10. Kekecewaan Rika
Kakek Rika menghentikan langkah Rei yang baru keluar dari kamar Rika sore itu. Wajah keriput Kakek Rika tersenyum senang seraya menyentuh lengan Rei pelan. Kakek Rika memboyong Rei kearah ruang keluarga yang terpisahkan dengan pembatas bernuansa Jepang dari ruang makan dan dapur.
Sebenarnya Rei sedikit enggan karena ia sendiri juga sedang dilanda badai besar akibat candaan Rika yang tiba-tiba, namun sanggup membuat keraguan didalam hati Rei. Lagipula tujuan utama Rei adalah menjenguk Rika, tapi dengan alasan sopan santun, Rei terpaksa menemani Kakek Rika berbincang.
"Kakek senang sekali kau mau menerima Rika sebagai tunanganmu." Gumam Kakek pelan tersenyum tulus. "Rika beruntung sekali bisa bertunangan denganmu."
Tentu saja! Batin Rei bangga.
"Dari kecil, Kakek hanya bisa mendengar perkembangan Rika melalui telepon dari Ayah dan Ibu Rika. Dan jujur saja, Kakek sedikit khawatir dengan psikologis Rika yang tidak mau terbuka bahkan dihadapan Ibu dan Ayahnya sendiri." Kakek bercerita dengan mata yang menerawang kosong kearah meja ruang tamu di hadapannya.
"Ah! Aku lupa." Seru kakek bangkit dari sofa menuju ke salah satu lemari kaca yang tersusun beberapa baris buku yang ternyata sebagian merupakan album foto. Kakek berjalan mendekati Rei dengan membawa sebuah buku album yang sangat terawat dibandingkan album lainnya. Bisa di ketahui kalau album foto itu sangat berarti bagi Kakek hingga ia rawat dengan sepenuh hati.
Kakek duduk di sebelah Rei yang masih melihatnya bingung dan menunjukan foto seorang anak kecil berwajah asia yang kental yang sangat lucu dan polos. Anak bayi itu tertidur di pelukan Kakeknya yang masih terlihat sangat muda saat itu dengan senyum lebarnya yang terlihat sangat bahagia.
"Ini adalah hari dimana Rika lahir kedunia." Kakek menjelaskan tanpa menunggu pertanyaan Rei.
Difoto selanjutnya, Rika kecil tumbuh menjadi murid TK yang imut dengan tawa yang mengembang di wajahnya dengan rambut berkuncir dua seperti sekarang, berdiri di depan sekolah bertuliskan kanji Jepang bersama kedua orang tuanya.
"Rika pindah ke Jepang saat usianya dua tahun." Lanjut Kakeknya. "Setiap bulan, mereka selalu mengirim foto tumbuh kembang Rika di Jepang."
Rei mengangguk-angguk mendengar penjelasan Kakek Rika seraya membalik halaman selanjutnya di album foto.
Rika kecil yang sedang bermain dengan teman-teman seusianya di taman bermain, dengan wajah kotor akibat tanah liat, namun wajah Rika terlihat bahagia di dalam foto itu seakan tidak ada yang bisa membuatnya menangis.
Foto selanjutnya seakan membuat Rei menarik kembali kesimpulannya, Rika kecil terlihat menangis dengan latar belakang aquarium kecil dengan ikan mas koki yang mengambang terbalik. Rei tertawa geli melihat kepolosan Rika kecil di dalam foto.
Di halaman selanjutnya, Rika kecil sudah mulai beranjak remaja dengan memakai pakaian sekolah dasar, lomba lari yang di ikuti oleh Rika, Rika yang berdiri di tengah panggung acara, Rika yang masuk ke SMP, foto kegiatan sekolahnya, dan foto kelulusannya.
Rei merasa seperti Kakeknya yang tengah memperhatikan perkembangan Rika dari bayi hingga menjadi sebesar ini. Dan tidak ada yang berubah banyak dari Rika, termasuk kuncir dua yang dipertahankan Rika hingga sekarang. Tapi...
Rei kembali membalik foto itu dari halaman pertama hingga terakhir dengan cepat dan melihat perubahan kecil Rika kecil hingga Rika besar.
"Kurasa kau sudah tahu apa yang kucemaskan, bukan?" Tanya Kakek membuyarkan perhatian Rei dari album foto yang berada di pangkuannya.
Senyum yang berada di wajah Rika kecil hingga kelulusan SMP yang di miliki Kakeknya terlihat berbeda. Meskipun Rika masih tersenyum, namun senyum itu terlihat dipaksakan. Rei juga tidak menemukan Foto Rika bersama teman-teman seusianya selain yang di taman kanak-kanak.
"Setiap kali aku bertanya pada Orangtuanya, jawaban mereka selalu sama kalau Rika baik-baik saja, Rika tidak pernah bercerita apapun pada mereka." Gumam Kakeknya tersenyum simpul. "Tapi sebagai Kakek, Aku tahu kalau ada yang tidak beres pada Cucuku satu-satunya."
"Apa Kakek pernah bertanya pada Rika?"
Kakek menggeleng. "Rika merupakan orang yang tidak akan menceritakan masalahnya pada siapapun. Termasuk keluarganya. Mungkin ia takut kalau kami mencemaskan dirinya."
"Rei, Bagaimana Rika disekolah? Apa ia di perlakukan dengan baik?" Tanya Kakeknya tiba-tiba.
"Ah... Ehm..." Rei ragu untuk menjawab. Kalau Kakeknya menanyakan hal itu pada Rei, pasti Rika tidak pernah bercerita kalau selama ini Rika diperlakukan dengan tidak menyenangkan.
"Selama ini Rika hanya berkata kalau sekolahnya menyenangkan, semua murid berlaku baik padanya, dan Aku tidak harus mencemaskannya." Kata Kakek seakan membenarkan pemikiran Rei.
Rei terdiam tidak berkutik. Ia jadi merasa bersalah telah memperlakukan Rika dengan tidak adil dengan sandiwaranya yang tergolong egois.
"Tapi kakek merasa Lega." Kata Kakek akhirnya. "Kakek tadi melihat Rika tertawa dengan puas di dalam kamarnya saat bersama denganmu." Lanjutnya lagi.
Ya, Hari ini Rika banyak sekali tertawa seakan ia tengah menyembunyikan kesedihannya jauh di dalam pojokan hatinya. Batin Rei. Rei kembali teringat pernyataan Cinta Rika yang ternyata hanya bagian dari candaan Rika.
"Tolong, jaga dan buatlah Rika tersenyum seperti tadi." Pinta Kakeknya menyentuh tangan Rei yang tadi sempat disentuh Rika. "Kalau denganmu, Kakek bisa tenang melepas Rika."
*
Ponsel Rei bunyi untuk kesekian kalinya hari ini oleh orang yang sama. Alika terus menerus meneleponnya sejak pagi untuk menagih janji Rei yang akan menemaninya seharian penuh. Rei kesiangan di hari janjiannya akibat percakapan yang terjadi dengan Kakek Rika kembali masuk kedalam dirinya sebagai sebuah mimpi.
Mobil Rei masuk ke perumahan tempat rumah Alika berada. Alika yang masih mencoba menelepon Rei dari teras rumahnya langsung mematikan panggilan dan mendekati mobil Rei cepat.
"Kau kemana saja, sih? Kau lupa kalau hari ini kau ada janji denganku?"
"Maaf aku kesiangan. Cepat masuk."
Alika masuk kedalam mobil Rei dan membanting pintu dengan kesal, "Tentu saja! Aku harus menunggu hampir satu jam di teras karena kau berkata kalau kau sudah dijalan tepat satu jam yang lalu!" Sindir Alika sinis.
Tentu saja! Aku tidak bisa jujur memberitahumu kalau tepat satu jam yang lalu aku baru bangun dari tidurku! Keluh Rei tak bersuara.
"Sekarang aku harus mengatur ulang jadwal janji dengan salon langgananku!" Keluh Alika tidak berhenti. "Kau tahu kalau perawatan wajah dan rambutku itu sangat penting!"
Dimulai lagi. Ingin rasanya Rei membesarkan volume musik di dalam mobilnya atau menutup kedua kupingnya erat-erat. Kalau Alika sudah mulai membuka suara mengenai kecantikkan, bahkan suara klakson pada kereta juga kalah panjang dan berisiknya.
Rei heran kenapa dulu ia bisa menyukai perempuan disampingnya dan meminta Alika menjadi pacarnya. Ah... Karena dulu Alika merupakan pribadi yang menyenangkan dan sama usilnya dengan Rei dalam urusan mengerjai orang dan juga selera humor yang sama. Namun itu semua seakan mulai berubah saat mereka mulai bersama.
Makin lama Alika mulai menjadi menyebalkan dan mendadak menjadi pribadi yang banyak dibenci bahkan oleh sahabatnya sendiri akibat sifat egois dan over protektif Alika bahkan pada Mike. Sejak mereka berpacaran, Alika bertambah giat mengurus kulit, wajah dan rambutnya. Kalau biasanya dua minggu sekali, sekarang bisa seminggu sekali bahkan dua kali.
Alasannya apa lagi kalau agar Rei tidak berpaling ke perempuan lain. Awalnya Rei senang karena Alika rela melakukan itu semua demi dirinya, namun makin lama, Rei semakin terganggu, ditambah sifat kepemilikan Alika pada dirinya. Tapi Rei masih menyayangi Alika hingga sekarang, menurutnya.
Rei mengikuti arah tarikkan Alika yang menariknya dengan cepat kelantai dua sebuah pusat perbelanjaan dan masuk kedalam sebuah ruangan bertuliskan Salon & Spa. Rei menghela nafas panjang pasrah melihat dirinya ditarik masuk kedalam ruangan yang kramat bagi laki-laki sepertinya.
Bagaimana tidak? Perawatan yang paling cepat saja paling tidak membutuhkan waktu satu hingga dua jam. Dan Rei terancam menunggu tiga sampai empat jam tanpa diperbolehkan keluar ruangan untuk menunggui Alika yang akan merawat kulit, wajah, rambut, serta kuku-kukunya.
Akibat bangun kesiangan dan buru-buru kerumah Alika, ia sama sekali belum menyantap sarapannya tadi. Sebab itu, sekarang ia merasa kelaparan tetapi ia harus menunggu Pacarnya selesai perawatan.
Tepat saat Rei merasa kesal dengan takdirnya hari itu, Telepon yang ia pegang berbunyi dan nama Rika tertera di layar ponselnya. Sebelah Alis Rei terangkat dan melirik Alika yang tengah sibuk bergosip dengan pekerja yang tengah memijat rambutnya, Rei kemudian memberi kode untuk keluar menerima telepon dan dibalas oleh anggukan Alika yang kembali sibuk berbicara dengan pekerja itu.
"Rika?"
"Kau dimana? Aku sudah sampai." Sahut Rika pelan diseberang sana.
Kerutan di kening Rei bertambah setelah mendengar pertanyaan Rika. "Maksudmu apa? Aku di Pacific Place."
"Pacific Place? Bukankah kau memintaku datang ke Mall Of Indonesia?"
"Hm?" Rei kembali berbicara dengan nada ragu yang kentara, "Aku tadinya memang berencana kesana, tapi ternyata ada perubahan dimenit terakhir. Tapi... Kapan aku pernah memberitahumu?"
"Dari surat yang menempel di bunga yang kau kirim tadi pagi?"
"Bunga?" Kerutan di kening Rei makin banyak karena bingung dengan ucapan Rika.
"Ya, Tadi kau mengirimiku bunga sebagai permintaan maaf."
"Tunggu, Rika! Aku tidak pernah mengirimimu bunga apapun, dan aku sekarang sedang berkencan dengan Alika." Ia sedikit ragu mengatakan kalimat itu. Ada sedikit rasa tidak enak dan bersalah mampir di dadanya. "Mungkin itu salah satu ulah usil Kakekku."
*
Rika yang tengah menyantap sarapan sup Miso buatan Kakeknya pagi itu dikejutkan dengan bunyi Bel yang tidak pernah berbunyi selama ia tinggal disini. Rika bangkit dari meja makannya dan membuka pintu itu sendiri.
Pelayan yang bekerja dirumahnya hanyalah pelayan paruh waktu yang bekerja senin sampai jumat setiap siang sampai sore. Kakeknya sengaja tidak menyewa pelayan tetap karena menganggap kalau pelayan paruh waktu lebih efektif, karena kakek tidak perlu takut barang berharganya hilang dicuri dan dibawa kabur.
Dulu Kakek pernah mengalami kejadian buruk saat menyewa pelayan dari sebuah yayasan, lalu barang berharga kakek Raib dibawa kabur oleh pelayan itu. Jadi sekarang Kakek lebih selektif dan juga skeptis dalam menyewa jasa layanan itu.
Rika membuka pintu itu dan mendapati sebuket bunga mawar dengan berbagai macam warna yang sangat indah. Seorang kurir yang nampak kesusahan terlihat di balik buket bunga itu seraya menyerahkan kertas laporan pengiriman yang perlu di tanda tangan oleh Rika.
Rika menandatangani kertas itu dan mengambil alih buket bunga yang ternyata berat dari tangan Kurir yang kemudian berbalik menjauhi rumahnya setelah Rika mengucapkan terima kasih.
"Siapa, Rika?"
"Ah... Ada yang mengirim bunga." Jawab Rika, meletakkan bunga di meja ruang tamu perlahan.
"Dari siapa?" Kakek menghampiri Rika yang masih melihat buket bunga itu dengan curiga.
"Entahlah." Jawab Rika jujur. Kurir tadi juga tidak menyebutkan siapa yang memesan dan memintanya untuk mengirim bunga ini.
Kakek ikut berkeliling mengagumi keindahan bunga di hadapannya, "Ah! Disini ada kartu ucapan." Seru Kakek begitu menemukan sebuah kartu ucapan yang terselip di dalam bunga marar tersebut.
Rika meraih Kartu ucapan yang dimaksud kakeknya dan membacanya. Ia tersenyum lebar, jantungnya juga berdebar dengan cepat setelah membaca siapa yang memesan bunga itu.
Bunga ini sebagai perwakilan kata maafku. Temui aku di Mall Of Indonesia jam 11 nanti. -Rei Hinata
Kakek ikut tersenyum membaca tulisan yang tertulis di kartu itu. "Pergilah. Jangan sampai Rei menunggu terlalu lama." Ujar Kakeknya tersenyum.
Wajah Rika memerah, jantungnya juga berdebar. Mungkin Rei mulai mengubah hatinya setelah pernyataan cintanya kemarin? Rika mulai kembali berharap. Rika mengangguk dan segera berhambur ke kamarnya untuk menemukan pakaian yang bagus untuk ia kenakan nanti. Masih ada waktu dua jam sebelum waktu yang disebutkan Rei. Dari sini ke MOI hanya membutuhkan waktu kurang dari 30 menit, ia masih memiliki banyak waktu.
Rika bersenandung pelan sambil mencocokkan baju di badannya. Ini adalah kali pertama Rei mengajaknya keluar bersama, bukan sebagai kedok. Rika merasa antusias sekali dan tidak sabar menunggu jarum jam menunjuk kearah jam 11.
Rika sampai di MOI tepat pukul 11 setelah di drop oleh supir Kakeknya. Rika berjalan masuk dan memutuskan untuk menunggu di pintu gerbang Mall untuk menunggu Rei.
Namun setelah menunggu 30 menit lebih, Rei tidak juga kunjung datang. Rika awalnya menimang haruskah ia menelepon Rei untuk memberitahu posisinya, atau lebih baik menunggu saja?
Setelah waktu menunggu satu jam, Rika memutuskan untuk menelepon Rei yang kemudian di jawab pada deringan ke enam.
"Rika?" Suara Rei terdengar kaget setelah panggilan mereka tersambung.
Rika tersenyum mendengar suara Rei, "Kau dimana? Aku sudah sampai."
"Maksudmu apa? Aku di Pacific Place."
Rika mengernyit bingung, apa dirinya salah baca isi surat tadi? "Pacific Place? Bukankah kau memintaku datang ke Mall Of Indonesia?"
"Hm? Aku tadinya memang berencana kesana, tapi ternyata ada perubahan dimenit terakhir. Tapi... Kapan aku pernah memberitahumu?"
Rika tersentak mendengar Rei, "Dari surat yang menempel di bunga yang kau kirim tadi pagi?" Jawabnya Ragu.
"Bunga?" Rei terdengar kaget.
"Ya, Tadi kau mengirimiku bunga sebagai permintaan maaf." Sahut Rika tambah Ragu, nafasnya tertahan.
"Tunggu, Rika! Aku tidak pernah mengirimimu bunga apapun, dan aku sekarang sedang berkencan dengan Alika. Mungkin itu salah satu ulah usil Kakekku."
Bak disambar petir, Rika terdiam dan ia menyentuh dadanya untuk menahan sakit yang kini mendera. Harapan yang baru saja timbul, dengan secepat itu mulai sirna lagi.
"Kau di Mall Of Indonesia?" Tanya Rei lagi.
Rika hanya bergumam, ia berharap suaranya tidak terdengar bergetar bagi Rei karena ia sedang menahan tangis yang timbul akibat rasa sakit di dadanya yang sesak.
"Tunggu disana." Rei mematikan panggilan teleponnya sebelum Rika memberi jawaban apapun.
Hanya satu kalimat itu, Rika bisa merasakan sesak yang tadi mengganggu dadanya, perlahan menghilang. Dan harapan itu kembali timbul. Rei akan datang menemuinya! Sebentar lagi! Sebesit senyum tercetak di bibir tipis Rika.
*
Rika duduk di pancuran air mancur yang terletak di tengah pintu masuk Mall agar mudah terlihat kalau Rei sudah datang nanti. Rika membenarkan letak poninya, dan juga kunciran rambut Rika. Khusus untuk kali ini, Rika mengubah arah kunciran rambutnya menjadi kuncir satu menyamping. Rika juga memakai bedak tipis, lipgloss dan parfum kesukaannya.
Rika bersenandung pelan menunggu kedatangan Rei sambil memainkan tali tas kainnya yang bermotif Stitch dengan tidak sabar. Ia ingin tahu bagaimana pendapat Rei dengan penampilannya kali ini.
Oh, Ya Tuhan! Apa setiap gadis yang jatuh cinta akan seperti ini? Gerutu Rika menahan senyumnya.
"Hai!" Seseorang menepuk pundak Rika.
Rika dengan cepat berbalik sambil memamerkan senyumnya. Namun setelah melihat kalau orang yang diharapkan tidak berada di belakangnya, senyumnya sedikit memudar. "Mike?"
Mike mengangguk dan tersenyum senang begitu melihat Rika di hadapannya. Setelah Dua hari tidak melihat sosok Rika, dan kemarin ia harus sibuk dengan urusan eskul Basketnya yang juga akan bertanding, akhirnya ia bisa melihat Rika lagi. "Kau terlihat berbeda hari ini."
"Kau kenapa bisa ada disini?" Tanya Rika penasaran. Ia takut kalau nanti tiba-tiba Rei muncul dan sandiwara ini bisa terbongkar dihadapan Mike.
"Rei meneleponku dan berkata kau ada disini." Sahut Mike ringan.
Wajah Rika tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Setelah berkali-kali berharap dan dikecewakan, itu tidak membuat hati Rika kebal. Dan kali ini, Rika benar-benar kecewa.
Mike memperhatikan perubahan ekspresi Rika dengan senyum yang perlahan memudar. Mike hanya tersenyum simpul. "Rei sudah menceritakan tentang situasi kalian."
"Rei menceritakannya padamu?" Tanya Rika dengan mata membesar seakan tidak percaya.
Mike mengangguk membenarkan, "Kau khawatir akan hal itu, bukan? Atau kau kecewa kalau ternyata bukan Rei yang menemuimu hari ini?" Tanya Mike masih dengan senyum simpulnya.
"Hah? Ah.. Ehmm.. Tidak." Rika memaksakan senyumnya. Ia tidak mau membuat Mike tidak enak hati dengan memenuhi perintah Rei untuk menemuinya. Tapi kenapa Rei menceritakan sandiwara ini pada Mike disaat ia sendiri yang membuat peraturan untuk merahasiakan ini dari semua orang?
"Syukurlah." Mike tertawa lega mendengar jawaban Rika. "Kalau begitu, Ayo, kita jalan-jalan sambil menunggu Rei menjemputmu!" Ajak Mike seraya mengulurkan tangannya kedepan wajah Rika.
Rika sempat ragu sejenak, ia menatap tangan Mike untuk beberapa detik dan meraih tangan Mike setelah melalui banyak pertimbangan, termasuk Ini adalah apa yang Rei mau.
***
TBC
Next chapter!!
Kencan Rika dan Mike!
Apa akan berjalan lancar?
Temukan jawabannya di chapter selanjutnya! 😉😉
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro