She BELONGS to the Prince | Part 42 - Lost
XAVIER UPDATE!
JAM BERAPA KALIAN BACA INI?
JANGAN LUPA KLIK BINTANGNYA ^^
"Lakukan perintahku, atau aku akan mengatakan pada suamiku, kau sudah beberapa kali aku tangkap basah terus melirik adiknya." Itu hanya praduga, tapi Aurora berusaha mencari peruntungan. Tapi, tanpa Aurora duga Elias makin menunduk dalam, kemudian menggangguk pelan.
"Baik, Nyonya. Akan saya lakukan," ucap Elias sembari undur diri. Aurora hanya bisa menggeleng; setelah Aiden dan satu orang lain yang dia kenal ... sepertinya boyguardnya sendiri juga sudah jatuh ke dalam pesona Crystal Leonidas.
Aurora bergegas kembali ke kamar mandi, membasuh tangannya. Sial. Tangannya masih saja dingin dan gemetar. Lucero sialan.
_________________________
She BELONGS to the Prince | Part 42 – Lost
Playlist : ZAYN – Dusk Till Daawn ft. Sia
https://youtu.be/tt2k8PGm-TI
Playlist kamu :
***
Aurora kembali ke ballroom tepat ketika Andres baru menaiki podium untuk berpidato. Mengembuskan napas panjang, Aurora memilih mengabaikan Andres dan berjalan ke arah Victor. Lelaki itu tengah berbicara dengan beberapa pria tua—Stacey mendampinginya.
"Vic...," panggil Aurora sembari memegang lengan Victor.
Victor menoleh, menunduk menatap Aurora. "Ya, Vee? Dimana Xavier?"
"Bisa kita bicara?" tanya Aurora langsung, dia juga menatap Stacey meminta persetujuan. Begitu Stacey mengangguk, Aurora langsung membawa Victor ke salah satu ujung ballroom.
"Ada apa?" tanya Victor kebingungan.
Aurora melepaskan cekalannya, lalu mulai menjelaskan apa yang sudah Andres lakukan—sekalipun sulit. Mengingatnya membuat tubuh Aurora kembali bergetar.
Sementara itu gigi-gigi Victor sudah bergemeretak. "Sial! Kenapa kau melarang bodyguardmu mengatakannya pada Xavier?! Orang seperti dia...." Victor menoleh pada Andres yang masih berbicara di atas podium. Lelaki itu berbicara tentang mega proyek Leonidas International, termasuk yayasan amal mereka—tampak percaya diri dan tenang. "Andres Lucero harus diberi pelajaran. Aku bahkan masih tidak tahu alasan yang membuat Xavier masih memperkerjakannya."
"Vic ... aku memberitahumu bukan agar kau mengatakannya pada Xavier!"
"Lalu apa?!"
Aurora mengembuskan napas panjang, menggigit bibir bawahnya. "Kau tahu bagaimana tempramen Xavier. Aku tidak mau ada adegan baku hantam seperti dulu. Andres bisa saja memanfaatkannya. Lalu membuat Xavier—"
"Setelah apa yang dia lakukan padamu, kau pikir aku juga tidak berniat menghajarnya?!"
"Victor ... aku percaya kau bisa lebih sabar dari Xavier." Aurora mengelus lengan Victor, menatapnya memohon. "Lagipula aku tidak apa-apa. Aku hanya mau kau berbica pada Andres untuk tidak lagi menggangguku. Jangan sampai ada keributan malam ini. Ini malam Xavier dan Crystal."
"Tapi—"
"Victor ... kumohon."
Victor tampak mengamati Aurora. Cukup lama. Hingga akhirnya dia mengembuskan napas panjang dan mengangguk pelan. "Jika itu maumu, baiklah."
Aurora tersenyum, hendak mengatakan terima kasih. Namun, tiba-tiba saja sebuah lengan merangkul pingangnya. Menoleh, Aurora menemukan Xavier sudah berdiri di sampingnya.
"Kau lama sekali," gerutu Xavier kesal. "Apa pikir terjadi sesuatu padamu. Aku bahkan sampai menghubungi Elias—dia yang mengatakan kau ada di sini."
Aurora dan Victor sempat beradu pandang. Tapi Aurora buru-buru mendekati Xavier dan merapikan dasinya yang masih rapi. Tersenyum menyesal. "Maaf. Tadi aku melihat Victor. Karena itu aku menghampirinya. Aku masih merindukan kakakku."
"Kau masih punya waktu dengannya besok. Sekarang waktunya kau menemaniku."
"Aku tahu," ucap Aurora sembari berjijit dan mengecup rahang Xavier. "Karena itu aku minta maaf," bisiknya dengan senyum menggoda. Sengaja membuat Xavier tidak curiga. "Kau mau memaafkanku kan, Daddy?"
"Tentu saja." Xavier mengembuskan napas panjang sebelum mengecup kening Aurora. Lengannya melingkari pinggang Aurora ketika dia menatap Victor, berpamitan, lalu kembali membawa Aurora duduk di kursi mereka.
Seorang pelayan menghidangkan cheesecake kesukaan Aurora. Aurora bergegas memakan itu sembari terus mengamati Xavier. Kagum dengan ketenangan yang ia tampakkan. Xavier terlihat fokus dengan pidato Andres, sesekali mengernyitkan kening, sementara satu tangannya menyentuh paha Aurora dan meremasnya lembut.
"Setelah ini kau bisa mengurus yayasan-yayasan amal itu," ucap Xavier tiba-tiba sembari menatapnya.
Aurora mengerjap. "Tunggu ... apa?"
"Beberapa waktu terakhir aku melihatmu seperti bosan di rumah. Lalu aku ingat, selama di Rusia kau selalu tampak senang tiap kali mengikuti kegiatan amal. Maaf. Selama ini aku tidak benar-benar memberi apa yang kau mau. Seharusnya sejak awal aku melakukan ini."
Sejenak Aurora kehilangan kata-kata. Tapi matanya menyorot bahagia. "Terima kasih, X. Kau benar-benar mengerti aku."
"Selalu." Xavier meraih telapak tangan Aurora kemudian mengecupnya. "Aku mencintaimu. Aku akan selalu berusaha mengerti. Tolong, jangan sembunyikan apapun lagi."
Sejenak Aurora dan Xavier hanya beradu pandang. Hingga kemudian Aurora mengangguk dan membiarkan Xavier mengecup keningnya lama.
Menggigit bibir bawah, Aurora mengalihkan pandangan seusai Xavier menarik diri, sementara tangan Xavier sudah mengelus belakang tubuhnya. Jangan sembunyikan apapun. Tapi bagaimana jika yang kusembunyikan sudah terlalu banyak? Batin Aurora gusar. Ini bukan hanya tentang Andres, tapi tentang siapa dirinya—Victoria—sosok yang Xavier benci.
Tidak bisakah semua itu dihilangkan saja? Sama seperti ketika kakeknya mengumumkan kematian Victoria begitu Victor terjaga? Victoria Cercadillo sudah tidak ada, kini hanya ada Aurora Petrova.
"Dengan senang hati dan segala hormat kami pada seseorang yang sudah pasti telah kita semua kenal. Mr. Xavier Matthew Leonidas—"
Detik-detik berlalu, Aurora terus fokus pada pikirannya sendiri, ketika tiba-tiba saja pidato Andres sudah tergantikan dengan lelaki lain yang memberikan kata sambutan untuk Xavier, termasuk menjelaskan pencapaian dan kontribusinya dalam hal-hal sosial. Aurora menoleh, menatap Xavier bangga. Xavier balas mengerling, kemudian berdiri yang langsung dihadiahi tepukan tangan oleh semua orang.
' Aurora ikut berdiri, bersama Kendra, Kenneth dan Quinn—yang kemudian diikuti oleh semua orang—semuanya bertepuk tangan untuk menyambut pidato Xavier. Xavier sendiri masih menyempatkan diri untuk mengecup kening Aurora sebelum berjalan menuju panggung.
Suaminya....
Jantung Aurora berdebar. Mengamati punggung Xavier yang menjauh sangat memberinya kebahagiaan. Cara Xavier berjalan seperti singa yang paham teritori. Tidak terburu-buru, tapi kuat dan memesona. Menarik perhatian semua orang. Tanpa perlu melakukan apa-apa, semua orang tetap akan tahu dia penguasanya.
Ketika Xavier mulai berbicara, semua orang terdiam. Terpaku pada penampilan dan juga pidatonya yang ahli. Tidak ada suara lain—semuanya terfokus pada nada rendah, angkuh, tapi menyiratkan kecerdasan di tiap patah kata Xavier. Dinamis dan anggun. Memesona dengan caranya sendiri. Aurora tersenyum bangga. Lelaki seperti Xavier akan dengan mudah membuat wanita menyerahkan diri kepadanya, tapi Xavier malah berakhir menjadi suaminya.
Pidato cepat Xavier berakhir disertai tepuk tangan hadirin. Aurora ikut bertepuk tangan, sementara Xavier langsung turun dan berjalan bersama Christian menuju sisi ballroom yang berisi banyak wartawan.
Aurora sempat melihat Xavier menatapnya, menghentikan langkah dan memberinya isyarat untuk bergabung. Aurora segera berdiri, berjalan menghampiri Xavier.
Crystal sampai di tempat Xavier lebih dulu sembari menggendong Axelion, kemudian pergi setelah menyerahkan Axelion pada Xavier. Aurora menyusul, langsung menggandeng lengan yang Xavier ulurkan.
"Mommy! Don't kiss me! I'm a big brother soon to be!" protes Axelion begitu Aurora mencium pipinya.
Aurora terkekeh pelan, lalu membelai puncak kepala Axeliion gemas. "Siapa yang mengajarimu? Baby Lion masih kecil, Mommy masih ingin menciummu."
"No, Mommy! No!" tolak Axelion keras kepala. "Don't treat me like a child!"
"Sekarang waktunya berbicara, ayo kita tunjukan keluarga bahagia kita," bisik Xavier di dekat telinga Aurora.
Aurora mendongak menatapnya. "Cl! Kau memang benar-benar suka pamer, Mr. Leonidas."
"Kenapa tidak? Ketika aku memiliki kalian—duniaku yang sempurna," ucap Xavier sembari menyeringai.
Aurora tersenyum geli. "Baik. Aku juga akan memamerkan suamiku."
"Pamerkan aku semaumu. Aku memang milikmu, Mrs. Leonidas."
Aurora menarik wajah Xavier untuk mencium bibirnya. Berniat memberikannya ciuman manis yang panjang. Tapi, baru dua detik bibir mereka bersentuhan, Axelion berteriak. "Mommy! Kiss me too! Kiss me too, Mommy!"
"Axelion sudah besar!" Xavier memprotes sembari menahan tawa, lalu mengecup pelipis Aurora lama, sengaja menggoda Axelion.
Bibir Axelion mencebik sebelum berteriak. "But you are bigger than me, Daddy! C'mon! I'm still a child!"
Lagi. Xavier mencium pipi Aurora. "Bukankah tadi Baby lion bilang—"
"No! Stop kissing My Mommy, Daddy!" Axelion berteriak lagi, kali ini sembari memukul kepala Xavier, tapi setelah itu malah dia yang menangis keras.
"Jangan menggodanya!" Aurora menatap Xavier kesal, tapi Xavier hanya terkekeh pelan.
***
Selama berhadapan dengan wartawan Axelion bersikap baik, dia langsung berhenti menangis ketika melihat kamera—khawatir gambarnya jelek. Xavier dan Aurora hanya bisa tertawa. Wawancara itu juga hanya berlangsung sebentar, pertanyaannya hanya seputar project Leonidas International, hubungan mereka dan tanggal pasti resepsi mereka berdua—yang akan dilakukan usai Aurora melahirkan.
"Xavier... Aurora!" Khaterine Lucero menghampiri mereka tepat setelah konferesi persusai, bersama suaminya. Axelion sendiri sudah dibawa Javier dan Anggy untukpulang lebih dulu—bocah kecil itu sudah mengantuk.
"Senang sekali mendengar kabar pasti pernikahan kalian. Selamat! Aku ikut bahagia!"
"Terima kasih, Katherine," ucap Aurora sembari tersenyum tulus. Katherine Lucero dulu adalah perempuan yang paling gencar mengejar Xavier—bahkan sampai memusuhinya—Aurora senang melihatnya akhirnya bisa berbahagia dengan Maxime Hamilton—pembalap F1 yang sekarang menjadi suaminya. "Di mana putrimu?"
"Tadi dia disana, bersama Mama. Mungkin sekarang mereka sudah pulang." Katherine melirik ke meja yang tadinya ditempati para tetua Lucero, Stevano dan Leonidas. Kosong. "Ya, sepertinya benar. Mungkin Mama sudah lelah memamerkan cucunya pada aunty Anggy. Itu lebih baik. Aku pusing. Setelah Axelion muncul, Mama terus memaksaku 'membuat' cucu laki-laki. Mungkin karena sebelum kalian datang, dia sudah merasa menang. Dia memang baru tahu keluarga Leonidas sudah memiliki pewaris tetap," jelas Katherine panjang lebar. Aurora tertawa geli, putri Katherine memang berusia dua tahun—dan selama ini keluarga Lucero sepertinya selalu memamerkan cucunya.
Aurora terus berbincang hangat dengan Katherine dan suaminya, sesekali Xavier menanggapi. Perbincangan mereka terhenti ketika akhirnya Katherine berpamitan.
"Ternyata banyak sekali yang berubah selama tiga tahun ini," gumam Aurora sembari meraih minum yang diulurkan Xavier—tanpa alkohol—lelaki itu benar-benar selektif. "Aku penasaran. Bagaimana ceritanya hingga Katherine berhenti mengejarmu?"
"Mudah. Aku hanya berkata padanya, aku sudah memiliki putra."
Aurora terkekeh. "Nakal. Kau berbohong. Padahal saat itu kau masih belum mengetahui jika Axelion ada."
Xavier hanya menyeringai.
Aurora lalu mengedarkan pandangan, mengamati beberapa orang memang sudah memenuhi lantai dansa, termasuk Aiden dan Crystal. Mereka berdua tampak begitu serasi, bagaikan pangeran dan putri. Aiden terus menatap Crystal, tampak begitu terpesona. Aurora juga melihat Xander berdiri di tepi ballroom—dikelilingi beberapa wanita cantik—Xander memang tidak pernah bisa melepaskan perempuan cantik.
Namun, di salah satu sisi ballroom yang lain, Aurora melihat Victor tengah berbicara dengan Andres. Wajah mereka tampak serius. Victor menatap Andres penuh permusuhan.
"Sebenarnya aku ingin mengajakmu berdansa, tapi aku takut kau lelah. Apa kita pulang saja?" gumam Xavier tiba-tiba, jemarinya membelai pipi Aurora.
"Boleh. Tapi apa tidak sebaiknya kita menunggu Victor dan Stacey dulu? Bukankah tadi mereka pergi bersama kita?"
Xavier mengangguk, segera mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang—sepertinya Victor. Aurora bisa melihat di seberang sana Victor mengangkat ponselnya.
Aurora terus mengamati kakaknya itu tanpa kentara, khawatir Xavier memergokinya. Tidak lama, Victor tampak memasukkan ponselnya, berbicara dengan Andres lalu berjalan ke arah meja, menjemput Stacey lalu berjalan kearahnya dan Xavier.
"Sudah menunggu lama?" tanya Victor sembari tersenyum.
Aurora menggeleng pelan, sementara Xavier memicingkan mata. "Apa yang kau bicarakan dengan Andres?" todong Xavier langsung. Aurora sedikit terkejut, tidak menyangka jika Xavier juga mengamati.
"Nanti aku ceritakan," ucap Victor tenang. Aurora menggeleng, menatap Victor khawatir. Xavier mengamati interaksi mereka berdua. Matanya kian memicing, tapi Xavier tidak berkomentar apa-apa, dia mulai mengambil langkah bersama Victor—tapi sesekali dia menoleh pada Aurora yang berjalan dengan Stacey.
Kumpulan tamu sedikit menghambat perjalanan mereka, kebanyakan dari tamu-tamu itu sengaja mencegat untuk menyapa Aurora dan Xavier. Aurora terpaksa berbasa-basi untuk membalas sapaan mereka, tersenyum dan mengucapkan terima kasih ketika mereka memberi selamat. Namun, selama itu Aurora menangkap keanehan diantara Victor dan Stacey. Keduanya tampak ada di dunia yang berbeda—tidak saling berbicara.
"Kalian bertengkar?" bisik Aurora begitu mereka memasuki elevator.
"Tidak. Hanya saja aku tidak tahu bagaimana cara menyapanya tanpa menangis."
Aurora mengernyit. "Maksudmu?"
"Sepanjang pesta dia terus bersama dokter itu—mengabaikan aku." Mata Stacey mulai berkaca-kaca. Aurora terkejut. "Kenapa dia tidak mati saja? Aku tidak tahu kenapa dia terus menyakitiku. Victor selalu memiliki kesempatan melepaskanku jika dia memang mencintai dokter itu."
Aurora ingin menghibur, tapi dia tidak menemukan kata-kata penenang. Karena itu dia hanya bisa menepuk punggung Stacey sembari melirik Victor sekali-kali. Victor harus menjelaskan ini.
Akhirnya mereka hampir sampai di pintu depan. Posisi berubah, Xavier segera meraih jemari Aurora dan menuntunnya, sementara Stacey dan Victor berjalan di belakang mereka. Elias dan Christian juga sudah menunggu—bergegas mempersiapkan pengamanan untuknya dan Xavier.
Kilatan blitz dari kilatan kamera paparazzi langsung menyambut begitu mereka keluar. Membutakan. Tapi Aurora berusaha tersenyum, ingin tampak baik untuk di majalah besok pagi. Xavier ganti melingkarkan lengannya di pinggang Aurora, menariknya mendekat ketika harus melewati kumpulan wartawan itu menuju mobil.
Namun, tiba-tiba suara letupan pistol terdengar.
"Berlindung!"
Aurora masih tidak bisa berpikir ketika teriakan itu terdengar, disusul gerakan Xavier yang memeluknya erat dan membawanya duduk di atas karpet . Lalu, letupan yang sangat keras terdengar sekali lagi—kali ini terasa sangat dekat.
Tubuh Aurora bergetar.
Teriakan orang-orang.
Bunyi tembakan susulan.
Teriakan lain yang lebih nyaring.
Tubuh Aurora makin gemetar. Napasnya mulai tersenggal. Aurora pernah mengalami kejadian semacam ini—lebih mengerikan—tanpa pelukan Xavier. Tapi saat ini Aurora malah lebih ketakutan. Menutup mata, kepala Aurora malah menampilkan kumpulan mayat dan genangan darah yang ia lihat tiga tahun lalu.
Sesak. Aurora kesusahan bernapas. Aurora sempat mendengar teriakan Xavier, termasuk merasakan pelukannya yang mengerat; tapi itu semua tidak membantu banyak. Kengerian makin menggerayanginya. Dia tidak bisa keluar. Aurora merasakan tubuhnya mati rasa. Tenggelam. Terkurung dalam keputusasaan hingga semua bayangan itu perlahan pudar.
Gelap.
Aurora pingsan.
TO BE CONTINUED
________________________
HOPE YOU LIKE IT!
JANGAN LUPA VOTE + KOMEN + SHARE KE TEMEN KALIAN!
Emoticon kalian untuk part ini?
Sorry for late updateee wkwkw. Akhir-akhir ini Dy emang lagi gesrek. Playlist juga lebih banyak keisi lagu-lagu badass yang lebih match ke Kevin Leonidas wkwkw
KOMEN + VOTE WAJIB JEBOL KALAU MAU LANJUT. Dy pengen lihat, kalian masih sayang ke Xavier pake banget apa nggak :')
See you soon! Sayang kalian!
With Love,
Dy Putina.
Ibu Pika-pika yang hilang
Jangan lupa follow instagram :
@dyah_ayu28
@the.angels05
@xavier.leonidas1
@aurora.regina1
@axelion.leonidas01
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro