She BELONGS to the Prince | Part 23 - What Have You Done? [2]
XAVIER UPDATE!
Kangen Xavier? wkwkw
JAM BERAPA KALIAN BACA INI?
Bintang kecil jangan lupa ^^
HAPPY READING!
Aurora memejamkan mata, menghela napas panjang—berusaha menenangkan diri, kemudian mencoba menghubungi Victor, tapi nomor Victor tidak aktif. Aurora beralih menghubungi Stacey. Terdengar deringan, namun tidak diangkat. Karena itu Aurora mengetikkan pesan.
Aurora Petrova : Kau tahu kondisi Victor? Apa yang sebenarnya terjadi padanya?
Satu menit. Tiga menit. Masih tidak ada jawaban. Aurora menyerah, memilih masuk usai Anggy memanggilnya.
___________________________
She BELONGS to the Prince part 23 – What have you done? [2]
***
Playlist : One Direction - Perfect (Official Video)
https://youtu.be/Ho32Oh6b4jc
Playlist kamu :
***
"Ayo cepat sini...." Anggy tersenyum, menarik Aurora masuk ke kamarnya, kemudian menghelanya duduk di tepi ranjang. "Kita lihat apa yang Mommy punya untukmu," ucap Anggy lagi sebelum melangkah ke meja rias.
Aurora mengedarkan pandangan, menelurusi design kamar yang didominasi warna putih dan emas, semuanya mewah—ciri khas Leonidas. Lalu, potret besar pernikahan Anggy dan Javier yang tergantung di atas perapian menarik perhatian Aurora. Mereka berdua terlihat serasi dalam balutan gaun dan setelan jas putih; persis seperti Raja dan Ratu.
"Javier benar-benar mirip Xavier disana kan?" sahut Anggy tiba-tiba. Aurora menoleh, Anggy sudah berdiri di sampingnya, ikut menatap ke arah yang sama. "Itu sudah bepuluh-puluh tahun yang lalu. Namun tiap kali aku menatapnya, rasanya seperti baru kemarin saja."
Aurora menahan senyum. "Well, Mommy sudah pernah mengatakan hal yang sama padaku."
"Benarkah?"
"Dulu. Berkali-kali," kekeh Aurora geli. "Termasuk jika Daddy Javier adalah cinta pertama Mommy."
Mata Anggy terbelalak. "Sstt... Itu rahasia. Jangan katakan padanya, nanti dia besar kepala," tukas Anggy sembari tersenyum, duduk di sebelah Aurora, kemudian mengulurkan kotak beludru biru berukuran cukup besar pada Aurora.
"Apa ini, Mom?"
"Buka saja."
Aurora menurut, membuka kotak itu. Kemudian terperangah, sebuah crown berhiaskan berlian ada di dalamnya. Berkilauan cantik. Aurora menyentuhnya.
"Itu tiara yang turun temurun dipakai oleh pengantin wanita Leonidas. Aku sendiri mendapatkannya dari Mommy Olivia beberapa hari sebelum janji pernikahanku dengan Javier," jelas Anggy sembari tersenyum mengenang. "Sekarang ini untukmu. Pakai ini di permberkatan pernikahan kalian."
"Pemberkatan?" Aurora menatap Anggy horor, langung menggeleng cepat. "Tidak, Mom. Aku tidak bisa menerima ini." Aurora menutup kotak itu, buru-buru mengembalikannya pada Anggy.
Anggy merengut. "Kenapa tidak?"
"Aku bukan calon menantu Mommy. Aku dan Xavier.... kami berdua juga tidak akan penah menikah."
"Calon menantu? Tidak akan menikah?"
"Kami hanya teman, Mom. Xavier...mencintai orang lain." Aurora tersenyum kaku, menyembunyikan ringisan. Dia tidak boleh sedih hanya karena Xavier. Lebih banyak hal yang lebih patut mendapat perhatiannya.
Anggy terdiam sebentar, menatap Aurora lekat, kemudian menggeleng sembari tersenyum kecil. "Okay...okay... Aku tidak tahu ada masalah apa di antara kalian, namun kau harus tetap menerima ini."
"Tapi, Mom—"
"Tidak ada penolakan! Ini hadiah natal dari orangtuamu. Atau... apa jangan-jangan sekarang kau sudah tidak menganggap aku orangtuamu lagi?" gerutu Anggy.
Aurora menggigit bibir bawah, menggeleng, tidak kuasa menolak. Anggy tersenyum puas, kemudian memeluknya erat. "Tenang saja. Aku tidak ingin sosok menantu, aku hanya ingin sosok Putri sepertimu. Ah, Vee...Aku senang melihatmu ada disini lagi.
Aurora menutup mata, balas memeluk Anggy. Benaknya menghangat, nyaris terisak. Pelukan Anggy terasa seperti pelukan mendiang Mamanya, menenangkan, membuat Aurora ingin menceritakan semua kegelisahannya; masa lalunya, Victor....bahkan Xavier. Aurora mengeratkan pelukan, merasa nyaman dengan elusan jemari Anggy di punggungnya. Namun di saat yang sama pintu terbuka, Javier masuk dengan menggendong Axelion.
"Mommy! Grandma! What made you so long?! C'mon...I want to open my gift together!"
Anggy melepas pelukan mereka, langsung menghampiri Axelion kemudian mencium keningnya. "Cucu Grandma sudah tidak sabar ya?"
"Yas! Cause you must meet my new friend too, Grandma! Her name is Katy!"
"Katy?" ulang Aurora.
Javier tersenyum. "Anak anjing, Akita. Xavier menghadiahi Axelion itu."
Aurora mematung sejenak, namun dia bergegas menyusul Javier dan Anggy ke ke ruang keluarga—menemani Axelion membuka kadonya. Tidak jauh dari mereka, seekor anak anjing berwarna merah kastanya dan putih tengah duduk dengan lidah terjulur, mengguguk gemas. Lagi. Aurora merasa de javu, anjing itu benar-benar mirip dengan yang pernah diberikan Xavier pada Victoria di malam Natal dulu.
"Daddy, look! This must be a gift from a knight, right?" Axelion memekik, menunjukkan pedang dan tameng mainan yang dia dapat kepada Xavier.
Aurora melirik Xavier. Lelaki itu tengah tersenyum, membisikkan sesuatu di telinga Axelion, mengecup puncak kepalanya lalu bangkit berdiri. Mereka tidak sengaja bertatapan. Xavier menatapnya lekat, Aurora berdebar—langsung membuang wajah.
Diam-diam Aurora menunggu Xavier untuk menghampirinya, mengajaknya bicara lagi. Tapi Xavier malah menjauh, menghilang di balik pintu tanpa penjelasan. Aurora kesal sendiri.
***
LEONIDAS Mansion. Barcelon, Spain. | 11:13 PM
Aurora baru masuk ke kamarnya usai menidurkan Axelion. Perjuangan panjang untuk memisahkan bocah itu dari setumpuk mainan dan Katy. Aurora mengedarkan pandangan, menatap ke sekeliling kamar. Xavier belum kembali.
Menghela napas, Aurora duduk di tepi ranjang. Dia membuka nakas, hendak menaruh kado dari Anggy, kado Xavier pun masih ada disana. Kotak hitam berisi flashdisk pemberian Victor, juga beberapa foto bayi Axelion, lengkap dengan note kecil yang Aurora tulis sendiri.
Aurora mengeluarkan kado itu. Haruskah dia tetap memberikannya pada Xavier? Apa untungnya? Bukankah setelah ini Xavier bisa melihat perkembangan putra Kendra?
Dada Aurora mendadak sesak. Xavier pasti sangat mencintai Kendra sampai mau menerima bayi lelaki lain.
Aurora sekali lagi mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamar. Seandainya dulu dia tidak pergi lalu bersikeras mempertahankan Xavier ... apa keadaannya akan berbeda?
Dering ponsel memutus pikiran Aurora. Telpon dari Stacey. Aurora buru-buru mengangkatnya.
"Aurora..."
"Stacey! Akhirnya kau menghubungiku." Aurora langsung berseru, mencengkram ponselnya kuat-kuat. "Aku mendapat kabar dari Grandad, katanya Victor mendapat serangan. Bagaimana kejadiannya? Bagaimana kondisinya? Apa Victor—"
"Tenanglah. Victor tidak apa-apa. Hanya sedikit cidera di lengan," balas Stacey.
Aurora menarik napas lega, cengkramannya melonggar. "Untunglah. Aku benar-benar khawatir. Aku sempat mengira ini ada kaitannya dengan penembakan Andrei Alexandrov. Aku takut...usaha makar tiga tahun lalu terulang lagi."
"Tidak. Penembak Andrei sudah tertangkap, pelakunya teroris. Tidak ada kaitannya dengan usaha makar tiga tahun lalu. Banyak yang bilang kekuatan pemberontak sudah melemah, jadi kemungkinan terjadinya makar lagi sangat kecil. Tapi untuk penyerangan Victor sendiri, aku sedikit curiga...."
"Curiga?" Aurora mengerutkan kening.
"Michael Cercadillo. Aku merasa dia ada hubungannya dengan ini."
"Apa?" Lagi. Aurora menncengkram ponselnya kuat. Bayangan lelaki yang membunuh Ibunya tampak di kepala. Tubuhnya bergetar, sementara peluh mulai membasahi keningnya. "Apa maksudmu ini ada hubungannya dengan dia? Dia sudah menghilang sejak tiga tahun yang lalu!" Benar. William Petrov sudah mengerahkan semua orang untuk menangkap Ayah tirinya. Tapi tidak ada. Sosok lelaki itu lenyap—seakan dia sudah mati.
"Beberapa waktu yang lalu dia mengirimkan surat ancaman pada Victor. Dia mencarimu."
"A—apa?" Aurora menggeleng pelan, berusaha menyangkal. Tidak. Tidak mungkin. Pria Iblis itu tidak mungkin kembali lagi.
"Victor belum mengatakannya padamu ya?"
Pintu terbuka kencang hingga menimbulkan bunyi mengejutkan. Aurora terkejut hingga menjatuhkan ponsel. Xavier ada di balik pintu, menatap Aurora tajam, mengambil langkah besar—besar dan langsung mengambil ponsel Aurora.
Aurora segera tersadar dari rasa terkejutnya, buru-buru berdiri. Menghampiri Xavier yang sudah sibuk mengutak-atik ponselnya.
"Xavier! Kembalikan ponselku."
Xavier tidak mengindahkan, berjalan mejauhi Aurora. Aurora memegang lengannya. "Katakan... siapa yang menelponmu?" geram Xavier dingin.
Aruora balas menatapnya tajam. "Bukan urusanmu."
"Aurora Petrova. Katakan. Padaku. Sekarang."
"Kenapa aku harus—"
"Dimitry. Apa lelaki itu?" Xavier mencengkram kedua bahu Aurora, memaksa mereka berhadapan. Aurora menelan ludah, padangan Xavier benar-benar mengerikan. Sangat tajam. Penuh amarah. Tapi kenapa lelaki ini harus marah? Sekalipun itu benar Dimitry, apa hubungannya dengannya? Kenapa dia mempelakukannya sekasar ini?
"Katakan... apa benar—"
Tamparan keras memotong ucapan Xavier. Aurora mengepalkan tangan, menariknya perlahan, buru-buru mengalihkan pandangan. Rasa bersalah membanjiri dirinya, tapi amarahnya masih mendominasi. Hening. Xavier juga tidak mengatakan apapun hingga dering ponsel Aurora terdengar lagi.
"X... berikan padaku!" desak Aurora, menarik lengan Xavier. Xavier tidak menanggapi, tangannya yang lain mengangkat ponsel tinggi-tinggi, membaca, kemudian memberikannya pada Aurora.
Aurora langsung menyambar ponselnya, langsung membaca pesan yang ternyata dari Victor.
Kemarahan Aurora makin naik. Pesan Victor memang bernada canda, namun isinya benar-benar berbeda dengan yang Stacey katakan. Kecewa. Sedih. Marah—semuanya bercampur. Victor berniat menyembunyikan ini darinya.
Aurora menarik napas dan menghembuskannya pelan-pelan, berusaha tidak meledak. Kemudian melwati Xavier, berniat tidur. Namun Xavier menahan lengannya. "Ara... Katakan siapa yang—"
"Lepaskan, X! Aku mau tidur!"
"Kita masih harus bicara."
"Bicara? Soal apa? Dimitry yang menelponku atau hubunganmu dengan Kendra?"
"Semuanya."
"Aku lelah, X."
"Ara—"
Aurora menghempaskan tangan Xavier. Berjalan ke ranjang, setengah duduk, mengambil kotak, lalu melemparkan benda itu ke arah Xavier. "Ini kado yang kau minta tadi, sekarang tidak ada hal yang bisa kita bicarakan. Aku mau tidur. Jangan ganggu, atau aku akan pindah ke kamar kosong lain di mansion ini."
Aurora berbaring miring—memunggungi Xavier, menarik tinggi-tinggi selimut sebatas leher, memejamkan mata. Lama baginya untuk terlelap, namun Aurora tetap diam, menghela napasnya teratur agar Xavier mengiranya tidur. Tidak lama kemudian, Aurora merasa lampu di matikan. Xavier ikut masuk ke dalam selimut, memeluknya dari belakang sembari menenggelamkan wajah di ceruk lehernya. Helaan napas Xavier, aroma tubuhnya, pelukannya—semua terasa tepat. Hangat. Menenangkan; mengaburkan kesadaran Aurora pelan-pelan.
Namun dua jam kemudian Aurora bergerak gelisah. Terjaga. Langsung duduk dengan jemari mengucek mata.
"Kenapa?" suara Xavier terdengar segar, seakan belum terlelap.
"Aku lapar."
"Lapar? Aku suruh koki membuatkan makanan untukmu ya?"
Aurora menggeleng pelan, masih belum sadar betul. "Tidak mau. Aku mau Pizza."
"Baik. Aku pesankan."
"Makan di luar, bosan di sini," keluh Aurora. Xavier terkekeh geli, mencium pipi Aurora lalu menekan remote untuk menghidupkan lampu kamar.
"Kalau begitu bersiap-siaplah. Pakai mantel yang hangat, aku menunggumu di bawah."
Aurora mengangguk, buru-buru turun dari ranjang—lalu ke kamar mandi untuk mencuci wajah. Auora lalu meringis, menatap wajahnya di pantulan cermin. Dimana gengsinya? Bukankah dia dan Xavier sedang bertengkar? Kenapa dia malah meminta diantarkan membeli Pizza malam-malam?
Sayangnya malam ini Aurora tidak tahan godaan. Bayangan Pizza dengan keju yang melumer keluar membuat Aurora menelan gengsinya. Sepuluh menit kemudian dia sudah berada di dalam Ferrari hitam Xavier, berkendara dalam diam menembus jalanan kota Barcelona yang sepi di tengah turunnya salju. Aurora mendapati Xavier berkali-kali meliriknya—tersenyum geli. Aurora kesal, memilih memalingkan wajah ke jendela.
Xavier menggandengnya begitu mereka turun, menuntunnya masuk Kedai Pizza. Musik Natal mengalun memenuhi ruangan, selebihnya sepi, tidak ada pelanggan, hanya beberapa Pelayan yang bergegas menyajikan pesanan mereka.
Sepuluh menit kemudian, di atas meja sudah tersaji Mozarella stuffed crust pizza lengkap dengan coklat panas—seperti yang Aurora mau. Aurora memakannya lahap.
Xavier tersenyum geli. "Memangnya seenak itu ya?"
"Kenapa? Kau juga mau?" tanya Aurora ketus. Dia merasa Xavier tengah mengejeknya. Namun....
"Suapi aku. Aku mau coba," tanggap Xavier kemudian membuka mulut.
"Tidak mau. Ambil sendiri!"
Xavier mengangat satu alis. "Kau harus. Itu bayaran untuk mengantarmu kesini."
"Dasar perhitungan!" Aurora merengut, menatap jengkel Xavier kemudian menyuapkan potongan Pizza besar-besar ke mulut Xavier. Penuh. Xavier kesusahan. Sementara Aurora tekekeh pelan sembari melanjutkan makan.
Lalu lagu Tale As Old As Time terputar. Xavier bangkit berdiri, mengulurkan tangannya kepada Aurora. Aurora mengernyit.
"Dance with me?"
"W—what?"
"Dansa Natal kita. Tadi belum. Kau keburu cemburu."
"Aku. Tidak. Cemburu!"
Xavier menyeringai. "Baguslah. Jadi kau tidak ada alasan untuk marah dan menolak ajakan dansaku kan? Atau kau memang—"
Aurora menatap Xavier kesal, lalu membuang wajah. Tapi di saat yang sama dia meraih uluran tangan Xavier, membiarkan Xavier menghelanya ke bagian ruangan yang bebas dari kursi—lalu memulai dansa.
Mereka terus berdansa dalam diam hingga lagunya habis. Aurora mengalungkan lengannya di leher Xavier, Xavier merangkul pinggangnya, terus merapatkan tubuh mereka. Jantung Aurora berpacu, berdebar keras. Lagi. Perasan de javu menghantamnya. Dulu Xavier juga pernah melakukan ini...berdansa di McD bersama Victoria. Kenapa hari ini terus saja terulang hal yang sama?
Aurora melepaskan rangkulannya dari leher Xavier. Berdiri canggung, hendak duduk di tempatnya lagi, namun Xavier menahan tangannya, makin mendekat, membuat Aurora mundur.
Xavier tersenyum miring, lalu berbisik di telinganya. "Aku dan Kendra...kami hanya teman."
Teman katanya? Teman tidur? Teman berciuman?
Aurora ingin berbicara, tapi Xavier sudah lebih dulu menarik dagunya hingga hidung mereka bersentuhan. Menatapnya lekat. "I'm freaking in love with you, Vee... What have you done to me?" bisik Xavier serak, langsung mencium bibir Aurora.
Aurora tidak bisa berpikir, rasanya seperti dia melayang karena ciuman Xavier.
TO BE CONTINUED.
_________________________
HOPE YOU LIKE IT!
JANGAN LUPA VOTE, KOMEN + SHARE KE TEMAN KALIAN.
Emoticon kalian untuk part ini?
Judul partnya Dy ganti ya. Agak maksain alur soalnya kalau langsung wkwk. Harus komen yang banyak, biar Dy semangat ^^ Bikin ginian doang bisa bikin sakit loh -_-
See you soon! Sayang kalian!
With love,
Dy Putina
Istri Sah Sean O'Pry, anak CEO Wattpad juga
More info, go follow Instagram :
@dyah_ayu28
@the.angels05
@xavier.leonidas1
@aurora.regina1
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro