She BELONGS to the Prince | Part 28 - I'm Not Okay
XAVIER UPDATE!
Kalian voters keberapa? Wkwkw
JANGAN LUPA TEKAN VOTE + KOMEN YANG BANYAK BIAR DY SEMANGAT!
Sorry for late update. Maaf ya, butuh waktu lama. Ngubah part ternyata juga makan waktu huhu. Pikiran Dy juga lagi nggak penuh. Ayah Dy kemarin nelpon—katanya sakit flu—makanya sekarang habis publish part ini Dy buru-buru pulang ke rumah.
Happy reading! Semoga suka. Muaaah :*
" Why Mommy? Why Daddy? I promise not ask for new plane anymore. But don't live apart."
"Little Lion...." Aurora hendak meraih Axelion ke pelukan, namun bocah lelaki itu memberontak. Berguling-guling di lantai sembari terus menangis. Aurora tertegun, menggigit bibir bawah lalu mengalihkan pandangan, berusaha menahan tangis. Gagal. Air matanya tetap tumpah.
Di saat yang sama Xavier menghampiri Axelion, menggendongnya sigap, membiarkan Axelion menangis di pundaknya, terlihat membisikkan sesuatu dan membawanya keluar. Tanpa mengatakan apa-apa.
***
______________________
She BELONGS to the Prince | Part 28 – I'm not okay.
***
Playlist : Taylors Swift – Last Kiss.
https://youtu.be/IvVRFY62qac
Playlist kamu :
***
Aurora terduduk lemas di lantai, menatap nanar pintu yang dilewati Xavier. Apa yang baru saja dia lakukan? Selama ini selalu Axelion yang utama, tapi sekarang malah dia sendiri yang membuatnya bersedih.
Kendra bergegas menyusul Xavier, sementara Victor menghampiri Aurora, tapi Anggy sampai lebih dulu, duduk di depan Aurora, lalu memeluknya. "It's okay. Mommy tidak tahu apa yang terjadi denganmu dan Xavier. Tapi percalah, semua akan baik-baik saja," bisik Anggy. Tangis Aurora pecah dan Anggy makin memeluknya erat. Wanita itu tidak mengatakan apapun selain mengusap punggung Aurora. Perlahan Aurora merasa tenang, pelukan Anggy selalu terasa seperti ibunya.
Tiba-tiba pintu terbuka. Seorang maid berjalan mendekat, berdiri dan menundukkan kepala di sebelah Anggy. "Para dokter sudah datang, Nyonya," lapor maid itu.
Anggy melepas pelukan, mengangguk dan menatap Aurora. Jemarinya menghapus sisa air mata Aurora. "Kau periksakan dirimu dulu ya, Stacey ju—"
"Tidak perlu. Kami juga mempunyai dokter pribadi sendiri. Vee akan langsung pulang bersama kami," potong Victor cepat.
Javier menyahut. "Victor, jangan memperkeruh suasana. Kita masih bisa menyelesaikannya baik-baik."
"Menyelesaikannya baik-baik? Maksud Anda, saya harus mendengar janji-janji manis kalian?" Tangan Victor terkepal di sisi badan, menatap tajam Javier dan Anggy bergantian. "Sudah cukup. Saya muak. Anda sendiri yang berkata Vee akan aman disini. Putra Anda juga sudah berjanji akan menjaga Vee, membahagiakannya, tidak membuatnya menangis. Tapi apa?"
"Victor...." Stacey menyela, tapi Victor abaikan. Victor langsung menghampiri Aurora, menghelanya berdiri, merangkul pinggangnya.
"Di depan mata saya, di mansion ini, Vee terluka. Apa yang terjadi ketika saya tidak ada?" Victor menatap tajam Javier. "Apa ini yang Anda katakan melindungi?"
Seketika ruangan menjadi hening. Victor mengatur emosinya. "Okay. Tidak apa-apa. Paling tidak sekarang saya sadar, memang tidak seharusnya Vee ada disini." Ia lalu menggandeng tangan Aurora dan mengajaknya pergi. "Ayo...."
Aurora pun berjalan mengikuti Victor. Dia sempat menatap wajah nelangsa Anggy, tapi ia abaikan. Ini yang terbaik, sebelum hatinya lebih hancur dari ini, sebelum dia menjadi orang yang ditinggalkan; lebih baik dia pergi lebih dulu. Aurora mengusap air matanya kasar, melintasi lorong mansion Leonidas dengan tergesa. Stacey mengikuti mereka.
Langkah Aurora tiba-tiba terhenti ketika dia melihat Axelion beberapa meter darinya. Bocah lelaki itu duduk di pangkuan Xavier, sementara Xavier tengah berbincang dengan Kendra di ruang tamu depan mansion. Axelion rupanya sudah berhenti menangis. Gantinya, ia terlihat asik memaikan kumpulan Lego di atas meja, sesekali memekik riang.
Seketika Aurora terpekur, matanya berkaca-kaca. Tawa Axelion secerah matahari. Singa kecilnya ... Sebenarnya apa yang sudah dia pikirkan? Selama ini tawa itu yang membuatnya bertahan, bagaimana bisa dia meninggalkannya?
"Vee... Ayo...." Panggilan Victor menyadarkan Aurora jika mereka harus pergi. Namun Aurora menggigit bawah, menatap Axelion ragu.
Victor ternyata sadar, dia langsung melepaskan genggaman tangannya. "Aku akan mengambilnya," tegas Victor.
Aurora seketika panik, segera mencekal tangan Victor. "Jangan Vic. Tidak. Biarkan saja," cegah Aurora. Aurora yakin Victor tidak segan-segan berkelahi dengan Xavier untuk mendapatkan Axelion, sekalipun percuma; orang Xavier dimana-mana. "Aku hanya ingin melihatnya sebentar saja. Dia tidak apa-apa disini. Semua orang menyayanginya."
"Tapi—"
"Aku tidak mau menelan ucapanku sendiri." Aurora menelan ludah pahit. "Lagipula mereka juga pasti masih membiarkanku menemui Axelion. Margareth juga masih disini," ucap Aurora lagi, berusaha meyakinkan diri.
Di saat yang sama Xavier menoleh, pandangan mereka beradu. Mata Aurora berkaca-kaca tanpa bisa ia cegah, berbanding terbalik dengan Xavier yang hanya menatap datar, lalu buru-buru mengalihkan pandangan. Jantung Aurora serasa diremas. Dia merasa tidak berharga, terlebih Xavier kembali menatap Kendra yang sesekali meliriknya.
"Ayo," ajak Aurora sembari menggandeng lengan Victor.
Aurora menarik Victor menjauh, kemudian berhenti, menatap Stacey yang menatap Axelion. "Stacey... Ayo," pangilnya. Stacey menatap sedih, tapi dia buru-buru mengikuti.
Mereka sudah sampai di ambang pintu ketika teriakan Axelion terdengar. "Mommy! Come here! Look at this! Look at this! My Lego is cool, right?!"
Aurora berhenti tanpa menoleh.
Axelion berlari ke arahnya sembari membawa salah satu blok legonya. "Daddy said, it's Princess Castle! Let's play together, Mommy!"
Tak terasa air mata Aurora menetes. Aurora tahu dia tidak boleh lemah, karena itu dia melangkah cepat keluar—mengabikan panggilan Axelion sembari menarik lengan Victor. Mereka sudah masuk ke dalam mobil ketika Axelion sudah sampai di teras, tangisnya pecah.
"Mommy ... Uncle Vito ... Stacey. Don't leave me...," rengek Axelion sembari berlari menuruni tangga mansion. Tapi tangganya licin, Axelion jatuh terduduk di undakan pertama.
Aurora melotot, menutup mulutnya terkejut dan bergegas keluar menghampiri Axelion yang makin menangis keras. Aurora baru akan mengambil Axelion, tapi Xavier mendahalui, menggendong Axelion lebih dulu.
"Axel—"
"Pergilah." Xavier menatapnya dingin. "Aku tidak akan menahanmu lagi, lakukan apapun yang mau," ucap Xavier lagi, sedingin tatapannya.
Dari semua yang pernah Xavier ucapkan, perkataan inilah yang pertama kalinya membuat Aurora merasa tidak diinginkan. Aurora terpukul, tidak bisa bersuara, hanya menatap nyalang punggung Xavier yang menjauh.
"Mommy! No! Don't go, Mommy! Don't leave me!" Teriakan Axelion makin samar, lalu menghilang begitu pintu tertutup.
Seketika Aurora jatuh terduduk, terisak keras. Untungnya Stacey datang, langsung memeluknya.
***
Aurora menyandarkan kepala, menatap ke luar jendela mobil. Dia bisa melihat mobil mereka melewati Consulado General De Rusia—tempat Victor ditugaskan. Sejak tadi dia hanya diam, sama halnya dengan Victor dan Stacey yang duduk di kursi depan. Tapi Aurora sempat melihat Victor terus melirik ke arah tangan Stacey.
Lima belas menit kemudian, barulah mereka sampai di gedung apartemen bertingkat, mobil Victor berhenti di depan pintu masuk lobby. Petugas vallet membukakan pintu untuk mereka.
Victor merangkul pundak Aurora.
Aurora menoleh.
"Are you okay?" tanya Victor.
"I'm okay," ucap Aurora sembari tersenyum paksa. Victor terdiam, kemudian menggengam tangan Aurora agar mengikutinya. Namun setelah itu Victor berhenti, menoleh pada Stacey. "Stacey, kau tidak ikut?"
Stacey terdiam, tatapannya ragu.
Victor menghela napas. "Tidak ada dia. Kau salah paham. Kami tidak tinggal bersama," ucapnya datar, tapi berhasil membuat wajah Stacey bersinar.
"Benarkah?"
"Kau tidak masuk juga tidak apa-apa," dengus Victor sembari menarik Aurora, mengajaknya masuk ke elevator.
"Vic! Tidak! Tunggu aku!" teriak Stacey sembari berlari menyusul mereka, ikut masuk, berdiri di samping Victor dan menatap pantulan Victor dari kaca. Aurora melirik mereka bergantian, ingin bertanya, tapi dia memilih diam.
Ketika elevator terbuka, Aurora melihat lorong yang sangat panjang, tapi hanya terlihat dua pintu, Victor membawanya masuk ke pintu sebelah kanan.
Seketika pemandangan apartemen luas dengan design sederhana memanjakan mata Aurora. Didominiasi warna putih, coklat dan abu-abu. Sofa besar berwarna putih di tengah ruangan, bagian bawahnya dilapisi karpet beludru. Di kejauhan kursi makan berwarna abu-abu disusun teratur, bagian dindingnya juga ada yang dibuat dari kisi-kisi kaca—menampakkan balkon beserta pemandangan kota di kejauhan.
"Kau menyukainya?" tanya Victor.
"Aku suka. Ini sangat nyaman," jawab Aurora sembari tersenyum kecil. Dia bukan Crystal yang akan mengatakan ini sempit. Lagi. Aurora mendesah panjang, menyadari jika semua yang lakukan selalu saja mengingatkannya dengan keluarga Leonidas.
"Kau baik-baik saja kan? Mau aku panggilkan dokter?" tanya Victor, sepertinya dia menyadari kegelisahan Aurora.
"Aku tidak apa-apa. Aku hanya lelah, Vic."
"Kakimu?"
"Seharusnya kau menanyakan itu pada Stacey," keluh Aurora sebal sembari melirik Stacey. Stacey langsung gelagapan, kemudian menggeleng.
"Aku sudah tidak apa-apa. Ini cukup," katanya.
Victor mengernyit, menatap perban di tangan Stacey, terlihat ingin memprotes. Namun ponselnya berbunyi lebih dulu. "Aku angkat ini dulu ya?" pamit Victor, langsung berjalan ke arah balkon.
Aurora segera duduk di sofa, sementara tatapannya beralih ke jendela, menerawang, memikirkan apa yang terjadi tadi. Air keras itu, pertengkarannya dengan Xavier, dan ... Axelion. Untuk yang terakhir, mata Aurora langsung berkaca-kaca. Ini belum satu hari, tapi dia sudah merindukan Singa Kecilnya. Apa Xavier berhasil menghentikan tangisnya? Apa putranya sudah tertawa lagi?
"Aurora...." Panggilan Stacey menyadarkan Aurora, perempuan itu sudah duduk di sampingnya, menggenggam tangannya. "Kau memikirkan Axelion ya?"
Aurora tersenyum tipis. "Susah untuk tidak memikirkannya. Padahal sudah pasti dia bahagia disana kan? Mereka semua menyayanginya. Axelion tidak akan dibiarkan menangis terlalu lama."
Stacey menunduk, menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. "Maafkan aku. Kau pasti menyesal meninggalkan Xavier kan? Itu salahku. Aku yang menyarankanmu."
"Stacey ... tidak."
"Itu salahku. Aku menyarankanmu tanpa melihat dulu. Aku salah, Aurora. Aku salah. Seharusnya aku tadi mencegahmu. Dari cara Xavier mengkhawatirkanmu, aku tahu Xavier mencintamu. Tapi tadi aku—"
"Stacey, hanya karena dia terlihat khawatir, bukan berarti dia mencintaiku. Dia memiliki wanita lain. Dia membela wanita lain. Jika dia memang mencintaiku, dia tidak akan membiarkanku pergi."
"Tapi—"
"Baik. Jika kau menganggap Xavier mencintaiku, berarti Victor juga. Aku juga melihat dia sangat mengkhawatirkanmu." Aurora tersenyum tipis.
Mata Stacey memicing, di hendak membalas ucapan Aurora, tapi suara Victor terdengar lebih dulu. "Aku apa?" tanyanya. Stacey dan Aurora langsung berpandangan, lalu Aurora menatap Victor—menggeleng pelan.
"Tidak. Kami hanya berkata kau lama sekali."
"Oh, itu ...." Victor menatap Aurora sejenak, terlihat menimbang-nimbang. "Aku dipanggil ke kantor sekarang. Urusan penting. Apa kau tidak apa-apa kutinggal dulu?" tanya Victor.
Aurora mengangguk. "It's okay. Aku juga lelah, sepertinya aku akan tidur."
"Kau bisa ke kamar sana. Sepertinya masih bersih. Pertugas kebersihan membersihkannya dua hari sekali," ucap Victor. "Dan Stacey ... bisakah kau ikut aku?" tambah Victor lagi.
"Aku?" ulang Stacey.
Victor hanya mengedikkan bahu, langsung berjalan keluar. "Vee butuh istirahat. Aku hanya berpikir kau akan bosan disini. Tapi jika tidak mau—"
"Aku ikut!" seru Stacey cepat sembari langsung menyusul Victor. Tapi kemudian dia berhenti, melirik Aurora ragu-ragu. "Kau... tidak apa-apa sendirian?"
Aurora tersenyum tipis. "Pergilah. Victor benar, aku ingin istirahat," putus Aurora.
Stacey masih menatap Aurora ragu-ragu, tapi kemudian dia bergegas menyusul Victor. Aurora terus tersenyum begitu mereka menghilang di balik pintu. Namun ... begitu dia masuk ke kamar yang ditunjuk Victor, senyum Aurora pudar. Aurora menyanadarkan tubuhnya di pintu, lalu menutup mata. Membiarkan air matanya jatuh.
Dia tadi berbohong. Karena nyatanya, dia tidak baik-baik saja.
TO BE CONTINUED.
_____________________
HOPE YOU LIKE IT!!
JANGAN LUPA VOTE, KOMEN, + SHARE KE TEMAN KALIAN!
Emoticon untuk part ini?
Kasih 20K votes dong sisini, biar seimbang :(
See you soon! Sayang kalian!
With Love,
Dy Putina
Istri Sah Sean O'Pry, anak CEO wattpad juga.
Jangan lupa follow IG:
@dyah_ayu28
@the.angels05
@xavier.leonidas1
@aurora.regina1
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro