She BELONGS to the Prince | Part 26 - But Why?
XAVIER UPDATE!
Kangen Xavier? wkwkw
JAM BERAPA KALIAN BACA INI?
Jangan lupa bintangnya ^^
HAPPY READING!
Lagi. Xavier menggeleng. Menaruh gelas matcha tea Aurora di atas nakas. "Hmm... Kau memang sengaja mengerjaiku kan?" bisik Xavier sembari duduk di samping Aurora, membelai rambutnya.
Aurora bergerak gelisah, merapatkan tubuhnya ke badan Xavier—kemudian bergumam. "Mama...."
Xavier terkekeh geli, tidak bisa menahan diri untuk mengecup kening Aurora. "Tidurlah bayi besar. Cemburu memang butuh banyak tenaga, aku tahu."
___________________________
She BELONGS to the Prince part 27 – But why?
***
Playlist : BebeRexha - I'm A Mess (Official Music Video)
https://youtu.be/LdH7aFjDzjI
Playlist kamu :
***
LEONIDAS INTERNATIONAL Headquarter, Barcelona—Spain | 09:25AM
Xavier duduk di kursi meeting dikelilingi petinggi Leonidas, sedikit memiringkan kepala, fokus menatap kerangka Resort Tanjung Sopi lewat iPad Pro milik Alby Bagaskara—lelaki dengan ras campuran antara eropa dan Asia; kontraktor asal Indonesia. Mereka semua menunggu keputusan Xavier, termasuk satu orang Asia lain—asisten Alby—yang tampak cemas.
"Saya tidak keberatan dengan rancangan ini. Hanya butuh beberapa tambahan untuk menyempurnakan beberapa bagian agar tujuan untuk menarik minat para perselancar tercapai. Menurut Anda rancangan ini akan disetujui oleh pemerintah setempat?"
Xavier menatap serius Alby, yang dibalas lelaki itu dengan anggukan tenang. "Perlu waktu untuk itu, tapi saya yakin bisa menangani hal tersebut. Yang terpenting Mr. Leonidas ungkapkan lebih dulu bagian mana yang perlu tim saya perbaiki."
Xavier mengangguk, mulai mengomentari beberapa bagian yang dia rasa kurang, yang ditanggapi sendiri oleh Alby. Setengah jam berlalu. Meeting terus berjalan dengan masukan banyak pihak, terutama Xavier. Resort ini kadonya untuk Anggy, karena itu Xavier sengaja meluangkan waktu liburnya—sekalipun ini baru dua hari dari Natal—untuk hadir sendiri. Tadi pagi Xavier bahkan sampai buru-buru membuatkan gingerbread yang Aurora minta, kemudian pergi sebelum perempuan itu memeriksa.
Sekretaris Xavier tengah memberikan penjelasan ketika Xavier memeriksa ponselnya. Ada pesan dari Aurora, Aurora juga mengirimkan foto Gingerbread yang dibuat Xavier.
Xavier merengut sembari membalas pesan Aurora cepat-cepat.
Xavier menyandarkan kepalanya ke kursi, menghembuskan napas panjang usai mengetik balasan. Tidak ingin berdebat. Entah kenapa dia sudah bisa membayangkan bagaimana bibir Aurora mencebik ke bawah. Seperti semalam ... ketika perempuan itu meminta Xavier pergi dari ranjang mereka, lalu membangunkan Xavier yang tidur di sofa tengah malam.
Xavier pikir Aurora sudah selesai, tapi ternyata pesannya datang lagi.
Xavier masih mengetik ketika Aurora sudah mengirimkan pesannya lagi.
Kemudian foto profile Aurora menghilang.
Centang satu; Aurora memblockir nomornya.
Xavier jadi gelisah sendiri, langsung menghubungi orangnya agar blockir Aurora terbuka, sementara penjelasan dan percakapan semua orang di ruangan itu menjadi kabur. Xavier tidak bisa fokus. Dua menit kemudian suruhan Xavier berhasil melakukan yang Xavier mau, namun ponsel Aurora sudah tidak aktif.
"Jadi, bagaimana menurut Anda, Mr. Leonidas?" tanya Alby Bagaskara. Xavier tidak mendengarkan, kembali menghubungi Aurora, ponselnya masih mati.
"Mr. Leonidas?" Alby mengulang pertanyaan.
Xavier hanya berdecak kesal sembari melirik jam tangannya—masih sekitar jam sepuluh lebih, dan dia sudah ingin pulang.
"Kalian teruskan. Laporkan hasilnya padaku, aku memiliki janji dengan seseorang," ucap Xavier tegas, langsung berdiri dan berjalan menuju pintu. Tapi kemudian Xavier berhenti, menoleh kepada Alby.
"Mr. Alby Bagaskara, aku mengundangmu dinner , Christian yang akan mengaturnya. Kita bicarakan kelanjutannya disana." Xavier mengatakannya dengan nada memerintah. Dan tanpa menunggu respon siapapun, Xavier langsung meninggalkan ruangan itu, memerintahkan bodyguard yang berjaga di luar mempersiapkan Helicopternya.
Beberapa bodyguard langsung mengikuti Xavier berjalan ke lift khusus yang langsung terbuka begitu Xavier di depannya.
"Xavier...."
Xavier baru melangkah masuk ketika panggilan seseorang terdengar. Xavier menoleh, dan menemukan Kendra Mikhailova berdiri beberapa langkah darinya, menatapnya serius, kemudian berjalan mendekat.
"Aku perlu berbicara denganmu sekarang," ucap Kendra, tanpa bantahan.
***
LEONIDAS MANSION, Barcelona—SPAIN | 10:15 AM
"Mommy, why are you crying?"
Aurora tersentak, menghapus air matanya cepat, lalu menoleh pada Axelion. Aurora lupa jika dia tidak sendirian di ruang keluarga; tadi Axelion bermain dengan Aaron, namun Aaron sudah keluar.
Meskipun enggan, Aurora tersenyum paksa. Dia menaruh ponselnya kemudian menaikkan Axelion ke pangkuan. Berusaha mengabaikan piring berisi gingerbread man di atas meja.
"Mommy tidak menangis, Sayang," jawab Aurora sembari mengelus puncak kepala Axelion. "Mata Mommy hanya kemasukan debu."
"A dust? Where?"
"Disini." Aurora menunjuk udara yang kosong. "Lihat! Ruangannya sangat berdebu, harus segera dibersihkan," dusta Aurora lancar.
Axelion segera menatap ke arah yang Aurora tunjuk, mengeryit, kemudian berteriak, "Lula! Lula! Come here, Lula! C'mon... c'mon... c'mon!" panggil Axelion kencang. Seorang maid bersergam putih hitam langsung menghampiri mereka, menuduk tepat di samping Axelion.
"Iya, tuan muda?"
"Clean this room! Doesn't Mommy look in pain? A dust flied to her eyes!"
Aurora terkejut, begitu pula Lula yang langsung menatap Aurora takut-takut. Untungnya setelah itu Aurora tersenyum geli, menggeleng pelan dan memberi tanda agar pelayan itu pergi. Lula baru akan undur diri ketika Axelion berteriak lagi.
"LULA! WHERE ARE YOU GOING? CLEAN THIS—"
"Ah, singa kecil mengkhawatirkan Mommy ya?" potong Aurora cepat sembari tersenyum, sengaja mengalihkan perhatian Axelion.
Axelion mendongak, mengangguk cepat sembari memegang pipi Aurora. "I don't want Mommy to be sick," ucap Axelion sedih. "Daddy said, if he wasnt' here, I have to—"
"Sakit? Siapa yang sakit?"
Sebuah suara familliar membuat mereka berdua menoleh, dan entah kenapa Aurora kecewa melihat itu bukan Xavier.
"Stacey!" Axelion berteriak riang, bergegas turun dari pangkuan Aurora, kemudian berlari ke arah Stacey dan melompat-lompat di depannya. "I miss you, Stacey! Miss you, miss you, miss you!" teriak Axelion heboh.
Stacey terkekeh geli, bergegas menggendong Axelion dan langsung menerima kecupan bertubi-tubi dari bocah kecil itu. "Little lion ... Aku juga merindukanmu. Kau makin besar sa—"
"Where is my chocolate, Stacey?" todong Axelion langsung.
Stacey mengernyit. "Wait... Kau ini merindukanku apa coklatku?"
"Both! But I miss your chocolate more!" jawab Axelion tanpa dosa.
Stacey mengerucutkan bibir, berpura-pura menatap Axelion sebal. "Dasar singa nakal! Tidak ada coklat, aku tidak bawa!"
Axelion mencebik, memberikan tatapan bak puss in boots. "Stacey... Please...."
Stacey berdecak sebal. "Kau ini memang selalu tahu kelemahanku ya!"
Axelion makin mengedipkan mata dan akhirnya Stacey luluh. "Baik... baik... Cepat ke Paman Victormu di depan, cokelatmu ada padanya," ujar Stacey mengalah.
Axelion langsung memberontak, minta diturunkan dan berlari ke luar sembari meneriakkan nama Victor. Stacey terus memperhatikan hingga Axelion hilang—terkekeh geli. Kemudian menoleh, memperhatikan ekpressi Aurora yang muram.
"Kenapa aku merasa kau tidak senang aku datang? Kau tahu? Victor juga ikut, dia sedang bicara dengan mertuamu." Stacey berkata menggoda sembari duduk di sebelah Aurora, tersenyum lembut. "Atau ... ada yang sedang mengganggu pikiranmu? Ngomong-ngomong, dimana Xavier?"
Aurora menghembuskan napas berat, menggeleng pelan.
"Xavier sedang di luar?"
Aurora menggigit bibir bawah, menahan tangis. Tapi gagal. Entah kenapa mendengar namanya disebut, dada Aurora langsung sakit. Tangis Aurora pecah.
"Astaga Aurora... Ada apa? Kenapa kau menangis?" Stacey terkejut. "Apa aku mengatakan hal yang salah? Maafkan ak—"
Aurora menggeleng, memeluk Stacey erat dan makin menumpahkan tangisnya. Stacey kaget, tapi perempuan itu lantas membalas pelukan Aurora dan mengelus punggungnya. "Sst... Tenanglah. I'm here," bisik Stacey.
Sepuluh menit kemudian tangis Aurora sudah agar reda. Aurora melepas pelukan, menatap Stacey ragu-ragu, antara ingin menceritakan atau tidak.
Stacey tersenyum. "Jangan memaksa bercerita jika memang tidak siap."
Aurora menggeleng, tidak ingin menyimpan masalahnya sendiri. Lagipula dia mempercayai Stacey. "Aku tahu sejak awal jika aku dan Xavier—kami berdua—tidak memiliki hubungan apapun. Aku juga sudah tahu jika Xavier sudah bertunangan dengan Kendra." Aurora menjeda ucapannya, menarik napas. Stacey terus mendengarkan. "Tapi kenapa aku masih saja cemburu mendapati dia menemui Kendra? Kenapa aku dengan bodohnya terus menyakiti diriku sendiri?"
Stacey melotot. "A—apa?"
"Kenapa kau juga sok terkejut! Jelas-jelas Kendra tunangannya," dengus Aurora kesal, masih terisak.
Stacey menggeleng, menatap Aurora tidak paham. "Wait... apa maksudmu? Tunangan? Tunangan apa? Bukankah jelas-jelas kau yang menikah dengan Xavier? Kau bahkan sudah mengandung bayinya lagi!"
Giliran Aurora yang mengernyit tidak paham. "Menikah? Hamil? Siapa?"
"Kau! Aku mendengarnya dari Victor!"
Aurora menatap Stacey seakan gadis ini sudah gila. "Yang benar saja! Aku tidak pernah menikah dengan Xavier, apalagi mengandung bayinya lagi. Aku selalu minum pil! Kali ini aku sendiri yang akan memotong burung Xavier jika dia membuatku hamil!"
Stacey meringis mendengar ucapan Aurora, namun juga bingung di saat yang sama. "Tunggu ... tapi Victor berkata—"
"Sudah pasti itu ulah Xavier. Lelaki itu berbohong! Kau tau sendiri bagaimana drama kingnya dia!"
"Sialan! Padahal aku sempat percaya," rutuk Stacey. "Jadi itu yang membuat Victor terus membiarkanmu disini?!"
"Mungkin saja." Aurora bergumam sembari mengusap air matanya. Dia merasa menyedihkan. Kenapa dari banyaknya lelaki di dunia, dia harus jatuh pada Xavier? Stacey menatapnya tidak tega.
"Jadi ternyata alasanmu bertahan memang masih tetap; Axelion." Stacey menggenggam tangan Aurora dan menarik napas dalam. "Aurora ... kenapa kau tidak lepaskan saja Axelion. Biarkan dia disini dan carilah kebahagiaanmu sendiri. Kau ibunya. Aku yakin, cepat atau lambat Axelion juga pasti akan mencarimu."
Aurora menggeleng keras, menolak yang dikatakan Stacey. "Tidak bisa. Kau tidak tahu rasanya menjadi Ibu...."
"Kenapa? Bukankah kau sendiri yang bilang jika Axelion bahagia disini?"
Aurora terus menggeleng. "Tetap tidak bisa... Aku—"
"Kau tidak bisa merelakan Axelion, karena dia adalah bagian terakhir yang kau punya tentang Xavier." Aurora langsung bungkam. Stacey menebaknya tepat sasaran.
"Kau masih mencintai Xavier Leonidas. Aku benar kan?" tebak Stacey lagi.
Aurora menggigit bibir bawah, kemudian mengangguk pelan dan menangis. Tidak sanggup mengingkari perasaannya lagi. "Aku bodoh ya?" isak Aurora.
Stacey menggeleng, tersenyum hambar. "Cinta kadang memang sebodoh itu. Kau tahu? Aku juga tidak bisa meninggalkan Victor sekalipun dia tidak mencintaiku. Jadi ... kita sama kan?"
Aurora ikut tersenyum kecut, hendak memeluk Stacey lagi ketika pintu tiba-tiba terbuka.
Aurora mengusap matanya kasar, lalu menoleh, sekalipun dia yakin matanya masih sembab.
Kendra berdiri di ambang pintu, memakai dress berwarna putih dilapisi cardigan hitam. Rambutnya pirangnya tergerai, tersenyum kaku pada mereka. "Hai ... bisakah aku berbicara dengan Aurora?"
Stacey balas menatap sengit. "Siapa kau? Kau pikir Aurora mau?"
Kendra melirik Aurora dan Stacey takut-takut, lalu menggaruk tengkuknya. "Kalau begitu biar nanti saja. Aku akan ke—"
"Ingin bicara apa? Masuklah," potong Aurora cepat sembari menatap Kendra datar.
Sebenarnya Aurora ingin menangis, tapi dia tidak ingin Kendra melihatnya hancur untuk kedua kali. Lagipula sekarang dia sedang berada di mansion Leonidas, semua orang menyayanginya. Kendra harus tahu jika disini dia bukan siapa-siapa.
Kendra menatap ragu, perlahan melewati Stacey, lalu....
"Aw!" Aurora meringis.
Kendra jatuh menimpanya. Tapi yang menjadi masalah adalah rasa terbakar di kaki Aurora. Nyeri. Aurora reflek mendorong Kendra ke samping, lalu melihat ujung kakinya yang melepuh. Aurora menutup mata, meringis kesakitan.
"Aurora. Kau kenapa?!" Stacey terdengar panik, menunduk dan menyentuh kaki Aurora. Namun detik itu juga Stacey mengaduh dan menarik tangan. Stacey meringis, mulai menangis. Wajahnya merah padam, menahan sakit.
Aurora membuka mata, terbelalak ngeri. "Stacey! Tanganmu...."
Telapak tangan Stacey juga melepuh seperti Aurora, bahkan lebih parah. Tapi kenapa?
TO BE CONTINUED.
_________________________
HOPE YOU LIKE IT!
JANGAN LUPA VOTE, KOMEN + SHARE KE TEMAN KALIAN.
Emoticon kalian untuk part ini?
Mungkin habis ini Dy ngilang 3/4/5 hari. Disuruh pulang ke rumah soalnya. Dy juga lagi butuh tidur wkwkw.
See you soon! Sayang kalian!
With love,
Dy Putina
Istri Sah Sean O'Pry, anak CEO Wattpad juga
More info, go follow Instagram :
@dyah_ayu28
@the.angels05
@xavier.leonidas1
@aurora.regina1
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro