Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

She BELONGS to The Prince | Part 17 - His Plan

XAVIER UPDATE!

JAM BERAPA KALIAN BACA INI?

HAPPY READING!

Puasa nggak puasa—baca aja. Part ini aman XD


Dimitry Romanov? Aurora mengernyit. Lalu ponsel Aurora kembali berbunyi—Dimitry lagi, kali ini menelponnya. Aurora menggeser layar ponselnya, mengangkatnya.

"Halo?" sapa Aurora.

Suara Dimirty lalu terdengar di seberang sana.

______________________

She BELONGS to the Prince | Part 17 – His Plan.

***

Playlist : Halsey - Not Afraid Anymore

https://youtu.be/dk4S0F0_UVw

Playlist kamu :

***

LEONIDAS Mansion. Manhattan, NY—USA. | 10:38 AM.

"Nona Victoria." Aurora baru sampai di ujung bawah tangga—sudah siap dengan sweeter merah dan mantel biru musim dinginnya—hendak pergi ketika Christian memanggil dari pintu utama mansion.

"Iya, Chris? Tumben kau tidak ikut Xavier?"

Christian menuduk hormat. "Ada beberapa berkas tuan Xavier yang harus saya ambil, Nona," ucap Chritian. "Beliau juga memerintahkan saya meminta tanda tangan Anda."

Aurora mengernyit. "Tanda tanganku? Untuk apa?"

Christian menunduk lagi, menunjukkan berkas yang dia bawa. "Berkas untuk pendaftaran black card untuk nama Anda, Nona."

Aurora melenguh. "Lupakan. Katakan padanya aku tidak butuh."

"Tapi ini perintah Tuan Xavier, Nona," katanya. "Saya sangat mohon kerja samanya-khawatir Tuan Xavier akan amat marah," ucap Christian lagi—masih menunduk. Aurora menghela napas, mendadak tidak tega pada Christian. Lagi. Entah kenapa dia Aurora merasakan orang terdekat Xavier menunjukkan gelagat yang tidak bisa. Ketika itu Crystal—sekarang sekarang Christian. Sebenarnya apa yang berubah dari Xavier tiga tahun ini hingga mereka semua takut padanya?

"Baik. Bawa kesini, Chris." Aurora melangkah—duduk di kursi ruang tamu. Mengalah. Christian menghampirinya—langsung memberikan bolpoin dan berkas.

"Lebih baik Anda baca semuanya dulu, Nona."

"Tidak perlu. Aku percaya padamu," jawab Aurora, buru-buru menandatangani tempat dimana namanya tertulis, lalu mengulurkannya pada Christian. Christian langsung mengambilnya, tapi kepalanya masih tertunduk—seakan takut menatap Aurora. Aurora bisa merasakannya.

"Chris...."

"Iya, Nona?"

"Sebenarnya apa yang Xavier lakukan tiga tahun ini? Aku tidak tahu ini hanya perasaanku saja, atau dia sudah banyak berubah?"

"Semua orang berubah Nona. Termasuk saya dan Anda," jawab Christian diplomatis.

Aurora merengut sebal. "Aku sedang bertanya tentang Xavier, Chris. Apa karena Granpda Clayton sudah tidak ada—kau jadi sangat susah bebagi informasi denganku?"

Christian menggeleng, tersenyum tipis.

"Lalu?" desak Aurora.

Christian berdehem. "Saya sendiri tidak tahu harus menjawab apa, Nona. Tiga tahun belakangan emosi Tuan Xavier sangat meledak-ledak. Beliau susah didekati, misterius—sangat tertutup, termasuk dengan saya. Bahkan saya merasa tidak lagi mengenalnya seperti dulu," ucap Christian. Aurora mengernyit—merasa bingung. Seingatnya, dulu Christian adalah tangan kanan Xavier—bagaimana bisa Xavier seperti ini?

"Tapi yang tetap saya yakini—beliau masih sangat mencintai Anda, Nona. Termasuk Tuan muda Axelion. Keadaan jadi membaik begitu kalian kembali."

"Sepertinya untuk itu kau salah, Chris," ucap Aurora—tersenyum miris.

Christian menggeleng. "Saya sendiri yang memperhatikan perubahan emosinya beberapa hari terakhir. Tuan Xavier bahkan menyapa semua orang ketika membawa Tuan muda Axelion ke kantor—hal yang sebelumnya mustahil dia lakukan. Beliau bahkan sangat sabar menghadapi Tuan muda Axelion yang manja."

"Iyakah?" tanya Aurora tertarik.

Christian mengangguk, tersenyum. "Ketika Tuan muda Axelion tidak mau digendong Nannynya, Tuan Xavier yang menggedong Tuan muda kemana-mana—bahkan saat rapat. Saya jadi teringat pada Tuan Javier Leonidas—dulu ketika Tuan Xavier kecil, beliau juga bersikap demikian."

Aurora sebenarnya masih ingin bertanya banyak—tapi dering ponsel yang membuat Christian undur diri mengurungkannya, apalagi dia ingat—dia harus segera bertemu Dimitry. Akhirnya Aurora bergegas, berjalan menuju pintu, tadi Aurora sudah menyuruh pelayan menyiapkan mobil—tapi suara Christian terdengar lagi.

"Anda ingin pergi, Nona?" tanya Christian. Aurora menoleh—Christian sudah menurunkan ponselnya.

"Iya. Belanja. Tuanmu yang seenaknya itu menyuruhku menghabiskan uangnya," gerutu Aurora—mencoba mencari alasan, tidak mungkin dia mengatakan soal Dimitry.

Christian tersenyum tipis, menundukkan kepala, memberikan hormat—membiarkan Aurora melanjutkan langkah, lalu kembali berbicara dengan orang di ujung sambungan.

***

LEONIDAS Skyscraper Centre. Manhattan, NY—USA | 10:42 AM.

"Perintahkan beberapa bodyguard mengikutiya. Jangan lepaskan mata kalian—kirim semua kegiatannya padaku," ucap Xavier. Mata tajamnya melayang, menatap pemandangan laut di kejauhan lewat balkon lantai dua puluh tiga Leonidas Centre.

"Baik, Tuan muda."

"Satu lagi. Kau mendapatkan tanda-tangannya?"

Jeda yang cukup panjang. "Chris?" ulang Xavier.

Christian berdehem. "Saya mendapatkannya, Tuan muda. Nona Aurora menandatanganinya tanpa membaca."

"Bagus," desah Xavier puas, tersenyum. "Langsung urus semua berkasnya—termasuk akta lahir Axelion. Aku mau semuanya selesai begitu aku mendarat di Barcelona. Tanpa terkecuali."

"Akan saya lakukan, Tuan muda," jawab Christian cepat—Xavier langsung memutuskan sambungan telponnya, memasukkan ponselnya ke saku jas—mendesah panjang, masih menatap ke kejauhan. 

"Mr. Leonidas." Xavier menoleh. Ruby, si rambut merah—sekretaris Xavier tiga tahun belakangan memanggilnya.

"Miss Mikhailova datang, beliau menunggu di ruang kerja Anda."

Xavier melihat arlojinya. "Jam berapa hingga meeting kita selanjutnya?"

"Masih dua puluh menit lagi, Sir. Mr. Stevano dan Mr. Lucero juga dipastikan datang—mereka sudah dalam perjalanan," jelas Ruby cepat.

"Berkas-berkas?"

"Sudah saya siapkan, Sir."

Xavier mengangguk, langsung berjalan—membiarkan Ruby mengikutinya di belakang. Menunduk dan tersenyum tipis ketika beberapa orang menyapanya—membuat kantor kembali geger dengan perubahan prilaku Xavier beberapa hari terakhir. Terbukti, Xavier sendiri bisa mendengar bisik-bisik di belakangnya sebelum dia masuk ke dalam elevator khusus. Biasanya Xavier tak segan memperingatkan mereka—tapi tidak sekarang, moodnya sedang cerah.

Elevator berdenting—berhenti di lantai 93. Ruby menuju mejanya, tidak mengikuti Xavier yang langsung masuk ke ruangannya. Ternyata Kendra sudah ada disana—duduk di sofa, wajahnya gelisah.

"X!" Kendra langsung berdiri begitu menyadari kehadiran Xavier.

"Kau tidak berkata akan kemari," ucap Xavier berbasa-basi, lalu duduk di kursi kebesarannya. Kendra berjalan mendekat.

"Aku sebenarnya memang sudah berencana datang. Aku ingin melihat Axelion. Bagaimana kabarnya?"

"Baik, sudah aku urus. Sebentar lagi nama belakangnya sudah berganti Leonidas."

"Syukurlah," ucap Kendra lega—yang tidak sampai ke mata. Jemari Kendra saling meremas, gugup.

Lagi. Xavier melirik arlojinya. "Tiga belas menit. Waktuku tidak banyak."

"Xavier!" erang Kendra, langsung berjalan ke arah Xavier—berdiri di depannya, dibatasi meja besar. "X... Aku hamil," ucap Kendra pelan.

"Well, selamat."

"Selamat?!" Kendra langsung memekik. "Ini salahmu, kau tahu?! Salahmu!"

Xavier mengngakat alis. "Okay, salahku. Lalu?"

"Kau harus bertanggung jawab! Aku tidak mau tahu, X!"

"Alright," jawab Xavier cepat. Berdiri—membenarkan posisi jasnya, lalu berjalan ke pintu, melewati Kendra. "Kau mau aku menikahimu?"

Kendra menggeram. "X! Aku serius!"

Xavier menyeringai. "Santailah. It's not a big thing. Akan aku urus setelah ini," ucap Xavier—keluar dari ruangan, tidak memedulikan teriakan Kendra hingga pintu yang tertutup meredamnya. Ruby ternyata sudah berdiri—menunggunya di luar, mendampinginya memasuki elevator lagi—turun satu lantai ke tempat meeting.

***

Begitu Xavier masuk—semua orang sudah datang, termasuk Andres dan Kenneth. Kenneth duduk di kursi sebelah kanan Xavier—bersebelahan dengan Andres. Tanpa berkata apapun, Xavier duduk di kursinya, membiarkan moderator membuka meeting—membacakan agenda yang diikuti presentasi Andres Lucero, dia perwakilan Blue Moon—perusahaan tambang minyak yang kini dibawahi Leonidas International.

"Kita membuka tambang baru di Meksiko tahun ini—efeknya besar, peningkatan produksi barel minyak per-harinya naik. Tapi terkait produksi minyak di Libya...." Andres terus menjelaskan progress perkembangan minyak yang menjadi tanggung jawabnya—prestasi dan kendalanya. Xavier menyentuh layar tab di depannya—membaca sendiri data-data produksi barel minyak yang tengah dijelaskan Andres.

"Memang produktifitas minyak di Libya mengalami penurunan—tapi masih sangat banyak minyak yang bisa kita ambil selama beberapa tahun ke depan. Selain itu—Drilling Consultan kita juga sudah mulai menemukan sumber-sumber minyak baru—itu nantinya akan kembali kita eskplorasi demi meningkatkan produksi minyak kita lagi."

"Bagus sekali, Mr. Lucero." Xavier memuji Andres ringan—hal yang tidak akan mungkin dia lakukan di luar konteks pekerjaan. Lagipula hubungan mereka sekarang hanya sebatas ini, hanya rekan kerja tanpa ikatan persahabatan. "Segera kirimkan prosalnyanya padaku begitu siap—aku ingin segera meninjaunya."

Andres mengangguk. "Baik, Mr. Xavier," ucapnya—tersenyum miring, sengaja tidak menyebutkan nama belakang Xavier. Xavier menatapnya tajam, tapi Andres mengabaikannya—kembali ke tempat, membiarkan kesempatan yang lain menampilkan presentasi mereka.

Satu jam berlalu, meeting terus berjalan dengan masukan dari berbagai pihak—terutama Xavier. Xavier terus berkonsentrasi—memerhatikan tiap detail. Lengan kanannya dia topangkan di permukaan meja—sementara jemarinya yang anggun mengetuk permukaan meja dengan berirama. Mata birunya melirik tajam—terlihat jantan, membuatnya menjadi sorotan beberapa peserta perempuan.

Sayangna konsentrasi Xavier langsung buyar begitu sebuah pesan masuk ke ponselnya. Laporan bodyguardnya—Xavier menggeram, memberi isyarat pada sekretarisnya agar mendekat.

"Gantikan aku. Catat detailnya—lalu kirimkan nanti."

Ruby mengangguk. "Baik, Sir."

"Kosongkan juga jadwalku untuk beberapa minggu kedepan. Pindahkan semua ke Barcelona jika memungkinkan—minta Christian mengurusnya. Lalu, siapkan juga pesawat ke Barcelona sekarang," ucap Xavier dingin—tanpa bisa dibantah, langsung keluar dari ruangan saat itu juga.

Kenneth mengikuti Xavier—merasa ada yang salah. "X!"

Xavier berhenti berjalan, melirik Kenneth dengan satu alis naik—teringat sesuatu yang nyaris dia lupakan. "Kenapa kau harus buru-buru kembali ke Barcelona? Ada masalah?" tanya Kenneth khawatir.

"Tidak. Semuanya baik."

Kenneth mengernyit. "Lalu?"

"Axelion—aku berhasil mengambilnya. Dia akan kubawa pulang."

Kenneth tersenyum. "Dengan Ibunya?"

Xavier mengangkat bahu. "Belum kupikirkan. Kau tahu aku akan bertunangan. Apalagi...." Xavier menggantung ucapannya, tersenyum miring. "Kendra berkata dia hamil. Sepertinya aku harus segera menikahinya."

Senyum Kenneth langsung hilang. "Wait...." Kenneth tergagap. "Kendra hamil? Anakmu? Kau yakin?" tanya Kenneth bertubi-tubi.

Xavier mengangkat bahu "Aku tidak tahu. Seingatku aku tidak pernah tidur dengan siapapun kecuali...," ucap Xavier menggantung, menutup mata—menggeram pelan, teringat akan kemarahannya. "Sudahlah. Lagipula itu sama sekali bukan masalah."

"Bukan masalah?" geram Kenneth.

Xavier mengangguk, tersenyum miring. "Lagipula Kendra juga sudah menerima Putraku, aku harus melakukan hal yang sama ya kan?"

Tanpa menunggu respon Kenneth, Xavier mengambil satu langkah mundur—meninggalkan Kenneth, masuk ke elevator dan langsung memenecet tombol lantai basement tempat mobil-mobilnya terparkir. Sebelum pintu elevator tertutup, sebenarnya Xavier sempat melihat Kendra berjalan keluar dari elevator yang lain—berjalan ke arah ruang meeting, tapi Xavier mengabaikannya. Jangankan itu—Xavier bahkan sama sekali tidak merespon sapaan pegawai yang dia temui.

Sepuluh menit kemudian, Xavier sudah mengendari Lamborghini Veneno Roadster putihnya di jalanan kota Manhattan. Kendra menghubunginya berkali-kali, namun Xavier mereject-nya—dia lebih memilih menghubungi Aurora yang tidak tidak kunjung menjawab. Xavier mencoba lagi—dua kali, tiga kali—hingga delapan belas kali, masih tidak ada jawaban. Padahal di sisi lain, bodyguard yang dia perintahkan terus mengirim gambar Aurora berdua dengan pria itu!

Xavier menggeram, memukul setir. Amarah Xavier naik, dia menghantamkan ponselnya ke kaca depan sembarangan, menginjak pedal gas keras-keras, mengemudi dengan gila—nyaris menyentuh kecepatan maksimal, berkali-kali membanting setir—nyaris celaka, tapi Xavier tidak peduli.

Ini soal miliknya, kematian tidak akan membuat Xavier Leonidas berhenti.

TO BE CONTINUED.

____________________________________

HOPE YOU LIKE IT!

JANGAN LUPA KOMEN, VOTE + SHARE KE TEMEN KALIAN!

Emoticon kalian untuk part ini?

Nggak ada singa kecil, nggak ada interaksi Aurora-Xavier—tapi part ini full soal Xavier. Dy berusaha ngegambarin kayak apa Xavier Leonidas sekarang wkwk. Menurut kalian, ada bedanya nggak Xavier Leonidas di SOTDP sama SBTTP?

Btw SBTTP cuma nyambung ke work PERFECT LOVE—nya Mamah Flara Deviana. Yang lain nggak ada. 

See you soon!

Sayang kalian.

With Love,

Dy Putina

Istri Sah Sean O'Pry

Jangan lupa follow :

@dyah_ayu28

@the.angels05

@xavier.leonidas1

@aurora.regina1

@axelion.leonidas

@crystal.leonidas 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro