She BELONGS to the Prince | Part 18 - His Anger [REVISI]
XAVIER UPDATE!
JAM BERAPA KALIAN BACA INI?
HAPPY READING!
Xavier menggeram, memukul setir. Amarah Xavier naik, dia menghantamkan ponselnya ke kaca depan sembarangan, menginjak pedal gas keras-keras, mengemudi dengan gila—hampir menyentuh kecepatan maksimal, berkali-kali membanting setir—nyaris celaka, tapi Xavier tidak peduli.
Ini soal miliknya, kematian tidak akan membuat Xavier Leonidas berhenti.
______________________
She BELONGS to the Prince | Part 18 – His Anger
***
Playlist : Naomi Scott - Speechless
https://youtu.be/mw5VIEIvuMI
Playlist kamu :
***
Veniero's Pasticceria & Caffe. Manhattan, New York—USA | 01:03 PM
"Americano Coffe, Jasmine tea—dan dua New York Cheesecake." Seorang pelayan perempuan berusia belasan tersenyum, menaruh pesanan Aurora dan Dimitry di atas meja. Hanya ada Aurora, Dimitry masih mengangkat telpon—tadi mereka bertemu di depan Cafe.
Aurora balas tersenyum. "Terima kasih," jawabnya. Aurora mengira pelayan itu akan segera pergi. Tapi ternyata pelayan itu masih berdiri di samping Aurora, memegang nampannya—menatap Aurora ragu-ragu.
"Apakah Anda Mrs. Leonidas?"
Alis Aurora berkerut. "Huh?"
"Maaf, sepertinya aku salah," ralat pelayan itu cepat. "Jika dipikir-pikir tidak mungkin orang seperti dia datang ke kedai sederhana macam ini. Tapi sungguh, wajahmu memang benar-benar mirip dengan yang ada di berita. Jika benar—ingin sekali aku berfoto."
Aurora mengerjab. "Berita? Berita apa?"
Pelayan itu menggeleng tidak percaya—menatap Aurora bagaikan Alien yang terdampar. "Serius? Kau tidak tahu?" tanya pelayan itu. Aurora menggeleng. "Dia itu Juliet versi—"
"Eva! Kau bergosip lagi?!" Suara teriakan dari balik counter kue terdengar—pelayan bernama Eva itu langsung panik. "Maaf, tapi aku harus pergi. Aku takut Madame marah," pamit Eva, tersenyum lalu berlari cepat ke arah suara.
Aurora mengernyit, mengeluarkan ponselnya tanpa pikir panjang—mengabaikan banyak panggilan tidak terjawab dari Xavier dan langsung mengetikkan namanya di Internet. Dan gotcha! Aurora terkesiap—tidak menyangka beritanya dan Xavier akan diulas sebanyak, seheboh dan se-detail ini. Mulai dari kasus Victor, drama mereka di depan kantor Polisi, kedatangan mereka ke Amerika—hingga berita terbaru mengenai pernikahannya dan Xavier yang sudah terdaftar di catatan sipil. What a jokes? Berita yang terakhir jelas-jelas hoax yang baru diterbitkan beberapa jam yang lalu—tapi tiap laman berita terkenal malah menjadikannya headline. They must be kidding!
Lagi. Aurora mengetik di pencarian—kali ini nama Kendra. Mustahil berita seperti ini tidak dikaitkan dengan hubungan Xavier dan Kendra. Tapi satu-satunya gambar yang memperlihatkan kebersamaan Xavier dan Kendra malah diambil tiga tahun lalu, di Vancouver, Canada—tepatnya di event Olimpiade Figure Skating—selebihnya tidak ada. Aurora mengernyit, tidak habis pikir. Apa ini efek karena sebelumnya keluarga Leonidas sangat menjaga privasi mereka?
"Maaf membuatmu menunggu, ada beberapa hal yang harus aku urus," sapa Dimitry—baru datang, menarik kursi di depan Aurora dan duduk disana.
Aurora mengangguk. "It's okay, Mr. Romanov. Apa yang ingin Anda bicarakan?"
Dimitry tersenyum. "Kau terlalu to the point. Lebih baik kita minum minuman kita dulu," jawab Dimitry sembari meraih gelas kopinya.
Aurora mengangguk, memberinya waktu. Aurora tidak memandang Dimitry, mencicipi Cheesecakenya dalam keheningan—rasanya ternyata enak. Aurora berpikir untuk membelikan Axelion nanti.
Usai beberapa detik yang cukup panjang, akhirnya Dimitry memulai pembicaraan. "Aku sudah mendengar semuanya. Hubunganmu dengan Xavier Leonidas."
Aurora tersenyum tipis, masih sibuk dengan Cheesecakenya. "Ya, tentu. Sepertinya semua media sudah menayangkannya."
"Tidak. Tidak. Bukan itu, aku tidak pernah percaya media," sanggah Dimitry. Aurora menatapnya, mata coklat Dimitry tengah menatapnya lekat—hangat. Tapi tidak sampai membuat Aurora berdebar seperti mata biru seseorang. "Aku tahu dia memaksamu—menggunakan putramu sebagai senjata."
Aurora mengernyit, merasa aneh. Kemarin tiba-tiba saja dia bisa bertemu Dimitry, dan sekarang—Dimitry seakan tahu banyak hal tentangnya. "Kau tahu dari mana?"
"Itu tidak penting—yang jelas aku akan membantumu."
"Mr. Romanov...."
"Aku akan melepasmu dari Leonidas," tegas Dimitry penuh tekad. "Aku berjanji. Percaya padaku, dia tidak akan kubiarkan mengekangmu lagi. Orang kaya seperti mereka—aku tidak takut."
Aurora makin mengernyit, "Tapi—" Ucapan Aurora terputus. Terkejut. Jemari Dimitry sudah meraih jemarinya—menautkan tangan mereka. Aurora reflek menarik, tapi Dimitry menahannya—menatap Aurora penuh keyakinan.
"Kau hanya perlu memanggilku Dimitry—itu saja, dan aku akan melakukan segalanya."
Aurora menelan ludah. Terbebas dari Xavier.... Tawaran Dimitry memang menggiurkan—tapi enatah kenapa juga terasa tidak benar. Selain karena Dimitry membuatnya tidak nyaman—ada sisi lain dalam dirinya yang menolak dilepaskan. Dia bagaikan burung dengan pintu sangkar yang terbuka, tapi enggan mengepakkan sayap. Bisa jadi karena Axelion. Bocah kecil itu tampak bahagia bersama Ayahnya—Aurora tidak tega memisahkan mereka.
Aurora belum berkata sepatah katapun—ketika tiba-tiba saja lengannya ditarik. Xavier Leonidas ada disebelahnya, menatap Dimitry tajam. Lalu menyeret Aurora keluar tanpa kata. Kasar. Terburu-buru. Aurora meringis—jemari Xavier telalu kuat mencekal lengannya.
"Xavier! Apa yang kau lakukan?! Lepaskan, ini sakit!"
Xavier tidak mengindahkan, terus menarik Aurora—tapi cekalannya agak melongggar. Aurora bersusah payah mengikuti langkah besar Xavier. Susah—Xavier terlalu cepat. Mereka baru sampai di pintu Cafe ketika teriakan Dimitry terdengar.
"LEONIDAS! LEPASKAN DIA!" bentak Dimitry.
Aurora menoleh, menatap Dimitry. Dimitry menggertakkan rahang—berjalan cepat ke arah mereka ketika tiba-tiba saja beberapa bodyguard Leonidas yang awalnya tidak terlihat bermunculan—langsung menyergapnya. Satu, dua—delapan, lebih! Jumlahnya amat banyak di Cafe ini, Aurora tidak sadar.
"Dimitry...," gumam Aurora pelan. Dimitry memberontak—minta dilepas, tapi netranya terus tertuju pada Aurora. Menatap Aurora lekat.
Xavier berhenti, menoleh—menatap tajam Dimitry. "She's mine. Always mine," tegas Xavier.
Lalu kembali menarik Aurora pergi.
***
LEONIDAS Private Airport. NY, New York—USA | 01 : 58 PM
Lamborghini Veneno Roadster putih Xavier berhenti di landasan pacu bandara, tepat di sebelah pesawat Boeing 747-8 putih yang siap mengangkasa. Salah satu bodyguard bergegas mendekat—berniat membukakan pintu pesawat. Terlambat. Xavier sudah keluar, berjalan memutar, membuka pintu penumpang, menarik Aurora keluar—memaksanya masuk pesawat.
"Xavier! Lepaskan!" Aurora memberontak, tapi Xavier tidak mengindahkan—terus menarik Aurora, lalu melemparkannya ke kursi. Aurora hendak bangun. Tapi....
"Duduk." Xavier berucap dingin, menjejalkan kedua tangannya ke saku celana—menatap Aurora tajam. Aurora merinding, aura Xavier begitu mengerikan. Namun setelah itu pengumuman jika pesawat akan mengudara terdengar. Keberanian Aurora bangkit. Aurora tidak bisa diam—dia tidak akan pergi kemanapun tanpa Axelion.
"X! Kau tidak bisa seenaknya! Aku tidak mau ikut!"
"Kenapa? Karena lelaki itu?" tukas Xavier, tersenyum mengejek. "Kau masih belum puas bermesraan dengannya, hm?"
Aurora menatap Xavier tidak percaya. Bermesraan? Memangnya Xavier pikir dia apa? Ah, iya—pelacur. Aurora nyaris lupa. Seulas senyum getir terukir di bibir Aurora. "Ya, kau benar. Aku masih belum puas dengan Dimitry."
Xavier menggeram. "Jangan pernah menyebut namanya di depanku."
"Kenapa? Apa kau lupa bagimu aku pelacur? Pelacur bebas menyebut—"
Aurora tersentak. Xavier menarik tubuhnya, membawanya ke kamar—lalu menghempaskan tubuhnya sangat kasar ke ranjang.
Aurora terbelalak. Jemari Xavier membuka kemejanya sendiri, berlanjut ke ikat pinggangnya.
"Tidak... Tidak...X! Jangan...," pekik Aurora—mencoba bangkit. Gagal. Xavier sudah lebih dulu naik, meraih pundak Aurora—membanting kepala Aurora ke bantal. Aurora jatuh terlentang—tubuh Xavier menjulang di atasnya. Tampak mengerikan. Mata biru Xavier menatapnya dingin. Aurora berusaha memberontak, mendorong Xavier—tapi gagal. Xavier malah menindihnya, meremas dadanya kuat, memagut bibir Aurora kasar—menggigitnya. Tidak ada kelembutan sama sekali. Aurora meringis. Xavier seperti kesetanan.
Lalu, tiba-tiba saja Xavier menarik tubuhnya. Aurora segera beringsut pelan ke ujung ranjang—menghindari Xavier. Namun....
"Buka kakimu," geram Xavier. Matanya menatap Aurora dingin.
Aurora menggeleng panik, "Jangan, X... Kumohon....."
"This ... is how I treat you like a bitch...," bisik Xavier penuh emosi.
Xavier mendekat—mencengkram pundak Aurora keras, lalu merobek bajunya dengan sekali hentak. Aurora menjerit. Mulut Xavier sudah menempel di dadanya—melumatnya kasar, lidahnya mendesak paksa. Tubuh Aurora menggigil, bergetar—sangat ketakutan. Tidak ada kenikmatan sama sekali—Aurora merasa tidak dihargai. Xavier mengetatkan rahang, mendesis, peluhnya mengucur—lalu bergerak turun, membuka paksa paha Aurora—siap menyatukan tubuh mereka. Aurora menutup mata pasrah—mulai menangis, membiarkan Xavier sepenuhnya mengambil alih. Tubuh Aurora membeku, teringat perbuatan Andres di masa lalu.
Xavier mulai mendesak dalam—menyatuhkan tubuh mereka. Aurora menggeleng cepat—meringis kesakitan, kukunya mencengkram punggung Xavier—menyalurkan sakitnya yang luar biasa. Tubuhnya belum siap—rasanya seperti tersobek tiap kali Xavier bergerak. Dia merasa seperti pelacur rendahan yang tidak memiliki harga. Air mata Aurora merebak—digigitnya bibirnya kuat-kuat. Perih. Aurora nyaris mencapai batas ketika Xavier berhenti bergerak, tubuh mereka masih menyatu. Aurora meringis—masih terpejam, hangat napas Xavier terasa di kulit dinginnya.
"Lihat apa yang kau lakukan padaku," geram Xavier tertahan. "Katakan, Ara... Apa sebelumnya aku pernah mempelakukanmu seperti itu?" erang Xavier lirih—seakan menahan sakit.
Aurora menggeleng, gemetar—masih terlalu takut membuka mata. Xavier menangkup rahangnya, memiringkan kepala—menempelkan bibir mereka, kali ini sangat lembut, seakan Aurora adalah hal yang takut dia sentuh.
"Kau alasanku bernapas. Bukan pelacur yang akan kulepas." Suara Xavier dipenuhi emosi. Aurora membuka mata. Xavier menarik tubuhnya, merangkulnya—mendekapnya hangat. Tangan Xavier mulai menyelinap di punggung Aurora—mencoba menenangkannya.
"Izinkan aku menunjukkan bedanya." Xavier menenggelamkan wajah di leher Aurora, mengggigitnya pelan. "Biarkan aku masuk...."
Aurora mengerang—menutup mata. "Jangan seperti tadi...."
"Dengan syarat, jangan menyebut dirimu pelacur lagi," ucap Xavier serak.
Aurora mengangguk, membiarkan Xavier melanjutkan siksaannya, mengerang—nyaris tidak bisa bernapas ketika kenikmatan menyerangnya. Tidak ada lagi rasa sakit—tubuh Aurora sudah menerima. Kendali Xavier sangat kuat—mendesak masuk ke dalam Aurora. Aurora menjerit—mencengkram bahu Xavier, menegang ketika desakan besar itu datang lagi. Xavier mendorongnya menuju puncak berkali-kali. Kukunya menancap di otot keras Xavier—Aurora melenguh, merasakan semburan panas dan keras Xavier di dalam tubuhnya.
"Ini dia. Bisa kau rasakan bedanya?" erang Xavier—mencengkram pinggang Aurora, mengubah sudutnya, ingin masuk lebih dalam. "Kau lebih pantas diperlakukan seperti ini, dihargai—dipuaskan," desak Xavier serak—seakan belum merasakan klimaksnya.
Xavier menindih Aurora erat—menahannya agar tidak bergerak, mendesak—kuat dan cepat. Aurora tersentak keras—merasakan puncaknya lagi. Kali ini Xavier menyusulnya, gemetar hebat—dekapannya mengencang. Aurora nyaris tidak bisa bernapas, tidak berdaya—kembali jatuh dalam kuasa Xavier.
***
Xaviersudah turun dari ranjang—berdiri membelakangi Aurora, merapikan kemejanya.Aurora bergegas duduk—meraih selimut untuk menutupi tubuh polosnya dengan tanganyang masih bergetar, tubuhnya pegal. Gerakan Aurora disadari Xavier, lelaki ituberbalik—menatapnya tanpa ekspressi.
"Berhenti melawanku—dan aku akan minta maaf," ucap Xavier datar.
Aurora mengernyit—merasa dipermainkan. Amarahnya naik—teringat perlakuan kasar Xavier tadi. Dan lelaki ini tidak menyesal?! Aurora langsung mengambil hiasan dari dari atas nakas tanpa pikir panjang, melemparkannya ke kepala Xavier. Ternyata Kena! Xavier meringis, menyentuh keningnya dengan telapak tangan. Berdarah.
Xavier menatap Aurora tajam, tapi Aurora memilih mengalihkan pandangan—menanti amarah Xavier meledak. Namun ternyata tidak—Xavier malah pergi, digantikan oleh Pramugari yang masuk memberi Aurora baju ganti.
"Tolong berikan obat merah pada Xavier ya," perintah Aurora begitu Pramugari itu akan pergi.
Pramugari itu menunduk hormat. "Sudah, Nyonya. Tapi Tuan Leonidas menolak. Katanya dia menunggu Anda."
Aurora menatap tidak percaya, mengernyitkan hidung tidak suka—lalu menggeleng keras. "Kalau begitu sampaikan salamku saja. Katakan padanya, mati saja sana!"
TO BE CONTINUED.
____________________________________
HOPE YOU LIKE IT!
JANGAN LUPA KOMEN, VOTE + SHARE KE TEMEN KALIAN!
Cieee... Yang masih digantungin wkwkw.
Emoticon kalian untuk part ini?
Ada salam buat Xavier?
Buat Aurora?
Buat Dimitry?
Buat Baby Singa?
See you soon!
Sayang kalian.
With Love,
Dy Putina
Istri Sah Sean O'Pry
Jangan lupa follow :
@dyah_ayu28
@the.angels05
@xavier.leonidas1
@aurora.regina1
@axelion.leonidas
@crystal.leonidas
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro