She BELONGS to The Prince | Part 15 - Don't Let Him Take Control
XAVIER UPDATE!
JAM BERAPA KALIAN BACA INI?
Jangan lupa klik bintang + komen yang banyak ya!
Happy reading!
"Well, jadi ucapanmu kemarin serius?" bisik Xavier sembari mengulurkan jemarinya, menyelipkan untain rambut Aurora ke belakang telinga.
Aurora balas menatap Xavier dengan hidung mengernyit sebal. Kesalahan. Xavier malah menyeringai—mengambil kesempatan untuk mengecup kening Aurora, lalu berbisik di telinganya. "Katakan... Kau mau Mall yang mana?"
__________________________
She BELONGS to The Prince | Part 15 – Don't let him take control
***
Playlist : Shawn Mendes - If I Can't Have You
https://youtu.be/oTJ-oqwxdZY
Playlist kamu :
***
Metropolitan Museum of Art. Manhattan, NY—USA. | 02:05 PM
"Kenapa kita berhenti disini, Crys?"
"Bersenang-senang, tentu saja. Bukankah kau suka seni?" Crystal mengambil Axelion di pangkuan Aurora—lalu keluar dari mobil. Aurora mengikutinya. Limousine yang mereka naiki berhenti di depan Metropolitan Museum of Art—salah satu galeri seni terbesar di dunia. Gedungnya besar dan megah—ramai dengan pengunjung yang kini menatap mereka.
"Ital! Where are we, Ital?" tanya Axeliion.
Crystal mengecup pipi Axelion gemas. "Ini namanya Museum Seni, Boy. Kau ikut Crystal masuk ya?" Axelion mengangguk semangat.
"Tapi, Crys... Bukankah kita seharusnya ke Westfiled World Trade Center atau the Shops at Colombus Circle?" Aurora mengingatkan, menyebutkan dua nama Mall terbesar di New York yang sudah Xavier kosongkan. "Kau sendiri yang memintanya. Aku takut Xavier akan—"
"Ah iya... Aku lupa," potong Crystal sembari memanggil pelayannya. Aurora mengira mereka akan pergi. Tapi....
"Kemarikan black cardmu, Vee."
"Hah?"
"Cepat...," desak Crystal. Aurora mengernyit bingung. Tapi dia langsung meminta tasnya dari Margareth—mengambil dompetnya, dan memberikan black cardnya pada Crystal. Crystal mengambilnya.
Tanpa Aurora duga, Crystal malah memberikannya pada pelayan yang sudah menghampiri mereka. "Kau pergilah, bawa sopirnya. Belanjakan baju, sepatu, make up, perhiasan, tas—apapun—yang banyak untuk kami. Waktumu tiga jam dari sekarang. Nanti kau kesini lagi. Mengerti?"
"Baik, Nona."
"Crys...."
"Aku dengar kau punya anak laki-laki?" Mengabaikan Aurora, Crystal bertanya lagi. Menebak-nebak—padahal sebenarnya dia tidak tahu. Benar saja, pelayan itu menggeleng. "Tidak, Nona. Anak saya—"
"Ah, iya. Belikan juga apa saja untuk anakmu. Tapi rahasiakan ini dari Kakakku ya?" Lagi. Crystal memotongnya, lalu tersenyum puas melihat pelayan itu mengangguk paham. Berbeda dengan Aurora yang menatap Crystal tidak percaya.
"Astaga, Crys! Kau mau menipu Xavier?"
Crystal menoleh, mengangkat alis. "Tidak... Kita memang berbelanja kan? Tapi di wakilkan."
"Tapi tetap saja—"
"Sudahlah, Vee... Memangnya kau suka menghabiskan waktumu memutari Mall?"
"Tidak. Tapi bagaimana jika Xavier—"
"Xavier tidak akan tahu," potong Crystal cepat—secepat dia menarik Aurora menaiki tangga Museum. "Kau tenang saja. Aku dan Mommy sudah sering begini. Anggap saja aku sedang mengajarimu, intinya don't let them control you. Itu cara menjadi wanita Leonidas yang pintar." kekeh Crystal.
Aurora hanya bisa menggeleng, menepuk lengan Crystal lalu ikut masuk—tanpa perlu antri mendaftar. Seorang pertugas juga langsung menghampiri mereka—mendampingi mereka tour keliling Museum. Mulai dari lorong yang memamerkan karya seni Mesir Kuno seperti peti mummi, Temple of Dendur hingga air yang menggambarkan sungai Nil. Berlanjut ke sayap Amerika dengan tiang lampunya yang khas, fasad bank dari wall street—lalu berbelok menuju lorong yang memamerkan kesenian di abad pertengahan.
"Mommy, look! This is the Knight's armor in Daddy's story, right?" Axelion menunjuk baju zirah kuno yang dipajang di tengah ruangan—lengkap dengan kuda besinya.
"Benar. Kenapa ada disini ya?" Crystal yang menjawab. Aurora tersenyum—lalu mengambil Axelion yang meminta digendong—mengecup puncak kepalanya. Tapi....
"Buy me, Ital! I want it! Buy me!"
"Woah... Lihat kesana Axelion. Apa itu?" Aurora langsung menyela, mengalihkan perhatian Axelion—membawanya menjauh menuju karya seni kaca berwarna-warni.
Berhasil. Axelion tertarik, bahkan meminta diturunkan—berjalan lincah, menunjuk semua hal. Crystal terkekeh—mengikuti mereka. Ikut melihat-lihat Instrumen musik, aksesories juga desain Interior bangsawan dari zaman pertama Romawi, Bizantium, Islam hingga design modern Amerika.
Akhrinya dua jam lebih berlalu. Axelion lelah—minta digendong, lalu tertidur di pelukan Aurora. "Akhirnya dia capek juga," ucap Crystal, menoel pipi Axelion gemas.
"Jangan diganggu, nanti dia bangun lagi," Aurora memeringatkan, mengecup puncak kepala Axelion—tapi pandangannya tearah pada lukisan dua gadis yang duduk di tengah padang rumput. Crystal ikut melihatnya.
"Aku tidak tahu seni. Tapi aku merasa lukisan ini bagus sekali," komentar Crystal.
Aurora tersenyum. "Pierre Aguste Renoir – On the Meadow," jelas Aurora, menyebut nama pelukis dan lukisannya. "Aku sangat suka karyanya. Lukisan-lukisannya tidak mengandung pengalaman dan kegelisahan—sebaliknya, dia membawa emosi positif, menunjukkan pesona kehidupan dan dunia di mana kita hidup."
"Iyakah? Aku tidak berpikir sampai kesana."
"Lihat saja yang ini," ucap Aurora—penuh semangat. "Gambar kedua gadis itu memang diambil dari belakang. Tapi pinggang ramping, ikat pinggang berwarna, gaun terang yang lebar dan rambut mereka yang bergelombang panjang—menunjukkan mereka sangat cantik. Lalu tidak jauh dari mereka, ada topi yang dilempar sembarangan. Ada juga siluet kecil orang di kejauhan. Itu—"
"Astaga.... Dasar jiwa artist! Kau melihat hingga begitu detailnya?" tanya Crystal—tidak percaya.
Aurora menoleh, mengernyit. "Maksudmu?"
"Aku bahkan tidak akan melihat topinya jika bukan karenamu—apalagi siluet orang-orang itu!"
Aurora terkekeh. "Itu serunya seni, Crys. Tiap detail sangat berarti," ucapnya, melihat lukisan itu lagi. "Dari semua detail itu aku sudah bisa membayangkan bagaimana situasi mereka. Dua gadis itu menikmati alam sembari berbincang dari hati ke hati. Mereka mengumpulkan buket bunga indah di tengah rumput bersama—tidak memedulikan hal lain." Aurora menoleh pada Crystal—tersenyum geli. "Persis seperti ketika kecil dulu kan?"
Crystal tersenyum. "Kau membuatku merasa jika dua gadis itu kita, kau tahu?"
"Well, tidak mungkin."
"Huh?"
"Lukisan itu selesai pada tahun 1895. Kau memangnya setua itu?"
"Vee! Bukan itu maksudku!" Crystal memekik sebal, menyenggol lengan Aurora. Tapi setelah itu dia tertawa, mengajak Aurora melihat lukisan-lukisan bagus yang lain. Aurora menjelaskan tanpa ditanya—menggebu-gebu, beberapa orang sampai memerhatikannya—ikut mendengarkan. Cerita Aurora terputus ketika ponsel Crystal berdering.
"Aku mengangkat ponselku dulu ya, Vee...." Crystal berpamitan.
Aurora mengangguk, lalu kembali menekuri lukisan-lukisan di dinding. Cukup lama. Kali ini perhatiannya terarah lukisan Maria yang menggendong Bayi Yesus.
"Stoclet Madonna oleh Duccio di Buoninsegna," ucap suara berat di belakang Aurora tiba-tiba. Aurora tersentak, menoleh—makin terkejut lagi mendapati Dimitry Romanov ada di depannya.
"Mr. Romanov...."
Dimitry tidak menjawab, hanya tersenyum penuh arti—mengabaikan keterkejutan Aurora, lalu maju, berdiri di samping Aurora dan menatap lukisan itu lagi. "Kau tahu cerita di balik lukisan ini? Aku perhatikan sejak tadi sepertinya kau tahu banyak."
"Sejak kapan Anda disini? Anda memerhatikan saya?" Aurora mengernyit—bertanya-tanya. Kehadiran Dimitry saja sudah keanehan. Lagi. Dimitry tersenyum.
"Vee!"
Belum sempat Dimitry menjawab, panggilan Crystal terdengar. Aurora menoleh, menatap Crystal yang berjalan ke arahnya.
"Kau belum selesai? Aku sudah membooking restaurant. Kita makan sebentar—lalu pulang," ucap Crystal begitu sampai di depannya. Aurora menoleh—hendak menatap Dimitry, tapi lelaki itu sudah tidak ada. Aurora mengedarkan pandangan--mencarinya.
"Vee! Apa yang kau cari?"
"Temanku. Tadi aku melihatnya disini."
"Siapa?" Crystal ikut mencari, tapi Dimitry memang sudah pergi.
***
LEONIDAS Mansion. Manhattan, NY—USA. | 07:15 PM.
Aurora baru selesai mandi, rambutnya terurai, mengenakan kimono tidur hitamnya—tampak segar. Xavier belum pulang. Jadi Aurora langsung ke kamar Axelion—tapi ternyata singa kecilnya tidak ada.
"Dimana Axelion?" tanya Aurora kepada Margareth.
Margareth langsung menunduk. "Tuan muda Axelion sedang bersama Tuan Xavier, Nona."
"Xavier? Dia sudah pulang?"
"Iya, Nona. Mereka sedang berenang di kolam renang indoor."
"Malam-malam begini?" decak Aurora tidak suka, langsung menyusul Axelion. Cuacanya sedang tidak baik—Aurora takut Axelion sakit.
Aurora baru sampai di ujung lorong ketika dia mendengar suara kecipak air yang diikuti tawa Axelion. Axelion sudah ada di tengah kolam—mengenakan pelampung, Xavier mengajarinya berenang. Aurora mendekat, lalu menelan ludah. Xavier tampak seksi dengan celana renangnya.
Aurora menggeleng—berusaha mengenyahkan pikirannya, lalu duduk di tepi kolam. "Little Lion...," panggil Aurora. Axelion tidak menoleh—terlalu asyik, yang menoleh malah Xavier.
"Boy.... Dipanggil Mommy...."
"Mommy?" Axelion menoleh, tersenyum senang melihat Aurora. "Mommy! Look, Mommy! I can swim!" teriak Axelion heboh. Kaki dan tangan Axelion bergerak-gerak—mempraktekkan gerakan renangnya. "I can swim, Mommy! Look at this!"
Aurora tersenyum. "Hebatnya Singa Mommy... Ayo kemari."
"Dad! Take care of me! Help me swim toward Mommy!"
"Kenapa kau tidak berenang sendiri, Boy?" goda Xavier.
Axelion mencebikkan bibir. "Please, Daddy... What if I sink?"
Xavier tertawa, menjaga Axelion berenang ke tepian. Axelion tampak kesusahan—tapi semangatnya luar biasa. Apalagi dari tepian Aurora menyemangatinya.
"Kemari...." Aurora mengulurkan tangan—membawa Axelion yang sudah di tepi naik. Margareth dengan cekatan memberikan handuk tebal padanya. "Singa kecil Mommy pintar sekali. Setelah ini kau tidur ya?" puji Aurora sembari mengeringkan tubuh Axelion.
"With Mommy?"
"Axelion ingin tidur dengan Mommy?"
Axelion mengangguk cepat. Aurora tersenyum—lalu mengecup pipi Axelion. "Baik. Nanti Mommy tidur di kamar Axelion."
Xavier melirik Aurora, ikut naik ke tepian juga.
"Bawa Axelion masuk, ganti bajunya," perintah Xavier pada Margareth.
Margareth dengan cekatan langsung mengambil Axelion. Axelion menurut—bahkan terus berceloteh ketika Margareth membawanya menjaduh. Aurora tersenyum, hendak menyusul Axelion ketika....
"Ambilkan handukku."
Aurora menoleh, menatap Xavier sebal. "Kenapa harus aku? Suruh saja pelayan."
"Memangnya kau mendengar aku menyuruh pelayan?" tanya Xavier, menatap Aurora tajam.
Aurora mengembuskan napas kesal, mengalah—mengambilkan handuk Xavier dan mengulurkannya. Sayangnya Xavier malah mencekal tangannya, membawanya terjun ke air kolam.
"Xavier!" Aurora berteriak panik, reflek mengalungkan tangannya di leher Xavier.
Xavier menyeringai. "Ya, Mommy?"
"Naikkan aku!"
"Well, kau bisa sendiri. Kolam ini juga hanya setinggi dadamu," ucap Xavier geli.
Aurora mencoba menurunkan kakinya. Xavier benar. Kakinya sampai—dia tidak tenggelam sekalipun berdiri. Aurora langsung melepas pelukannya, mengusap wajahnya yang terciprat air—menolak menatap Xavier dan berdehem.
"Tetap saja! Sebelumnya aku sudah marah padamu. Dan kau malah menarikku ke—"
"Marah? Marah kenapa?" potong Xavier cepat, melangkah maju, meraih wajah Aurora—membuatnya mendongak, lalu menempelkan kening mereka. "Katakan, kenapa Mommy muda ini marah?"
Aurora menelan ludah, mencoba tegas. "Ini sudah malam! Kau tidak seharusnya membawa Axelion berenang!"
Xavier mengernyit. "Lalu kapan lagi? Kau tahu sendiri aku sibuk seharian."
"Hari Minggu? Aku takut dia sakit, X. Lagipula Kau masih bisa mengajaknya bermain yang—" Aurora menutup mata, berusaha menahan erangan. Lidah Xavier sudah bermain di telinganya. Aurora dengan segera mendorong tubuh Xavier. Xavier menahan pinggangnya. "Xavier...."
"Okay, aku paham. Aku tidak akan mengajak Axelion berenang malam-malam lagi."
"Bagus. Sekarang lepaskan aku," erang Aurora tertahan.
Xavier menggeleng. "Tidak bisa. Aku sudah melepas Axelion. Kau harus menggantikannya."
"Aku masih harus menemani Putramu, Xavier!"
"Nanti saja. Setelah kau meneritakan kegiatanmu hari ini. Aku ingin tahu." bisik Xavier, makin merapatkan tubuh mereka. Hidung Xavier menjelajah—mengendus leher Aurora lagi. Menggigitnya kecil-kecil. Aurora mengerang.
"Lagipula Axelion juga sudah punya Nanny. Kalau aku? Siapa Nannyku?"
"Baiklah... Baik," ucap Aurora mengalah. "Tapi kita ke kamar saja. Jangan disini—aku lelah. Lagipula aku yakin, kau juga pasti berniat yang lain juga, kan?"
Xavier menyeringai—membenarkan. Dia memberikan satu kecupan panjang di leher Aurora lalu membantunya naik ke pinggiran kolam. Xavier hendak menyusul, tapi Aurora malah mendorong pundak Xavier—membuat Xavier jatuh ke kolam.
"Tidak punya Nanny?" ejek Auror sembari berkacak pinggang. . "Sewa saja tiga atau empat baby sitter. Bukannya harusnya kau bisa, Daddy?"
Xavier sudah berdiri, mengusap wajahnya. Merasa tidak nyaman dengan air yang masuk ke hidungnya, lalu menatap Aurora tajam. "Kau—"
"Atau begini...," belum sempat Xavier bicara—Aurora memotongnya cepat, tersenyum mengejek. "Pindah saja ke kolam ikan, aku jamin kau tidak akan berenang sendirian," kekeh Aurora, melambaikan tangan mengejek.
Tapi setelah itu Aurora langsung berlari menjauh—khawatir Xavier yang mulai naik dari kolam akan menyusulnya.
TO BE CONTINUED.
___________________________
HOPE YOU LIKE IT!
JANGAN LUPA KOMEN, VOTE + SHARE KE TEMAN KALIAN YA!
Emoticon untuk part ini?
Gara-gara Crystal, Ara-ku balik bar-bar lagi -_-
Masih setia kah di tim kalian? Wkwk
#TeamAra
#TeamX
#TeamCrystal
Btw mungkin akan ada update satu chapter lagi sebelum Dy mau liburan. Soalnya kalau di rumah Dy nggak bisa ngetik hehe—yang ada dimarahin. Jadi Dy bakal ngilang sampai masuk kampus lagi huhu.
See you soon! Sayang kalian!
With Love,
Dy Putina
Istri Sah Sean O'Pry
Jangan lupa follow :
@dyah_ayu28
@the.angels05
@xavier.leonidas1
@aurora.regina1
@axelion.leonidas
@crystal.leonidas1
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro