She BELONGS to the Prince | Part 46 - I'll keep her safe
XAVIER UPDATE!
JAM BERAPA KALIAN BACA INI?
JANGAN LUPA KLIK BINTANGNYA!
*
THANK YOU BUAT 13K votes lebih dalam waktu kurang dari 24 jam di part 45 TT. Padahal Dy udah lama ngilang huhu ...kirain udah ditinggalin. Sayang kalian ^^
*
Selamat membaca Xavier – Aurora!
Semoga suka!
*
Xavier menggeleng pelan. "Tidak. Aku yang beruntung memilikinya. Bagiku, dia segalanya. Araku. Hanya milkku."
Hening beberapa saat. Kendra membiarkan kata-kata itu tergantung di udara. Setelah itu Kendra menepuk pundak Xavier, memalingkan wajah, tersenyum tipis dan pergi dari sana.
Tanpa sadar, tidak jauh dari mereka, seorang pria bersetelan hitam tersenyum geli—mengamati.
_______________________________
She BELONGS to the Prince | Part 46 – I'll keep her safe
Playlist : Ariana Grande, The Weeknd - Love Me Harder
https://youtu.be/g5qU7p7yOY8
Playlist kamu :
***
"Aku ingin pulang." Aurora membalik tubuh, menatap Xavier yang tengah duduk di sebelahnya. Lelaki ini sudah kembali, setelah sebelumnya meninggalkannya berdua dengan Quinn. "Aku sudah tidak apa-apa. Kasihan Axelion. Aku takut dia mencariku."
Sudah sekitar jam dua pagi. Quinn juga sudah pulang. Aurora lega. Tadi, ketika Quinn menemaninya, lelaki itu terus menunduk, bergumam tidak jelas. Ketika Aurora memanggil, Quinn marah. Katanya, dia mengganggu doa Quinn untuk kucingnya yang sedang sakit. Aurora hanya bisa berdecih, tahu itu hanya alasan Quinn untuk mengabaikannya. Bukankah sejak dulu Quinn takut kucing?
"Tenanglah, ada Crystal menemaninya," ucap Xavier sembari mengelus pipi Aurora lembut. "Besok, jika kondisimu sudah lebih baik aku akan meminta dokter—"
"Aku sudah tidak apa-apa, X! Tadi itu mungkin aku hanya terkejut."
"Ara...." Xavier bergumam tidak suka.
Aurora mengerucutkan bibirnya. "Aku masih ingin memilihkan pakaian kerjamu, membantumu memakainya, menyimpulkan dasimu. Lalu, membantumu melepasnya begitu kau pulang."
"Kita masih memiliki banyak waktu. Jika tidak bisa besok, lusa kau—"
"Baik. Tapi dengan terus di sini, mungkin aku akan semakin sakit, X. Aku tidak bisa tidur. Aku tidak suka tempat tidurnya. Keras. Punggungku sakit," rengek Aurora, matanya menatap Xavier bak anak anjing.
Xavier terdiam untuk sejenak, merengut dan memperhatikan ranjang Queen Size Aurora. Sial. Padahal Xavier sudah memeringatkan semuanya agar Aurora nyaman. Menggertakkan rahang, Xavier meraih ponselnya. "Sialan mereka. Sebentar, aku akan meminta Christian mengurus—"
Mata Aurora melebar. "Xavier! Tidak perlu," ucapnya, segera duduk. Hendak merebut ponsel Xavier ketika pusing lebih dulu menyerangnya, mungkin karena gerakannya yang terburu-buru. Aurora meringis, memegangi kepala.
Xavier panik. "Kau ini! Sudah aku bilang untuk diam, kondisimu belum pulih benar. Sebentar, aku akan memanggil—"
"Tidak perlu, X. Sudah kubilang, aku tidak apa-apa." Aurora segera meraih lengan Xavier, menahannya agar tidak pergi. "Aku hanya tidak suka di sini. Kasurnya nyaman, seperti di rumah, tapi tidak ada lenganmu yang biasanya jadi bantalku," lirih Aurora sembari mengalihkan pandangan, enggan menunjukkan wajah meronanya pada Xavier.
Hening beberapa saat. Tidak ada tanda-tanda Xavier akan menjawab. Aurora jadi kesal. Karena itu dia buru-buru melepas lengan Xavier, lalu tidur dengan posisi memunggungi lelaki itu.
"Lupakan saja. Aku mengantuk," ketus Aurora. "Kau pergi juga tidak apa-apa. Seperti tadi. Kau bersikeras mengatakan aku sakit, tapi kenapa tadi kau malah meninggalkanku dengan Quinn?"
Masih tidak ada jawaban. Aurora menutup mata.
Namun, tidak lama Aurora merasakan gerakan di kasur, diikuti pelukan Xavier di pinggangnya. Menoleh, Aurora melihat Xavier sudah ikut tidur, tersenyum geli. "Kemarilah, aku akan memelukmu," kekeh Xavier sembari mengecup kening Aurora. Lama. Menghangatkan benak Aurora. Kemudian Xavier bergeser, memosisikan agar Aurora bisa menjadikan lengannya bantal. "Apa ini mau babies lagi? Atau ... ini mau ibu mereka?" tanya Xavier sembari tersenyum menggoda.
Aurora mengulurkan jemari, membelai alis Xavier, turun ke hidungnya. "Kalau aku berkata, ini mauku, apa kau akan turun?"
"Tidak. Jika ini maumu, aku malah akan memelukmu makin erat lagi." Xavier reflek menutup mata, menikmati tiap sentuhan Aurora.
"Hm ... kau seakan mengatakan, kau lebih menyayangiku dibanding Babies."
"Memang benar. Aku memang mencintai mereka, tapi dari semua hal di dunia, kaulah yang paling kucintai, Ara...," gumam Xavier sembari membuka mata.
Aurora tersenyum. Terus mengelus wajah suaminya, menatapnya dengan nadi berdenyut melihat cara Xavier menatapnya—lembut dan muram. Aurora mengarahkan jemarinya ke kening Xavier yang berkerut, menyentuhnya lembut, berusaha menghilangkan kerutan itu. Entah kenapa, dada Aurora terasa sakit ketika Xavier menyurukkan pipinya ke telapak tangannya. Dia tampak lelah, rautnya seakan dia tengah memikul dunia. Aurora tidak pernah melihat Xavier seperti ini ... apa ini karena dia sakit?
"X ... aku sudah tidak apa-apa. Jangan khawatir lagi," ucap Aurora menenangkan. Xavier makin menatapnya lekat. "Kau tampak lelah. Sangat. Apa kau sakit?"
Tiba-tiba saja, tangan Xavier yang bebas menangkap pergelangan tangan Aurora, kemudian menempelkannya ke dadanya. "Di sini," ucap Xavier serak. "Kalau aku kembali kehilanganmu, hal itu mungkin bisa membunuhku."
Untuk sekejap, Aurora tidak bisa berkata-kata. Cintanya ... kondisinya yang seperti ini pasti sulit bagi Xavier juga....
"Tidak akan," bisik Aurora muram. "Aku tidak akan kemana-mana, Xavier...."
Aurora menyusurkan jemarinya ke rambut Xavier, sementara Xavier mulai menunduk, menempelkan bibir mereka. Ciuman itu dimulai dengan keras, seakan Xavier hendak menyalurkan semua kegelisahannya. Lalu, berubah menjadi lembut, manis, dan menggoda.
Lidah Xavier membelai bibir bawah Aurora, membuat Aurora membuka mulutnya ... membiarkan lidah mereka saling menyentuh. Xavier memiringkan kepala, memperdalam ciuman itu, membelai bagian dalam mulut Aurora dengan cepat dan dangkal, membangkitkan gairahnya.
Bibir mereka saling bergerak. Basah dan panas. Semakin liar tiap detiknya. Saling melahap. Aurora terengah-engah karena menginginkan lebih. Suara mendamba meluncur lirih. Ciuman Xavier seperti hadiah. Dilakukan dengan sepenuh hati. Seluruh saraf Aurora dibanjiri olehnya, rasa dan aroma Xavier begitu memabukkan. Kepala Aurora serasa berputar-putar, mabuk oleh gairah. Aurora memiringkan kepalanya, ingin merasakan yang lebih dalam. Lebih keras. Aurora sangat ingin Xavier menguasainya.
"Xavier...," desah Aurora kesusahan.
Ciuman mereka sudah terlepas, gantinya, Xavier melarikan bibirnya ke leher Aurora. Dengan mata terpejam, Aurora membelai punggung Xavier. Merasakan tubuhnya yang kuat dan menegang, kulit halusnya terasa panas. Aurora merintih, menikmati tiap kecupan yang Xavier beri. Xavier seakan tidak menahan diri. Menunjukkan semuanya ... memberikan semuanya ....
Ini tidak cukup. Aurora sangat menginginkannya. Tidak peduli seberapa dekatnya mereka, rasanya masih kurang.
Namun, tiba-tiba ... selang infus Aurora yang mengganggu mereka menyadarkan Xavier.
"Aku tidak bisa. Cukup sampai di sini," ucap Xavier serak, jemarinya yang awalnya membelai punggung Aurora, membeku seketika. "Kau sebaiknya pergi tidur."
"Kenapa?" tanya Aurora bingung. Xavier menarik diri, membuat Aurora seketika merasa kehilangan.
Xavier berlutut di ranjang, mengerang rendah, mata birunya tampak terbakar, menatap Aurora penuh tatapan lapar. Menginginkan. Kemudian menjilat bibirnya seakan dia tengah mencoba merasakan rasa Aurora yang tersisa. Aurora semakin bingung. Kenapa Xavier berhenti jika dia memang mau? Ini bukan Xavier yang biasanya.
Apalagi setelah itu, Xavier mengulurkan tangannya, menyentuh memar kebiruan di lengan Aurora, mungkin karena bergesekan dengan lantai ketika ia terjatuh. Rahangnya menegang. Aurora menelan ludah dengan susah payah, merasakan aura Xavier yang tidak biasa—terlalu dingin, kelam, berbahaya. Apa yang sedang dia pikirkan? Namun, tatapan Xavier melembut begitu dia mencium lebam di lengannya.
"Ex-ee-vii-ee," panggil Aurora, ia bergegas bangun, menatap punggung kokoh Xavier. Lelaki itu sudah duduk di tepi ranjang, membelakanginya. Menelan ludah, Aurora beringsut pelan, memeluk tubuh Xavier hati-hati, kemudian menyurukkan wajah di lekukan lehernya. "Aku tidak selelah itu. Kita masih bisa melakukannya jika kau mau."
"Dokter memintamu istirahat."
"Dokter tidak tau apa yang kumau. Sekarang, aku mau kau."
Xavier menggertakkan gigi, menyapukan jemari ke rambutnya, kemudian memjiit lehernya. Tampak gelisah. "Sekarang kita di rumah sakit, Ara. Dan demi Tuhan ... kandunganmu lemah!"
Aurora menggeleng, entah keberaniannya datang dari mana, tapi ia mulai menciumi leher Xavier. "Apa kau lupa? Kita bahkan pernah melakukannya di ruang ganti," gumamnya serak. "Kau hanya perlu hati-hati, X. Seperti biasanya."
"Stop. Jangan teruskan. Lagipula sejak kapan kau jadi sekeras kepala dan seagresif ini?" Suara Xavier terdengar parau. Aurora menggigit bibir bawah, hendak memeluk Xavier lebih erat, tapi Xavier berdiri lebih dulu, menatapnya dengan tatapan tersiksa. "Mengertilah. Kau sedang sakit. Aku lebih baik meninggalkanmu tidur sendirian di sini jika kau tidak juga paham!"
Aurora tersentak. Terdiam beberapa saat, terus menatap Xavier dengan mata mulai berkaca-kaca. "Baik. Aku mengerti," ucap Aurora serak.
Aurora berusaha keras untuk tidak menangis. Perasaannya campur aduk. Malu. Marah. Sedih ... termasuk perasaan tidak diinginkan menghantuinya. Suaminya sendiri menolaknya. Sial. Xavier benar, sejak kapan dia jadi seagresif ini? Menjijikkan.
"Ara...." Bukannya terlihat senang, Xavier malah tampak frustasi dan lelah. Dengan langkah ragu-ragu, Xavier kembali mendekat, menahan pinggang Aurora tepat ketika Aurora hendak berbalik. "Are you okay? Did I hurt you?"
"No. I'm okay," ucap Aurora tanpa mau menatap Xavier. Sayangnya, berbanding terbalik dengan ucapannya, air mata Aurora tiba-tiba saja terjatuh. Sesak. "Tidak apa-apa. Wajar jika suamiku tidak menginginkanku lagi. Siapa yang tidak jijik melihat tubuhku yang makin—"
"Damn it! I fucking need you! I have a sex a lot with you in my head. My imagination is fucking you like crazy right now. But I can't!" geram Xavier putus asa. Ia memeluk Aurora erat, menenggelamkan wajah ke lehernya, sengaja menahannya agar tidak pergi. "I can't cause I love you. You mean the world to me. Aku tidak bisa menjadi sebrengsek itu, menyentuhmu setelah apa yang kau alami hari ini."
Aurora tertegun. Lagi. Tangisnya jatuh. Kali ini bukan karena rasa frustasi dan kecewa, tapi dadanya terlalu sesak menerima cinta Xavier yang berlimpah. Kenapa dia bisa berpikir sedangkal itu? Lelaki ini sangat mencintainya, seharusnya dia mengerti.
Aurora memalingkan wajah, menempelkan bibirnya ke rahang Xavier. "Tidak, X. Maafkan aku. Pasti ini juga sulit untukmu, seharusnya aku mengerti."
"Good girl...." Xavier menunduk, mencium kening Aurora lama, kemudian turun ke tiap inci wajahnya, sengaja menghapus air mata Aurora dengan ciuman. "Tidurlah. Aku akan memelukmu."
"Sepanjang malam," bisik Aurora serak, menempelkan bibirnya ke leher Xavier.
Xavier mengangguk, ia membopong tubuh Aurora dalam sekali hentak, lalu menidurkannya ke ranjang. "Sepanjang malam. Aku berjanji tidak akan kemana-mana," bisik Xavier sembari memeluk Aurora erat, terus membelai punggungnya. Dadanya naik turun dengan cepat.
"Malam ini aku benar-benar menyebalkan ya?" tanya Aurora tiba-tiba.
Xavier terkekeh pelan "Tidak juga. Aku lebih memilih bertengkar atau berdebat denganmu, dibanding tertawa dengan orang lain, sweetheart."
Jantung Aurora berdebar cepat. Butuh kerja keras untuknya kembali menemukan kata-kata. "Kau membuatku semakin mencintaimu, Xavier...."
Xavier tersenyum, mengecup puncak kepala Aurora. "Memang itu yang kumau, Sayangku."
***
Mount Sinai Beth Israel Hospital. Manhattan, NYS—USA | 9:05 AM
Christian sudah menunggu Xavier di kamar rawat Aurora, sementara Aurora masih menjalani pemeriksaan yang terakhir, sekaligus melepas infusnya. Dia sudah bisa pulang hari ini.
"Semalam, operasi Tuan Victor berhasil, Tuan muda. Sekarang beliau sudah sadar, sekalipun kondisinya belum pulih benar," ucap Christian begitu mereka berjalan keluar, tepat di belakang kursi roda Aurora yang tengah di dorong Crystal. "Mr. William Petrov juga baru saja datang, mereka berdua setuju dengan keputusan Anda menyembunyikan ini dari Nona Aurora demi kesehatannya."
"Stacey? Bagaimana? Elias sudah menemukannya?"
"Belum, Tuan muda. Selain karena beberapa CCTV rumah sakit rusak karena tertembak, kami juga menemukan jika sistem kontrol Rumah sakit juga diretas. Semua rekaman CCTV pada hari itu, menghilang."
"Sial," umpat Xavier. "Laporkan perkembangannya padaku. Sampaikan salamku pada Victor dan kakeknya," perintah Xavier. "Pastikan juga Elias mengerti apa yang harus dia lakukan."
Christian mengangguk, hendak mengatakan sesuatu, tapi dia masih menunggu Xavier selesai memandang istrinya. Aurora tampak berbicara, tersenyum pada dokter lelaki muda yang memeriksanya. Xavier mengepalkan tangan.
"Sebenarnya dia itu lulusan kedokteran atau komunikasi? Untuk apa dia banyak bicara?"
"Maaf, tuan muda?" Mata Christian mengerjap, tampak bingung.
Xavier menggeram, memilih mengalihkan pandangan. "Lupakan saja. Kenapa kau masih di sini? Ada lagi yang ingin kau laporkan?"
Lagi. Christian mengangguk. "Tuan Petrov mengatakan sesuatu tentang Tuan Andres Lucero."
Xavier menoleh, mengernyitkan kening, memfokuskan perhatiannya pada Christian. "Apa lelaki sialan itu berulah lagi?! Ah! Sepertinya karena aku belum melakukan apa-apa pasca dia menyekap Aurora di kamar mandi, Andres jadi meremehkanku?"
"Tuan Andres tidak berbuat apa-apa lagi, dia hanya mengatakan, dia tahu dimana Michael Cercadillo sekarang," ucap Christian. Xavier makin mengernyit, terus mengamati tiap kalimat Christian. "Alasan Tuan Andres menemui Nyonya Aurora, dikarenakan dia ingin memberikan peringatan akan beberapa hal," ucap Christian lagi, tapi sebelum Christian menyelesaikan ucapannya, dokter sudah lebih dulu menyelesaikan pemeriksaan Aurora.
"Kita lanjutkan nanti," ucap Xavier.
Christian mengangguk, sementara Xavier menghampiri Aurora dengan senyuman tipis, tapi matanya tetap menatap dingin pada salah satu dokter yang sempat membuat Aurora tersenyum. Dokter itu menunduk ngeri.
"Ayo kita pulang! Aku sudah tidak sabar bertemu baby lionku."
Xavier berdecak, tersenyum dan mengecup kening Aurora. "Bisa aku tebak, setelah ini aku pasti diabaikan."
"Kau cemburu pada putramu sendiri, Daddy?" tanya Aurora menggoda.
Xavier hanya tersenyum kecut, tidak memberikan jawaban jelas. Padahal sungguh, tidak sekalipun Xavier merasa kesal dengan perhatian yang Aurora berikan pada Axelion. Bocah lelaki itu adalah bagian dari mereka berdua, Xavier malah amat sangat bersyukur Aurora sangat menyayanginya. "Jadi ... kau mau aku gendong, atau naik kursi roda?" tanya Xavier.
Aurora menatapnya bosan. "Tentu saja kursi roda! Aku tidak mau jadi tontonan orang—XAVIER!" Aurora memekik, segera mengalungkan lengannya pada leher Xavier begitu Xavier menggendongnya dengan gaya bridal.
"Sudah kuputuskan, kau kugendong saja. Jadi semua orang—termasuk dokter itu—akan tahu jika kau milikku, Nyonya," ucap Xavier sembari tersenyum penuh kemenangan.
"Kau gila," dengus Aurora tidak percaya. "Jangan bilang kau cemburu pada salah satu dokter yang—"
"Kau tersenyum padanya. Aku tidak suka."
"X! Itu hanya senyuman sopan!"
"Tidak. Bagiku, senyummu tadi malah sangat menggairahkan."
"Astaga ... lebih baik cepat perbaiki otakmu, Xavier," gumam Aurora tidak percaya. Xavier hanya terkekeh, lalu berlanjut memperdebatkan hal yang tidak penting, membuat mereka sudah sampai di elevator tanpa Aurora sadar. Beberapa bodyguard Xavier juga sudah berjaga di sekeliling mereka.
"X! Aku naik kursi roda saja. Tubuhku berat, kau bisa menjatuhkanku jika kau lelah!" Lagi. Aurora merengek, itu karena begitu mereka keluar elevator, sepanjang lobby, orang-orang terus saja memandangi mereka.
"Tidak mau. You'll never fall. I'll catch you if you fall, baby. I promise."
Aurora mendengkus, menatap Xavier sebal. "Sejak kapan kau jadi pintar merayu seperti—"
"Miss. Petrova." Ucapan Aurora terpotong, begitu suara seseorang terdengar menyapa.
Langkah Xavier juga terhenti. Menoleh, Aurora menemukan Dimitry Romanov ada beberapa langkah di depan mereka, mengenakan kemeja putih dan setelan jas berwarna navy. Tersenyum padanya.
Untuk beberapa detik, semuanya diam. Hingga geraman Xavier membuat Aurora mendongak pada lelaki itu lagi. Xavier ternyata menatap Dimitry tajam. Penuh permusuhan.
"Senang sekali bisa bertemu kau di sini. Aku tidak menyangka. Aku baru saja hendak menjenguk—"
"Minggir," potong Xavier tajam, sorot matanya memeringatkan. "Kau menghalangi jalanku dan Istriku."
"Ah, maaf. Aku tidak tahu kalian sedang terburu-buru." Dimitry segera menyingkir, memberi jalan untuk Xavier. Xavier tampak berang, Aurora sendiri hanya menggigit bibir bawah tidak tahu harus bagaimana menghadapi situasi macam ini. Karena itu, dia menghela napas lega begitu melewati Dimitry. Namun, belum jauh Xavier melangkah.
"Miss Pertova, aku merindukanmu!" teriak Dimitry tiba-tiba.
Xavier mengentikan langkah, membuat Aurora menahan napas.
"Xavier ... sudah," ucap Aurora memeringatkan. Untungnya, Xavier menurut, terus melanjutkan langkah dan membawa Aurora memasuki Lamborghini hitam mewah yang sudah menunggu di depan.
Aurora menarik napas lega, tanpa menyadari Xavier tengah memberikan kode pada beberapa bodyguardnya.
TO BE CONTINUED.
____________________
HOPE YOU LIKE IT!
EMOTICON UNTUK PART INI?
Jangan lupa vote + komen yang banyak biar Dy semangat!
Masih adakah yang masuk #TeamDimitry? Wkwkw
Btw, besok jadwalnya Babang Ojek update di Storial, jadi sepertinya X cuti update dulu. Komen yang banyaaaak, jadi lusa (Selasa) Xavier udah update lagi ^^
See you soon!
Sayang kalian!
With Love, Dy Putina.
Istri Sah Sean O'Pry
Jangan lupa follow instagram :
@dyah_ayu28
@the.angels05
@xavier.leonidas1
@aurora.regina1
@axelion.leonidas01
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro