Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

She BELONGS to the Prince | Part 41 - Get Back Memories

XAVIER UPDATE!

JAM BERAPA KALIAN BACA INI?

JANGAN LUPA KLIK BINTANGNYA!

Part kemarin Dy korting votenya—soalnya wattpad lagi error wkwk. Buat yang part 40-nya masih bermasalah (terpotong atau belum muncul), bisa check author note yang Dy taruh di sebelum part itu. Thank you ^^

Happy reading! Hope you like it!

"Kau menyukainya?" Xavier tersenyum tipis, meraih telapak tangan Aurora dan menciumnya. "Selama ini aku memang tidak pernah memakai cincinku. Salahmu. Seharusnya kau memberinya dari dulu." rajuk Xavier dengan pandangan mata mirip anak anjing.

Aurora menggigit bibir bawah, menahan senyum. "Ah, itu—"

"Tanpa kau minta, aku sudah berusaha keras membuat semua orang paham aku milikmu." Xavier lalu menempelkan kening mereka, helaan napas hangatnya terasa di permukaan kulit Aurora. "Sudah kukatakan padamu sebelumnya, kau memilikiku. Aku sepenuhnya milikmu, Araku."

Tidak jauh dari mereka, Andres Lucero berdiri. Tangannya terkepal erat. Mengembuskan napas panjang, Andres membuang pandangan.

_______________________________

She BELONGS to the Prince | Part 41 – Get Back Memories.

Playlist : Zayn ft Sia – Dusk Till Dawn

https://youtu.be/tt2k8PGm-TI

Playlist kamu :

***

Xavier membawa Aurora masuk ke ruangannya, memperlihatkan pajangan foto-foto lain yang tak kalah banyak, termasuk lukisan yang Aurora buat.

"Aku selalu memutar video Axelion ketika kecil ketika aku bosan." Xavier mengetikkan password di laptop sembari duduk di kursi besarnya. Aurora yang beridiri si samping Xavier terperangah. Usai ia memberikan kado natal pada Xavier—lelaki ini memang tidak pernah mengungkit isi flashdisk itu lagi—seakan lupa. Tapi ternyata Xavier bahkan memindahkan semua isinya kemari.

"Aku paling suka memutar yang ini," ucap Xavier lagi sembari mengklik salah satu video. Memutarnya. Kemudian menarik Aurora untuk duduk di pangkuan. "Rasanya seperti kau tidak pernah melupakanku. Menungguku pulang. Sayangnya aku baru memutarnya beberapa hari setelah kita pulang dari Indonesia."

Aurora menyandarkan kepalanya di dada Xavier, berusaha mencari posisi yang nyaman. Lalu, Aurora mengernyitkan kening. Ia tidak menyangka video yang Xavier putar juga masuk dalam flashdisk yang Victor berikan. Bukankah Xander sudah menghapusnya?

Di sana Axelion terlihat menangis usai mobil Victor keluar dari Palacio. Benak Aurora menghangat, video ini mungkin baru diambil kurang dari satu tahun yang lalu, tapi rasanya sudah lama sekali.

"Where is my Uncle Vito, Mommy? Where?! Why did he leave me?!"

"Uncle harus bekerja, katanya Baby Lion mau mainan?" Saura Auora tedemgar di belakang kamera.

Axelion makin mencebik. "Forget it! I want uncle Vito, back! Is uncle the same as Papa, Mommy? Он тоже меня бросит?"

"Axelion...." Aurora terkejut, langsung menggendong Axelion yang makin menangis. Menciumi pipinya. Sementara kamera beralih ke orang lain. "Jangan berkata seperti itu. Uncle sangat sayang Axelion, begitu pula dengan Papa."

"Я не верю! Папа так и не пришел!" (I do not believe! Papa never came!)

Aurora yakin pada saat itu dadanya sangat sakit, karena dengan melihat rekaman ini saja, perasaan yang sama juga bergelayut mengerikan.

"Tidak. Nanti, ketika saatnya tiba, Papa akan datang, menjemput Axelion. Axelion yang akan mengenali Papa. Papa akan sangat menyesal sudah lama meninggalkan kita."

"Really, Mommy?" tangis Axelion mulai behenti, tapi isakannya masih ada.

Aurora mengangguk, tapi mata Aurora memerah. Sebagai ibu dia harus kuat, tidak boleh menangis. "Ya. Papa menyayangi Axelion. Sangat. Karena itu, Axelion harus menyayangi Papa juga."

Axelion mengangguk cepat. "Where is Papa's photo? I wanna see. I miss him so much," pinta Axelion, tatapannya memohon—persis puss in boots.

Terkekeh geli. Aurora mengecup pipi Axelion gemas kemudian membawanya duduk di sofa ruang tamu. Kamera bergerak mengikuti mereka, lalu tangan dengan tatto burung walet di antara ibu jari dan jari telunjuk mengulurkan Ipad Aurora. Aurora mengambilnya, kemudian membuka gallery dan menunjukkan foto-foto Xavier kepada Axelion. Hal ini memang sering dia lakukan ketika Victor tidak ada.

"Papamu itu lelaki bodoh, Axelion harus memukul kepalanya. Jangan lupa meminta pesawat, uang Papamu banyak sekali." Suara Xander terdengar sekalipun wajahnya tidak tampak, terkekeh geli. Tangam Xander mengelus puncak kepala Axelion. Sementara Axelion sudah asik menggeser-geser foto Xavier.

"I miss you, Papa. You don't miss me?" Axelion bergumam sendiri ketika kamera sudah beralih ke wajah Aurora.

"Aku yakin Victor akan sangat marah jika tahu kau masih menyimpan foto bajingan itu."

Aurora menoleh, menatap jauh ke belakang kamera sebal. "Victor tidak akan tahu jika kau terus diam."

"Benarkah? Bagaimana jika Axelion yang bercerita?"

"Aku hanya tinggal bilang Axelion memaksa. Lagipula foto Xavier juga banyak di Google."

Lagi. Xander terkekeh geli. "Licik. Padahal kau sendiri yang ingin menunjukkan Xavier."

Aurora mengerucutkan bibir, mengalihkan pandangan. "Aku hanya ingin, sekalipun mereka jauh, Axelion masih tahu dia punya Ayah," gumam Aurora, ia mengecupi puncak kepala Axelion. "Aku memang membenci Xavier, tapi dia tetap Ayah Axelion. Axelion butuh sosok—"

"Aku bisa menggantikan si berengsek itu. Mengaku sebagai Ayahnya."

"Tidak bisa. Mata kalian berbeda. Axelion anak pintar."

"Aku bisa memaka softlen—"

"Diamlah, Xander! Ketika aku bilang tidak bisa; artinya tidak bisa!" dengus Aurora sebal. Kamera bergerak mundur, merekam Aurora dan Axelion dengan lebih jelas sebelum berbalik merekam wajah Xander.

"Hai, X! Seharusnya kau lihat ini? Tapi sepertinya kau minimal baru akan mendapatkan rekaman ini sekitar lima puluh tahun lagi. Bajingan ... kau benar-benar beruntung ya. Kau sudah sangat berengsek, tapi Ibu putramu masih saja mencintaimu," ucap Xander sebelum meneguk minumannya. 

"Siapa bilang? Aku tidak mencintainya!"

Xander tersenyum geli, lalu kamera kembali diputar ke arah Aurora. "Ralat, X. Katanya, kesayanganku ini tidak mencintaimu, tapi dia masih menunggumu."

"Xander! Aku tidak—"

"Dia memang sangat membencimu karena kau berselingkuh. Tapi aku pikir, dia lebih membencimu lagi karena kau tidak mencarinya. Cepatlah kembali. Aku besar tanpa ayah, jangan sampai putramu aku—"

"WILLIAM! Kenapa kau merusak rekaman video putraku?!" teriakan Aurora bergema, dia lalu turun dari sofa dan berjalan cepat ke arah kamera. Kamera bergoyang hebat. Kekehan Xander beradu dengan gerutuan Aurora. Tidak jelas. Tapi sesekali terdengar ucapan Aurora yang memerintahkan Xander untuk tidak berkata apapun soal Xavier, disusul suara panik Xander yang meminta Aurora berhenti menangis—lalu video itu berakhir.

Aurora masih terdiam ketika Xavier memutar tubuhnya, menangkup wajahnya, kemudian mengahapus air matanya yang begulir dengan ibu jari. Terkejut. Aurora bahkan baru menydari dia sudah menangis.

"Jangan menangis. Aku sudah di sini."

"Kenapa lama sekali?" lirih Aurora sembari memegang pergelangan tangan Xavier. "Saat itu aku takut. Apa lagi yang akan aku katakan padanya ketika dia sudah besar sementara kau belum datang? Apa yang harus aku lakukan ketika dia sadar aku berbohong?"

"Maafkan aku. Aku tidak tahu." Xavier menarik Aurora ke pelukan, kemudian membenamkan wajahnya ke curuk leher Aurora. "Aku pikir, selama tiga tahun ini hanya aku yang memikirkanmu. Kau membenciku, karena itu kau sengaja menyembunyikan Axelion, berniat menggantikan posisiku sebagai Ayahnya dengan lelaki lain. Pikirkan itu makin menguat ketika kau berusaha menjauhkan kami begitu aku muncul, seakan-akan aku ini wabah yang—"

"Liitle bear, bodoh! Jika aku memang sudah sebegitu membencimu, aku pasti tidak akan mempertahankan putra kita." Aurora memejamkan wajah, membelai rambut dan punggung Xavier. "Saat itu, ketika kau muncul, aku mendengar kau sudah bertunangan. Axelion satu-satunya hal tentangmu yang tersisa, bagaimana bisa aku membiarkanmu mengambilnya?"

Xavier memeluk Aurora lebih erat lagi. "Jadi, saat itu kau mendengar aku sudah bertunangan, tapi kau masih bersedia tidur denganku?"

Aurora meringis, memukul punggung Xavier. "Salahmu. Kau lupa? Saat itu aku mabuk!"

"Salahku? Setahuku kau yang menggodaku."

"Jangan membalik fakta!"

"Baiklah. Bagaimana dengan dengan kali kedua? Apa kau masih mabuk? Dasar, wanita penggoda."

"Kau yang menyebabkan itu semua!"

"Benarkah?" Xavier tertawa lembut, memberi jarak di antara mereka untuk melihat wajah Aurora. Memerah. Entah karena tangis, atau karena ucapannya. "Aku suka memengaruhimu. Aku suka kau kehilangan kewarasan karena aku."

"Bajingan sialan," umpat Aurora, dia menyentuh wajah Xavier dengan ujung jarinya kemudian memajukan wajah, mencium Xavier dengan lembut, dalam—sebelum menggigit bibir bawah Xavier keras; sengaja menghukumnya. "Aku mencintaimu," bisik Aurora begitu ciuman mereka terlepas, binar di matanya menunjukan kemenangan. Sayangnya....

"Bukan begitu cara menggigit yang benar," bisik Xavier, setelah itu Xavier menciumi leher Aurora, memberinya gigitan kecil. "Sepertinya Mrs. Leonidas yang nakal masih harus belajar."

Aurora menggigit bibir bawahnya, menahan erangan.

God! suaminya benar-benar gila.

***

Jamuan makan malam hampir dimulai ketika Xavier dan Aurora kembali ke ballroom. Orkestra sedikit bermain lebih keras, mendampingi orang-orang yang mencari meja yang sudah disiapkan. Aurora dan Xavier kembali ke meja mereka. Ternyata Kendra, Kenneth dan Quinn sudah duduk di sana—mereka satu meja.

Xavier menarikkan kursi Aurora, membantunya duduk.

"Terima kasih," ucap Aurora yang dibalas senyum tipis oleh Xavier. Xavier sedang menarik kursinnya sendiri dan duduk di samping Aurora, ketika Aurora melihat Axelion sedang duduk di meja sebelah kiri mereka bersama Javier dan Anggy—bebarengan dengan para orang tua keluarga Lucero dan Stevano. Crystal dan Aiden menempati meja yang lebih jauh.

Mendesah panjang, Aurora merasa kesal, seharusnya paling tidak mereka duduk bersama Crystal atau Aiden dibanding di sini. Beberapa waktu terakhir Kendra dan Quinn memang bersikap 'baik'. Kendra seperti berusaha mendekatinya dengan mengajak Aurora keluar dengan alasan bayi mereka, sementara Quinn terus mengirimkan hadiah untuk Axelion dan si kembar. Tapi tidak berarti itu membuat Aurora mau membuang jarak dengan Kendra, atau berhenti beradu kalimat pedas tiap kali berbicara dengan Quinn.

"Aku mendapatkan tempat dan instruktur senam kehamilan yang bagus. Kau mau ikut denganku?" tanya Kendra tiba-tiba.

Aurora menoleh sementara tangan Xavier terus melingkari pinggangnya. Xavier masih berbicara tentang fluktuasi pasar bersama Kenneth dan Quinn, tapi Aurora yakin jika perhatian Xavier masih terpusat padanya.

"Sepertinya tidak bisa. Aku harus menjaga Axelion," tolak Aurora halus.

Seorang pelayan menaruh cranberry juice di depannya.

"Bagaimana kalau senamnya dilakukan di mansionmu saja? Aku bisa mengajak instrukturnya ke sana?"

"Tidak perlu. Itu hanya akan merepotkanmu."

"Sama sekali tidak. Sungguh! Melakukan senam sendirian itu membosankan." Kendra terdengar tidak mau menyerah. "Apalagi ini baru kehamilan pertamaku. Aku juga ingin sedikit belajar darimu."

Dengan berat hari, Aurora memaksakan seulas senyum kemudian mengangguk. Kendra tersenyum puas. Dan, sebelum perempuan itu mengajaknya bicara lagi—Aurora bergegas menenggak minumannya. Mungkin Kendra memang sudah melupakan masalah di antara mereka, tapi Aurora masih kerapkali merasa tidak aman. Apalagi Aurora juga sempat beberapa kali merasakan Kendra dan Xavier beradu pandang. Dada Aurora sesak. Hormon sialan. Bukankah seharusnya dia mempercayai Xavier?

Aurora banyak diam sepanjang makan malam, dia hanya sedang menanggapi Xavier yang terus menunjukan perhatiannya, menanyakan apa yang dia mau.

"Kau baik-baik saja?" tanya Xavier begitu hidangan penutup disajikan.

Aurora mendesah. "Aku hanya ingin pulang. Apa masih lama?"

"Segera. Setelah pidatoku dan sedikit wawancara, kita langsung pulang." Xavier sedikit mencondongkan tubuh, menyandarkan lengannya di antara sandaran kursi Aurora dan meja—memerangkapnya sembari menatap lekat.

"Sebenarnya aku juga bosan. Aku juga sedikit menyesal. Biasanya aku benci ketika kau memakai dress pendek, tapi sekarang Ingin rasanya aku menyelipkan jemariku di dalam tubuhmu yang hangat dan manis. Mengunjungi babies. Menghilangkan kebosanan kita. Bukankah itu akan luar biasa, Baby?" suara Xavier tiba-tiba berubah menjadi bisikan yang menggoda.

Tubuh Aurora meremang.

"Xavier! Astaga! Sejak kapan kau semesum ini?!" Aurora memekik tertahan, menatap Xavier terkejut sembari mendorong pundaknya. Dengan jantung berdegup kencang, Aurora menatap ke sekitar—khawatir orang-orang memperhatikan mereka. Untungnya tidak. Di meja mereka saja, Kendra, Kenneth dan Quinn sudah asyik berbicara. "Cepat benarkan otakmu. Bukankah setelah ini kau harus berpidato?"

Xavier menyeringai. "Kenapa? Apa kau takut aku berbicara tentang seberapa ingin aku meniduri istriku?"

"Hentikan ucapan mesummu. Apa kau sudah gila?"

"Memang. Aku tergila-gila. Aurora Leonidas benar-benar mengacaukanku."

"Ex-ee-vii-ee!"

"Aku hanya bercanda." Xavier tersenyum, lalu mencium kening Aurora lama. "Aku tidak tahu apa yang tengah kau pikirkan, tapi sepertinya bukan hal yang baik. Jangan memikirkan hal yang tidak ada, Sweetheart. Aku mencintaimu. Sangat. Tidak ada hubungan lain yang kusembunyikan—jika itu yang kau pikirkan," jelas Xavier tegas.

Hati Aurora menghangat. Dia ingin menangis haru. Entah kenapa belakangan ini Xavier selalu mengerti suasana hatinya. Aurora mengangguk, tidak berusaha menyangkal perkataan Xavier. Semuanya benar.

Ruby datang beberapa saat setelah itu, berdiri di antara Aurora dan Xavier. "Pidato Anda akan dimulai sekitar dua puluh menit lagi. Mrs. Andres Lucero akan memulainya lebih dulu. Lalu—"

"Kau mau kemana?"

Aurora terkejut. Dia pikir Xavier masih fokus mendengarkan Ruby, tapi ternyata lelaki itu langsung mencengkram lengannya begitu dia berdiri. "Aku mau ke kamar mandi, X."

"Biar aku antar," putus Xavier cepat, hendak berdiri juga.

Aurora menahan Xavier dengan memberikan kecupan di rahangnya. "Tidak perlu. Kau harus menyiapkan pidatomu. Aku hanya sebentar."

"Tapi Ara—"

"Geez! Aku hanya hamil, bukan sakit!" dengus Aurora sebal, lalu dia merapikan dasi Xavier. "Persiapkan saja dirimu, aku sudah tidak sabar mendengar pidato suamiku."

Cepatlah kembali." Xavier akhirnya mengalah, melepaskan lengan Aurora dengan berat hati.

Tersenyum, Aurora masih menyempatkan mencium rahang Xavier lagi sebelum keluar dari meja. Aurora sempat merasakan Quinn dan Kendra mengamatinya, tapi dia abaikan. Aurora langsung berjalan menuju kamar kecil dan mencuci tangan. Berkaca dan sedikit memperbaiki riasannya.

Aurora baru keluar dari kamar mandi ketika sebuah telapak tangan tiba-tiba mencekal lengannya. Terkejut, Aurora menoleh. Andres Lucero sudah berdiri di sampingnya, tepat di ambang pintu—mata birunya menatapnya lekat. Seakan sudah menunggu.

Tubuh Aurora bergetar hebat. Seharusnya dia memang mengajak Xavier. Ini seperti dejavu. Kapalanya masih mengingat dengan jelas hal yang pernah Andres lakukan dulu.

"Victoria...," ucap Andres serak.

"Jangan sentuh aku!" teriak Aurora sembari menghempaskan cekalan Andres. Lelaki ini iblis. Bayangan gelap yang akan menelannya. Andres tidak melepaskan semudah itu, lelaki itu malah mencekram pundak Aurora, lalu mendorongnya—tidak terlalu keras—tapi cukup untuk membuat Aurora terpojok ke dinding.

"Andres...." Aurora mencicit.

"Dulu kau adalah gadis yang paling mengenalku dengan baik," bisik Andres semnari tersenyum miring, tapi matanya malah menatap Aurora sedih. "Apa aku harus mengupayakan sesuatu agar kau kembali padaku?"

Aurora menutup mata. Badannya bergetar ketakutan. Untungnya Aurora masih mengingat pesan Xavier. Menahan napas, Aurora bergegas menekan tombol kecil di dekat arlojinya—kemudian menunggu—berusaha bertahan. Andres sendiri menormalkan napasnya. Helaan panjangnya terasa menjijikkan di leher Aurora.

"Vee. Lihat aku," pinta Andres serak.

"Lepaskan. Atau peluru ini akan menembus kepala Anda."

Aurora baru membuka mata begitu dia mendengar suara Elias. Elias ternyata sudah menodongkan pistol di pelipis Andres. Tatapannya dingin dan menyeramkan. Senyum dan tatapan jahil Elias tiap kali menjaga Aurora atupun bercanda dengan Axelion dan Aaron seketika lenyap.

Andres membatu. Dengan cepat dia melepaskan Aurora, kemudian mengangat kedua tangan di samping kepala. Tombol di arloji Aurora memang akan mengirimkan tanda SOS pada Elias jika ditekan.

"Oke," ucap Andres serak, mundur perlahan seperti anjing yang ketakutan—moncong pistol Elias terus mengikutinya. Andres menelan ludah. "Aku tidak berniat jahat. Hanya berusaha berbicara dengannya. Aku sudah berusaha keras mencari waktu, tapi dia selalu ingin—"

"Peluru saya juga bisa mencari waktu tepat untuk menembus kepala Anda."

"Aku—"

"Pergilah." Aurora memotong pada Andres begitu mulai bisa mengendalikan diri. "Tidak ada yang perlu kita bicarakan. Itupun jika kau masih ingin hodup. Aku tidak akan menahan bodyguardku menembak kepalamu," sela Aurora.

Andres masih menatap Aurora ragu, tapi lelaki itu bergegas pergi dari sana—sembari sesekali melirik Elias. Tatapannya menyebalkan. Mengembuskan napas lega, Aurora melirik Elias yang sudah menyimpan pistolnya kemudian dan mendunduk kepala dalam-dalam.

"Maafkan kelalaian saya, Nyonya."

Aurora menggeleng pelan. "Bukan salahmu. Dibandingkan Andres, sepertinya aku lebih takut pada pistolmu." Aurora menelan ludah, bertanya-tanya apakah Elias akan benar-benar melobangi kepala Andres. Itu kriminal. "Aku akan keluar sebentar lagi. Kau bisa keluar lebih dulu. Jangan katakan apapun pada Xavier."

"Tapi Nyonya—"

"Lakukan perintahku, atau aku akan mengatakan pada suamiku, kau sudah beberapa kali aku tangkap basah terus melirik adiknya." Itu hanya praduga, tapi Aurora berusaha mencari peruntungan. Tapi, tanpa Aurora duga Elias makin menunduk dalam, kemudian menggangguk pelan.

"Baik, Nyonya. Akan saya lakukan," ucap Elias sembari undur diri. Aurora hanya bisa menggeleng; setelah Aiden dan satu orang lain yang dia kenal ... sepertinya boyguardnya sendiri juga sudah jatuh ke dalam pesona Crystal Leonidas.

Aurora bergegas kembali ke kamar mandi, membasuh tangannya. Sial. Tangannya masih saja dingin dan gemetar. Lucero sialan.

TO BE CONTINUED.

____________________________

HOPE YOU LIKE IT!

JANGAN LUPA VOTE + KOMEN + SHARE KE TEMAN KALIAN!

Emoticon untuk part ini?

UNTUK HAL-HAL PENTING; PERTANYAAN SOAL BUKU DAN LAIN-LAIN, JANGAN TANYA KE INBOX WATTPAD. DY JARANG BANGET BUKA ITU. KALIAN BISA PERGI KE INSTAGRAM DY ATAU LANGSUNG E-MAIL KE ALAMAT YANG TERTERA DI PROFIL.

Untuk novel "My Bastard Prince" bisa kalian order di akun shopee MELVANA MEDIA STORE atau di GRAMEDIA terdekat.

Sementara untuk buku Dy yang "Alexa Robinson" dan "Fragile Heart" bisa kalian order di akun shopee DISTRIBUTORKUBUSMEDIA atau di GRAMEDIA.

"Christopher's Lover" bisa kalian order di TOKOTMINDO atau di GRAMEDIA.

Untuk "Not Me, Boss!!" stocknya udah habis—Dy nggak mau cetakin lagi—kecuali ada hidayah yang bikin Dy mau revisi besar-besaran wkwkw.

See you soon ya! Sayang kaliaan!

With Love, Dy Putina.

Istri sah Sean O'Pry

Jangan lupa follow instagram :

@dyah_ayu28

@the.angels05

@xavier.leonidas1

@aurora.regina1

@axelion.leonidas01 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro