kau katakan." Rei tertawa dan mengangguk-angguk.

Rika tersenyum dan mengaduk mie instant di hadapannya. Meskipun getaran itu kembali timbul, namun getaran itu bukan sedang menyesakkan dada Rika, namun menghangatkannya seperti tawa Rei saat ini. Kalau tidak salah, ini adalah kedua kalinya Rei tertawa bersamanya.

"Kau mau berkeliling setelah ini? Kita harus mencari aktivitas apa yang bisa kita lakukan tiga hari kedepan." Tanya Rei, meskipun pandangannya tertuju pada makanan di hadapannya, tapi perhatiannya tertuju pada jawaban apa yang akan di lontarkan Rika nanti.

"Ide yang bagus." Jawab Rika.

Rei menghela nafas lega. Rei tidak sadar sejak kapan ia menahan nafasnya saat ia menunggu jawaban dari Rika.

*

Rei dan Rika berjalan menyusuri pantai yang ramai pengunjung siang itu. Banyak juga penawar Jasa Tato, ikat rambut, pijat, papan seluncur berkeliaran menawarkan jasa mereka.

Rei berjalan beberapa meter di hadapan Rika yang siang itu mengenakan long dress santai berwarna biru laut, dan topi pantai berwarna krem tanpa melepaskan dua ikatan rambutnya. Sedangkan Rei hanya memakai Tank-top Putih dengan celana pendek selutut dan kacamata hitamnya.

Baru beberapa meter mereka berjalan, Rika sudah nyaris tersandung kayu kering yang banyak bertebaran di sisi pasir pantai. Rei membalikkan tubuhnya untuk melihat gadis itu yang berjalan sangat berhati-hati agar tidak tersandung lagi kalau ia lengah.

Rei berhenti dan menjulurkan tangannya kearah Rika. Rika juga ikut berhenti dan memandangi tangan itu dan Rei bergantian tidak mengerti. "Kalau kau tidak mau terjatuh membuatku malu, lebih baik kau pegang saja sebelum aku berubah pikiran." Ujar Rei memalingkan wajahnya yang memanas akibat malu.

Tanpa berpikir dua kali, Rika menerima tangan itu dengan senyum lebar dan juga detak jantung yang ia sembunyikan dari Rei.

Rei sedikit terkejut saat tangan Rika menyambut tangannya. Rei baru menyadari seberapa kecil dan hangat Tangan kurus Rika itu, dan Rei bisa merasakan kenyamanan dalam sentuhan tangan Rika di tangan kirinya.

"Kau sering kesini?" Tanya Rika mencoba untuk memulai percakapan.

"Ya, beberapa kali." Jawab Rei singkat. "Pemilik penginapan ini adalah Anak dari teman baik Kakek. Jadi kami sering mendapatkan penawaran menarik."

"Kedengarannya menyenangkan sekali." Sahut Rika Antusias. "Lalu, Apa yang biasanya kau lakukan disini?" Tanya Rika.

"Kalau menurutmu?"

"Menurutku, Pria sepertimu pasti akan berselancar atau melakukan olah raga air lainnya." Rika menendang batu kecil yang ada di hadapannya sambil tersenyum membayangkan seberapa keren Rei saat berselancar.

"Hmft.." Rei menahan senyum mendengar pendapat Rika. "Pria sepertiku?"

Rika mengangguk yakin. "Pria yang hampir sempurna. Tampan, Pintar, tuan muda Kaya. Kau pasti sering menghabiskan waktumu untuk berolah raga air."

"Sepertinya kau terlalu sering menonton drama." Rei tertawa setelah mendengar pujian Rika. "Tetapi terima kasih atas pujiannya. Tapi aku harus mengecewakanmu karena aku tidak bisa olahraga air."

"Kau bohong." Sela Rika tidak percaya.

"Aku berkata yang sebenarnya. Aku paling lemah terhadap olah raga air." Ujar Rei masih tawa malu. "Tidak ada yang tahu mengenai itu selain keluargaku. Aku pernah tenggelam saat aku berumur lima tahun, dan sampai sekarang..."

"Kau Trauma?" Sambung Rika. Rei hanya mengangguk sambil tersenyum bodoh. "Alika juga tidak tahu mengenai ini?" Tanya Rika ingin tahu.

"Ya,Tidak juga Mike." Sambung Rei. "Menurutku itu adalah kekurangan yang memalukan untuk diberitahu pada orang lain."

"Tapi kau memberitahuku sekarang?" Rika tersenyum senang, ada satu rahasia mengenai Rei yang hanya diketahui oleh dirinya sekarang. Dan rahasia itu, membuatnya senang.

Rei juga tidak mengerti kenapa dirinya bisa tiba-tiba setenang ini menceritakan pengalaman dan kekurangannya yang selama ini menurutnya memalukan, tapi ada satu rasa di sudut hatinya yang membuatnya merasa nyaman untuk bercerita kepada Rika meskipun itu adalah aibnya sendiri.

"Tapi aku senang, itu artinya kau mempercayaiku." Sambung Rika lagi.

Benarkah? Rei tersenyum memikirkan kenyataan kalau ia mempercayai perempuan yang dipercaya sudah menjebaknya dalam pertunangan ini.

"Rei! Lama tidak bertemu." Seorang Pria yang sepertinya seumuran dengan Ayahnya Rika menyapa mereka.

"Pak Leo! Apa kabar?" Sapa Rei bersahabat sambil memeluk pria yang di panggil dengan sebutan Pak Leo itu. Rika cukup tertegun mendengar Rei berbicara dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih.

"Aku sudah bertemu dengan keluargamu tadi. Kakekmu menitipkan kalian pada penjagaan ku." Leo menyikut Rei sambil mengedipkan matanya menatap Rei dan Rika bergantian.

"Ini adalah Rika." Rei tersenyum dan ia menarik lengan Rika agar ia berdiri sejajar dengannya. Rei berganti menggunakan bahasa Inggris pada Rika, "Rika, ini adalah pemilik penginapan tempat kita tinggal sekaligus Anak dari teman kakek yang tadi aku bicarakan."

"Halo, Rika. Senang bertemu denganmu." Leo menyapa Rika dengan bahasa Inggris, dan menjulurkan tangannya kepada Rika.

Rika menyambut uluran tangan Leo dan membalas senyumannya. "Senang bertemu dengan anda juga, Pak Leo."

"Kau tidak bisa berbahasa Indonesia?" Tanya Pak Leo pada Rika. Rika hanya menggeleng dan tertawa kaku.

"Ia hanya berada di Indonesia sampai umur satu tahun saja, sisanya ia berada di Jepang dan ia baru kembali beberapa bulan yang lalu." Rei menjelaskan pada Leo dengan bahasa Indonesia. Rika hanya mengernyit dan menebak-nebak apa kiranya yang sedang Rei ucapkan.

Leo mengangguk mengerti dan kembali menatap Rei dengan beribu arti. "Jadi... Kapan kalian akan menikah?" Tanyannya penasaaran.

"Ap.. Apa?" Rei menoleh pada Rika, Rika hanya melihatnya dengan Bingung dan Rei sadar kalau Rika tidak mengerti apa yang Leo tanyakan tadi.

"Aku sudah tahu dari Kakekmu." Jawab Leo. "Dan sepertinya ke khawatiran kakekmu mengenai kereganggan hubunganmu dengan Rika tidak terbukti."

"Maksudmu?" Tanya Rei tidak bisa menangkap apa yang Leo maksudkan.

"Aku juga pernah muda, Rei. Dan aku tentu masih ingat bagaimana rasanya jatuh cinta." Seru Leo berkacak pinggang. "Dan tatapan yang kau berikan pada Rika tadi, dan juga senyum dan tawa Rika padamu, bahkan nenekku yang sudah rabun juga pasti akan tahu kalau kalian sedang jatuh cinta."

"Apa????" Mata Rei terbelalak tidak percaya. Sejak kapan aku menatap Rika seperti itu? Tapi kenapa jantungku berdetak dengan cepat lagi begitu pak Leo berkata aku dan Rika seperti pasangan yang tengah jatuh cinta? Apa sandiwara kami terlalu kuat? Atau.... Aku telah jatuh cinta pada Rika?

"Rei... Rei... Rei!!" Rika Mengguncang-guncang lengan Rei dengan kencang untuk menyadarkan pemuda itu dari lamunannya.

"Y-Ya?" Rei mengerjapkan matanya menata mata Rika yang mengerut melihatnya.

"Apa yang kau lamunkan? Pak Leo baru saja pergi." Keluh Rika melipat tangannya di dada. "Pak Leo mengundang kita untuk makan malam di rumahnya nanti, kau menyadari itu?"

"Aku melamun?" Ulang Rei.

"Ya." Jawab Rika singkat. "Apa kau tidak menyadari kalau Pak Leo mengundang kita makan malam? Kau bahkan sempat mengangguk setuju tadi." Tanya Rika penasaran.

Aku mengangguk? Aku bahkan baru kali ini mendengar Pak Leo mengundang kita makan malam. Rei membatin kikuk. Kenapa kata-kata Pak Leo tadi tiba-tiba bisa membuat dirinya melamun seperti itu?

"Sepertinya kau tidak sadar." Ucap Rika membalikkan badannya untuk melanjutkan perjalanan mereka yang sempat tertunda. "Sebenarnya apa yang kau dan Pak Leo bicarakan? Tadi wajahmu sempat memerah." Tanya Rika tanpa membalikan badannya dan terus berjalan.

Rei mengikuti Rika dibelakangnya. Mana mungkin aku memberitahumu? Rei membatin lagi. "Tidak ada."

"Kau tidak mungkin melamun seperti itu tanpa sebab." Rika berbalik dan berjalan mundur sambil tersenyum pada Rei. "Kecuali kau memiliki kelainan." Rika tertawa.

Rei hanya bisa tersenyum melihat tawa Rika, tawa yang menghangatkan relung hatinya dan tawa yang membuat jantungnya berpacu dengan cepat. "Awas!" Rei menarik lengan Rika ke arahnya hingga kini Rika secara tidak sengaja memeluk Rei, begitu juga Rei.

"Kau tidak apa-apa?" Tanya Rei pada gadis di dalam pelukannya. Rika yang berjalan mundur tidak melihat ada gundukan batang kayu yang besar dibelakangnya, kalau saja Rei tidak menariknya, Rika bisa saja terjatuh tadi.

Rika mengangguk pelan. Ia tidak bisa berpikir apakah ia baik-baik saja atau tidak, yang ia tahu sekarang adalah, jantungnya tidak dalam keadaan baik.

Rei baru sadar akan posisi mereka sekarang yang tengah berpelukan. Tapi untuk satu alasan yang masih Rei pertanyakan, Rei merasa kenyamanan lainnya. Rei mempererat pelukannya tanpa ia sadar.

Rika tersentak begitu merasakan pelukan Rei yang mengerat, bukan melepaskannya seperti dugaannya tadi. Tapi Rika tahu kalau apa yang sedang ia pikirkan ini, tidaklah akan menjadi kenyataan. Rei tidak mungkin memiliki maksud apa-apa atas pelukan ini.

"Rei..." Panggil Rika pelan untuk menyadarkan Rei.

Rei kaget dan segera melepas pelukannya pada Rika dan berdeham seraya memalingkan wajahnya yang terasa panas. "Maaf, di belakangmu ada benang terlepas tadi." Elak Rei.

Rika tersenyum singkat karena apa yang ia duga benar, Rei tidak memiliki maksud apapun. "Terima kasih." Ujar Rika masih tersenyum.

"K-Kau, Berhati-hatilah kalau berjalan. Kau bahkan tidak tahu kalau di belakangmu ada batang kayu sebesar itu." Rei merasa ia harus memarahi Rika agar Rika tidak curiga dengan sikapnya yang aneh tadi. Namun begitu melihat wajah menyesal Rika, Rei merasa tidak tega. Rei menjulurkan tangannya pada Rika, "Kalau kau tidak mau terjatuh, pegang saja tanganku."

Rika mengadahkan wajahnya dan menatap sisi wajah Rei yang sedang menatap ke arah lain, terlihat merah. Apa ia marah?

"Kalau kau tidak mau, ya sudah." Rei menurunkan tangannya setelah sekian detik tidak juga di sambut oleh Rika. Aku terlihat seperti orang bodoh. Rei mulai berjalan mendekati arah Pantai dengan kesal.

"Ah.." Rika berlari mengejar Rei yang mulai berjalan sedikit menjauh dan meraih tangan Rei yang sedang terayun cepat dan menggenggamnya. "Terima kasih." Gumam Rika sambil menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah.

Rei kaget begitu tangan hangat Rika meraih tangan Rei yang tadi sempat terulur untuknya. Ia merasa senang dan kembali tenang setelah sebelumnya ia merasa kesal karena Rika mempertimbangkan keinginannya untuk bergandengan tangan. Rei membuang mukanya yang tidak bisa menahan senyum kearah lain agar tidak bisa dilihat oleh Rika. Rei mempererat pegangan tangannnya pada Rika sambil menuntunnya untuk menyusuri bibir Pantai.

***

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro