Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

She BELONGS to the Prince | Part 29 - I Do (NOT) Care

XAVIER UPDATE!

Kalian voters keberapa?????

JANGAN LUPA TEKAN VOTE + KOMEN YANG BANYAK!!

BTW INI 2000 KATA LEBIH. YANG BILANG KURANG—HAYO, KITA TAWURAN :')

Happy reading! Semoga sukaaa!

Tim Xavier/ Tim Ara udah siap war? Wkwkkwkw

Aurora tersenyum tipis. "Pergilah. Victor benar, aku ingin istirahat," putus Aurora.

Stacey masih menatap Aurora ragu-ragu, tapi kemudian dia bergegas menyusul Victor. Aurora terus tersenyum begitu mereka menghilang di balik pintu. Namun ... begitu dia masuk ke kamar yang ditunjuk Victor, senyum Aurora pudar. Aurora menyandarkan tubuhnya di pintu, lalu menutup mata. Membiarkan air matanya jatuh.

Dia tadi berbohong. Karena nyatanya, dia tidak baik-baik saja.

________________________

She BELONGS to the Prince | Part 29 – I Do (NOT) Care.

***

Playlist : Rachel Platten - Stand By You (Official Music Video)

https://youtu.be/-urmcz2RSwI

Playlist kamu :

***

Aurora mengejan. Sudah pembukaan ke sepuluh, Aurora juga dapat merasakan kalau kepala bayinya sudah keluar. Sakit sekali ... Aurora tidak tahan. Dia merasa ingin menyerah. Namun, tiba-tiba saja seorang perawat lelaki berbaju hijau dengan masker menggenggam tangannya. Aurora menoleh dan langsung bersitatap dengan mata biru yang menyorot takut. Biru, seperti Xavier. Seketika tangis Aurora pecah. Dia tidak mau sendirian, dia ingin Xavier juga ada di sini....

"Bertahanlah. Kau bisa. Kau pasti bisa!" ucap perawat itu panik. Bahkan suaranya juga mirip Xavier.

Aurora menggeleng, berusaha mengenyahkan bayangan Xavier dalam kepalanya. Namun disaat yang sama Aurora balas menggenggam tangan perawat itu. Mencengkramnya tiap kali kesakitan mendera. Wajah Aurora sudah penuh keringat. Lagi. Aurora mengejan disertai teriakan keras, kali ini bersamaan dengan suara tangis bayi.

Suara tangis bayi itu terasa begitu indah, rasanya semua sakit yang dia rasakan langsung hilang. Tubuh Aurora lemas, Aurora melirik bayi yang ditaruh di dadanya, sementara perawat yang tadi memegang tangannya disuruh dokter memotong tali plasenta bayinya. "Selamat! Kau mendapatkan putra yang sangat sehat," ucap sang dokter.

Aurora menangis bahagia, dia masih tidak percaya sudah melahirkan anak pertamanya.

***

VICTOR'S Apartement, Barcelona – Spain | 09:05 AM

Suara ponsel mengeluarkan Aurora dari lamunan. Wajahnya basah. Lagi. Aurora menangis tanpa sadar. Aurora bergegas menghapus air matanya kasar sembari menatap kanvas di depannya—masih kosong—hanya ada sketsa potret Axelion.

Aurora mengambil ponselnya di atas meja. Kemudian terpekur, layar ponselnya menampilkan fotonya bersama Xavier dan Axelion ketika menghias pohon natal beberapa hari yang lalu; tampak bahagia. Seketika jantung Aurora serasa diremas. Apa jika seandainya tiga tahun lalu dia tidak pergi, keadaanya akan berbeda? Ah, tidak ... apa jika seandainya kemarin dia tidak gegabah, mereka masih bisa tertawa bersama?

Mengabaikan itu, Aurora bergegas membuka pesan dari Victor. Lelaki itu memang berangkat pagi-pagi sekali setelah semalam pulang larut.

Victor Petrov : Sepertinya aku nanti pulang malam lagi, masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan.

Victor Petrov : Kau tidak apa-apa kan?

Victor Petrov : Aku juga sudah menyuruh dokter ke apartemen untuk memeriksamu.

Aurora menghela napas panjang, hendak membalas pesan Victor ketika bell apartemen berbunyi. Aurora bergegas membuka pintu. Pasti itu dokter yang Victor maksud, karena Stacey juga sudah mengabari jika dia baru bisa datang nanti siang.

Namun, betapa kagetnya Aurora begitu melihat serombongan dokter di balik pintu. Satu... dua... delapan! Aurora menganga.

Salah satu dokter lelaki di hadapannya langsung menyapa. "Selamat siang, Nyonya. Kami tim dokter yang diperintahkan memeriksa Anda," ucap dokter itu.

"Se ... sebanyak ini?" Aurora bertanya bingung.

"Benar, Nyonya. Saya dr. Andrew selaku dokter kulit, disamping saya dokter Natalie sebagai dokter spesialis saraf, dr. Hannah sebagai ginekologi, dr. Elijah—"

Aurora memijit kening ketika dokter itu menjelaskan satu persatu dokter yang datang. Gila! Semuanya spesialis. Victor bercanda? Apa lelaki itu ingin menjadikan apartemennya klinik dadakan?!

Untungnya Aurora segera pulih dari kekagetannya dan membiarkan para dokter itu masuk ke apartemen Victor. Aurora duduk tegak di ranjang, menurut saja begitu satu persatu dari mereka mulai memeriksa. Aurora juga mencoba menghubungi Victor berkali-kali, tapi nada sambungnya terus berakhir tanpa dijawab—sepertinya dia benar-benar sibuk.

"Saya sudah meninggalkan salep untuk luka Anda. Jika bekasnya masih ada, saya akan jadwalkan tanggal operasi untuk Anda."

"Vitamin-vitamin Anda beserta dosisnya sudah saya taruh di meja, saya juga sudah menaruh kartu nama di sana—jika Anda memiliki keluhan dengan tubuh Anda seperti muntah atau yang lain, Anda bisa menghubungi saya."

"Untuk saraf Anda—"

Aurora hanya bisa mengangguk ketika para dokter itu mengatakan hasil analisis, petuah, hingga janji temu mereka selanjutnya, lalu merasa pusing—terlalu banyak yang harus diingat—sepertinya pemeriksaan ini malah membuatnya sakit.

Tiga puluh menit kemudian barulah Aurora terbebas, Aurora menutup pintu apartment dan bersandar di sana. Para dokter itu sudah pergi dan dalam sekejap keadaan menjadi hening. Dada Aurora langsung sesak, keheningan ini hanya mengingatkan Aurora pada masalahnya. Sebelum keheningan itu membunuh Aurora, Aurora bergegas menghubungi taksi, kemudian mengambil mantel dan tasnya. Aurora sempat melihat beberapa koper di depan pintu unit apartemen yang berseberangan dengan apartemen Victor begitu Aurora keluar, seperti ada yang baru pindah.

Aurora berniat mengabaikan, langsung berjalan menuju lift ketika pintu apartemen itu terbuka."Aurora Petrova ...?" tanya suara berat itu ragu-ragu.

Aurora menoleh, sedikit terkejut. Dimitry Romanov berdiri di hadapannya, sedikit mengerutkan kening, kemudian tersenyum begitu melihatnya. "Aku pikir aku salah. Ternyata memang benar kau."

"Mr. Romanov. Kenapa Anda ada disini?"

xDimitry menunjuk pintu apartemen di belakangnya. "Aku mendapat tugas di Barcelona selama beberapa minggu ke depan, dan kantor memberiku tempat ini. Aku sempat mendengar Victor juga tinggal di sini, tapi aku sama sekali tidak menduga akan bertemu kau yang sedang berkunjung. Ngomong-ngomong dimana Victor?"

Aurora tersenyum tipis, berusaha ramah. "Victor di kantornya."

"Lalu?"

"Aku memang tinggal di sini. Bersama Victor," jawab Aurora, dia berniat mengakhir percakapan mereka dan pergi. Namun, Dimitry kembali bersuara.

"Wait ... Kau tidak tinggal bersama Xavier Leonidas lagi?"

Aurora tersenyum masam, kemudian menggeleng. "Tidak, Mr. Romanov. Kami sudah berpisah," jawab Aurora.

Dimitry terdiam sebentar, lalu bergumam. "Kalian? Leonidas itu melepasmu bahkan setelah membuatku babak belur?" gumam Dimitry tidak jelas.

"Apa kau bilang?" Aurora mengernyit, hendak bertanya. Namun, Dimitry buru-buru menggeleng dan tersenyum lebar.

"Tidak apa-apa, lupakan saja," ucap Dimitry.

Aurora memperhatikan Dimitry. Sekilas lelaki ini tampak dingin, tapi senyumnya ramah. Kepribadiannya menyenangkan, dia juga tampan sekalipun tidak setampan Xavier. Sayangnya Xavier sangat jarang tersenyum, kerapkali sinis. Tunggu, kenapa Aurora malah membanding-bandingan lelaki ini dengan Xavier?!

Aurora mengembuskan napas pelan, dia harus berhenti memikirkan Xavier. Mereka sudah berakhir.

"Kalau begitu aku pergi dulu," pamit Aurora.

"Apa kau sedang sibuk?" sahut Dimitry cepat.

Aurora menggeleng. "Tidak. Aku hanya ingin pergi ke Cafe langgananku dulu."

Wajah Dimitry langsung sumringah. "Bolehkah aku ikut?" tanya Dimitry. Aurora hendak menolak, tapi Dimitry menatapnya penuh permohonan. "Sekarang dingin sekali. Aku ingin kopi, tapi belum tahu Cafe yang enak di sini."

***

Satan's Coffee Corner, Barcelona, Barcelona—Spain | 10:15 AM

"Jika bukan karenamu, aku pasti tidak akan menemukan Cafe ini. Apalagi namanya ... apa tidak ada nama yang lebih baik daripada Satan?" ucap Dimitry sembari tersenyum.

Aurora ikut tersenyum. "Seseorang mengajakku ke sini dulu. Dan ... ya, dia memang sangat suka menjelajah, meninggalkan mobilnya di pinggir jalan, lalu menelpon jemputan. Setelah itu dia akan berkata mobilnya hilang, dan biasanya dua atau tiga minggu kemudian, mobilnya akan ditemukan," ucap Aurora sembari tertawa geli.

Dimitry mengamatinya sembari menyesap kopinya sesekali. "Kau terdengar seperti memiliki hubungan spesial dengannya. Caramu membicarakannya seperti penuh cinta."

Aurora terbatuk, tersedak coklat hangatnya. Namun, dia langsung menggeleng. "Tidak... tidak... dia hanya teman lama."

"Teman lama?"

"Ya, teman SHSku dulu. Lebih tepatnya, dia kakak tingkatku dulu," ralat Aurora sembari menatap sekitar.

Satan's Coffe Corner tampak sepi, Cafe ini memang sedikit sulit ditemukan, letaknya ada di antara bangunan tinggi distrik Gotic. Namun, Cafe ini luar biasa, ruangannya terang, tempatnya mengambil alih seluruh sudut bangunan dengan jendela-jendela yang menghadap ke kedua jalan. Barnya juga dibuka untuk umum, tapi yang paling Aurora sukai disini adalah coklat hangat dan juga croissantnya; dulu Aurora selalu memesan ini sedangkan Xavier memesan kopi.

Aurora menggeleng pelan. Lagi. Kenapa dia terus memikirkan Xavier?

"Well, terima kasih sudah mau mengajakku ke sini."

"Your welcome Mr. Romanov."

Dimitry mengernyit. "Tidak. Jangan panggil aku seperti itu. Dimitry saja."

"Tapi—"

"Kenapa? Apa masih ada yang cemburu? Menyergapku dengan belasan bodyguard lagi?" tanya Dimitry sembari tersenyum menggoda.

Mau tidak mau wajah Aurora merona, teringat tingkah Xavier yang berlebihan. "Tentu saja tidak. Kami tidak memiliki hubungan apa-apa. Xavier juga sudah bertunangan."

"Hmm ... yang aku lihat tidak begitu," ucap Dimitry memastikan.

Aurora mengembuskan napas pelan. "Kami tidak memiliki hubungan apa-apa, sekalipun Xavier harus masuk ke hidupku, itu hanya karena dia Ayah dari Axelion. Selebihnya tidak ada." Aurora tidak tahu kenapa dia berusaha menjelaskan, sepertinya untuk meyakinkan dirinya sendiri.

Dimitry menatap Aurora dengan jenaka. "Jadi ... berarti kau sudah bisa memanggilku Dimitry?"

"Kenapa kau bersikeras?" tanya Aurora.

"Cause I like you," jawab Dimitry sembari tersenyum. "Kau tahu ... awalnya aku mendekatimu karena saran Kakekmu. Kau tahu sendiri bagaimana koalisi bermain," lanjut Dimitry. Mata coklatnya terkunci pada Aurora. "Tapi setelah itu aku melihatmu sebagai dirimu sendiri. Bukan Aurora Petrova dari keluarga Petrov yang aku butuhkan. Kau hanya Aurora dengan kepribadian yang membuatku terpesona," ucap Dimitry sembari mengangkat tangan, memanggil pelayan.

Aurora tersenyum tipis. "Well, kau bisa saja."

"Aku serius!" sahut Dimitry. "Biasanya orang yang sudah terlahir dengan sendok emas sepertimu sangat jarang memedulikan kalangan bawah. Jikapun iya, itu biasanya hanya untuk menaikkan citra mereka. Tapi kau tidak ... aku bisa melihat binar gembira di matamu tiap kita menghadiri kegiatan bakti sosial. Ekspresimu juga tidak dibuat-buat. Ketika kau bosan, kau juga akan menunjukkannya."

Aurora hanya mengeleng pelan, tidak tahu harus merespon bagaimana. Untungnya di saat yang sama pelayan datang, dia menanyakan apa yang Dimitry mau—dan Dimitry mengatakan dia ingin Croissant seperti Aurora.

"Aku ingin tahu rasanya hingga kau memakannya lahap. Sepertinya enak," ucap Dimitry.

Aurora mengangkat satu alisnya. "Apa boleh buat, aku memang suka makan," ujar Aurora dan Dimitry tertawa.

Aurora melanjutkan melahap makanannya dengan nikmat. Entah karena croissant ini memang enak, atau karena dia benar-benar lapar. Sejak semalam Aurora memang belum makan yang benar—tidak berselera. Aurora terus terbayang cookies buatan Xavier yang belum dia sentuh.

Lagi. Aurora menggeleng. Kenapa dia terus memikirkan lelaki itu?

Pesanan Dimitry datang tidak lama kemudian.

"Ayo kita rasakan ... apa ini benar-benar enak?" kekeh Dimitry menggoda.

Aurora belum sempat menjawab ketika dia melihat seseorang melintasi jalan dari jendela. Xavier? Aurora mengernyit, buru-buru menaruh makanannya dan keluar tanpa memedulikan panggilan Dimitry. Aurora mengedarkan pandangan, lalu mendapati orang bermantel itu menghilang di belokan depan yang menuju jalan besar.

Aurora mempercepat langkahnya, hendak menyusul, sekadar memastikan orang itu Xavier atau bukan. Namun begitu dia sampai di ujung jalan, orang itu sudah tidak kelihatan. Sebuah Lamborghini kuning terparkir beberapa meter dari Aurora. Aurora mengernyit, mengamati plat nomor Lamborghini itu, semua mobil Xavier selalu memakai plat L E O N I D A S –yang tidak ada di mobil itu. Aurora menghela napas panjang, sepertinya dia terlalu menghayal.

"Ada apa?" tiba-tiba saja Dimitry sudah berada di belakang Aurora, menatap khawatir.

Aurora menggeleng, menoleh pada Dimitry. "Tidak ada. Aku hanya seperti melihat seseorang."

"Kau terburu-buru sekali, bahkan sampai meninggalkan mantelmu. Aku pikir ada yang salah," ucap Dimitry sembari menunjuk mantel yang Aurora bawa. Aurora tersenyum tipis, menggeleng lagi, kemudian mengambil mantelnya dari Dimitry. Dimitry bersikeras membantu Aurora memakai mantelnya.

"Setelah ini kau kemana?"

Aurora mendongak dan mendapati Dimitry sedang manatapnya hangat.

"Tidak tahu. Sepertinya berjalan-jalan dulu, perasaanku sedang tidak baik."

"Bolehkah aku ikut?" tanya Dimitry lagi. "Aku ingin berjalan-jalan tapi tidak tahu kemana. Ini pertama kalinya aku datang ke Barcelona."

Aurora menatap Dimitry ragu, dia sebenarnya ingin sendirian hari ini, menguraikan perasaannya. Namun, mungkin itu hanya alasan yang dia buat sendiri untuk terus bersedih. Aurora akhirnya mengangguk, menyetujui keinginan Dimity.

***

LEONIDAS Mansion, Barcelona—Spain | 00:15 AM

Sudah dini hari ketika Lamborghini hitam berhenti di halaman mansion Leonidas. Bodyguard bergegas membukakan pintu dan Xavier Leonidas keluar. Rahang Xavier menegang, serasi dengan tatapan matanya yang setajam elang.

Xavier bergegas melonggarkan ikatan dasisnya sembari melemparkan jasnya asal di undakan. Tanpa sengaja, remote mobil di tangannya ikut terlempar, jatuh dan seketika warna Lamborghininya berubah menjadi biru. Lamborghini itu memang teknologi terbaru—yang belum keluar di pasaran—warnanya bisa berubah menggunakan smart key menggunakan sistem computer generated imagery (CGI). Xavier menggeram, menatap tajam pelayan.

"Bereskan itu," perintahnya.

Pelayan di belakangnya buru-buru menunduk, kemudian melakukan perintah Xavier. Xavier sendiri melengang masuk. Mansion sudah sepi. Xavier hendak naik ke kamarnya ketika suara Crystal terdengar.

"X! Kau dari mana saja?! Kenapa baru pulang? Kau juga tidak bisa dihubungi."

Xavier menghentikan langkah, menoleh menatap Crystal. "Kantor. Pekerjaanku banyak."

"Kantor?!" Crystal berteriak tidak percaya, bergegas menghampiri Xavier. "Kau tahu sendiri Axelion sakit! Badannya panas sejak semalam! Dia baru bisa tidur dan kau—"

"Axelion? Bukankah dr. Damian sudah memeriksanya?" tanya Xavier sembari mengernyitkan kening. Axelion memang sakit, terus menolak makan dan mencari ibunya. Sementara Aurora....

"Xavier! Little Lion tidak akan sembuh hanya karena dokter! Dia merindukan Ibunya!"

"Persetan! Axelion hanya demam," dengus Xavier sembari menatap tajam Crystal. "Dia tidak butuh perempuan itu. Aku sendiri yang akan memastikan Axelion sembuh, aku bahkan akan mendatangkan dokter terbaik dari ujung dunia jika memang perlu."

"Kau ini—"

"Xavier...." Crystal belum menyelesaikan ucapannya ketika suara Javier Leonidas terdengar. Pria itu sudah berdiri di ambang pintu, mengamati perdebatan putra-putrinya. Xavier mengembuskan napas panjang, kemudian membuang pandangan.

"Jika Daddy menyuruhku mendengarkan ucapan Crystal, maka jawabannya—"

"Tidak ... aku hanya ingin bertanya padamu," potong Javier sembari menatap Xavier lekat-lekat. "Apa yang kau dapat dari menguntit Aurora seharian, sementara cucuku kau tinggalkan?"

Crystal terbelalak kaget, kemudian menatap Xavier jengkel. Sementara Xavier mengepalkan tangan.

"Xavier kau—"

"Menguntitnya? Apa kau gila? Untuk apa aku menguntit perempuan yang sedang asyik berkencan dengan lelaki—" Kalimat Xavier menggantung, dan tawa mengejek Crystal mengudara. Entah untuk menertawakan kelakuan Xavier, atau Xavier yang tanpa sadar menunjukkan belangnya.

TO BE CONTINUED.

___________________

HOPE YOU LIKE IT!

JANGAN LUPA, VOTE, KOMEN & SHARE KE TEMAN KALIAN!!!

Emoticon untuk part ini?

Ada pesan buat X?

Pesan buat Ara?

Pesan #TeamXavier buat #TeamARa?

Pesan #TeamAra buat #TeamXavier?

Dy bakal perhatiin bener-bener komen di part ini. Beberapa bakal Dy share di IGS. Dan ... yang Dy lihat paling ngotot a.k.a jadi pentolannya tim Xavier dan Aurora, bakalan Dy kasih dedikasi buat part 30 sama 31. Part 32, Dy dedikasiin buat pentolannya tim netral wkwkkw. Ah, tambahan, selain di komentar, Dy juga bakal pertimbangin pesan di wall.

Btw Dy nodong 20K votes dong buat part ini, biar seimbang. Part lanjutannya tapi baru bisa Dy updaate sekitar hari Selasa, soalnya Dy mesti pulang lagi. Habis itu, kalau Dy udah fix di kosan, baru Dy kasih tantangan ke kalian.

Buat yang mau order LANYARD LEONIDAS, bisa check ke IG : @the.angels05 ya. Terbatas. Sekarang masih sisa 39-an pcs kayaknya.

See you soon! Sayang kalian :*

With Love

Dy Putina

Istri sah Sean O'Opry, anak CEO wattpad juga.

Jangan lupa follow IG :

@dyah_ayu28

@the.angels05

@xavier.leonidas1

@aurora.regina1

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro