Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

She BELONGS to the Prince | Part 31 - Oh, my God!

XAVIERA UPDATE!

Kalian voters keberapa?

JANGAN LUPA TEKAN VOTE + KOMEN YANG BANYAAKKK!

HAPPY READING! SEMOGA SUKA ^^

Aurora tersenyum miris, merasa bersalah. "Mommy buatkan sekarang ya?" tawar Aurora dan Axelion mengangguk. Aurora membawa Axelion masuk, hendak menutup pintu. Namun....

"Daddy ... Come here! C'mon ... Daddy, c'mon!" panggil Axelion lemas.

Aurora terpekur, sementara Xavier hanya tersenyum tipis dan membelai puncak kepala Axelion. "Besok Daddy ke sini lagi. Sekarang Axelion bersama Mommy dulu ya?"

Axelion menggeleng cepat, matanya berkaca-kaca. "No! Daddy don't go," rengeknya. "Don't live a part. I wanna sleep with both of you!" pinta Axelion keras kepala.

_____________________________

She BELONGS to the Prince | Part 31 – Oh, my God!

https://youtu.be/RqcjBLMaWCg

Playlist : David Guetta ft Justin Bieber - 2U (The Victoria's Secret Angels Lip Sync)

Playlist kamu :

***

Perasaan Aurora campur aduk; marah, gusar, sesak, sekaligus ingin menangis. Aurora hanya diam, sementara Xavier menatapnya datar.

"Daddy ... please, Daddy," mohon Axelion lemas, mulai menangis. "Don't leave me like mommy. I'll miss you too, Daddy. Don't go anywhere," pintanya.

Aurora tidak menjawab, masih marah pada Xavier. Namun begitu Aurora menatap jendela, Aurora menghela napas. Badai makin deras. Semarah apapun dia pada lelaki ini, Aurora yang pasti akan khawatir sendiri jika Xavier nekat pergi.

"Masuklah, badainya deras," ucap Aurora datar.

Karena tidak kunjung ada jawaban, Aurora memperhatikan Xavier. Wajahnya sedikit pucat, garis-garis di bawah matanya juga kelihatan—terlihat lelah. Aurora mendesah. Xavier seperti orang yang belum tidur.

"Daddy...."

"Kau tidak mau?" ulang Aurora lagi, kali ini dengan mata memicing. "Jangan salah paham. Bukan berarti aku peduli padamu. Aku tidak masalah kau terkena badai di luar. Kau sakit juga apa peduliku? Aku tidak butuh kau, termasuk gingerbread dan chicken—" Ucapan Aurora menggantung, dia menggigit bibir bawah, tersadar sudah berkata terlalu banyak. "Aku menahanmu hanya karena Axelion. Sudah cukup aku membuatnya sedih. Peranmu di sini hanya Ayah Axelion, tidak lebih."

Aurora mendesah, hendak membawa Axelion masuk. Namun, baru saja dia beranjak, tangan Xavier menahannya. Aurora kaget.

"Tidak bisakah kau hanya melihatku?" tanya Xavier, pandangannya putus asa.

"Xavier...."

"Kenapa semua orang bisa menjadi alasanmu tersenyum, sementara aku tidak? Kenapa kau bisa tersenyum kepada siapapun dengan begitu mudah? Sedangkan aku, hanya Victoria yang bisa membuatku begitu," ucap Xavier, kata-katanya seperti mengingau.

Aurora menepis tangan Xavier. Wajah Xavier tampak pias. Pucat. Namun, tiba-tiba saja Aurora menyentuh keningnya. "Xavier ... kau juga sakit?" tanya Aurora panik sembari menyentuh kening Xavier. Panas sekali. Xavier mengeleng, langsung menurunkan tangan Aurora.

"X...."

"Urus saja Axelion. Katamu peranku hanya Ayahnya, untuk apa khawatir padaku?" tanya Xavier ketus.

Aurora hanya memutar matanya, merasa kesal sendiri.

"Gendong dia."

Xavier merengut. "Namun, dia kan ingin—"

"Bawa dia masuk, kau Ayahnya. Putramu ingin Crepes, aku tidak bisa membuatnya sembari menggendong Little Lion," perintah Aurora sembari memberikan Axelion pada Xavier.

Aurora membuka pintu lebar-lebar, pandangannya memerintah. Namun, terselip sedikit kekhawatiran. Apa dia khawatir?

Seketika benak Xavier menghangat. Rasa senang sedikit merayapinya. Xavier melangkah masuk sembari menggendong Axelion, lalu mengedarkan pandangan dan mendengus. Terlalu sempit. Ruang tamunya saja hanya seukuran kamar mandi; selera Victor benar-benar tidak normal.

Namun, Xavier menyimpan komentarnya karena tiba-tiba saja dia merasa pusing, matanya juga panas. Xavier memijit kening. Sepertinya Aurora benar, dia sakit.

"Jangan kemana-mana. Awas saja kalau kalian pergi," ucap Aurora tiba-tiba.

Xavier menoleh, Aurora masih berdiri beberapa langkah dari mereka. Belum beranjak. Terlihat masih mengawasi. Aurora menghela napas. "Pintu di ujung itu kamarku. Kau dan Axelion bisa beristirahat disana dulu jika memang mau," ujar Aurora lagi.

Xavier menaikkan satu alisnya dan menatap Aurora. Masih tidak percaya. Serius? Beberapa waktu yang lalu Aurora masih mengabaikan keberadaan Xavier, tapi sekarang dia menawarkan kamarnya?

Xavier buru-buru masuk ke kamar Aurora sebelum perempuan itu berubah pikiran, sementara Aurora pergi entah kemana. Lagi, Xavier berdecak, kamar ini sangat jauh jika dibandingkan kamar mereka. Namun, begitu Xavier membaringkan dirinya dan Axelion di tempat tidur, Xavier mengerang nikmat—rasanya seperti di surga—wangi Aurora ada di sekitarnya.

"Daddy! C'mon ... don't sleep, Daddy!" teriakan Axelion disertai tarikan di kemejanya membuat Xavier membuka mata. Dia nyaris terlelap. Ranjang ini terlalu nyaman.

"Hmm?"

"Can't we just bring Mommy back home? I don't like in here, it's too narrow. I can't breath," keluh Axelion dengan bibir maju. Xavier tertawa. Darah Leonidas pada Axelion sepertinya makin tidak bisa diragukan.

Akhirnya Xavier duduk, kemudian mengajak Axelion bermain, mengalihkan perhatiannya agar tidak mengajak pulang lagi. Lagipula Aurora juga tidak akan mau. Tidak lama kemudian Aurora masuk dengan sepiring Crepes dan semangkuk bubur. Aurora mengulurkan mangkuk bubur itu padanya, kemudian duduk di samping Axelion.

"Makanlah ini, minum obat, kemudian istirahatlah. Biar aku yang menemani Axelion," ucap Aurora datar. Namun, Xavier jadi senang sekali, dia suka Aurora memperhatikannya.

"Jadi kau sudah tidak marah lagi?" tanya Xavier, lalu dia memakan bubur buatan Aurora. Enak sekali. Rasanya Xavier bisa makan setiap hari hanya dengan ini.

Aurora mendengus. Ketus. "Memangnya kapan aku marah?"

Xavier menyeringai. "Lalu apa? Cemburu? Kau saja sampai pergi dari—"

"Aku pergi bukan karena aku marah, tapi karena harus!" ucap Aurora kesal. "Listen to me ... di sana memang tempat Axelion, tapi bukan tempatku. Seperti yang aku bilang tadi, posisimu di hidupku hanya sebagai Ayah Axelion, tidak lebih."

Xavier menggeram. "Apa aku harus menarikmu ke Gereja sekarang? Mengucapkan sumpah pernikahan kita? Jadi kau tidak—"

"Untuk apa semua itu jika kenyataannya kita tidak saling mencintai?" Aurora langsung memotong. "Sumpah pernikahan itu hal yang sakral. Berbeda dengan janji palsumu di Gereja tiga tahun lalu," ucap Aurora dengan nada bergetar. "Jadi ... tidak, terima kasih. Aku tidak butuh. Hanya orang bodoh yang masih mau menerima orang yang sudah menghancurkannya lagi."

Seketika ruangan menjadi hening, hanya ada suara ocehan Axelion. Aurora memberanikan diri melirik Xavier, lelaki itu tampak tertegun, dan rasa bersalah seketika menyelimuti Aurora. Namun, belum sempat Aurora bersuara, Xavier sudah menaruh mangkuk buburnya di atas nakas, rahangnya menegang—sekaipun lelaki itu tetap menyunggingkan senyum paksa tiap Axelion menyapa.

"Kau ... kau tidak memakan buburmu?" Aurora bertanya kaku.

Xavier menjawab tanpa meliriknya. "Tidak enak," jawab Xavier.

Aurora merengut kesal, hendak memprotes. Lagi. Xavier keburu berbicara. "Dan jangan sok peduli padaku lagi. Aku benci kepalsuan. Jangan membuatku bingung," ucap Xavier dingin.

Menggigit bibir bawahnya, Aurora menghembuskan napas panjang. Berusaha tenang. Entah kenapa ucapan Xavier membuatnya sesak. Setelah itu mereka berdua tidak lagi saling sapa. Tegang. Kaku. Hanya percakapan dengan Axelion yang membuat ruangan tidak sepi. Bocah kecil itu terus tertawa, matanya bahkan berbinar sejak dia disuapi, menggosok gigi bersama-sama, hingga akhirnya terlelap dengan nyaman di antara Xavier dan Aurora.

"Xavier ... kau mau kemana?" tanya Aurora sembari duduk. Xavier turun dari ranjang, terlihat seperti mencari sesuatu. "X..."

"Mantelku. Aku mau pulang," jawab Xavier ketus.

Aurora menggigit bibir bawah, melihat ke jendela. Badai masih belum berhenti, dia tidak mau Xavier pergi. Lelaki ini sedang sakit. "Tinggallah," ucap Aurora, dia sedikit manahan napas ketika Xavier menoleh—menatapnya lekat. "Bukan untukku. Aku takut besok pagi Axelion mencarimu. Aku tidak mau membuatnya sedih lagi." Aurora beralasan.

Empat detik.

Tujuh detik.

Dua belas detik.

Xavier masih diam, tapi setelah itu dia berjalan menjauh. Dada Aurora sesak. Aurora pikir Xavier akan pergi. Namun, begitu Aurora melihat Xavier membaringkan tubuhnya di sofa, Aurora menarik napas lega. Paling tidak lelaki itu masih di sini.

***

Sudah jam satu malam ketika Aurora membuka mata. Segera bangkit, Aurora duduk di ranjang, kemudian melihat sekeliling dan ... berhenti di Xavier yang terlelap di sofa—padahal biasanya lelaki itu tidak bisa tidur dengan lampu menyala. Sebenarnya Aurora belum tidur sama sekali, dia menunggu Xavier untuk tidur agar Aurora bisa mengecek keadaannya diam-diam.

Beberapa saat setelah yakin bahkan Xavier benar-benar terlelap, Aurora bangun dari ranjang dan duduk di sebelahnya, menatap wajah tampannya yang tertidur, kemudian Aurora mengulurkan tangan. Panas sekali. Seolah itu juga melukai Aurora, suhu tubuh Xavier yang mengkhawatirkan membuat Aurora ingin menangis.

Maka dari itu, sebelum suhu tubuh Xavier bertambah parah, Aurora buru-buru keluar, mengambil kompres demam, kemudian kembali dan menyimpannya di dahi Xavier.

Rasa dingin dari kompresan yang Aurora berikan membuat Xavier sedikit bergerak gelisah. Aurora menahan napas, sangat takut Xavier terbangun dan mendapati dia masih peduli. Tapi untungnya tidak, karena beberapa saat kemudian Xavier kembali tenang, sepertinya sakit benar-benar menelan kesadarannya.

Menghela napas lega, Aurora kemudian memberanikan diri mendekat. "I care about you, X. Jangan terluka. Aku sudah tidak bisa berpura-pura lebih dari ini," bisik Aurora di dekat telinga Xavier. Setelah itu dia mencium keningnya. Lama. Mengirimkan semua perasaan peduli milik Aurora. Hingga.... 

"Ara...."

Terkesiap saat melihat Xavier membuka mata, Aurora buru-buru menjauhkan wajah dan bergegas pergi. Namun, satu tangan Xavier memegang lengannya, dan dia segera duduk, membuat kompres di keningnya jatuh.

"Apa ini?" Xavier mengulum senyum, nada suaranya geli.

Aurora makin gelagapan. "Itu ... aku ... kau sakit, jadi aku ...."

Merasa tidak sanggup mengatasi kegugupannya, Aurora akhirnya menghempaskan tangan Xavier. Kemudian berjalan cepat dan duduk di tepi ranjang. Aurora menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, terus berdoa dalam hati—berharap Xavier tidak mendengar ucapannya.

Meskipun Aurora tidak melihat, Aurora masih bisa merasakan tatapan Xavier. Lelaki itu berjalan mendekati Aurora, sampai kemudian berdiri beberapa langkah darinya.

"Jangan menatapku seperti itu!" sentak Aurora ketus sembari memalingkan wajah, berharap wajah meronanya tidak terlihat. Aurora tidak percaya ini, apa yang sudah dia lakukan? Kenapa dia bodoh sekali?!

Sementara Aurora meratapi kebodohannya, tanpa Aurora sadari, Xavier beringsut mendekat, naik ke ranjang, kemudian membaringkan kepalanya di paha Aurora.

" Xavier...." Aurora tergagap.

"This is strange, you are my kryptonite. Then why am I getting sick whenever I'm far away from you?"

Aurora hanya bisa diam. Sama sekali tidak bisa berkata-kata. Xavier lalu berbaring miring, wajahnya berada tepat di depan perut Aurora, menatapnya seperti terpesona, kemudian Xavier mencium perutnya berkali-kali.

"X—Xavier, apa yang kau lakukan..." Aurora kehilangan napas. Rasanya dia ingin menghilang sekarang juga.

Tidak ada jawaban, Xavier juga tidak lagi bergerak. Aurora jadi takut. Apa lelaki ini pingsan?

Aurora mencoba memeriksa, mengulurkan jemarinya, menyentuh kepala Xavier. Xavier ternyata sudah terlelap. Seketika itu Aurora langsung menghela napasnya lega, merasa selamat sekaligus ... jengkel. Bisa-bisanya lelaki ini tidur setelah membuat jantungnya jumpalitan seperti ini.

Aurora lantas tersenyum kecil, sementara jemarinya mengelus rambut Xavier. Lembut tapi kaku, Aurora tidak bisa mendeskripsikan teksturnya. Sejak dulu memang seperti ini.

Entah sudah berapa lama waktu berlalu, Aurora sedikit mengantuk, kakinya juga mulai kebas. Namun, Aurora tidak ingin posisi ini berubah. Ahirnya dia menyandarkan keningnya ke kepala ranjang, menutup matanya sebentar dengan tangan terus mengelus kepala Xavier. Aurora tahu besok badannya pasti akan sakit semua—tapi dia tidak peduli. 

Akhirnya Aurora terbangun oleh suara berisik, tapi tidak sesuai perkiraan—tubuhnya tidak sakit, malah tempat tidurnya sangat nyaman. Aurora menatap ke sekeliling, lalu melihat tiga pramugari masuk ke kamar pesawat Xavier. Lagi. Aurora menutup matanya, masih mengantuk.

Satu menit.

Dua menit.

Aurora baru tersadar. Dia langsung terjaga dan duduk di atas ranjang ... pesawat. Tunggu, dia di pesawat?!

"Selamat pagi, Nyonya. Maaf kami membangunkan Anda. Kami sudah menyiapkan sarapan sekaligus vitamin An—"

"Aku dimana?" potong Aurora cepat.

Pramugari itu menunduk. "Anda ada di dalam pesawat Boeing 787-10, Nyonya. Kita sedang dalam perjalanan ke Indonesia."

Aurora menganga. "Wait ... Indonesia?"

Pramugari itu mengangguk lalu mulai menyiapkan meja kecil untuk sarapan Aurora. "Tujuan kita Solo. Tuan Xavier berkata akan membawa Nyonya dan Tuan muda Axelion bertemu Neneknya."

Aurora makin terkejut, teringat sesuatu. Tidak ... Xavier tidak mungkin membawanya dan Axelion menemui Eyang Uti. Menurut cerita Xavier dulu, wanita tua itu sangat kaku, galak, cerewet, cenderung kuno dan menjunjung tinggi nilai pernikahan. Xavier sangat takut padanya.

Aurora buru-buru turun dari ranjang, bergegas mencari Xavier. Gila! Apa Xavier tidak takut—dengan adanya Axelion—mereka akan dipaksa menikah?! Oh, my God! 

TO BE CONTINUED.

_________________________

HOPE YOU LIKE IT!

JANGAN LUPA KOMEN, VOTE + SHARE KE TEMAN KALIAN!

Komen emoticon kalian untuk part ini ^^

Isi tenaga Dy dengan komen + vote yang banyak yaaaaaaa.

Tim Xavier / Ara ?

Tim Happy Ending atau Tim Sad Ending? Wkwkkw

Akhirnya Dy bisa ngehela napas lega. Part neraka udah hampir lewat huhu. Pengen bikin yang manis :') 

See you soon! Sayang kalian.

Dy Putina de Alger Obelia

Istri sah Sean O'Pry sekaligus anak Claude de Alger Obelia.

Jangan lupa follow IG :

@dyah_ayu28

@the.angels05

@xavier.leonidas1

@aurora.regina1

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro