Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

She BELONGS to the Prince | Part 27 - Feel Guilty

XAVIER UPDATE!

Kangen Xavier? wkwkw

JAM BERAPA KALIAN BACA INI?

HAPPY READING!

Vote + komen yang banyaak! Makin banyak, makin Dy semangat ^^

"Aurora. Kau kenapa?!" Stacey terdengar panik, menunduk dan menyentuh kaki Aurora. Namun detik itu juga Stacey mengaduh dan menarik tangan. Stacey meringis, mulai menangis. Wajahnya merah padam, menahan sakit.

Aurora membuka mata, terbelalak ngeri. "Stacey! Tanganmu...,"

Telapak tangan Stacey juga melepuh seperti Aurora, bahkan lebih parah. Tapi kenapa?

***

___________________________

She BELONGS to the Prince part 27 – Feel Guilty

***

Playlist : Taylor Swift - Call It What You Want

https://youtu.be/V54CEElTF_U

Playlist kamu :

***

"Penjaga! Mana penjaga?!" Aurora berteriak, hendak menghampiri Stacey, tapi Kendra menahan pundaknya. "Kau—"

"Duduklah! Naikkan kakimu! Astaga Aurora, kakimu melepuh!" seru Kendra sembari melirik ke bawah. Aurora mengikuti arah pandang Kedra. Terkejut. Karpet di bawah terkena air—tapi malah seperti terbakar. "Jangan kemana-mana! Itu pasti bukan air biasa!" teriak Kendra.

Aurora tidak bisa berpikir, terlalu terkejut. Di saat yang sama pintu terbuka. Bodyguard menyerbu masuk diikuti pelayan. Mereka semua langsung menghampiri Aurora. Kendra mundur, bergegas menghampiri Stacey dan memeriksa tangannya.

"Oh, my God! Ini gila," komentar Kendra. "Kau, kemari!" Kendra memanggil pelayan, satu pelayan menghampiri mereka, melotot melihat luka Stacey.

"Cuci lukanya dengan air mengalir. Lepas juga gelangnya—itu bisa membuatnya terkontaminasi," perintah Kendra lagi. Kendra lantas menatap Aurora, mengembuskan napas keras, lalu bergegas keluar.

Sementara para bodyguard itu memindahkan Aurora ke ruangan lain, mendudukkannya di sofa. Seorang maid bergegas mengobati Aurora, juga Stacey yang masih terisak, duduk di sebelah Aurora.

"Stacy..." Aurora menggeser duduknya merapat pada Stacey. Menatapnya prihatin. "Sudah lebih baik?"

Stacey menggeleng, air matanya masih mengalir. "Ini sakit sekali. Aku seperti tidak bisa merasakan tanganku," isak Stacy.

Aurora meringis, merasa bersalah. Dia mengelus punggung Stacey, berusaha menenangkan. "Maafkan aku. Jika kau tidak menyentuh kakiku, pasti—"

"Bukan. Bukan salahmu." Stacey memotong ucapan Aurora. "Tadi aku kurang hati-hati. Seharusnya aku tidak memegang botol yang tumpah di dekat kakimu; isinya masih ada."

Aurora mengernyit. "Wait... Botol?"

Stacey mengangguk. "Sepertinya jatuh ketika Kendra lewat. Bisa saja dia tersandung itu lalu isinya tumpah," imbuh Stacey. "Tapi tetap saja aneh, bagaimana bisa seseorang menaruh benda berbahaya disana?" ucap Stacey lagi, sedikit meringis ketika pelayan mengobati lukanya—kemudian membalutnya dengan kain kasa.

Seketika hening menguasai ruangan itu, mereka sibuk dalam pikiran masing-masing hingga tiba-tiba pintu terbuka lebar. Keduanya menoleh ke arah pintu. Xavier dan Victor berdiri dengan wajah tegang dan khawatir, terutama Xavier kaku dan pucat. Xavier mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan, lalu terkunci pada Aurora. Auroranya ... Xavier berjalan lurus menuju Aurora, mengabaikan keberadaan orang lain. Tanpa kata, Xavier merengkuh pundak Aurora, membawa Aurora masuk ke pelukan.

"X..." Aurora terkesiap. Xavier memeluknya erat. Kelewat erat. Lelaki itu menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Aurora. Degup jantung Xavier memburu, napasnya berembus cepat—Aurora bisa merasakannya.

Xavier berbisik. "Aku pikir sesuatu terjadi padamu."

Jantung Aurora berdebar-debar. Aurora tersenyum lembut, hendak melepas pelukan. Tapi Xavier menahannya. "Xavier ... tenanglah. Aku tidak apa-apa," ucap Aurora sembari mengelus punggung Xavier. Perlahan tubuh Xavier yang kaku melemas. Namun....

"Bohong. Kakinya terluka. Parah sekali. Sampai mau putus." Stacey tiba-tiba menyahut di sela isakannya. Xavier langsung panik. Dengan cepat Xavier melepaskan pelukan, mendudukkan Aurora di sofa dan memeriksa kakinya, menggeram melihat ada luka.

Aurora menatap Stacey sebal, heran mendapati Stacey masih bisa menggoda di tengah kondisinya. Namun setelah itu Aurora tersenyum menggoda, wajah Stacey memerah karena Victor memegang tangannya.

"Masih sakit?" tanya Victor datar.

Stacey menggeleng. "Aku tidak—"

"Kemana dokternya?! Cepat panggilkan!" Teriakan Xavier memotong ucapan Stacey. Aurora menoleh, menatap Xavier, buru-buru menyentuh pipinya; Xavier terlihat seperti ingin membunuh orang.

"X ... tidak perlu. Tenanglah. Aku—"

"Bagaimana aku bisa tenang jika kau terluka?!" bentak Xavier keras.

Aurora menatap kecewa pada Xavier, air matanya merembes. "Kau ... kau membentakku?"

Xavier mengumpat pelan, lalu memeluk Aurora erat. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud. Aku hanya sangat khawatir."

Aurora hanya diam, masih marah pada Xavier. Perasaannya campur aduk; marah, kesal ... ingin menangis. Kemudian dia mendengar Xavier menghela napas, melepaskan pelukan mereka dan menghapus air matanya. "Jangan marah. Aku salah. Kita tunggu dokternya ya?" mohon Xavier lembut sembari menggenggam jemarinya.

Aurora melirik Xavier sebal, nyaris luluh. Memangnya kapan dia bisa menolak lelaki ini? Ketika Aurora ingin berbicara, tiba-tiba Kendra masuk, dia berdiri beberapa meter dari tempatnya duduk. Aurora segera menepis tangan Xavier, Xavier tampak putus asa.

"Ada tunangannmu," ucap Aurora dingin.

"Ara...."

"Aku juga tidak butuh dokter. Kau seharusnya lihat siapa yang terluka disini," ucap Aurora lagi sembari mengalihkan pandangan pada Stacey. Xavier mengikuti arah pandang Aurora, kemudian mengernyit kening dalam.

"Tanganmu ... kenapa bisa terluka begitu?" gumam Xavier rendah, pandangannya tajam, mirip tuduhan.

Stacey gelagapan. "Itu ... aku...."

Di saat yang sama Kendra menghampiri mereka, memicing menatap Stacey kemudian menyahut. "Terkena air keras, X. Yang tumpah di sana positif air keras. Entah siapa sasarannya; aku atau Aurora."

"Wait ... kalian tidak sedang menuduh Stacey kan?!" Aurora menyipit, menatap Kendra dan Xavier bergantian. Xavier hanya menghela napas, dan Aurora merasa itu jawaban. "Are you insane?! Kau tidak lihat Stacey juga terluka?! Jika memang dia, tidak mungkin dia—"

"Kami tidak menuduhnya, hanya berpraduga. Tapi kalau soal terluka, apa kau pernah mendengar; kadang ada juga penjahat yang melukai dirinya sendiri agar tidak ketahuan?" Kendra menyahut.

Stacey menggeleng keras. "Tapi aku tidak—"

"Jadi begitu? Lalu, apa bisa kau jelaskan hanya kau yang tidak terluka? Bukankah kau juga ada disana?" Stacey belum menyelesaikan ucapannya ketika Victor memotongnya, lelaki itu menatap Kendra tajam. Stacey langsung menatap Victor, tidak percaya lelaki ini membelanya.

Kendra memicing, tersenyum tipis sembari menggeleng pelan. "Jadi, kau menuduhku?"

"Tidak. Hanya praduga." Victor membalik ucapan Kendra. "Bukankah kau yang paling diuntungkan jika air keras itu mengenai wajah Aurora? Ah, apa harus aku ingatkan, siapa selingkuhan Xavier tiga tahun yang lalu?"

"Stop!" sentak Xavier. Seketika ruangan menjadi hening. "Siapa pun tersangkanya, yang pasti bukan Kendra. Aku mengenalnya."

"Mengenalnya?" ulang Aurora, tersenyum miris. "Ya, tentu saja. Dia tunanganmu. Bagaimana mungkin kau tidak mengenalnya."

Xavier berdecak. "Ara... please! Jangan mulai lagi."

"Aku? Kau yang memulainya! Asal kau tahu, aku juga mengenal Stacey. Lagipula Victor ada benarnya, yang paling diuntungkan jika aku terluka adalah Kendra, tetapi kau menutup mata. Kau malah menuduh Stacey!"

"Aku tidak menuduhnya! Hanya saja diantara semua orang, dialah yang paling mencuriga—"

"Stacey tidak mencurigakan! Jika harus ada yang dicurigai, itu Kendra!"

"Kau bersikeras menuduhnya karena kau dibutakan cemburu!"

"A—apa kau bilang?" Aurora mendongak, menatap Xavier sakit hati. Matanya berkaca-kaca. Percuma. Sepanjang apapun perdebatan mereka, sekeras apapun dia berteriak, entah Kendra salah atau benar; Xavier akan terus membelanya. Xavier mencintai Kendra. "Kau pikir aku sepicik itu?"

Xavier mengusap wajahnya kasar, lalu menatap Aurora kalut. Sadar sudah menyakitinya. Xavier hendak merengkuh pundak Aurora, namun Aurora menepisnya.

"Sepertinya aku harus mengingatkanmu, Tuan Xavier Leonidas yang terhormat." Aurora mengambil satu langkah maju, mendorong dada Xavier dengan telunjuknya. "Dengar ... aku tidak peduli kau bersama wanita lain. Hubungan kita sudah berakhir, aku sudah menyerah sejak lama; kau sudah aku anggap mati." Aurora berusaha mengontrol emosinya, berusaha kerasa tidak terisak, menatap Xavier lekat-lekat.

Xavier terdiam, menunggu Aurora melajutkan. "Kau yang membawaku kembali. Kau yang memaksaku. Dan sekarang kau malah menuduhku—"

"Aurora ... Xavier tidak bermaksud—"

"Diam, Kendra!" sanggah Aurora, pandangannya kini terarah pada Kendra, menatapnya benci. "Tiga tahun lalu aku hanya diam. Tapi sekarang ... jika kau berani mengatakan satu patah kata lagi, aku tidak akan segan merontokkan rambutmu!"

Xavier menggunakan kesempatan itu untuk memegang pundak Aurora. "Ara... Listen to me...."

Aurora menggeleng, mundur satu langkah menjauhi Xavier. Kenapa dia harus bersusah payah menjelaskan semua ini? Kenapa dia sangat marah ketika Xavier membela Kendra? Apa artinya dia memang cemburu? Aurora harus mengontrol rasa ini, jika tidak Xavier akan tahu Aurora masih mencintainya.

"Tidak lagi. Aku lelah. Kau memuakkan."

"Ara—"

"Aku akan pergi bersama Victor dan Stacey. Axelion ... kau bisa bersamanya. Aku akan menjenguknya sesekali, selain itu jangan ganggu aku lagi," putus Aurora berusaha tegar.

***

Xavier tampak marah. Aurora bingung. Bukankah itu yang Xavier inginkan? Dia ingin pewarisnya. Aurora memberikan Axelion. Xavier bisa membesarkannya dengan Kendra. Beres.

Sebelum Xavier sempat menjawab, tiba-tiba pintu terbuka. Anggy berdiri di ujung pintu, Javier ada di belakangnya sembari menggendong Axelion, menatapnya khawatir. Lalu tatapan Anggy jatuh ke kaki Aurora.

"Astaga, kau tidak apa-apa, nak?" tanya Anggy sembari berjalan menghampiri Aurora. Aurora buru-buru menjauh dari Xavier, menggeleng dan tersenyum tipis. "Aku tidak apa-apa, Mommy," jawab Aurora.

Anggy tersenyum, memeluk Aurora erat. "Syukurlah. Aku sangat takut. Jantungku hampir berhenti," ucapnya lega.

Javier berjalan masuk dan berhenti di belakang Anggy, menatap Xavier serius. "Aku dengar ada yang ingin mencelakaan Aurora?"

"Aku sudah menyuruh bodyguard memeriksa CCTV, Dad," jawab Xavier.

Anggy melepas pelukan, menatap Aurora khawatir. "Bagaimana hal seperti itu bisa terjadi di mansion? Harusnya ini tempat paling aman," komentar Anggy.

"Mommy... are you okay?" Axelion ikut bertanya, memberontak minta di turunkan. Javier menurunkannya, bocah lelaki itu segera menghampiri Aurora kemudian menarik-narik bajunya.

Tersenyum lemah, Aurora berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Axelion. Meskipun mata polosnya tidak mengerti, Axelion menatapnya khawatir, tangannya terulur memegang pipi Aurora. Seketika rasa bersalah menyergap Aurora. "I'm okay Little Lion. Jangan sedih ya," ucap Aurora sembari mengecup pipi Axelion.

Xavier memperhatikan mereka, lalu menghembuskan napas lega. Beralih menatap Anggy dan Javier. "Kita kecolongan. Tapi aku akan pastikan pelakunya tertangkap. Aku akan melindungi Auroraku, akan kupastikan dia aman disini."

"Tidak perlu. Aku akan pulang dengan Victor dan Stacey." sanggah Aurora cepat. Xavier menatapnya lekat.

"Go home? With uncle Vito? I'm coming too, Mommy!"

"Kau tidak akan kemana-mana," geram Xavier rendah, rahangnya menegang. Suasana seketika canggung. Anggy memperhatikan mereka berdua bergantian, bertanya-tanya.

"Kalian kenapa?"

Xavier tidak menjawab, hanya mengepalkan tangan. Sama halnya dengan Aurora yang memberikan perhatian sepenuhnya pada Axelion. Tersenyum, menaha isakan. "Katanya Axelion sayang Daddy? Daddy tidak ikut. Jadi Axelion disini saja ya? Dengan Grandma, dengan Grandpa. Jadi Axelion masih bisa bermain dengan Katy dan Aaron."

"No. I want come with you. Why Daddy don't come with us too?" Axelion mengernyit, menatap Xavier, Auora, Stacey dan Victor bergantian.

"Vee...." Victor memberikan untuk sinyal berhenti pada Aurora, tapi Aurora malah meneruskan. "Daddy dan Mommy akan hidup berpisah. Jadi tidak bersama-sama lagi seperti dulu."

"Live apart?"

Aurora mengangguk.

"Aurora...." Xavier menggeram. Lagi. Aurora tidak menghiraukan.

"Selama ini Axelion ikut bersama Mommy. Sekarang Axelion bisa memutuskan ikut dengan siapa, Mommy atau Daddy?"

Axelion selalu punya banyak ekspressi saat dia senang, marah, atau menginginkan sesuatu. Tapi saat ini, ketika Aurora melihat mata Axelion membesar, menatap Aurora dan Xavier bergantian sebelum matanya berkaca-kaca; Aurora merasa dunianya runtuh. Entah kenapa dia merasa sudah mematikan binar bahagia yang Axelion miliki.

"I don't want to!" rengek Axelion sembari mencebik. "I don't want want to choose! I want to be with both of you!" Axelion menggeleng cepat, mulai menangis keras.

" Why Mommy? Why Daddy? I promise not ask for new plane anymore. But don't live apart."

"Little Lion...." Aurora hendak meraih Axelion ke pelukan, namun bocah lelaki itu memberontak. Berguling-guling di lantai sembari terus menangis. Aurora tertegun, menggigit bibir bawah lalu mengalihkan pandangan, berusaha menahan tangis. Gagal. Air matanya tetap tumpah.

Di saat yang sama Xavier menghampiri Axelion, menggendongnya sigap, membiarkan Axelion menangis di pundaknya, terlihat membisikkan sesuatu dan membawanya keluar. Tanpa mengatakan apa-apa.

TO BE CONTINUED

____________________

HOPE YOU LIKE IT!

JANGAN LUPA VOTE, KOMEN + SHARE KE TEMAN KALIAN!

Emoticon untuk part ini?

20K votes + komentar yang buanyaaaaks untuk lanjut :P Kalau dikit Dy mau ngaret aja -_-

See you soon! Sayang kalian!

With Love,

Dy Putina

Istri Sah Sean O'Pry, anak CEO wattpad juga.

@dyah_ayu28

@the.angels05

@xavier.leonidas1

@aurora.regina1

List Role Player lainnya bisa kalian lihat di highlight Instagram Dy! 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro