Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

She BELONGS to the Prince | Part 30 - Don't go

XAVIER UPDATE!

Kalian voters keberapa?????

JANGAN LUPA TEKAN VOTE + KOMEN YANG BANYAK!!

Happy reading! Semoga sukaaa!

This part is dedicated for pluviophille18 . Next part buat salah satu tim Ara wkwkw. 

Tidak ... aku hanya ingin bertanya padamu," potong Javier sembari menatap Xavier lekat-lekat. "Apa yang kau dapat dari menguntit Aurora seharian, sementara cucuku kau tinggalkan?"

Crystal terbelalak kaget, kemudian menatap Xavier jengkel. Sementara Xavier mengepalkan tangan.

"Xavier kau—"

"Menguntitnya? Apa kau gila? Untuk apa aku menguntit perempuan yang sedang asyik berkencan dengan lelaki—" Kalimat Xavier menggantung, dan tawa mengejek Crystal mengudara. Entah untuk menertawakan kelakuan Xavier, atau Xavier yang tanpa sadar menunjukkan belangnya.

***

________________________

She BELONGS to the Prince | Part 30 – Don't go.

***

Playlist : One Direction – Strong

https://youtu.be/RB0YRrTGH8c

Playlist kamu :

***

"Kau benar-benar bodoh," ejek Crystal sembari menggeleng pelan. "Daripada menguntit, kau seharusnya mengatakan Axelion sakit kemudian membawanya pulang. Aku yakin—XAVIER!" Crystal berteriak, alih-alih mendengarkannya, Xavier malah pergi.

"Apa Vee harus menikah dengan lelaki lain dulu, baru kau akan menjemputnya?! Mengacaukan pestanya di detik-detik terakhir?" teriak Crystal lagi. Kali ini langkah Xavier terhenti tanpa menoleh, tapi tangannya terkepal. Crystal tertawa mengejek. "Hmm ... aku lupa, bukankah itu memang kebiasaanmu? Dulu kau juga pernah berkata tidak sudi mengajak Vee ke prom night, tapi begitu ada lelaki lain yang mengajakknya, kau malah menculik—"

"Crystal!" geram Xavier.

Crystal sedikit mengangkat dagu, tanda dia tidak takut. "What? What? Apa aku salah?"

Xavier hanya diam.

"Hentikan ini, X. Lihat umur kalian! Aku tidak akan ikut campur jika keadaan kalian masih seperti dulu. Tapi sekarang ada Axelion, dia yang menjadi korban!" ucap Crystal kesal.

Xavier hanya mengembuskan napas kasar, kemudian langsung menaiki tangga tanpa mengatakan apa-apa. Crystal memanggilnya lagi, tapi Xavier tidak peduli. Awalnya Xavier berniat langsung ke kamarnya, tapi begitu dia tiba di persimpangan lorong, dia meragu. Akhirnya Xavier berbelok dan menuju kamar Axelion.

Kamar Axelion selalu terang. Xavier mengedarkan pandangan dan menemukan Axelion tertidur di ranjang bayi besarnya, meringkuk sembari memeluk boneka. Margareth dan Anggy juga ada di sana.

"Pergilah," perintah Xavier kepada Margareth. Margareth mengangguk dan Xavier bergegas duduk di tepi ranjang Axelion, mengelus pucak kepala Axelion—tubuhnya sangat panas—sementara Margareth menutup pintu.

"Tubuhnya masih panas. Tapi masih lebih baik daripada tadi siang," ucap Anggy.

Axelion bergerak gelisah. "Mommy ... don't leave me," rengek Axelion dalam tidurnya.

Xavier berdecak. "Aku bersumpah akan menuntut dokter-dokter itu jika Axelion tidak juga sembuh. Kerja mereka tidak becus!"

"Dokternya yang tidak becus, atau kau yang berpura-pura tidak mengetahui apa yang putramu mau?" ucap Anggy serius.

Rahang Xavier mengeras, tangannya terkepal. Di saat yang sama Axelion terjaga, matanya menatap kesekeliling sebelum menangis keras—memanggil-manggil Mommynya. Xavier dengan cekatan menggedong Axelion, membisikkan kata penenang yang tidak dihiraukan bocah lelaki itu.

"Where is my Mommy, Dad? I miss my Mommy."

"Xavier—"

"Axelion akan membaik besok. Dia tidak butuh Aurora, dia hanya—"

"Little bear, Axelion masih kecil. Dia tidak sepertimu yang bisa menjilati lukanya sendiri. Dia merindukan Ibunya, pertemukan mereka."

"Untuk apa aku memberikan Axelion pada perempuan yang tidak peduli? Jika Aurora juga merindukan Axelion, dia pasti sudah disini."

"Setelah kau menyuruhnya pergi?"

Xavier kesal mendengarnya. "Aku hanya memberikan apa yang dia mau. Bukankah selama ini sekuat apapun aku menahannya—hanya itu yang dia mau? Dia ingin pergi dariku. Aurora bahkan menarik Axelion dalam masalah kami!"

"Untuk itu dia juga salah, tapi Xavier...." Anggy menepuk lengan Xavier, tersenyum menenangkan. "Menahannya terus bersamamu atau membuatnya yakin untuk bertahan bersamamu—itu dua hal yang berbeda. Pilihan pertama akan membuat kalian sama-sama tersiksa, tapi pilihan kedua akan membuat kalian berbagi beban bersama. Tanyakan pada hatimu, apa kau sudah memilih hal yang benar?"

"Aku—"

"I miss my Mommy, Daddy...," isak Axelion lagi.

Xavier terdiam, kalimatnya menggantung sementara Anggy tersenyum. Anggy lalu menepuk pundak Xavier . "Cepat bawa dia ke Ibunya. Bukankah kau juga merindukan Aurora?"

"Kata siapa?" dengus Xavier kesal. "Aku akan menyuruh pelayan menelpon dokter lagi. Axelion akan sembuh, aku pastikan itu."

***

VICTOR'S Apartemen, Barcelona—Spain | 08:25 AM

"Morning...."

Aurora terkejut, Dimitry sudah ada di balik pintu. Aurora memang langsung membuka pintu apartemen begitu bell berbunyi—tanpa melihat layar interkom—karena Stacey bilang dia sudah dekat. "Cokelat panas? Aku menemukan orang berjualan ketika berjalan-jalan. Aku pikir kau suka ini," ucap Dimitry sembari tersenyum lebar.

Aurora ikut tersenyum. "Hmm ... terima kasih," ucap Aurora sembari mengambil tumbler cokelat yang diulurkan Dimitry. Kemudian Aurora menoleh ke belakang tubuhnya, melirik apartemen Victor. Victor sudah pergi pagi-pagi sekali. Apa tidak apa-apa dia mengajak Dimitry ke dalam?

"Kau mau masuk?" tanya Aurora ragu-ragu.

Dimitry langsung menggeleng. "Tidak ... tidak, mungkin lain kali. Satu jam lagi aku harus menghadiri konferensi dengan perwakilan Uni Eropa," tolak Dimitry.

"Ah, yang kau ceritakan kemarin itu?"

Dimitry mengangguk. Kemarin Dimitry memang sempat bercerita tentang tugas-tugasnya di sini, termasuk agendanya menghadiri konferensi International tentang hak dan kesejahteraan penyandang cacat di Uni Eropa dan Rusia. "Kau tahu? Aku sangat senang," ucap Dimity masih dengan senyuman.

Aurora mengangkat satu alisnya. "Senang dengan konferensinya?"

"Itu juga. Tapi tidak ... aku senang melihatmu perlahan mulai terbuka padaku," ucap Dimitry sembari mengambil satu langkah maju. "Dulu kau terasa sangat jauh. Apa sekarang aku boleh berharap?" tanya Dimitry sembari menyelipkan untaian rambut Aurora ke belakang telinga.

Aurora menelan ludah, merasa serba salah. Tidak menyangka sikap ramahnya akan Dimitry artikan lain. Untungnya di saat yang sama Stacey datang.

"Aurora...," panggil Stacey.

Aurora menoleh sembari mengambil satu langkah mundur. Sementara Stacey melihatnya dan Dimitry bergantian. Tampak sedikit terkejut. "Wah, ada Mr. Romanov juga?"

Dimitry mengangguk. "Miss. Mikhelson," sapa Dimitry sembari tersenyum sopan. "Senang bertemu Anda disini."

"Dimitry tinggal di apartemen sebelah. Dia ada tugas negara." Aurora langsung menjelaskan, terlebih Stacey sudah menatapnya penasaran. Namun, ucapannya malah dibalas Stacey dengan senyum mengoda.

"Ah, I see... Jadi apa aku mengganggu kalian?"

Aurora baru membuka mulut ketika Dimitry menyahut lebih dulu. "Tidak, tentu saja tidak," ujar Dimitry sembari melirik arlojinya. "Sepertinya saya harus pergi. Senang bertemu Anda Miss. Mikhailson, salamkan salam Saya pada Ayah Anda," lanjut Dimitry sembari menatap Stacey dan Aurora bergantian—kemudian berhenti di Aurora—menatapnya lekat. Aurora balas menatapnya.

"See you, Aurora," ucap Dimitry sembari tersenyum, kemudian pergi dari sana.

"Kau. Harus. Menjelaskannya. Padaku!" pekik Stacey begitu mereka masuk ke apartemen. Stacey menaruh paperbag dengan logo cokelat terkenal di atas meja, kemudian berbalik—bersedekap sembari menatap Aurora tertarik.

"Kau dan Mr. Romanov—"

"Apa itu?" Aurora menunjuk paperbag yang dibawa Stacey, berusaha mengalihkan pembicaraan.

Stacey mendengus sebal. "Cokelat untukmu, dari Papa dan Mama. Sebenarnya aku mau memberikannya kemarin, tapi kau tidak ada." Orang tua Stacey memang datang ke Spanyol pasca mendengar Stacey terluka. Leonard Mikhelson—billionaire asal Rusia itu memang terkenal sangat protektif pada putrinya.

"Kapan kau datang? Kenapa tidak memberitahuku?"

Stacey mengangguk, tapi pandangannya menjadi muram. "Aku bertemu kekasih Victor. Karena itu aku pulang." Aurora mengerutkan kening, kemarin dia memang terus bersama Dimitry sampai sore, dan tidak ada siapa-siapa begitu dia kembali.

"Kekasih Victor? Siapa?"

"Revina Angelo. Siapa lagi?" dengus Stacey sebal.

"Wait... bukankah itu dokter Victor? Jangan bercanda, tidak mungkin mereka—"

"Victor sendiri yang mengatakan padaku dulu! Dan ya, dia memang dokter. Revina bilang dia disuruh Victor memeriksamu, karena itu aku pulang saja. Aku sebal, seperti tidak ada dokter lain saja," keluh Stacey dan kernyitan kening Aurora makin dalam. Seperti ada yang janggal ... bukankah kemarin Victor juga sudah mendatangkan banyak dokter untuknya?

Aurora hendak mengatakan itu, tapi ponsel Stacey berdering lebih dulu. "Ish! Kenapa dia sudah menelpon?" keluh Stacey, tapi dia juga buru-buru mengangkat ponselnya.

"Iya Mama?" sapa Stacey, suaranya dibuat lembut.

"Kau sudah selesai? Sopir kiriman Mama sudah menunggu di bawah." Sayup-sayup balasan terdengar. Stacey merengut, sementara Aurora terkekeh geli.

"Tapi aku baru sampai...."

"Kau sendiri yang berkata hanya sebentar. Tanganmu juga belum sembuh. Papa dan Mama ingin—"

"Iya... iya, aku tahu. Hari ini ada badai. Aku pulang sekarang," dengus Stacey sembari mematikan panggilan. "Kau lihat? Terkutuk Victor yang sudah mengadu pada mereka!" keluh Stacey sambil bangkit.

Aurora terkekeh geli, dia mengantarkan Stacey sampai ke pintu, kemudian menutup pintunya. Seketika ruangan hening, Aurora ingin menangis, teringat jika biasanya dia sudah menemani Axelion. Aurora menghela napas panjang, sebenarnya bisa saja dia menghabiskan waktu di luar seperti kemarin, tapi Aurora sangat malas, entah kenapa sekarang tubuhnya mudah lelah.

Akhirnya Aurora memutuskan melanjutkan lukisannya yang kemarin. Tanpa sadar banyak jam terlewat. Aurora tersenyum melihat lukisannya hampir jadi, apalagi wajah Axelion terlihat lucu—hanya kurang warna biru di bagian mata. Namun, Aurora memutuskan berhenti. Merasa kesal karena harus memberikan warna biru. Ia pun menaruh kanvasnya dan tidur.

***

Jam tujuh lewat, Aurora terbangun karena lapar. Dia juga tidak menyangka akan tertidur selama ini. Apalagi begitu melihat ke luar, badai salju terlihat sangat parah. Aurora menggigit bibir bawah, merasa khawatir. Victor masih belum pulang, Axelion juga takut badai, apa bocah kecil itu menangis?

Berusaha mengenyahkan rasa khawatirnya, Aurora akhirnya mengirim pesan kepada Victor dan Crystal. Belum dibalas. Jadi Aurora mandi lebih dulu, kemudian bersiap memasak makan malam begitu dia selesai. Aurora baru menjerang panci berisi air begitu ponselnya berbunyi. Pesan dari Victor.

Victor Petrov : Jangan khawatir. Aku baik-baik saja. Tapi sepertinya aku akan menginap di kantor.

Victor Petrov : Badainya deras sekali. Aku dengar banyak jalan-jalan yang ditutup.

Aurora menghela napas panjang, hendak membalas pesan Victor ketika ponselnya berbunyi lagi. Kali ini Crystal yang menelponnya.

"Crys ... bagaimana Axelion? Dia tidak apa-apa kan? Apa dia menangis? Aku agak khawatir. Axelion takut badai," cerca Aurora langung. Crystal tidak kunjung menjawab, membuat Aurora makin resah.

"Crys...."

Helaan napas terdengar lebih dulu. "Maafkan aku, Vee. Sebenarnya sudah sejak kemarin Axelion sakit."

Aurora reflek menutup mulutnya. Terkejut. Matanya mulai berkaca-kaca. "A—apa? Sakit apa? Bagaimana dia sekarang?"

"Axelion demam. Badannya panas sejak kemarin. Tampaknya makin parah, dia tidak berhenti menangis dari sore. Sekarang Xavier membawanya. Sepertinya ke rumah sakit. Aku ingin ikut, tapi Xavier melarangku."

"Astaga, Crys! Kenapa kau tidak menghubungiku! Kemana? Rumah sakit apa?"

"Tunggu, aku akan menghubungi Xavier dulu," ucap Crystal sebelum menutup telponnya.

Menghela napas panjang, Aurora mencengkram ponselnya, berusaha menahan emosi. Mata Auora berkaca-kaca. Dia berjalan mondar-mandir, menunggu telpon dari Crystal lagi dengan tidak sabar. Akhirnya Aurora memutuskan untuk segera bersiap-siap; mematikan kompor, mengambil mantel dan ponselnya, kemudian menghubungi taksi. Namun, tidak ada taksi yang tersedia. Victor benar, semua jalanan sudah ditutup.

Seketika tangis Aurora pecah. Ini salah Xavier! Lelaki itu benar-benar keterlaluan. Putranya sakit, dan Aurora baru diberi tahu sekarang?!

Lalu, bell apartemen berbunyi. Apa mungkin Victor? Aurora lansung menghapus air matanya, melangkah cepat ke pintu dan membukanya. Di detik selanjutnya Aruora membatu. 

Xavier berdiri di depannya, menggendong Axelion yang menatapnya lesu.

"Mommy... Don't leave me. I miss you," rengek Axelion sembari mengulurkan kedua tangannya. Tampak tak bertenaga bahkan hanya untuk sekedar menangis. Sontak, tangis Aurora langsung pecah. Dia buru-buru mengambil Axelion dan menggendongnya.

"Little Lion... I miss you too. Kenapa kau bisa sakit?" ucap Aurora sembari mengecupi puncak kepala Axelion, sepenuhnya melupakan jika Xavier masih ada di sini hingga lelaki itu bersuara.

"Dia tidak mau makan."

"Benarkah?" tanya Aurora pada Axelion.

Axelion mengangguk. "I just want Moommy's crepes."

Auorora tersenyum miris, merasa bersalah. "Mommy buatkan sekarang ya?" tawar Aurora dan Axelion mengangguk. Aurora membawa Axelion masuk, hendak menutup pintu. Namun....

"Daddy ... Come here! C'mon... Daddy, c'mon...," panggil Axelion lemas.

Aurora terpekur, sementara Xavier hanya tersenyum tipis dan membelai puncak kepala Axelion. "Besok Daddy ke sini lagi. Sekarang Axelion bersama Mommy dulu ya."

Axelion menggeleng cepat, matanya berkaca-kaca. "No! Daddy don't go," rengeknya. "Don't live a part. I wanna sleep with both of you!" pinta Axelion keras kepala.

TO BE CONTINUED.

___________________

HOPE YOU LIKE IT!

JANGAN LUPA, VOTE, KOMEN & SHARE KE TEMAN KALIAN!!!

Emoticon untuk part ini?

Dy lagi ngetik part 31, baru ketulis sekitar 25%. Di usahain besok/lusa udah di update. Maaf telat sehari, Dy baru kemarin balik ke kosan—capek dan akhirnya ketiduran—lagian semalem belum bisa fokus banget. Dy kepikiran Claude sama Athi wkwkw. Bukannya mikirin alur Xavier, Dy malah kepikiran alur kalnjutan itu gegara digantungin di season dua T.T Sumpah deh, ternyata gitu ya rasanya dibayang-bayangin cerita wkwkwk.

Btw, Dy malak 20K votes dong buat part ini. Biar votesnya seimbang sama yang lain.

SPOILER NEXT PART :

"Jangan menatapku seperti itu," ucap Aurora sembari memalingkan wajah. Xavier beringsut mendekat, kemudian membaringkan kepalanya di paha Aurora. Aurora kaget. "Xavier...."

"This is strange, you are my kryptonite. Then why am I getting sick whenever I'm far away from you?"

#LeonidasSquad! Udah siap Dy bawa jalan-jalan ke Indonesia nggak? Itu tuh, yang kata Javier negara antah berantah Wkwkkwkwkw

See you soon! Sayang kalian :*

With Love

Dy Putina de Alger Obelia

Istri sah Sean O'Opry, sekaligus anak Claude de Alger Obelia

Jangan lupa follow IG :

@dyah_ayu28

@the.angels05

@xavier.leonidas1

@aurora.regina1

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro