Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

She BELONGS to The Prince | Part 7 - Hunt You Down

XAVIER UPDATE!

Happy reading!

JANGAN LUPA KLIK BINTANGNYA!

Jam berapa kalian baca ini?

Aurora tersadar, berniat menenangkan Axelion. Tapi tiba-tiba saja Xavier sudah duduk lebih dulu, menghampiri dan mengelus kepala putra mereka sembari menyunggingkan senyum gelinya, terlihat tulus. "Kau mau berapa hm? Daddy punya dua belas di Rusia. Masih kurang?"

Aurora menganga. Bukan karena jumlah pesawat yang Xavier punya, tapi kenapa bisa semudah itu Xavier mengakui Axelion sebagai putranya?!

Well, tapi itu masih bukan apa-apa, karena kalimat Xavier selanjutnya menjadikan Aurora lebih terkejut lagi. "Tapi Axelion ikut Daddy dulu ya?" tawar Xavier.

Wait.... Apa katanya?

Aurora menggelengkan kepala, tapi Axelion malah mengatakan 'iya'.

________________________________

She BELONGS to the Prince | Chapter 7 – Hunt You Down

***

Playlist : Marron 5 – Animals

https://youtu.be/qpgTC9MDx1o

Playlist kamu :

***

"Papa's plane can fly, right?" Axelion memastikan, Xavier menatapnya serius.

"Sure. Nanti Axelion saja yang menerbangkannya. Bagaimana?"

"I am?" Axelion mengedipkan mata, wajahnya tertegun—tampak lucu. Xavier tidak tahan mengecup pipinya. "Why not? Selama kau dengan Daddy, apapun bisa."

"Horray! C'mon, c'mon! I want to come with Daddy," pekik Axelion riang, dia memeluk dan mengecupi pipi Xavier, meloncat-loncat dan mengulurkan tangannya—meminta digendong.

Xavier tertawa, "Good boy...."

Sayangnya, baru saja Xavier akan mengggendongnya, Aurora mengambil Axelion lebih dulu. Menggendongnya, menatap Xavier penuh permusuhan tanpa memedulikan pandangan tajam Xavier padanya. "Mommy want to come too?" tanya Axelion dengan polosnya.

Aurora tidak merespon, hanya menoleh pada pengasuh Axelion. "Bawa Axelion ke kamarnya," ucapnya sembari memberikan Axelion.

"Mommy! I won't! I wanna with my Dad!" Axelion memberontak, ingin menangis.

"Bawa cepat!"

"Mommy!" Kali ini Axelion benar-benar menangis. Bocah kecil itu bahkan sudah memukuli pundak pengasuhnya—bersikeras ingin diturunkan. Terlebih ketika dia melihat Xavier menghampirinya, yang langsung di hentikan Aurora. Aurora mencekal tangan Xavier.

"Tinggalkan dia," ucap Aurora tegas.

"Damn it! Kau tidak lihat dia menangis?!"

"Lalu kenapa? Untuk apa kau peduli? Dia Putraku! Purtraku! Axelion tidak ada hubungannya denganmu!"

"Ha?! Jangan bercanda, dia ada juga karena aku!"

Dasar bajingan. Tanpa Xavier berkatapun Aurora sudah tahu.

Aurora menggeleng. "Tidak mengubah keadaan! Selama ini dia hanya bersamaku, Xavier!"

"Dia tetap putraku!"

"Anggap saja kau tak pernah tahu. Bukankah kau juga tidak ada ketika dia dilahirkan?!"

"ITU KARENA KAU MENYEMBUNYIKANNYA, SIALAN!"

Aurora tertegun. Xavier tidak pernah membentaknya sekeras itu. Xavier menghempaskan pegangan tangannya, menatapnya tajam. Lalu, balik mencekal pundak Aurora sembari menggertakkan rahangnya. "How dare you...," bisik Xavier. Rendah. Menikam. Mengerikan.

Aurora menahan napas, meneguk ludahnya. Entah kemana rasa marah dan keberaniannya tadi, Aurora tidak tahu. Xavier memojokkannya ke dinding. Cekalannya di pundak Aurora makin menjadi, mencengkramnya, terlalu kuat—Aurora meringis.

"X—xavier...."

"Menyembunyikan milik kami. Milik Leonidas. Kau pikir kau siapa?" geram Xavier, nadanya mengancam. "Katakan, sampai kapan sebenarnya kau mau menyembunyikan dia? Sampai aku mati? Sampai dia memanggil orang lain Daddy?"

"Xavier...sakit," rintih Aurora.

Xavier melonggarkan cekalannya, tapi bukan berarti Aurora bisa lepas.

"Dengar baik-baik...," ujar Xavier, mendekatkan wajah mereka. "Aku akan mengambilnya, Ara. Dia kepunyaanku. Apapun akan aku lakukan. Apapun. Meski harus menyakitimu."

Aurora merinding. Kata-kata Xavier, pandangan matanya, bahkan helaan napasnya—semuanya, menakutinya. Rasanya seperti bukan Xavier....Xavier Leonidas yang dulu dia kenal tidak seperti ini. "Dia putraku, milikku."

Lalu, cekalan itu lepas—Xavier membebaskannya. Aurora menghela napas, merasa lega. Tapi, kelegaannya tidak bertahan lama. Xavier berjalan tergesa ke pintu kamarnya, ke tempat Axelion di bawa.

Oh tidak... Aurora menggeleng panik. Dia mengejar Xavier, menarik lengan Xavier—membuat lelaki itu menatapnya. Xavier terlihat tidak suka, matanya menampakkan binar marah, ingin memprotes. Tapi saat itu juga Aurora mencium Xavier.

Gila memang! Tapi Aurora tidak peduli, hanya cara ini yang terpikir di kepalanya untuk menghentikan seorang Xavier. Xavier boleh berkata dia akan melakukan apapun untuk mengambil Axelion, tapi jangan harap Aurora tidak akan melakukan hal yang sama! Aurora harus mengulur waktu. Lagipula dia yakin sebentar lagi Victor Akan menyadari keberadaan Xavier dan membereskan lelaki ini.

Benar saja, Xavier membalas ciumannya. Bahkan, Xavier-lah yang akhirnya mendominasi ciuman mereka.

"Your lips is more dangerous than you realize, you know...," bisik Xavier di dekat bibirnya, "Enough to kill me. Enough to kill us."

Aurora mengerang. Ciuman Xavier beralih ke pundaknya, menggigitnya disana. "But I'm willing to die with you."

Bumerang. Aurora lupa, sama halnya dengan Xavier yang lemah akannya; lelaki ini juga kelemahannya. Ciumannya memabukkan—menghilangkan kewarasannya pelan-pelan. Aurora bahkan tidak sadar sejak kapan Xavier mengangkat tubuhnya, menggendongnya, merebahkan dirinya di ranjang besarnya. Auora menutup mata. Xavier mencumbunya, membelai tubuhnya—mulai menurunkan kimono mandinya.

Lalu ciuman dan sentuhan Xavier mendadak lenyap. Aurora merasa kehilangan. Tapi setelah itu bunyi gedebum terdengar. Aurora membuka mata—langsung duduk sementara satu tangannya menutup mulut, terkejut.

Victor ternyata sudah ada di kamarnya. Dia menarik Xavier kasar—menghajar Xavier tanpa ampun, menghantamnya keras sampai wajah Xavier mencium dinginnya lantai.

"Astaga, Vic! Hentikan!"

Victor tidak peduli. Amarah menguasai dirinya, menjalar ke seluruh pembuluh darah. Victor menarik Xavier berdiri, menyodok perutnya dengan kakinya—sangat keras hingga Xavier terbatuk. Aurora bergegas turun dari kasur, hendak menolong Xavier ketika....

"Sialan kau, X! Lepas!" Victor membentak.

Itu karena disaat dia hendak menonjok Xavier lagi—Xavier dengan mudahnya berkelit, memuntir lengan Victor, menariknya kebelakang dan mengurung agar diam.

"Hei, Vito." Di tengah wajahnya babak belur, masih sempat-sempatnya Xavier menyapa Victor, menyunggingkan senyum mengejeknya. "Long time no see, right?"

"Oh, okay."

Hanya dua kata, dan Xavier memukul belakang kepala Victor—cukup membuat lelaki itu tak sadarkan diri, lalu melepaskannya.

Aurora menutup mulutnya. Padahal baru saja dia meloncat untuk menolong Xavier. Tapi sekarang malah Victor yang pingsan. Di lain sisi Xavier berjalan mendekatinya. Pelan. Masih dengan tatapan mengancam.

"Aku sudah berkata, aku akan mengambil dia kan?" ucap Xavier dingin, sedingin mata birunya yang menatap Aurora. Aurora ingin kabur, tapi dia malah terpaku di tempatnya.

"Sekarang terserah padamu. Kau datang padaku atau...." Xavier menggantung kalimatnya, menikmati tampang Aurora yang ketakutan. Jemarinya memegang belakang kepala Aurora, mendekatkan wajah mereka. "Kita bertemu di pengadilan saja ya?" bisik Xavier.

Lalu, dia mengecup leher Aurora—meninggalkan kissmark disana dan menjauh, menghilang di balik pintu balkon Aurora.

Jantung Aurora berdetak cepat, kakinya mendadak lemas. Aurora jatuh bersimpuh di lantai kamarnya. Terlalu ketakutan untuk berpikir, tapi ia yakin—ada yang direncanakan Xavier.

***

LEONIDAS'S PALACIO, Moskow—Russia. | 05:10 AM

"Bagaimana?"

Xavier menghirup rokoknya, menghembuskan asapnya ke udara. Matanya menatap dingin lewat balkon atas Palacio, mengarah ke kejauhan. Christian berdiri di belakangnya, menunduk hormat.

"Kepolisian Rusia sudah memproses laporan Anda, Tuan muda. Beberapa media ternama juga sudah mulai menayangkannya."

"Axelion?"

"Bisa dipastikan dia memang Putra Anda. Hasil tes DNA menunjukkan dia memiliki kemiripan 99,8% dengan Anda...."

Xavier langsung mematikan rokoknya, masih membelakangi Christian.

"Kalau begitu dapatkan dia."

"Tapi, Tuan.... Hukum di Negara ini menyebutkan jika hak asuh anak di luar pernikahan secara otomatis jatuh ke tangan Ibunya."

"Kalau begitu beli saja hukumnya!"

"T—tapi Tuan...."

Xavier menyeringai, masih membelakangi Christian. "Dari dulu kau memang selalu membelanya ya Chris?"

"M-maksud Tuan Muda?"

Xaveir membalik tubuhnya. "Ada satu pasal pengecualian yang bisa kita gunakan di hukum itu. Disana tertulis; Anak di luar pernikahan yang 'sengaja disembunyikan' dari Ayahnya—hak asuh sepenuhnya menjadi milik sang Ayah," ucap Xavier. Matanya menatap Christian. Tajam. Penuh tuduhan.

"Sebelum menyuruhmu, aku sudah mencarinya sendiri. Khawatir kau masih seperti dulu."

Christian menelan ludahnya, memberikan anggukan menyesal. "Maafkan saya, Tuan Muda."

Mengebaikan permintaan maaf Christian, Xavier kembali membelakangi lelaki paruh baya itu.

"Ada lagi yang ini kau sampaikan?"

Christian menunduk, menyadari itu adalah pengusiran tersirat. Tapi memang ada satu hal lagi yang harus dia katakan.

"Mungkin waktunya kurang tepat, tapi saya juga sedang membawa daftar nama kontraktor pontesial untuk proyek LEONIDAS INTERNATIONAL PLAN'S FOR TANJUNG SOPI LARGEST RESORT di Indonesia, Tuan Muda."

Xavier mengingatnya, itu proyek pembangunan resort di Tanjung Sopi, Desa Sopi, Kepulauan Morotai, Maluku Utara—Indonesia. Hadiah untuk Anggy—ibunya. Anggy masih keturuan Indonesia, dia juga sangat mencintai negara itu—karenanya Xavier mendirikan resort untuknya disana. Tapi untuk sekarang sepertinya Xavier belum mau memikirkan pekerjaan.

"Aku serahkan padamu. Menurutmu siapa yang memenuhi persyaratan, Chris?"

"Untuk saat ini kandidat terkuatnya tetap PT. Mega Realty, anak perusahaan dari PT. Mega Tarinka—perusahaan kontraktor nomor satu di Indonesia. Track record mereka terbilang bagus. Kebanyakan proyek-proyek pemerintah Indonesia menggunakan jasa mereka. Selain itu CEO mereka, Mr. Alby Bagas—"

"Kalau begitu pilih mereka, dan urus sisanya," potong Xavier cepat—menolak mendengar kelanjutan ucapan Christian.

"Tapi tugas utamamu membawa Putraku pulang." Tanpa bisa dibantah, Xavier menutup pembicaraan mereka. Christian menelan ludah, mengangguk mengerti dan bergegas pergi.

TO BE CONTINUED.

_________________________

HOPE YOU LIKE IT!

DON'T FORGET TO VOTE, SHARE AND COMMENT!

Jangan lupa baca PERFECT LOVE-nya Mamah FlaraDeviana juga :) 

With love, Dy.

#TeamXavierGarisKeras

More information, follow IG :

@dyah_ayu28

@the.angels05

@xavier.leonidas1

@aurora.regina1

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro