She BELONGS to the Prince | Part 51 - That's What Love Is
Hola! I'm back againnnn!!!
Jangan lupa klik bintang + komen yang banyak biar Dy semangat!
Selamat membaca Xavier dan Aurora. Semoga part ini bisa menghibur kalian ^^
Happy reading! Sayang kalian ^^
Dengan dada seperti terhimpit batu, Aurora berjalan menyusul Xavier. Memerhatikan lelaki itu menatap ke kejauhan, dengan kedua tangannya memegangi pagar balkon.
Aurora berhenti tepat di belakang Xavier, menatapnya lekat. "Ex-ee-vii-ee," panggilnya.
Xavier berbalik. Sekali lagi, detik demi detik hanya diisi keheningan mereka berdua.
"Kau ... kau tahu aku Victoria?"
Xavier mengangguk, sementara air mata kembali menetes dari mata Aurora.
"Kau ... kau masih mencintaiku?" tanya Aurora lagi.
Xavier menatap Aurora lekat, lalu kembali mengangguk tegas. "Sepanjang hidupku, Istriku."
***
Playlist : Ellie Goulding – Love Me Like You Do
https://youtu.be/AJtDXIazrMo
Playlist kamu :
***
***
"Aku hancur dan pulih. Terluka dan sembuh. Tapi, satu yang tidak pernah berubah; setiap bagian hatiku tetap milikmu."
Aurora mundur, bersandar di bingkai pintu, berusaha mencari pijakan jika seandainya kakinya tidak bisa lagi menapak kuat. Semua ini terlalu mengejutkan, terlalu banyak—bahkan tidak pernah sekalipun ia bayangkan. Jantung Aurora berdegup begitu kencang, hingga ia menduga Xavier bisa mendengarnya.
Menelan ludah, Aurora berusaha tidak bertele-tele. "Sejak kapan?" gumamnya.
Xavier menarik napas, lalu menghembuskannya. Aurora mengamati ketika lelaki itu menghampirinya, berhenti ketika jarak di antara hanya beberapa senti saja. Aurora tidak bisa begerak, berkedip bahkan bernapas ketika Xavier menariknya dalam pelukan. Bibir dan lidah panas Xavier menyentuh pipinya, begitu mengejutkan hingga tidak ada yang bisa Aurora lakukan disaat Xavier mulai menghapus air mata Aurora dengan sapuan lidahnya yang lembut dan membujuk.
Aurora terbakar. Tubuhnya bergetar. Ia merintih, menginginkan lebih.
Namun, ketika lidah Xavier menari-nari di bulu matanya yang basah, Aurora mendorong dada Xavier menjauh. "X, jawab pertanyaanku. Sejak kapan?"
Xavier berhenti, menelan ludah.
"Xavier...."
"Tiga tahun yang lalu. Di hotel, usai pesta perusahaan."
"Selama itu?"
Xavier mengangguk. "Setelah aku berkata akan berusaha memaafkan Victoria—untukmu—aku memberanikan diri membaca semuanya," kata Xavier kaku, satu tangannya membelai wajah Aurora, menghapus air matanya yang kembali jatuh. "Pada saat itu, aku tidak bisa menerima jika ternyata kalian sama. Egoku menolak fakta jika aku kembali terjatuh pada domino jatuhku. Aku marah. Karena itu aku mengambil jarak, menjauh darimu. Selama itu aku berusaha keras memadamkan kemarahanku, dengan pikiran—aku mungkin membenci Victoria, tapi aku tetap mencintai Aurora Regina." Xavier menunduk, lalu menatap Aurora kembali. "Tapi ternyata aku tetap tidak bisa. Sekuat apapun aku berusaha memadamkan amarahku, aku kembali meledak melihatmu datang dengan Xander. Aku merasa ... dipermainkan. Kau tidak ada di mansion selama aku tidak ada. Kau sengaja menutupi semuanya dariku. Aku berpikir, mungkin bagimu aku memang lelaki bodoh, mainan bagus untuk Victoria Cercadillo."
"Xavier...," panggil Aurora pedih. Ia menaruh tangannya di jantung Xavier, merasakan detak jantungnya yang tidak stabil.
"Setelah itu aku memastikan kau juga akan merasakan apa yang kurasakan. Dikhianati. Tepat ketika aku mengetahui kau datang, aku menerima undangan Kendra. Membiarkannya menciumku. Sengaja agar kau melihatnya. Membuatmu sakit dan membenciku. Lalu, memastikanmu pergi tanpa harus aku memintanya. Karena, aku tidak mungkin bisa," bisik Xavier serak. Bibirnya bergetar. Air mata menetes lagi di pipinya ketika ia mengatakan ini. "Aku tidak tahu, semua itu akan menjadi hal yang sangat aku sesali. Hidup tanpamu ... rasanya tidak ada ubahnya dengan mati."
Aurora tertegun. Terus melihat Xavier tanpa berusaha memutus tatapan mereka.
Lalu, tangan Xavier kembali merengkuhnya, ia menyandarkan keningnya di bahu Aurora, sementara tubuhnya bergetar. Aurora mengelus lembut rambut halusnya. Membelai perlahan sembari terus menyadari tiap tarikan napas dan gerakan Xavier. Aurora menahan isakan. Air matanya kembali jatuh ketika ia menyadari sesuatu. "Kau dengan Kendra ... jadi saat itu tidak benar?"
"Tidak sedikitpun. Aku bahkan menutup mataku, membayangkan wajahmu agar dia bisa menciumku."
"Aku mencintaimu," ucap Aurora lirih. "Maaf karena sudah membohongimu. Maaf sudah merepotkanmu. Maaf karena aku, kau harus mengalami banyak kesulitan. Terima kasih menemukanku kembali."
Xavier mendongkak, wajahnya bergelimang air mata. Aurora menatapnya lekat, lalu mendekat, sebelum kemudian menghapus air mata Xavier dengan ciuman—persis seperti yang Xavier lakukan padanya. Selama itu Xavier terpaku.
Aurora menjauh, mundur untuk melihat matanya. Bibir Aurora terasa basah dan asin karena air mata Xavier. "Kau milikku. Jangan lakukan itu lagi. Aku benci melihatmu disentuh wanita lain."
"Tidak akan pernah." Bibir Xavier menemukan bibir Aurora, menciumnya dalam dan memabukkan. Tidak terburu-buru. Menikmatinya dengan sapuan lembut dan lidah membujuk. Lembut dan halus. Tanpa Aurora sadari, Xavier sudah mengendongnya tanpa melepas pagutan mereka. Aurora merangkulkan bahunya, membuka mulutnya, memberikan akses untuk lidah Xavier masuk—membelai lidahnya. Juga, membiarkan Xavier membawanya masuk.
"Sekalipun, tidak akan pernah. Aku tidak akan membiarkan kesempatan kehilanganmu tercipta lagi," bisik Xavier begitu ia membaringkan Aurora ke ranjang dalam satu gerakan mulus.
Suamiku ... Xavier Leonidasku ....
Xavier memperdalam ciumannya, dan Aurora melengkungkan tubuh ke arah sentuhannya, menguncinya lebih dekat. Aurora menarik napas dalam-dalam dan mencium aroma seks dari Xavier. Xavier melepaskan bibirnya dari bibir Aurora, mencium bahunya, lalu beralih ke lehernya. Aurora merasa takjub bisa menerimanya. Xavier lebih tinggi, lebih kuat—sangat kuat. Sekalipun lelaki itu selalu berusaha lembut padanya.
Aurora mengerang, merasakan tubuh Xavier yang mengeras. Xavier melepaskan kimononya dalam satu gerakan mulus, lalu mengangkat tubuh untuk bisa memandangi Aurora.
"X...," desah Aurora.
Sekarang. Aurora menginginkan Xavier sekarang.
"Kau milikku," gumam Xavier serak. Kilatan rahasia di matanya membuat Aurora bertanya-tanya apa yang sedang ia pikirkan.
Pada detik selanjutnya, Aurora mendapatkan jawaban. Xavier mengangkat tubuh, berlutut di depan Aurora—membungkuk—lalu menciumnya di sana. Ciuman Xavier menyulut Aurora, tiap belaian yang ia berikan di pusat dirinya membuat Aurora melepaskan tubuhnya, lalu melepaskan dan menyerahkan diri sepenuhnya. Jemari Aurora mencengkram seprai, berpegangan erat seakan takut jatuh. Sementara Xavier menggeram pelan, seakan meyukai rintihan demi rintihan yang Aurora ratapkan karena sentuhannya. Tangan Xavier terus menahan paha Aurora agar terbuka, sementara bibir dan lidahnya terus membelai Aurora dengan sentuhan panjang dan lama.
Tubuh Aurora melengkung ketika kenikmatan itu menyentaknya. Menghancurkan kesadarannya menjadi jutaan bagian. "Xavier...," desah Aurora.
"Kau milikku," ulang Xavier.
Aurora mengawasi Xavier membuka celana. Mununggu. Kali ini Aurora menginginkan jiwa mereka benar-benar menyatu.
Xavier tidak mengatakan apapun ketika bibirnya menemukan bibir Aurora lagi. Aurora menutup mata, mengunci kakinya mengelilingi punggung Xavier, membiarkan Xavier menyatukan tubuh mereka. Sangat hati-hati. Kelewat hati-hati. Aurora tidak bisa berpikir apapun ketika tubuh mereka saling terpaut, menyatu, mengisi satu sama lain. Xavier tediam cukup lama di dalamnya.
Aurora membuka mata, lalu mendapati Xavier tengah menatapnya. "Maafkan aku. Untuk semuanya. Untuk menyakitimu," ucap Xavier serak.
Aurora tahu apa maksudnya, ia menarik kepala Xavier mendekat, lalu berbisik. "It's okay. Sekarang kita impas," bisik Aurora.
Xavier menarik tubuhnya, lalu mendorongnya pelan. Teramat pelan.
"Kau milikku," desahnya.
Aurora mengangguk. "Kau juga milikku."
Lagi, Xavier menarik tubuhnya lagi, lalu mendorongnya—kali ini lebih dalam.
"Aku mencintaimu."
"Aku juga, X...," balas Aurora. Ia membelai rambut Xavier, turun ke punggung Xavier. Membelai tiap-tiap otot liatnya.
Aurora merasakan perasaan baru di antara mereka. Perasaan saling menerima. Saling menyembuhkan. Xavier adalah temannya berjuang, kekasih berbagi harapan, menghadapi bahaya—bahkan pegangannya ketika tidak ada lagi cahaya. Pasangan yang akan menjadi penyembuh jika nanti jiwa mereka hancur dan lelah.
Xavier terus menciumnya, sementara Aurora menggerakkan pinggul seirama, merasakan semua kekuatan luar biasa Xavier yang terpusat padanya. Hanya akan terpusat padanya. Mereka adalah masa lalu, masa kini masa depan—tidak ada orang lain. Hanya mereka berdua.
Erangan Xavier keluar ketika mereka mencapai puncak lagi. Sekali lagi, Aurora takjub. Masih tidak bisa mempercayai betapa berpengaruhnya dirinya pada lelaki ini.
Beberapa detik terlewat dalam hening. Tidak ada yang berbicara. Hanya terdengar desah napas mereka berdua. Aurora memandangi Xavier yang masih di atasnya, menatapnya dengan pendar biru lega.
Aurora tersenyum, membelai rambut Xavier yang berantakan, sebelum kemudian, membiarkan Xavier mengecup keningnya lama. Dalam. Lalu, mengangkat tubuhnya sendiri dan berbaring di sebelah Aurora. Aurora baru berbalik menatapnya ketika Xavier menariknya ke dalam pelukan, membelai punggungnya dengan belaian selembut beludru—seakan sengaja ingin membuat kesadaran terakhir Aurora menguap pelan-pelan.
***
Xavier selalu punya kejutan, Aurora sudah hapal dengan itu.
Karena itu ketika ia mendapati Xavier membangunkannya tepat pukul dua malam, memakaikan pakaian berikut mantel tebal, sebelum kemudian menggendongnya menuju Eurocopter Mercedes Benz EC 145, Aurora hanya bergumam seraya menempelkan wajahnya pada dada Xavier erat. Ia sangat mengantuk, kesadarannya tidak penuh. "Kita mau kemana?" tanyanya serak.
"Kau akan tahu."
"Axelion?"
"Elias dan Margareth membawanya. Kita tidak akan meninggalkannya," bisik Xavier yang lebih terdengar seperti belaian.
Baling-baling helicopter mulai berputar ketika mereka medekat. Christian mendadak muncul dan membukakan pintu untuk mereka. Xavier membawa Aurora masuk, lalu menidurkannya di pangkuan usai duduk di bagian bangku panjang. Elias yang tengah menggendong Axelion, masuk tidak lama kemudian, sementara Margareth mengikuti mereka.
"Ayo berangkat," ucap Xavier kepada pilot.
Helicopter itu sudah melayang di angkasa sebelum Margareth memasang sabuk pengamannya.
***
Ketika Aurora membuka matanya beberapa jam kemudian, dia sudah berpindah ke ranjang besar di dalam pesawat pribadi Xavier. Ia menoleh, dan mendapati Xavier masih terjaga, berbaring miring dengan lengan menyangga kepala. Aurora ikut memiringkan tubuhnya, memandangi wajah Xavier yang menawan. Ada kelegaan di sana. Dan cinta. Cinta yang banyak.
Xavier juga memandangnya.
Mengulurkan jemari, Aurora menangkup rahang Xavier. Tersenyum begitu Xavier menggesekkan pipinya ke tangannya. Xavier seakan memberikan akses penuh pada Aurora untuk menjelajahi wajahnya. Menjelajahi tulang hidungnya yang diukir sempurna, alisnya yang tebal, juga pendar biru di matanya. Jika kebanyakan orang menganggap mata Xavier menakutkan—petir yang akan melahapmu hidup-hidup—maka, Aurora malah merasa manik itu adalah hal yang paling menenangkan di dunia. Hangat. Tegas tapi lembut. Tercipta hanya untuknya.
Aurora melirik jemari Xavier, menatap cincin yang ia berikan masih tersemat di sana. Miliknya. Xavier Leonidas hanya miliknya. Terkadang, Aurora masih merasa sulit mempercayai itu.
"Aku mencintaimu," bisik Aurora.
Tangan Xavier melingkari pinggangnya. "Aku juga mencintaimu. Sekalipun aku tahu, kata-kata itu terlalu lemah untuk menunjukkan apa yang bisa aku lakukan demi dirimu." Kata-kata itu bagaikan sumpah, diucapkan dengan tulus dan tegas.
Aurora tahu Xavier bukan lelaki biasa. Ia adalah pusat dunianya, sekaligus pusat dunia ini. Tetapi, Xavier baru menunjukkan betapa ia mencintai dirinya, betapa Aurora berharga untuknya, betapa ia bisa menerima Aurora siapapun dia sebenarnya. Ia lelaki yang rela melakukan apapun untuk bisa bersamanya. Semua itu membuat Aurora ingin membuktikan bahwa dia adalah orang yang pantas, bahkan setelah Xavier terpaksa mengalami segala rasa sakit karena dirinya.
Entah sudah berapa lama mereka berbaring bersama, saling menyentuh dengan malas, seakan mereka memiliki waktu tidak terbatas.
"Ketika aku menghadiri pesta keluarga Kendra, aku mendengar kau sudah bertunangan dengannya," gumam Aurora suram. "Saat itu aku tahu, tidak seharusnya aku marah atau bersedih. Hubungan kita sudah selesai, aku juga sudah meninggalkanmu. Tapi—"
"Tapi kau tetap marah. Kau tetap bersedih. Lalu, akhirnya kau mabuk," tukas Xavier geli.
Aurora menatapnya kesal. "Kau tidak tahu betapa patah hatinya aku saat itu."
"Aku jelas tahu." Xavier menyeringai. "Karena aku juga sama patah hatinya ketika melihatmu masuk dengan lelaki brengsek itu. Apalagi dia juga mengatakan pada semua orang, kau calon istrinya."
Karena aku juga sedang patah hati.
Aurora mengingat kata-kata Xavier saat itu. Mengangkat alis begitu menyadari kata-kata itu bukan omong kosong, atau rayuan seorang bedebah untuk membawanya ke ranjang.
Pertanyaanmu tadi tentang wanita yang sanggup membuatku patah hati. Apa kau akan percaya jika wanita itu mirip denganmu? Ujar Xavier juga padanya. Jantung Aurora berdegup cepat, merasa geli sekalipun tidak percaya. Kenapa dunia bisa selucu ini?
"Tapi setelah itu aku lega. Nyatanya, pada percintaan kita, kau hanya menyebutkan namaku." Xavier terkekeh seraya mengecupi puncak kepala Aurora. "Jelas sekali hanya aku yang memenuhi kepalamu."
"Ya.Tempat yang tidak pantas untuk seorang lelaki berengsek." Aurora tertawa mendengus, lalu membelai Xavier dengan jemarinya. "Kau berhutang banyak penjelasan padaku. Terutama soal Kendra dan...." Ucapan Aurora menggantung, dia mengernyit, menatap Xavier dengan tatapan bertanya. "Tunggu! Jika kau sudah datang tiga tahun yang lalu seperti katamu, bukankah seharusnya kau sudah mengetahui Axelion?"
"Aku ingin mandi, badanku gerah." Mengabaikan Aurora, Xavier berucap santai, dan sebelum Aurora berkata lagi, Xavier sudah lebih dulu bangkit dari tempat tidur dan menatap Aurora dengan tatapan berkilat. "Apa kau mau ikut? Kebetulan showernya cukup besar untuk kita berdua."
Aurora tertawa kecil, menutupi darahnya yang berdesir. Aurora bangkit dari tempat tidur, hanya untuk membuat Xavier bergerak lebih cepat—menggendongnya masuk ke kamar mandi dengan kaca bening transparan. Lalu, melucuti pakaian mereka.
Air mengucur deras ketika mereka berdua berdiri di bawahnya. Desis kenikmatan Xavier menyapu telinga Aurora, yang ikut Aurora rasakan begitu air hangat itu menyentuh kulitnya. Aurora berdiri membelakangi Xavier, terhenyak ketika jemari Xavier mulai menyentuhnya dengan sentuhan ringan yang menggoda. Tanpa mengatakan apa-apa, Xavier menyabuni tubuh Aurora dan menggosoknya pelan. Wajah Aurora memanas, perutnya mengencang. Terlebih ketika usapan itu mulai digantikan kecupan bibir Xavier. "Ketika kita memeriksakan kandunganmu kemarin, aku sempat bertanya pada dokter. Katanya ... selama aku menyentuhmu dengan hati-hati, tidak akan ada masalah," gumam Xavier di balik telinganya. "Kau adalah hal tercantik yang pernah aku lihat. Mana bisa aku bertahan dengan hanya memandangimu saja?"
Damn! Aku bisa mati karena ini, gumam Aurora dalam hati.
Aurora berputar, menatap mata Xavier yang tampak berpendar liar. Aurora tersenyum, dan Xavier makin mendekat, menciumnya lembut. Aurora meleleh, merangkul pundak Xavier. "Sepertinya kau memang sudah memikirkan dan memperhitungkan semuanya dengan matang," desah Aurora parau.
Xavier menyeringai, kembali melumat bibir Aurora. Pelan dan lembut. "Mau bagaimana lagi? Kau tidak akan tahu seberapa sering aku memikirkan banyak hal tentangmu."
TO BE CONTINUED
____________________________
Hope you like it!
Tulis emoticon kalian untuk part ini ^^
Tolong bikin Dy senyum dengan klik bintang kalian ya.
Apa yang kalian rasain pas baca chapter ini? Tell me wkwkw.
Dy tahu, masih banyak hal yang belum jelas di chapter ini. Be ready untuk part-part selanjutnya.
Maafin Dy juga untuk update yang super duper lama. Gimana kabar kalian? Dy harap kalian baik-baik aja dan bahagia. Kondisi dunia akhir-akhir ini emang nggak baik. Dy juga lagi sibuuuuk banget, tapi Dy lagi usahain biar semua deadline-deadline Dy di wattpad terpenuhi. Nggak bakal mudah sih, soalnya Dy juga lagi di rumah—kesibukannya nambah jadi dua kali lipat. Tapi Dy bakal berusaha. Makasih buat kesabarannya ^^
Setiap dari kita lagi berjuang keras. Nggak bakal mudah. Tapi, Dy pengen kalian semua percaya kalau kita bisa lewatin ini semua. Jangan biarin hari buruk bikin kita menyerah. Tetap semangat. Tetap berjuang. Kirim peluk online buat kalian semua ^^
With Love,
Dy Putina
Istri Sah Sean O'Pry
More info, go follow :
@dyah_ayu28
@the.angels05
@xavier.leonidas1
@aurora.regina1
@axelion.leonidas01
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro