Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

She Owns the DEVIL Prince | Part 60 - Just Sleep, Baby.

XAVIER UPDATEEEE!!

HAPPY READING!

JANGAN LUPA KLIK BINTANG DI POJOK KIRI BAWAH YAAA!

Makasih banyak juga buat 14K vote + 4K komen lebih di chapter sebelumnya. Seneng banget akutuh. Dy nggak ingkar janji kan, kalau responnya bagus, Dy juga nggak lama updatenya :P

Tulis emoticon kalian sebelum baca ini disini ^^

Btw ini 2K kata lebih. Masih bilang kurang awas aja. Dy santet online :)

"Enyah kau Lucero. Aku membencimu," ucap Aurora sembari menatap Andres benci

Andres sendiri hanya terkekeh geli, Aurora pikir hanya dia yang membencinya?

"Aku memang sudah ingin pergi. Rasanya aku sudah cukup memberikan tatapan mengasihani pada orang yang sudah dicampakan disini."

Andres tesenyum meremehkan sembari mengehela napas panjangnya. "Tapi sebenarnya sayang sekali kau tidak melihat tatapannya tadi. Kau seharusnya melihat betapa dia menatapmu benci. Rasanya kebenciannya padamu lebih besar dari bagaimana kau membenciku," ucap Andres lagi sebelum dia melangkah pergi.

Namun sebelum Andres benar-benar pergi, dia masih sempat melihat wajah terluka Aurora. Well, tapi bagaimana lagi. Andres hanya merasa jika dia perlu memberi pelajaran sedikit pada si muka dua ini.

***

My Playlist : Pink - Just Give Me A Reason

https://youtu.be/OpQFFLBMEPI

Playlist kamu :

***

ADAM'S SKYSCREAPER Building, Manhattan NY-USA. 11:15 PM

"Kopimu, Sir...."

Xavier masih berkutat dengan berkas-berkas di meja kerjanya ketika suara Kendra Mikhailova membuatnya berhenti sejenak. Xavier juga langsung mengerutkan kening sebelum melirik arlojinya. Ini sudah sangat malam, kenapa wanita ini masih disini juga?

"Kenapa kau belum pulang?"

"Anda belum selesai. Saya takut Anda butuh apa-apa," jawab Kendra dengan aksen Rusia yang kental. Itu membuat Xavier langsung teringat pada Aurora. Aurora juga orang Rusia, tapi aksennya malah lebih mirip orang Spanyol seperti dirinya. Ah, dengan memikirkan itu saja sudah membuat Xavier langsung merindukan Aurora. Xavier ingin segera pulang dan memeluknya.

Tapi Xavier tahu dia tidak bisa. Dia akan pulang. Nanti. Setelah Ara-nya sudah tertidur. Setelah Xavier memastikan dia tidak akan menyakitinya dengan pikiran yang masih kalut. Bohong kan jika Xavier tidak merasa marah, kecewa dan juga sedih dengan apa yang dia temukan barusan? Apalagi respon Aurora seperti itu.... Aurora sama sekali tidak membela dirinya, dia juga tidak terlihat takut dengan rahasianya yang terbongkar, bahkan Aurora juga terus saja membela Victoria. Mengatakan padanya jika Victoria selalu memilihnya.

Hal terakhir yang terlintas di pikirannya membuat Xavier marah dan...takut. Seakan-akan Aurora memang sudah mempersiapkan hal ini sejak lama. Seakan-akan Aurora tidak takut Xavier akan meninggalkannya dan memilih Victoria. Seakan-akan Aurora memang datang ke hidupnya hanya karena Victoria. Damn! Apa selama ini Aurora memang tidak pernah mencintainya?

"Kau sudah bisa pulang. Lagipula ini sudah hampir selesai," ucap Xavier tanpa ekspressi ketika dia masih merasakan kehadiran Kendra di ruangannya. Xavier juga tidak merasa harus menatap wajah Kendra yang tengah tersenyum manis.

Well, seharusnya Xavier memang sudah selesai dengan semua berkas ini sejak beberapa jam yang lalu, apalagi beberapa meetingnya juga sudah di re-schedule ketika dia memutuskan menyusul Aurora. Tapi Xavier memang masih berlagak menambahkan pekerjaannya lagi semata-mata hanya agar dia bisa pulang nnati.

"Saya akan menunggu saja. Lagipula di luar masih hujan."

Hujan?

Ah, benar juga. Xavier baru menyadari itu ketika dia melihat kaca besar di ruangannya. Di luar ternyata memang sedang hujan deras. Dan itu membuat Xavier mendadak tidak tertarik dengan semua pekerjaan di mejanya. Ugh! Dia ingin pulang.

"Seingatku dulu kau ini atlet ice skater. Kenapa tiba-tiba malah terdampar menjadi sekretarisku?" Xavier membuka pembicaraan. Berusaha mengalihkan pikirannya dari kata pulang. Xavier takut Aurora masih bangun. Xavier takut Aurora kembali mengatakan hal yang tidak ingin Xavier dengar. Persetan jika dia adalah saudara kembar Victoria. Persetan dengan Victoria. Untuk apa Xavier memikirkan domino jatuh itu? Xavier hanya butuh Aurora.

"Anda masih ingat?"

Xavier sedikit terheran-heran mendapati jika pertanyaannya tadi nyatanya direspon Kendra dengan senyuman riang.

"Tentu saja. Siapa yang tidak dengan atlet kebanggaan Leonidas International?"

Sebenarnya bukan karena itu. Kapan memangnya Xavier pernah peduli? Tapi dulu Kenneth memang selalu membicarakan tentang Kendra Kendra Kendra dan Kendra hingga Xavier bosan sendiri.

"Sebenarnya saya baru berhenti enam bulan yang lalu."

"Berhenti?"

"Kaki saya cedera," jawab Kendra tanpa ditanya disertai senyum kecutnya.

"Sebenarnya itu juga salah saya sendiri. Beberapa tahun terakhir saya memang ceroboh. Saya terlalu memforsir diri. Saya juga sering mengabaikan cidera-cidera kecil, dan ketika itu sudah menjadi sangat buruk, saya tidak kuat lagi. Jadi saya memutuskan berhenti sebelum publik menyadari jika performa saya menurun."

Xavier hanya mengangguk. Dia memang sering mendengar jika ada banyak hal yang harus kau korbankan ketika kau menjadi atlet. Itu juga yang menjadu salah satu alasan kenapa Crystal yang dulu sempat menyukai Ballet memilih tidak mau lagi berlatih Ballet lagi. Crystal sangat takut kakinya bengkok seperti kebanyakan para Ballerina professional.

Memikirkan Crystal membuat Xavier bertanya-tanya. Bagaimana kira-kira respon Crystal jika dia mengetahui kondisi Victoria sekarang? Xavier tidak menampik jika dulu Crystal dan Victoria sangatlah dekat. Malah bisa dikatakan Victoria adalah satu-satunya teman yang Crystal miliki.

Kilatan petir yang terasa dekat sekali dengan jendela ruangannya membuat Xavier cukup terkejut. Tapi keterkejutannya itu masih belum apa-apa dibanding keterkejutannya mendengar teriakan Kendra.

Kendra sepertinya takut petir. Dia bahkan langsung jatuh terduduk sembari reflek menutup kedua telinganya dengan telapak tangan.

"Kendra, kau tidak apa-apa?"

Kendra tidak menjawab. Malah wanita itu berteriak lahi ketika kilatan petir selanjutnya kembali terdengar.

Damn it! Hujan di luar sepertinya semakin parah saja. Dan itu membuat Xavier buru-buru bangkit dari duduknya. Dia harus pulanng. Xavier mengkhawatirkan Aurora. Bagaimana jika tenryata Aurora juga takut petir juga?

"Kita lanjutkan besok saja. Ayo kita pulang."

Xavier memegang bahu Kendra, berusaha membuatnya tenang.

Dan sepertinya berhasil. Kendra langsung mengangguk. Wanita itu terlihat sempat mengusap matanya sebelum bangkit berdiri dan bergerak membereskan semua berkas di meja Xavier cepat-cepat. Sepertinya dia benar-benar takut.

Xavier sendiri langsung menghubungi Christian. Membuat Christian muncul di ruangannya sekitar sepuluh menit kemudian. Persis ketika Kendra sudah selesai membereskan semuanya.

"Kau tinggal dimana?" tanya Xavier ketika dia, Christian dan Kendra sudah sama-sama dan masuk ke dalam lift beriringan.

"212 fifth Avenue PH, Sir... The Crown Penthouse," jawab Kendra.

Wanita itu menyebutkan salah satu nama penthouse dengan harga puluhan juta dollar yang terletak kira-kira 1,2 mil dari sini.

Kira-kira sekitar tujuh menit perjalanan dengan mobil.

"Kau membawa mobil?"

Kendra menggeleng.

"Tidak, biasanya saya jalan kaki. Tapi sepertinya kali ini saya akan memanggil taksi," ucapnya sembari tersenyum tipis.

Xavier langsung memutuskan. "Kau ikut kami saja kalau begitu."

"Bolehkah?"

"It's okay. Lagipula itu ada di rute yang sama dengan yang akan aku lewati."

"Terima kasih, Sir," ucap Kendra, terdengar benar-benar senang. Tatapan mata hijaunya ketika menatap Xavier juga seakan-akan menyiratkan jika dia masih tidak percaya.

Xavier sendiri tidak memperhatikannya. Dia hanya berpikir untuk cepat sampai ke mobilnya dan pulang. Apalagi ketika melihat hujannya seperti menjadi semakin deras saja, seakan-akan, akan terjadi badai sebentar lagi. Dan Aurora sedang sendirian.

Untunglah dugaan Xavier salah.

Beberapa menit setelah mobilnya melaju di jalanan, hujan malah terlihat reda. Tapi tetap saja Xavier masih mengkhawatirkan Aurora.

"Aurora baik-baik saja di mansion, kan?"

Xavier menanyakan itu pada Christian, tapi Kendra yang sedang duduk di sebelah Xavier ikut menoleh juga.

"Sebenarnya.... Nona Aurora belum kembali ke mansion sejak tadi siang, Tuan."

APA?!

Xavier langsung menatap Christian tajam.

"Aurora belum kembali dari tadi siang dan kau baru memberitahuku sekarang?!" teriak Xavier marah.

Hancur sudah tembok emosi yang dia bangun sejak tadi. Xavier benar-benar meledak. Rasa marah, khawatir, takut...semuanya...benar-benar berkumpul di dalam pikirannya. Ini yang dia takutkan sejak tadi. Ini yang dia pikirkan sejak tadi. Xavier sangat takut Aurora datang padanya hanya karena Victoria, dan setelah dirasanya cukup, Aurora akan pergi darinya.

Poor Christian, karena pada akhirnya dia yang harus merasakan semua luapan emosi Xavier yang menakutkan.

"Saya melihat Anda sangat sibuk sejak-"

"Apa aku masih harus menjelaskan padamu bahwa sesibuk-sibuknya aku, tetap dia yang utama!" geram Xavier dengan nada rendahnya. Tangan Xavier bahkan sudah mencekam, sementara udara di mobil tiba-tiba sudah terasa mencekam.

Kendra mungkin juga merasakannya karena disaat yang sama dia memilih untuk menundukkan kepala.

"Sekarang katakan, dimana Ara-ku?"

"Ponsel Nona Aurora juga dimatikan. Itu membuat saya tidak bisa melacaknya. Terakhir posisinya masih ada di rumah sakit, setelah itu dia tidak terlihat lagi."

Sialan. Xavier semakin geram. Sungguh! Tidak biasanya Christian seceroboh ini.

Jika saja Christian bukan orang kepercayaannya yang sudah mendampinginya sejak lama, Xavier mungkin sudah tidak segan-segan memecatnya. Tapi sekarang Xavier lebih memilih mengeluarkan ponselnya dan langsung melacak posisi Aurora sendiri.

Aurora bodoh jika dia menganggap dirinya bisa menghilang semudah itu dari Xavier. Nyatanya selama Aurora terus memakai kalung Ursa Minor yang pernah Xavier berikan dulu, Xavier akan selalu tahu dia dimana. Xavier akan selalu bisa menemukannya. Apalahi selama ini Xavier juga melihat Aurora selalu memakai kalung itu kemana-mana.

Untunglah, beberapa saat kemudian Xavier sudah mengetahui letak posisi Aurora. Saking leganya Xavier bahkan sampai menghela napas panjang. Aurora ternyata sedang berada di apartementnya. Bukan pergi ke tempat antah berantah seperti yang awalnya Xavier kira. Jika Aurora memang ingin pergi darinya, sudah pasti dia tidak akan pergi kesana kan?

Xavier sudah menyuruh Christian memutar balik menuju apartement Aurora dengan tidak sabar, ketika Christian mengingatkannya tentang Kendra. Ah, iya... Xavier lupa jika Kendra ikut bersamanya.

Hujan sudah benar-benar berhenti ketika mobil Xavier berhenti tepat di depan gedung penthouse Kendra. Tanpa banyak bicara Kendra langsung turun, tapi sebelum Xavier menyuruh Christian melajukan mobilnya lagi, tiba-riba saja Kendra sudah lebih dulu mengetuk kaca mobil Xavier lagi.

"Terima kasih, Sir. Malam ini saya sangat senang," ucap Kendra sembari tersenyum begitu Xavier menurunkan kaca mobilnya.

"Terima kasih sudah mengantar saya," tambah Kendra lagi yang hanya dibalas Xavier dengan anggukan kecil.

"Xavier...."

Wait....

Xavier baru saja memberikan perintah pada Christian untuk melajukan mobil mereka ketika suara Kendra menarik perhatiannya. Sebentar... tadi dia mengatakan apa?

"Sebenarnya... Alasanku menjadi sekretarismu semata-mata bukan hanya karena aku cedera. Kau tahu," ucap Kendra lagi sembari menggigit bibir bawahnya. Kendra terlihat gugup, berbeda dengan Xavier yang hanya merespon itu dengan mengangkat alis.

"Kau tahu... Ketika di high school dulu aku sangat mengagumimu. Aku... Aku mencintaimu dari jauh. Sekarangpun sepertinya juga masih sama. Tapi karena dulu kau selalu mengabaikanku, aku tidak sekalipun pernah berani berharap. Tapi sekarang... Apa boleh jika aku berharap sedikit saja?"

Xavier langsung mengalihkan pandangannya ke depan. Merasa kesal karena tanpa sadar dia sudah membuang beberapa menit berharganya untuk mendengar hal yang tidak penting.

Tapi sebelum menutup kaca jendelanya dan menyuruh Christian melajukan mobilnya lagi, Xavier sempat mengatakan kalimat yang dia pastikan akan Kendra dengar.

"Terserah. Kau berharap atau tidak, aku juga tidak peduli," ucap Xavier tidak acuh.

Setelah itu mobil Xavier melaju pergi.

Sedangkan Kendra terus menatap kepergian mobil Xavier dengan senyuman kecil.

***

[Now playing : Justin Bieber - First Dance ]

https://youtu.be/WBiiJfmeIdg

Aurora's Apartemen. Manhattan, NY-USA. 00:47 AM

"The number you are calling is not active-" klik.

Aurora segera menyandarkan kepalanya ke sandaraan sofa.

Huft... Ternyata nomor Xander masih belum aktif. Padahal Aurora pikir Xander sudah sampai di China, karena itu Aurora menghidupkan ponselnya lagi.

Tidak mau menunggu lama, akhirnya Aurora lebih memilih merekam pesan suara. Dia menceritakan semua yang dia alami hari ini; mulai dari betapa senangnya dia melihat Xavier dan Javier sudah berbaikan, bagaimana paniknya dia ketika menerima telpon William Petrov yang menyuruhnya menyerah akan Vic, hingga bagaimana dia bertemu dengan Andres dan berakhir muak melihat Andres dengan mudahnya memperlihatkan sikap sok pedulinya pada Victoria setelah apa yang dia lakukan dulu.

Well, sudah menjadi kebiasaan. Aurora memang selalu menceritakan semua permasalahannya pada Xander, karena bisa dibilang, selain Xander... siapa yang mau jadi pendengarnya lagi?

"Kau setuju denganku kan, Xan? Si brengsek itu... kenapa masih bisa-bisanya dia bersikap sok peduli disaat dialah yang menjadi penyebab semua yang terjadi dulu?"

Aurora menjeda pesan suaranya.

Sepertinya dia harus berusaha menghentikan isakannya dulu sebelum merekam lagi.

"Tapi itu bukan apa-apa. Kau tahu, apa hal paling buruk yang aku alami hari ini?"

Aurora menarik napasnya. Berusaha tidak menangis.

"Xavier... Xavier membenciku...."

Percuma. Tiap kali mengatakan ini tangis Aurora langsung pecah. Well, tapi Aurora sudah tidak mau menunggu tangisannya reda dulu sebelum pesannya untuk Xander selesai. Itu akan memakan waktu. Nyatanya hanya dengan membayangkan tatapan kebencian Xavier padanya saja Aurora akan kembali menangis.

Karena itu Aurora tidak tidak pulang ke mansion dan memilih pergi ke apartementnya.

Dia takut. Aurora takut. Aurora tidak mau jika dia harus melihat tatapan benci Xavier dengan matanya sendiri.

Ini menggelikan. Padahal sudah jauh-jauh hari Aurora telah mempersiapkan dirinya untuk ini. Bukankah dia juga sudah sering melihat tatapan benci di mata Xavier tiap kali lelaki itu membahas tentang Victoria? Kenapa rasanya tetap masih sulit. Apa... apa jika sendainya Aurora mendengarkan saran Xander untuk memberitahu Xavier semuanya sedari awal, keadaannya akan berbeda?

Apa Xavier tidak akan membencinya?

Ah, tidak. Apapun jalan yang Aurora pilih, sepertinya dia akan tetap berakhir dengan dibenci Xavier.

"Andres mengatakakan padanya jika aku saudara kembar Victoria. Dan Xavier.... Xavier... Xavier..," isak Aurora tertahan.

"Xavier langsung membenciku...!"

"Xavier membenciku Xander.... Dia membenciku. Apa yang harus aku lakukan sekarang?" isak Aurora lama. Bahkan isakan Aurora juga masih terus berlanjut bahkan ketika dia sudah menaruh ponselnya.

Padahal Aurora berpikir dia akan menerima berondongan pesan ataupun panggilan tidak terjawab Xavier begitu dia menghidupkan ponselnya. Tapi semua itu tidak ada. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Ah, apa hanya dengan mengetahui dirinya merupakan saudara kembar Victoria, membuat Xavier menjadi sangat amat membencinya?

Well... Aurora menahan ludahnya pahit. Itu bisa saja.

Nyatanya, Aurora sendiri yang menjasi saksi, jika sekalipun waktu berjalan, kebencian Xavier pada Victoria juga tidak lekas hilang. Bahkan setelah semua hal yang sudah diambil darinya dulu perlahan kembali, Xavier masih tetap saja membenci Victoria.

Aurora ingat, bukankah dulu Xavier sempat berkata padanya jika dia tidak akan peduli sekalipun Victoria sakit keras? Xavier malah akan lebih memilih mati saja daripada harus merasa bersalah. Well, Xavier ternyata serius dengan perkataannya. Dia bahkan sudah membuktikan hal itu dengan menolak menjenguk Victoria bahkan setelah Andres menawarinya. Sekalipun Aurora sudah memberitahu Xavier seperti apa perasaan Victoria yang sebenarnya.

Sungguh, mengingat itu membuat dada Aurora sesak.

Rasanya seperti dia menemui jalan buntu. Sama sekali tidak ada kesempatan yang bisa membuat Xavier memaafkan Victoria. Ah... jangankan Victoria. Sekarang saja Xavier sudah membenci Auora Regina juga.

Dasar! Little bear bodoh.

Tangis Aurora sudah agak reda ketika Aurora memutuskan mengambil buku sketsa yang sempat dia taruh di atas meja.

See? Bahkan di hasil gambarnya Xavier masih terlihat se-songong ini. Membuat Aurora ingin menjitak kepalanya. Karena itu Aurora sengaja membuat rambut Xavier terlihat acak-acakan. Tapi dasar Xavier Leonidas...dengan rambut yang seperti ini, dia malah terlihat semakin seksi saja.

Aurora kembali mengambil water color ungu dan hijau miliknya untuk mewarnai lukisan Xavier yang belum selesai. Beberapa saat setelahnya, Aurora bahkan sudah benar-benar terlarut pada kegiatannya itu dan melupakan semuanya. Melukis membuatnya lupa. Padahal hal yang pertama kali melintas di kepala Aurora begitu dia datang ke apartement adalah melakukan pole dancing dengan musik yang keras agar semua pikiran penatnya hilang.

Tapi rencana itu berakhir gagal, karena baru dengan melakukan gerakan awal saja tubuh Aurora sudah lelah.

Karena itu Aurora memilih melukis. Dia tadi mencoba menggoreskan warna demi warna setelah sudah lama sekali dia tidak melukis pasca tangannya cedera. Tapi tiba-tiba wajah si bodoh ini saja yang sudah tergambar. Ah, Aurora malas mengakui jika ternyata wajah Xaier sudah sangat bersarang lekat di kepala Aurora. Lihat saja, bahkan disaat Aurora baru kembali melukis untuk pertama kali, lukisannya sudah bisa sepersis ini.

"X...."

Aurora bahkan tidak tahu sejak kapan dia tertidur. Tapi goncangan di tubuhnya membuatnya mengingau pelan. Aurora seperti biasa merasakan sesuatu yang hangat tengah mendekap tubuhnya. Tidak hanya itu, aroma yang Aurora cium dari sandaran sofa yang tengah menempel di wajahnya juga membuat Aurora bermimpi Xavier tengah menggendongnya.

Ah, tapi sepertinya itu memang bukan mimpi.

Karena sebelum Aurora kembali terlelap, dia masih sempat melihat wajah Xavier yang sedang menggendongnya dengan gaya bridal. Aurora juga sempat merasakan kecupan lama di keningnya sebelum mendengar suara Xavier yang berbisik,

"Just sleep, Baby." di telinganya.

Well, itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Aurora tersenyum dalam mimpinya.

TO BE CONTINUED.

HOPE YOU LIKE IT! JANGAN LUPA VOTE, KOMEN, SAMA SHARE KE TEMEN KALIAN YA!!

Tulis emoticon kalian sepanjang baca chapter ini wkwk

Sekarang ayo taruhan. 15K vote dan 4K komen buat next part. Tapi kalau udah lebih 15,1K aja dan Dy belum update, itu berarti Dy harus berani update dua double.

#LeonidasSquad berani nggak? :P

Btw sepanjang kalian baca cerita Dy, tokoh siapa yang paling kalian sayaaanggggg????

Me : Justin Stevano hehe.

See you soon!

With Love,

Dy putina

Istri sah dan satu-satunya Shawn Mendes :')

Go follow IG Dy : @dyah_ayu28 untuk info-info wattpad dan buku!

Tapi harus siap-siap juga kena serangan spam snapgram Zepeto hehe.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro