Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

She BELONGS to the Prince | Part 32 - I Hate You!

XAVIERA UPDATE!!

Kangen Xavier?

Jam berapa kalian baca ini?

JANGAN LUPA TEKAN VOTE + KOMEN YANG BANYAAAKKK!

HAPPY READING! SEMOGA SUKA ^^

Aurora makin terkejut, teringat dengan sesuatu. Tidak ... Xavier tidak mungkin membawanya dan Axeion menemui Eyang Uti. Menurut cerita Xavier dulu, wanita itu sangat kaku, galak, cerewet, cenderung kuno dan menjunjung tinggi pernikahan. Xavier sangat takut padanya.

Aurora buru-buru turun dari ranjang, bergegas mencari Xavier. Gila! Apa Xavier tidak takut—dengan adanya Axelion—mereka akan dipaksa menikah?! Oh, my God!

________________________

She BELONGS to the Prince | Part 32 – I hate you!

Playlist : The Chainsmokers, ILLENIUM - Takeaway (Official Video) ft. Lennon Stella

https://youtu.be/lzkKzZmRZk8

Playlist kamu :

***

"I'll win this game! Let's see!"

Aurora hampir sampai di bagian tengah pesawat ketika dia mendengar ucapan Axelion. Bergegas masuk, Aurora menemukan Axelion dan Xavier duduk di sofa, memegang stick game dengan pandangan lurus ke televisi besar yang menampilkan balap mobil dua karakter animasi; Polar si beruang kutub dan Pura si macan. Pura yang memimpin balapan, tapi jaraknya sangat dekat.

"Daddy, you're weak," ejek Axelion, rupanya dia yang mengendalikan Pura.

Xavier mendengus. "Really?"

"Yup. You are—DADDY NO!!!" Axelion tiba-tiba saja berteriak begitu polar Xavier melakukan takeover cantik dan menyalip Puranya. "Daddy is cheating! Don't beat me!" Lagi. Axelion berteriak, kali ini sembari menendang kaki Xavier.

Xavier mengernyit. "Apa? Curang? Mana curang—"

"If I lose, then you're cheating!"

"Mana bisa begitu?!" Xavier menjawab tidak terima, berjuang menyembunyikan senyum geli.

"Cause I'm still a child!" Axelion mencebik, hendak menangis. "You must—" Ucapan Axelion terpotong oleh teriakan girang. Pura Axelion berhasil di depan lagi setelah Polar Xavier menabrak pinggiran jalan. "See? I'll win if you don't cheat!" dengus Axelion sombong dengan bibir maju.

"Okay ... okay...," kekeh Xavier mengalah, tapi beberapa saat kemudian. "Good bye, Lion!"

"Daddy!" Axelion berteriak lagi begitu Polar Xavier tiba-tiba saja sudah menyalip Pura-nya. "Daddy you cheat! Don't beat me, Daddy!" rengek Axelion, tapi Xavier berpura-pura tidak mendengar—polarnya masih melaju di depan.

"Daddy!" Tangis Axelion pecah, bocah lelaki itu bahkan melemparkan stick gamenya. Xavier menoleh, masih terkekeh geli, dia menaruh stick gamenya—hendak menghibur Axelion ketika Aurora melakukannya lebih dulu, meraih Axelion ke gendongan.

"Mommy ... Daddy...," adu Axelion dengan bibir mencebik.

Aurora menatap Xavier kesal. "Jangan menggodanya!"

Xavier menyeringai. "Tidak. Kami hanya balapan," kilah Xavier.

Medengus sebal, Aurora mengecupi puncak kepala Axelion. Bocah lelaki itu sudah berhenti menangis, tapi entah; mendadak Aurora kesal pada Xavier. "Axelion jangan main dengan Daddy lagi. Dia memang rajanya curang."

"Apa?! Kapan aku pernah curang?"

"No, Mommy, No! Put me down! I wanna play with my Dad!"

Xavier dan Axelion memprotes bersamaan. Mengerjap heran, Aurora menatap Axelion tidak mengerti. Jelas-jelas Aurora membelanya, tapi Axelion malah ganti menatapnya tajam, seakan dia penjahat.

"Mommy! Put me down!" Lagi. Axelion berteriak, kali ini sambil memberontak. Aurora tidak punya pilihan selain menurunkannya, sementara Axelion bergegas duduk di samping Xavier dan mengambil sticknya lagi.

Xavier menyeringai. "Ayo boy. Biarkan saja Mommy marah-marah sendiri," ajak Xavier.

"Yup! Let's play, Daddy! I don't like Mommy," ucap Axelion sembari mengangguk cepat.

Mengembuskan napas panjang, Aurora akhirnya duduk di sofa yang sama, dia menatap Ayah dan anak itu kesal. "Kenapa Little Lion malah marah pada Mommy? Bukankah Daddy yang—"

"Don't disturb me, Mommy! I want to win!" gerutu Axelion yang sudah memainkan game Crash Team Racing Nitro-Fueled mereka.

Xavier mengerling pada Aurora. "Dengar? Jangan ganggu kami," ulang Xavier sembari tersenyum menyebalkan. Aurora hanya bisa merengut, apalagi beberapa saat kemudian kehadirannya benar-benar diabaikan, tapi Aurora lega—kondisi keduanya terlihat sudah membaik. Aurora mencoba memegang kening Axelion, sudah tidak sepanas semalam.

"Mommy! Don't disturb me!" keluh Axelion terganggu sembari menepis telapak tangan Aurora.

Aurora hanya terkekeh geli sembari mencium puncak kepala Axelion. "Kau ini ... Mommy kan hanya ingin memeriksa—"

"But you'll make me lose, Mommy!" Axelion memekik.

"Ck! Benar-benar keras kepala sekali seperti Daddymu."

"Aku tidak keras kepala. Kau boleh memeriksa dahiku. Aku sadar diri, aku masih sakit," sahut Xavier tiba-tiba. Aurora menoleh, menatap Xavier malas. Xavier masih fokus pada layar televisi, tapi karena Aurora tidak kunjung menjawab lelaki itu menoleh, "jangan salah paham ... aku bukan ingin diperhatikan. Siapa tahu kau masih khawatir seperti semalam, lalu menciumku—"

"Xavier!" pekik Aurora sebal.

Xavier malah menyeringai. "I see, kau lebih suka menciumku diam-diam kan?"

"Daddy! C'mon! Let's play!"

Gerutan Axelion menyelamatkan Aurora. Xavier buru-buru meneruskan permainannya, sementara Aurora langsung mengalihkan wajahnya yang merona. Beberapa saat kemudian Ayah dan Anak itu sudah kembali asyik sendiri, Aurora benar-benar diabaikan—termasuk pertanyaannya tentang Xavier yang menculiknya, untuk apa mereka ke Indonesia dan soal Eyang uti.

Akhirnya Aurora memutuskan bersandar di sofa, menjadi penonton adu balap mereka. Namun, dibandingkan televisi, Aurora lebih suka melihat ekspresi Axelion dan Xavier. Kernyitan kening, senyum, bahkan decakan sebal mereka benar-benar mirip. Benak Aurora menghangat, apalagi melihat tawa Axelion begitu lepas—bocah lelaki ini tampak bahagia, sangat berbeda dengan ekspresinya ketika Aurora memutuskan pergi.

Mengingatnya membuat jantung Aurora serasa diremas. Aurora sangat menyesal, sadar jika tidak seharusnya dia melakukan itu pada putra yang dia sayangi. Dia tidak boleh lagi membawa Axelion ke dalam masalah mereka ... membuatnya bersedih. Sepertinya setelah ini dia memang harus membahas beberapa peraturan dengan Xavier.

Namun, tiba-tiba saja rasa mual menyerangnya. Aurora segera berlari ke kamar mandi, menumpahkan isi perutnya ke westafle—tapi tidak keluar apapun, hanya air. Aurora mengusap wajahnya kasar, merasa tersiksa—dia sudah lama tidak mabuk udara.

"Are you okay?" Tiba-tiba saja Xavier sudah berdiri di belakang Aurora, mengusap punggung Aurora panik, satu tangan Xavier yang lain mengumpulkan rambut panjang Aurora dalam satu ikatan.

"Pergilah, X! Ini menjijikkan," ucap Aurora risih.

Xavier menggeleng. "Tidak apa-apa," ucap Xavier sembari terus mengusap punggung Aurora. Aurora hendak memprotes, tapi rasa mual itu kembali datang. Lagi. Aurora muntah. Ini benar-benar menyiksa. Aurora tidak tahan. Tubuhnya sudah benar-benar lemas ketika pada akhirnya rasa mual itu mereda, untungnya Xavier dengan sigap menggendongnya.

"Sudah lebih baik?" tanya Xavier.

Aurora mengangguk, membenamkan wajahnya di dada bidang Xavier—entah kenapa aroma Xavier menenangkannya. "Aku seperti orang desa saja. Padahal pesawatnya semewah ini, kenapa aku masih bisa mabuk udara?"

Xaveir berdecak sebal. "Aku akan menyuruh dokter pribadi kita memeriksamu. Setelah ini pasti membaik."

"Tidak perlu. Aku baik-baik saja, X."

"Kau muntah berkali-kali, tapi kau masih berkata baik?!" ucap Xavier kesal.

Aurora menggeleng sembari menatap wajah Xavier. Rahangnya menegang. Aurora tersenyum, kemudian mengelus wajah Xavier agar tenang. "Kau memperlakukanku seperti aku hamil saja."

Xavier terdiam sebentar, mengangkat satu alis, kemudian membaringkan Aurora di ranjang pesawat. "Apa ketika mengandung Axelion kau juga mual-mual seperti ini?" tanya Xavier tiba-tiba.

Membenahi posisi tidurnya, Aurora menggeleng pelan sembari tersenyum kecil, geli dengan pertanyaan Xavier. "Tidak. Dia benar-benar anak baik. Mungkin dia tahu Ibunya hanya sendirian."

Rasa bersalah sedikit terlihat di mata Xavier, tapi setelah itu Xavier mengambil posisi di sebelah Aurora dan menggenggam tangannya. "Ceritakan padaku. Seperti apa dia ketika di perutmu."

Aurora mengernyit. "Kacang polong?" kekeh Aurora asal.

"Bukan! Maksudku ... apa dia menyiksamu? Apa dia meminta yang aneh-aneh?" gerutu Xavier sebal.

Aurora masih terkekeh, tapi dia menggeleng. "Tidak. Dia sangat penurut. Tidak seperti—"

"Daddy! Where are you! Let's play! I'm sure I'll win again!" Teriakan Axelion si kejauhan memotong ucapan Aurora. Aurora dan Xavier saling pandangan sebelum kemudian terkekeh bersama.

"Intinya tidak seperti sekarang. Karena itu kadang aku merasa wajar dia semanja ini, anggap saja itu ganti karena dulu dia sudah menurut," ucap Aurora lembut.

Xavier menghela napas, kemudian mencium puncak kepala Aurora. Aurora terkejut, jantungnya berdebar hebat. Xavier menatapnya hangat. "Kalau begitu ... apa yang harus aku lakukan sebagai ganti tidak bersamamu?"

"W—what?" Aurora terbata-bata, sama sekali tidak menduga akan mendapat pertanyaan ini dari Xavier.

"Aku—"

"DADDY!"

"Damn it," umpat Xavier kesal sembari bangkit berdiri. Aurora tekekeh geli. "Sepertinya aku harus mengurus putra kita dulu, kau beristirahatlah, aku juga akan menyuruh dokter kita kesini."

Aurora merengut. "Sudah kubilang, aku tidak apa-apa. Setelah ini juga pasti sembuh."

Xaveir tidak mengatakan apa-apa, hanya menatapnya sebal sebelum kemudian keluar dari kamar, mungkin untuk menghampiri Axelion. Aurora hendak memejamkan mata, tapi seorang dokter perempuan masuk, disertai ahli gizi dan pramugari yang membawakannya makanan. Aurora memutar bola matanya jengah—bukan Xavier namanya jika dia tidak berlebihan.

"Anda hanya perlu meminum vitamin Anda dan istirahat, Nyonya. Hal seperti ini wajar, penerbangannya memang lumayan panjang. Setelah itu kondisi Anda pasti membaik."

"Aku juga berpikir begitu. Tapi bukan Leonidas namanya jika tidak berlebihan," gerutu Aurora.

Dokter itu tersenyum. "Tuan Xavier begitu karena dia sangat mencintai Anda. Dia bahkan sampai mengancam saya untuk ikut dalam perjalanan kalian," jelas dokter itu sembari membereskan peralatannya. Aurora mengernyit, merasa aneh. Ia masih ingin menanyakan sesuatu ketika Pramugari lebih dulu menyodorkan makanan padanya—sementara dokter itu pergi lebih dulu.

Memakan krim sup jagungnya, Aurora tiba-tiba menyadari sesuatu. Dokter tadi ... bukankah dokter yag sama dengan yang Victor kirim ke apartemen? Jadi ... itu Xavier? Sementara dokter yang dimaksud Victor sendiri adalah Revina?

Aurora kembali pusing memikirkan ini. Jika itu memang Xavier, maka untuk apa? Bukankah Xavier sudah menyuruhnya pergi? Apa ... ucapan dokter itu memang benar? Xavier mencintainya? Apa jangan-jangan selama ini dialah yang terlalu buta?

Jantung Aurora kembali berdebar. Harapannya melambung. Ini tidak bagus, Aurora tahu makin tinggi dia melambung, makin sakit juga rasanya ketika dia jatuh. Menghela napas panjang, Aurora menatap ke luar jendela pesawat, menatap gulungan awan putih yang dekat. Cantik.

Tanpa bisa dicegah, tiba-tiba saja memori masa lalunya menyerebak. Aurora sesak dengan kerinduan. Padahal Aurora sudah memutuskan untuk benar-benar menghilangkan sosok Victoria; semua hal tentangnya, termasuk kenangan domino jatuh itu dengan Xavier Leonidas.

***

"Itu kura-kura, Vee!"

"Bukan! Itu kepala teddy bear, Xavier!" Victoria bersikeras, menunjuk awan di atas sana sembari bebaring di atas lapangan basket. Xavier juga berbaring di sebelahnya, ikut melakukan hal yang serupa—memerhatikan awan-awan yang bergerak pelan.

"Lihatlah, itu rumahnya, kepalanya ada—"

"Kenapa kau memaksa? Aku tidak peduli kau melihat kura-kura, yang penting aku melihat Teddy bear."

"Bilang saja kau ingin dibelikan beruang teddy."

Victoria berbaring miring, menatap Xavier kesal. "Apa? Tidak butuh. Boneka teddyku sudah banyak. Seseorang selalu menyertakan hadiah yang sama tiap aku ulang tahun."

"Siapa?"

"Little Bear Leonidas," dengus Victoria sebal. Xavier memang selalu menghadiahinya teddy bear —tiap tahun—selain hadiah-hadiah menakjubkan lain. Teedy bear seperti kado wajib.

Kali ini Xavier merengut. "Kenapa namaku jadi aneh sekali?" protesnya sembari membalik tubuhnya, ikut berbaring miring. Victoria jadi bisa melihat wajah tampan Xavier yang dipenuhi keringat.

Mengabaikan jantungnya yang berdebar, Victoria tersenyum mengejek. "Kenapa? Kau keberatan?" tantang Victoria.

Namun, alih-alih marah. Xavier malah malah mengacak puncak kepala Victoria dan mengecup keningnya tiba-tiba. "Ex-ee-vii-ee!" protes Victoria, sengaja menyembunyikan degup jantungnya yang menggila.

Xavier menyeringai. "Tidak. Untuk apa aku marah?" tanya Xavier. "Sekalipun aku marah, pasti tidak akan lama," lanjut Xavier sembari membalik tubuhnya, menatap ke arah langit.

Victoria mencibir, tersenyum kecil. "Benarkah?"

"Tentu saja. Semua orang tahu aku mencintai Victoria," ucap Xavier sembari menoleh, tatapan Xavier begitu hangat, sehangat senyumnya yang jarang ditampakkan. "Sejak dulu sampai sekarang. Hanya Victoria. Apa kau percaya, Vee?"

***

Getaran ponsel mengeluarkan Aurora dari lamunan. Terkejut. Aurora melirik ke atas nakas. Rupanya dari ponsel Xavier. Aurora melirik ke arah pintu, masih tidak ada tanda-tanda Xavier akan kembali, pramugari yang tadi juga sudah keluar, sementara ponsel Xavier terus begetar berkali-kali.

Akhirnya Aurora turun dari ranjang, meraih ponsel Xavier dan tertegun melihat Kendra yang menelpon. Aurora jadi sangsi? Apakah dia harus memberitahu Xavier? Sementara melihat nama Kendra saja sudah membuat dadanya sesak?

Aurora belum menentukan pilihan ketika panggilan itu berhenti, disusul beberapa pesan masuk dari Kendra. Menahan napas, Aurora membuka kunci ponsel Xavier. Dia tahu ini salah ... tapi entah setan mana yang memengaruhinya hingga terus membukan pesan Kendra.

Detik selanjutnya Aurora tertegun.

Kendra mengirimkan foto jarinya yang mengenakan cincin—cantik sekali—dikhiasi delapan permata.

Okay, I said yes! Kau puas, Leonidas?! Tulis Kendra di pesannya.

'Apanya yang mencintaiku?' Aurora menjerit dalam hati.

Tiba-tiba saja air mata Aurora sudah merembes. Dadanya sesak. Rasanya masih sakit sekali mengetahui Xavier melamar Kendra, dan Kendra menerimanya. Padahal sebelumnya Aurora sudah tahu ... cepat atau lambat ini pasti terjadi.

"Ara ... apa kau sudah makan? Kenapa tidak istirahat?" Tiba-tiba saja suara Xavier terdengar dibalik tubuhnya. Aurora panik. Tanpa pikir panjang Aurora menghapus pesan Kendra, kemudian mendongak ketika Xavier memeluknya dari belakang. "Hm ... apa yang kau lakukan dengan ponselku?" gumam Xavier sembari menenggelamkan kepalanya di leher Aurora.

Menelan ludah, Aurora berusaha keras mencari alasan. Namun, tidak seperti biasanya ... tiba-tiba saja harum parfum Xavier membuat perut Aurora bergejolak. Mual. Aurora buru-buru melepaskan pelukan Xavier, dan berlari ke kamar mandi—menumpahkan isi perutnya ke westafle.

Seperti tadi, Xavier dengan sigap menyusul dan memijit tengkuk Aurora. Tapi kali ini Aurora langsung menoleh, mendorong Xavier menjauh. Tangis Aurora pecah, entah karena rasa mual yang menyiksa, sakit hati; atau malah dua-duanya.

"Jangan dekat-dekat! Parfummu membuatku ingin muntah!" erang Aurora tersiksa sembari menutup mata dan hidungnya.

Xavier mengernyit heran, mulai panik. "Parfumku? Bukankah biasanya tidak—"

Aurora menggeleng cepat. "Keluar! Menjauh dariku. Aku membencimu, Leonidas!" usir Aurora sebelum menangis hebat.

Xavier langsung panik luar biasa, terlebih setelah itu Aurora malah pingsan.

TO BE CONTINUED.

________________________


HOPE YOU LIKE IT!

JANGAN LUPA KOMEN, VOTE + SHARE KE TEMAN KALIAN!

Emoticon untuk part ini? Wkwkkw

Tim Xavier/Ara?

Dan ... akhirnya di part ini Xavier tertolak oleh (isi sendiri) sendiri.

SPOILER baru muncul di part PART DEPAN kayaknya wkwkw. Habis itu semua masalah X sama Ara mau Dy sudahi. Akutuh paling nggak suka nulis konflik, sukanya part manis Makanya, yang nanti baca She Owns the DEVIL Prince versi cetak—jangan kaget hehe.

Maaf banget untuk late updatenya ya. Dy sekarang lagi buanyaaaaaak kerjaan : Skripsi Hubungan International; Dy kebagian bahas Hong Kong huhu, padahal pengennya Rusia hiks. Revisi She Owns the Devil Prince buat versi cetak. Ngelanjutin She Belongs to the Prince. Lanjut riseeeet Falling for the Beast plus ngetik. Lanjut mikir project collab Dy sama Kimmy gank. Terus lanjut A Knight in Shining Armor—juga harus Dy lanjutin, sekalipun ini cuma work iseng-iseng wkwkw. Dy mendadak sayang banget sama Athy masa :')

https://youtu.be/hmFC5Ft7wiw

Eh iya, cast ATHANASIA di A KNIGHT in Shining Suit sama Stacey tunangannya Victor, Dy samain. Soalnya Dy suka Elle Fanning :') Imut huhu.

See you soon! Sayang kalian!

With Love, Dy Putina.

Tanpa tittle, lagi nggak mau sombong :')

Jangan lupa follow IG :

@dyah_ayu28

@the.angels05

@xavier.leonidas1

@aurora.regina1

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro