She Owns the DEVIL Prince | Part 62 - A Vow
XAVIER UPDATE!!!
JANGAN LUPA KLIK BINTANG DI POJOK KIRI BAWAH!
Maaf banget telat beberapa jam dari seharusnya. Tapi jaringan memang sialan. Jangan sebut namnya, tapi Indiehome di kosan itu bener-bener kampret.
Jangankan buka Wattpad, bikin instastory aja muter-muter nggak jelas. Dan Dy baru sadar kalau Kadachune udah isiin Dy kuota setelah pagi ini, jam 8 (padahal biasanya Dy bangun siang), Dy udah ada di kampus cuma buat cari Wifi gratis aja TT.
Sumpah nggak elit banget. Mana ada emak Leonidas yang kayanya sejagat raya bisa kehabisan kuota :(
Okay. Sekian sesi curhatnya. Kolom makian di komen sama di wall, Dy persilahkan. Lagian nggak Cuma sekarang aja Dy php kan :') Niatnya dari kemarin mau tobat, berhenti jadi author tukang php. Tapi sialand. Indiehome kurang ajar -_-
Happy reading!
Sayang kalian~~~~
Beberapa menit selanjutnya seharusnya Xavier sudah ikut terlelep. Tapi suara ponselnya membuat Xavier harus memeriksa ponselnya lebih dulu. Well, Xavier bergerak hati-hati ketika mengambil ponselnya di saku jas. Dia takut Aurora terbangun.
Rupanya pesan dari Kenneth.
Kenneth Stevano : Aku akan datang besok. Tapi kau harus membolehkanku membawa Kendra.
Xavier tersenyum miring. Kendra?
Xavier Leonidas : Ok. Balas Xavier pada akhirnya.
***
My Playlist : Liam Payne, Rita Ora - For You
https://youtu.be/RQUuqbzQVsY
Playlist kamu :
***
LEONIDAS'S West Cottage, Barcelona-Spain | 19:30 PM
"Aku lapar."
Aurora sebenarnya sudah sejak tadi selesai mandi. Di juga sudah lama menatap Xavier yang terlihat tengah sibuk di pantry dari pojok ruangan. Tapi memang aroma kue panggang yang tengah Xavier buat sukses membuat Aurora meneguk liur. Karena itu Aurora langsung saja menghampiri Xavier dan duduk di kursi dekat meja pantry.
"Tunggu sebentar, kita makan di luar saja."
"Maksudmu di dekat danau?" tanya Aurora riang.
Xavier mengangguk.
"Aku sudah menyuruh Christian mempersiapkan api unggun untuk kita, jadi sepertinya tidak apa-apa," jelas Xavier.
Well, kantuk yang dirasakan Aurora langsung hilang. Aurora bahkan langsung bangkit berdiri dan berlarian kecil ke dalam kamarnya untuk mengambil selimut dan membawanya keluar, lalu menjadikan selimut itu sebagai alas tidurnya setelah Aurora menggelarnya tidak jauh dari api unggun.
Sejak menginjakkan kakinya di cottage ini memang hal seperti ini yang terus Aurora pikirkan. Dibanding mansion Adams, mansion Leonidas, bahkan mansion-mansion milik Xavier yang lain, cottage ini memang tidak ada apa-apanya. Dia hanya bangunan tingat dua dengan model Eropa versi lama yang terlihat temaram dari luar. Tapi sungguh, Aurora begitu senang ketika tahu Xavier membawanya kemari. Aurora sangat menyukai tempat ini. Dia bahkan sudah membayangkan seperti apa danau buatan di belakang cottage bahkan sebelum dia melangkahkan kakinya ke dalam.
"Mana kueku?" tanya Aurora begitu dia merasakan Xavier juga sudah ikut berbaring dan memeluknya dari belakang. Xavier sendiri hanya terkekeh geli, sebelum meresponnya dengan mengggigit telinga Aurora kecil.
"Mana dulu tanganmu," ucap Xavier yang membuat Aurora langsung membalik tubuhnya.
"Untuk apa?"
"Kemarikan saja." Xavier berkata penuh rahasia. Tapi setelah itu dia langsung bangkit duduk dan meraih tangan Aurora sebelum memakaikan apa yang sedang dia bawa. "Anginnya kencang. Ini agar kau tidak kedinginan," ucap Xavier sembari mengecup punggung tangan Aurora sebelum melepasnya.
Itu membuat Aurora bisa menyadari jika ternyata Xavier sudah memasangkan sarung tangan padanya. Tapi tunggu... dari berbagai macam model sarung tangan, kenapa Xavier harus memberinya sarung tangan berbentu tangan kucing?!
Seperti yang sudah Aurora duga, Xavier memang sengaja. Lihat saja, ketika Aurora tengah memberikan tatapan kesal padanya, Xavier malah dengan terang-terangnya memberinya tatapan jahil sebelum berkata, "kau masih beruntung itu tangan kucing. Sebelumnya aku malah berniat memberimu sarung tangan macan. Kau kan macan galak, apa kau masih ingat apa yang kau lakukan di pesa-"
"Ex-ee-vii-ee! Aku bilang sudah!" ucap Aurora kesal sembari bergerak menerjang tubuh Xavier.
Xavier sendiri hanya terkekeh riang sebelum menggunakan kesempatan itu untuk membuat Aurora terjatuh di atas tubuhnya. Setelah itu Xavier bahkan memenjarakan Aurora dengan kaki dan lengannya-tidak membiarkan wanita itu lepas. Bahkan ketika Aurora memberi gigitan di pundaknya-Xavier tetap bertahan. Ya, tentu saja. Karena Xavier tahu, Aurora menghentikan hal itu sendiri dan malah merona malu begitu pelayan yang Xavier suruh membawakan makanan mereka datang. Aurora tentu saja menatapnya kesal, bahkan setelah Xavier melepaskan dekapannya Aurora juga terlihat masih kesal.
"Jangan makan marshmallownya! Itu milikku semua!" See? Aurora bahkan berteriak hanya karena Xavier mengambil satu marshmallownya diantara marshmallownya yang tersisa banyak.
"Kau ini pelit sekali. Mengingatkanku pada seseorang," decih Xavier kesal.
"Siapa?"
"Vic-"
Xavier langsung memotong ucapannya. Huft! Nyaris saja dia kelepasan dengan ingin menyebut nama Victoria. Tapi gadis itu dulu memang selalu seperti ini. Dia akan menjadi orang yang paling marah ketika makanan api unggunnya diambil yang lain. Dulu ketika Xander masih sering menjadi bagian dari mereka, Victoria bahkan sangat suka bertengkar dengan Xander karena itu. Ah, ita... Xavier juga masih ingat... Berbeda dengan The Angels yang lain, Victoria akan selalu menjadi orang yang paling bahagia tiap kali Xavier memutuskan mereka berlibur di tempat ini. Biasanya ketika yang lain sedang memancing, berkuda, atau malah bermain video game di dalam, Victoria akan lebih memilih mambawa selimutnya ke salah satu sisi danau lalu tidur atau melukis disana.
Well, Xavier tidak berkata dia sudah memaafkannya. Tapi mengingat betapa cerianya Victoria dulu, rasanya tidak benar saja mendengarnya koma.
"Siapa tadi?"
Xavier langsung keluar dari pemikirannya sendiri ketika ia mendengar suara Aurora. Rupanya wanita ini masih menunggu Xavier melanjutkan ucapannya yang terpotong tadi dengan tatapan penasarannya.
Melihat itu Xavier langsung tersenyum sembari meraih tubuh Aurora. Xavier mendekap tubuh Aurora erat, berusaha tidak mengingat nama lain yang memiliki kebiasaan yang sama dengan Victoria. Well, Xavier tidak menampik jika dia melihat beberapa kesamaan pada sikap Aurora dan Victoria. Tapi Xavier tidak ingin membuat Aurora berpikir Xavier memilihnya karena itu. Xavier memilih Aurora karena dia Aurora. Bukan karena dia Victoria. Ayolah, Xavier tidak sebodoh itu untuk lebih memilih domino jatuh dibanding sesuatu yang kembali membuat dirinya utuh.
"Teman berburu auroraku dulu," ucap Xavier ketika dia mengingat salah satu teman lelaki Russianya berambut coklat gelap. Lelaki itu yang paling sering pergi bersamanya berburu gambar Aurora dibanding teman-temannya yang lain.
"Oh," respon Aurora nyatanya tidak seantusias tadi.
"Namanya Vito."
"Vito?"
Xavier tersenyum kecil. "Dia itu temanku yang gila dari yang paling gila. Kau tahu, dia bahkan sempat membuatku nyaris membeku pada badai salju di jam satu pagi hanya karena ucapannya yang terus berkata auroranya akan muncul sebentar lagi."
"Sepertinya dia orang yang menyenangkan," kekeh Aurora geli. "Ceritakan semuanya. Aku benar-benar suka ketika mendengar ada orang yang berhasil mengerjai seorang Xavier."
Xavier mencubit hidung Aurora geli, dia mendengus kesal tapi setelah itu Xavier memang menceritakan pada Aurora semuanya. Tidak hanya mengenai Vito, Xavier juga menceritakan semua pengalamannya sepanjang berburu aurora pada Aurora. Entah itu pengalaman yang membuat Aurora tertawa, bahkan pengalaman yang membuat Aurora harus mengernyitkan alisnya ngeri.
Tapi dari semuanya Xavier benar-benar merutuk dirinya ketika dia keceplosan mengatakan jika yang membuatnya menyukai kegiatan berburu itu adalah Victoria. Ya, lukisan yang dibuat Victoria...itu yang menjadi alasan pertama Xavier menjadi pemburu aurora. Tapi ternyata setelah itu dia ketagihan. Oh, Damn! Mengingat bagaimana Xavier selalu menghindari topik tentang Victoria selama ini, seharusnya kalimat itu juga tidak seharusnya Xavier ucapkan. Lihat saja, sekarang saja Aurora sudah terdiam...wanita itu sepertinya terus memikirkan apa yang Xavier katakan.
"Kau... kau dulu sangat mencintainya?" tanya Aurora serak setelah beberapa lama.
Xavier tidak tahu harus menjawab apa. Tidak mungkin dia berbohong disaat Aurora sudah tahu kenyataannya kan?
"Victoria bodoh," ucap Aurora dengan pandangan menerawang.
"Sudahlah. Itu cerita lama."
Aurora mendesah pelan sebelum menutup mata.
"Apa... Apa memang tidak ada kesempatan baginya untuk kau maafkannya kebodohannya, X?"
"Apa?"
"Memaafkan Victoria. Apa itu memang tidak bisa?" ulang Aurora lagi sembari menatap Xavier sedih.
Xavier langsung membuang pandangannya. Jujur, dia tidak suka dengan tatapan sedih itu, namun di sisi lain dia juga tidak mau memaafkan Victoria. Lagipula untuk apa? Wanita itu hanyalah kepingan masa lalunya. Dia ada atau tidak. Xavier memaafkannya atau tidak. Itu tidak akan berpengaruh apa-apa. Okay, Aurora memang meyakini jika Victoria tidak bersalah. Victoria selalu memilihnya. Tapi apa Aurora tahu seberapa besar juga Victoria sudah membuatnya kecewa?
Lagipula jika semisalnya yang dikatakan Aurora memang benar; Victoria memang seperti itu dan Xavier memaafkannya. Apa Aurora bisa memastikan kisahnya dan Victoria tidak akan kembali terulang? Apa wanita ini tidak apa-apa? Atau malah pikiran Xavier memang benar, jika itu yang Aurora inginkan.
Tapi Xavier tidak mau. Dia ingin seperti ini saja. Xavier hanya mau Aurora.
"Tidak. Tidak akan pernah. Aku membencinya. Aku tidak akan pernah memaafkannya."
"Xavier...."
Air mata Aurora mulai merembes lagi, membuat Xavier menyadari jika ucapannya tadi membuat Aurora kesakitan. Oh Tuhan..... Kenapa lagi-lagi malam sempurna mereka harus berakhir seperti ini?
"Itu berarti kau membenciku ya? Aku... Aku juga sebenarnya tidak tahu kenapa sampai sekarang kau belum menunjukkan jika kau marah. Tapi setelah kau mengetahui semuanya, kau juga pasti tidak akan bisa memaafkanku ya kan?" ucap Aurora dalam isakannya.
Sontak saja, perkataan Aurora itu membuat Xavier langsung bangkit berdiri, dia juga langsung menarik tangan Aurora keluar dari cottage dan memasukkannya ke dalam mobil. Well, Xavier sedikit melihat rasa takut dan keterkejutan Aurora ketika dia melakukan ini. Tapi Xavier mengabaikannya. Xavier lebih memilih fokus mengemudikan ferrari merahnya membelah jalanan dengan kecepatan tinggi.
***
Sepanjang perjalanan Aurora juga hanya diam. Wanita ini bahkan juga tidak memprotes atau menanyakan dia akan dibawa kemana sama sekali. Ck! Itu membuat Xavier berpikir jika apa mungkin saat ini Aurora mengira Xavier akan membawanya kepada Victoria? Lalu Xavier akan memaafkan Victoria seperti yang awalnya akan Xavier lakukan pada Javier Leonidas pasca Aurora membandingkan mereka?
Well, Aurora salah kalau begitu. Karena jika Xavier memang berniat seperti itu, tidak mungkin Ferrari merah Xavier malah berhenti di depan Sagrada Familia, gereja katholik roma tempat kedua orang tua Xavier mengikat sumpah mereka.
"X...."
Aurora sebenarnya masih menangis. Tapi dia tidak kuasa mengeluarkan ucapan bingungnya ketika Xavier menggandeng tangannya, membawa masuk ke dalam gereja itu dan membawanya menuju arah altar.
"Seharusnya kita baru kemari besok. Setelah Kenneth datang. Aku akan menikahimu di hadapan Tuhan," ucap Xavier yang langsung membuat Auora menatapnya tidak percaya.
Apa? Xavier ingin apa?
"Xavier... Kau....."
"Aku memang membeci Victoria. Sangat-sangat membencinya. Dan kau.. Kumohon jangan sekalipun berusaha menghilangkan kebencian itu. Aku tidak mau."
Xavier menarik napas.
"Tapi ketika aku membencinya, maka bukan berarti aku juga akan membencimu," ucap Xavier pasrah.
"Demi Tuhan! Tidak masalah kau saudaranya. Tidak masalah kau sudara kembarnya. Selama kau bukan dia, aku tidak apa-apa. Jangan pernah membandingkan dirimu dengannya. Kalian berbeda, kau berharga... Kau... Apapun kesalahanmu... Kau akan selalu aku maafkan," ucap Xavier lagi.
Aurora sendiri tidak mengatakan apa-apa. Membuat Xavier tidak tahu apa yang sedang Aurora pikirkan. Aurora hanya menutup mulutnya untuk menahan tangisnya keluar.
Tapi sudahlah, Xavier juga tidak peduli Aurora memikirkan apa. Yang jelas, dengan tekad kuat, Xavier kembali membalikkan tubuhnya, menatap altar di depan.
Xavier lalu menundukkan kepala, membuat salib dengan keempat jarinya sebelum kembali berkata-kata,
"Aku besok memang berniat kemari untuk sumpah pernikahan," ucap Xavier sembari menunduk. "Tapi sekarang... Aku disini untuk bersumpah di hadapan Tuhan, jika sekarang dan selamanya, aku hanya akan mencintai Aurora Regina," ucap Xavier lagi yang membuat Aurora langsung terkesiap.
"Hanya dia."
Kali Aurora bahkan tidak bisa menahan dirinya lagi untuk tidak menangis hebat. Dia juga tidak bisa menahan diri untuk merangsek ke depan, memeluk Xavier erat dari belakang sebelum mengatakan, "Aku juga hanya akan selalu mencintaimu, Xavier Leonidas."
TO BE CONTINUED.
________________________
HOPE YOU LIKE IT!
JANGAN LUPA KOMEN, VOTE, SAMA SHARE KE TEMEN KALIAN YAA!
Wwkwk... Komen emoticon kalian buat part ini dong XD
Jangan lupa komen sama vote yang banyak ya!!!
Akhirnya setelah penuh pertimbangan. Dy memutuskan untuk masuk tim Aurora-Xavier :P
Dy Putina,
Calon istri pemilik IndieHome.
[biar Wifinya nggak mati lagi]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro