Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

She BELONGS to the Prince | Part 44 - The Savior

XAVIER UPDATE!

JAM BERAPA KALIAN BACA INI?

JANGAN LUPA KLIK BINTANGNYA ^^

*

DY MAU NANTANGIN #LEONIDASSQUAD LAGI. MINIMAL 20K VOTES + 5K KOMEN BUAT LANJUT KE NEXT CHAPTER :P

*

Selamat membaca Xavier – Aurora

Semoga suka!

*

Lelaki itu tertawa. "Bukan salahku. Dia memang buruan yang cantik." Di tempat lainnya, lelaki itu tengah duduk di dalam ruang kerja temaramnya—hanya diterangi potret kecil di atas meja—potret Aurora sebelum operasi plastik ada di genggamannya. Gadis kecil itu tengah tersenyum secerah matahari. Di matanya, Aurora saat itu bahkan jauh lebih cantik. "Dia sangat pantas menjadi koleksiku. Cantik. Okay, aku putuskan; dia akan tetap hidup untuk kumiliki. Bunuh saja yang lain."

"Kau—"

"Lakukan saja tugasmu. Bukankah kau masih memegang daftar sisa orang-orang yang menghadiri konferensi tiga tahun yang lalu? Beralihlah pada mereka. Khusus Aurora ... dia bagianku."

_____________________________

She BELONGS to the Prince | Part 44 – The Savior

Playlist : Charlie Puth – I Warned Myself

https://youtu.be/wjIes1eGAw4

Playlist kamu :

***

"Siapa yang menghubungimu? Kenapa lama sekali?" tanya Kenneth pada Kendra, dia masih duduk di kursi depan ruang rawat Aurora ketika Kendra kembali. Matanya memicing. Kendra memang sempat pergi untuk menerima telpon.

Kendra mendengus. "Bukan urusanmu."

"Aku suamimu!"

"Lalu? Aku juga istrimu, tapi aku tidak pernah peduli dengan siapa kau pergi semalam atau apa yang kau lakukan."

"Aha! Jadi itu yang membuatmu terus bergelayut pada Xavier?! Kau ingin balas dendam? Sial. Sudah kubilang aku—"

"Fuck! Hentikan perdebatan kalian! Lebih baik kalian pulang dan mengurus urusan rumah tangga kalian! Berisik. Kalian mengganggu doaku!" tukas Quinn tajam sementara Crystal hanya mendengus sebal. Aiden sendiri sudah pergi setelah menerima telpon beberapa saat yang lalu.

"Kau ... kau benar-benar berdoa?" tanya Kenneth penasaran. Quinn memang hanya diam dan menunduk sedari tadi.

Quinn mendengus sebal. "Menurutmu?!"

"Kau bukan mendoakan Aurora meninggal kan?"

"Kenneth!"

"Kau pikir aku gila!"

Crystal dan Quinn menyahut bersamaan.

Kenneth menganga untuk sepersekian detik, tapi setelah itu Kenneth terkekeh geli. "Tidak ... tidak ... hanya aku merasa aneh saja. Kau seringkali bersikap antipati pada Aurora karena dia saudara Victoria. Sepertinya sekarang kau sudah mulai menerimanya."

"Saudara? Victoria?" Quinn menarik napas panjang sebelum membuang pandangan. "Sepertinya dunia ini memang sudah gila."

"Ayolah, Quinn...." Kenneth menggeleng pelan sembari menepuk bahu Quinn. "Sampai kapan kau akan menyimpan kekecewaanmu? Victoria sudah meninggal lebih dari tiga tahun yang lalu. Maafkan saja dia. Biarkan dia tenang di alam—"

"Berhenti mengucapkan kata meninggal! Kau ingin aku menonjokmu?!"

"Ck! Kau ini! Aku heran padamu. Bukankah sebelum genk kita bubar, selain Xavier, Andres dan Xander—kau termasuk orang yang paling dekat dengan Victoria. Kenapa sekarang kau seperti ini .... kau ingat? Dia gadis pertama yang selalu kau ajak menjadi pasangan pura-puramu tiap kali ada pesta kerajaan, kau juga yang berlari untuk berdoa ke Gereja ketika kaki Victoria—"

"Stop, Ken!"

"Apa? Aku hanya sedang berusaha menggali ingatanmu. Mungkin dengan itu kau bisa sedikit melepas kebencianmu pada orang yang sudah meninggal duni—"

"Sekali lagi kau mengatakan kata mati, aku akan melemparmu ke Atlantis, Barbie Ken!"

"Quinn...."

"Aku serius. Sekarang diamlah. Kau itu tidak tahu apa-apa!"

"Okay! Aku diam," dengus Kenneth mengalah.

Seketika lorong itu hening.

Kenneth beringsut duduk bersandar, mengabaikan Kendra yang masih fokus pada ponsel dan headsetnya. Sementara Quinn dan Crystal saling pandang. Penuh arti. Quinn menatap Crystal dengan pandangan murung, sementara Crystal tersenyum paksa—berusaha menenangkan Quinn. Sesekali mereka melirik Kenneth dan mengembuskan napas panjang.

Pasca Victor tersadar sekitar tiga tahun yang lalu, keluarga Petrov memang mengembuskan kabar jika Victoria sudah meninggal dunia, kini hanya ada Victor dan Aurora. Hanya beberapa orang saja yang mengetahui fakta sebenarnya, Kenneth tidak termasuk. Quinn benar, Kenneth tidak tahu apa-apa.

Keheningan itu berakhir ketika tiba-tiba saja pintu kamar Aurora terbuka. Tim dokter yang tadi memeriksa Aurora keluar, begitu pula dengan Xavier.

"Bagaimana Aurora?" Crystal langsung berdiri menghampiri Xavier di ambang pintu, membiarkan dokter-dokter itu pergi.

"Aurora sudah sadar, tapi dia masih harus banyak istirahat dulu," jawab Xavier, wajahnya terlihat lelah.

Crystal mengangguk paham, dia sedikit melirik ke belakang Xavier—menatap Aurora yang berbaring di sana. Aurora juga sedang menatapnya sembari tersenyum dan melambaikan tangan. "Hai...," sapa Crystal tanpa kata, ikut tersenyum dan balas melambaikan tangan. Setelah itu dia kembali menatap Xavier. "Daddy dan Mommy sedang dalam perjalanan. Axelion tetap di mansion bersama baby sitternya, katanya dia sudah tidur."

Xavier menarik napas panjang. "Lebih baik kau pulang, Crys. Aku akan lebih tenang jika Axelion denganmu."

"Baik. Aku akan pulang setelah ini, tapi aku ingin menjenguk Vee dulu," ucap Crystal sembari melirik Aurora lagi. Ketika ia kembali menatap Xavier, pandangannya berubah serius.

"Penembakan itu ... apa yang sebenarnya terjadi, X?"

"Kau tidak perlu tahu. Sementara ini, semuanya juga sudah kubereskan," ucap Xavier sembari mengepalkan tangan, rahangnya mengeras.

Crystal mengernyitkan kening curiga. "Membereskan? Maksudmu?"

"Masuklah, setelah itu temani Axelion," ucap Xavier tanpa menjawab pertanyaan Crystal, lelaki itu tampak sengaja menghindar. Bahkan, Xavier sudah berjalan pergi jika saja Crystal tidak mencekal lengannya.

"Tidak, X. Jelaskan dulu padaku. Sebenarnya ada apa? Apa hal besar yang sedang mengancam kalian. Katakan. Kau tidak sendiri. Aku bisa membantu—"

"Lebih baik kau urus Inquiereta. Jangan pikirkan hal lain. Aku tidak akan mempercayakan apapun lagi padamu jika proyek ini sampai gagal," tukas Xavier cepat, dia menyebut salah satu anak perusahaan Leonidas International yang sedang dikelola Crystal sembari menoleh pada Aurora. Sial. Aurora tampak curiga, Xavier melihatnya sudah mengernyitkan kening.

Lagi. Xavier tersenyum tipis.

"Masuklah sekarang. Satu lagi, jangan katakan apapun soal penembakan itu, terlebih Victor," bisik Xavier tegas.

Crystal makin menatap Xavier tidak percaya. "Apa? Kau berniat menyembunyikan itu darinya?"

"Itu yang terbaik. Aku hanya ingin menjaganya."

"Berbohong bukan solusinya, Xavier! Kau tidak mungkin bisa menjaganya dari segala hal!" Crystal memekik tertahan, menatap Xavier dan Aurora bergantian. Xavier menarik napas dalam-dalam, ia tidak ingin Aurora curiga, karena itu ia segera menarik Crystal menjauhi pintu.

"X!" Crystal menghempaskan tangan Xavier.

"Paling tidak aku akan berusaha menjaga kesehatannya."

"Aurora berhak tau! Demi Tuhan ... kakaknya sedang terluka, X! Aku sendiri pasti akan marah jika kau terluka, tapi tidak ada yang memberitahuku! Coba pikirkan kemungkinan terburuk ... bagaimana jika kondisi Victor jadi sangat buruk? Apa kau masih akan terus menyembunyikan ini darinya?"

"Jika itu bisa melindungnya, jawabannya iya."

"Xavier—"

"Jangan mencoba memberitahuku apa yang terbaik untuk Aurora saat ini," ucap Xavier dingin, matanya menyorot Crystal tajam. "Aku tidak akan membiarkannya memikirkan hal yang bisa membuatnya terluka. Biar aku yang menyelesaikan semuanya."

"Xavier! Yang lebih Aurora butuhkan bukan itu!" Crystal memekik kesal sembari mendorong dada Xavier menggunakan terlunjuknya. Mata Crystal menyipit. "Kau! Sumber kekuatan terbesar bagi Aurora itu dirimu! Dia yang kau percayai! Dengan menyembunyikan hal sepenting ini, kau akan sangat membuatnya terluka Xavier! Kau akan merusak kepercayaannya."

"Aku tahu." Xavier menarik napas dalam-dalam. "Masuklah. Temani dia," ucap Xavier final. Tatapannya tajam, setajam keputusannya yang tidak bisa digugat.

Crystal tidak punya pilihan lain. Menghela napas panjang, Crystal akhirnya mengangguk, lalu berjalan menuju kamar rawat Aurora. Xavier mengikutinya, berhenti di ambang pintu—terus mengawasi dari jauh hingga Crystal duduk di samping. Lalu, entah apa yang mereka perbincangkan, Xavier tidak bisa mendengar, hanya bisa melihat senyum Aurora dan Crystal.

Xavier akhirnya menutup pintu, kemudian berjalan ke kursi yang diduduki Quinn dan Kendra.

"Dimana Kenneth?" tanya Xavier.

"Aku memintanya membelikan sesuatu. Jadi kita bisa—" ucapan Kendra menggantung, sadar masih ada Quinn di sini.

Xavier mengangguk, paham maksud Kendra.

"Kau masih lama di sini?" tanya Xavier.

Quinn mendongak, langsung berdiri. "Sebenarnya aku sudah mau pulang. Bukankah dia sudah sadar?"

"Tetaplah di sini. Jaga dia sebentar, sebentar lagi Crystal pulang."

Quinn mengernyit heran, tapi setelah itu dia mengangguk paham. "Baiklah. Tapi memangnya kau mau kemana, X?"

"Ada beberapa hal yang harus aku selesaikan," gumam Xavier sembari mengalihkan pandangan. Kali ini Xavier menatap Kendra lama. Penuh arti. Tatapannya tajam. Kelewat tajam hingga Kendra menelan ludah. Namun, Kendra buru-buru mengikuti Xavier begitu lelaki itu berjalan—kesusahan dengan langkah kaki Xavier yang panjang-panjang.

Bersamaan dengan kepergian mereka, beberapa bodyguard bersetelan hitam dengan pin L E O N I D A S langsung mengambil posisi, berjaga di depan dan sekitar kamar Aurora. Mereka semua menunduk hormat begitu melewati Xavier.

"Pelan-pelan! Aku sedang hamil!" protes Kendra kesal.

Xavier tidak mengindahkan, terus berjalan cepat.

"Orang-orangmu sudah datang?" tanya Xavier begitu mereka berbelok di lorong, kemudian terus berjalan menuju elevator. Ada dua orang perawat tidak jauh dari mereka, tengah menunggu elevator terbuka.

"Ya. Mereka—" lagi. Ucapan Kendra menggantung ketika Kendra menghentikan langkah. Xavier ikut berhenti. Mengabaikan tatapan tajam Xavier, Kendra mengambil satu langkah maju menghampiri Xavier—kemudian memegang dasinya.

"Sudah kubilang hanya Ara yang—" Protes Xavier terputus begitu Kendra menunjukkan penyadap mini yang ia keluarkan dari lipatan kerah Xavier. "Sial!" umpat Xavier.

Kendra tersenyum miring. "Dasar! Aku saja malas mengikat dasi Kenneth, apalagi mengikat dasimu," gerutu Kendra sebal. "Seseorang pasti menempelkan itu ketika ada kesempatan," ucap Kendra, ia membuang penyadap itu ke lantai, kemudian menginjaknya.

"Stacey Mikhelson sepertinya memang punya banyak waktu."

"Nah! Kau sudah sangat lama mencurigainya, tapi kau masih memberinya kesempatan menempelkan benda bodoh itu padamu?"

"Aku—"

"Kau bahkan tidak sadar. Bahkan mungkin kau mengira aku menggodamu seperti Crystal," tukas Kendra sembari merogoh tasnya, tampak kebingungan. "Ck! Dimana dompetku. Sepertinya tadi di sini," gerutu Kendra.

Xavier menarik napas tajam. "Tadi aku terlalu panik. Cepatlah waktu kita—" Xavier melotot, terkejut. Tanpa peringatan, tiba-tiba saja Kendra sudah mengeluarkan pistol dari tasnya dan langsung menembakkannya kepada dua perawat di depan mereka. Sontak, para perawat itu ambruk.

"Are you fucking insane?!"

Kendra hanya mengangkat bahu, lalu melangkah masuk ke elevator. "Itu hanya peluru bius. Bukan peluru seperti milikmu. Jadi nanti kita masih bisa mengintrogasinya."

"Huh?"

Kendra memutar bola mata. "Mereka bukan perawat, mereka mata-mata. Di lantai ini hanya ada kamar Aurora, dan kau juga sudah membuat seragam untuk perawatnya berbeda. Biru gelap. Seragam biru langit hanya untuk lantai yang lain, aku sudah tamat membaca prosedur pengamanannya," jelas Kendra malas.

Xavier memijit kening. Pikiran kacau ini membuatnya tidak fokus. Sialan. Ini harus dihentikan.

"Jadi ... kapan kau akan masuk kemari? Cepatlah! Aku sedang hamil. Kakiku gampang pegal, Xavier!"

TO BE CONTINUED.

_______________________

HOPE YOU LIKE IT!

Emoticon untuk part ini?

Menurut kalian yang jahat siapa?

Kendra?

Stacey?

Andres?

Dimitry?

Xander?

Apa motifnya? wkwkkw

Btw, cerita tentang Kevin Leonidas + Olivia Jenner udah Dy publish lagi. Dulu judulnya My Love, sekarang Dy ganti jadi RACING the Limits dengan isi yang agak-agak di rombak. Tapi, Dy publishnya di Storial. Bukan di wattpad. Buat kalian yang pakai android, bisa install storial lewat Google Play. Sementara yang pake IOS, sementara bisa kalian akses lewat browser dengan URL : storial.co


Cari aja akun Dy disana—namanya sama kayak di wattpad @daasa97.

https://youtu.be/UPEqFeUiAmQ

See you soon! Sayang kalian!

Love,

Dy Putina

Istrinya Sean O'Pry

Jangan lupa follow instagram :

@dyah_ayu28

@the.angels05

@xavier.leonidas1

@aurora.regina1

@axelion.leonidas01

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro