She BELONGS to The Prince | Part 14- Best Friend means Best Retaliation?
XAVIER UPDATE!
JAM BERAPA KALIAN BACA INI?
Jangan lupa klik bintang + komen yang banyak yaaa!
Happy reading!
Btw spoilernya masih kejauhan ternyata :') Dy pengen nangis. Akhirnya judul part ini masih gini—maafkan ya. Janji failed :(
"Xavier!"
"See you, Mommy," tukas Xavier, langsung masuk ke dalam Helicopter—sengaja mengabaikan teriakan Aurora.
Beberapa saat kemudian Helicopter itu sudah menghilang di angkasa—tapi tidak dengan debaran di dada Aurora.
___________________________
She BELONGS to The Prince | Part 14- 'Best Friend' means the 'Best Retaliation'
***
Playlist : David Archuleta – Crush
https://youtu.be/6J1-eYBbspA
***
LEONIDAS Mansion, Manhattan, NY—USA. | 09:10 AM
Aurora baru saja masuk ke mansion ketika dia melihat Crystal duduk di sofa sembari memegang majalah. Crystal meliriknya, tapi Aurora langsung mengalihkan pandangan. Berhadapan dengan Crystal hanya akan membuat moodnya jatuh—Crystal pasti akan mengabaikannya lagi. Karena itu Aurora terus berjalan, namun....
"Bagus! Jadi sekarang kau mengabaikanku!"
Aurora berhenti—menghela napas, tanpa menoleh. "Bukannya dari kemarin malah kau yang terus-terusan mengabaikanku?"
"Itu karena aku marah! Kau tidak sadar?" erang Crystal.
Suara langkah kaki terdengar mendekat. Aurora menoleh. Crystal Leonidas sudah berdiri di depannya, mata birunya menatap Aurora tajam.
"Lalu aku harus apa, Crys? Apa maumu?"
"Seharusnya aku yang bertanya, apa maumu, Vee?!" sentak Crystal, matanya mulai berkaca-kaca. "Selama ini aku berusaha keras menghubungimu—dan selalu gagal. Kau memutuskan hubunganmu dengan kami. Denganku... Dengan Mommy... Dengan Daddy.... Dan sekarang karena Axelion kau muncul lagi?" Crystal mulai terisak.
"Kau selalu seperti ini. Kau tidak pernah sekalipun memedulikanku. Okay... Aku mengerti kau pergi karena si brengsek itu menyakitimu. Tapi aku? Apa salahku, Vee? Kenapa kau harus mengabaikanku juga?" Crystal menjeda ucapannya. Terbatuk. Jemari Crystal mengusap air matanya yang jatuh. Aurora hanya diam—membiarkan Crystal menumpahkan semua emosinya.
"Baik. Aku berusaha menerima. Selama ini aku menganggapmu memang berniat menghapus rasa sakitmu—termasuk kami semua. Tapi kenapa setelah itu kau malah kembali pada Xavier tanpa mengabariku? Dia yang sudah menyakitimu, Vee! Bukan aku.... Tapi kau malah...." Sekali lagi Crystal menjeda ucapannya—menghapus air mata, tak kuasa melanjutkan. "Aku jadi bertanya-tanya, apa artinya aku? Apa pesahabatan kita tidak ada artinya bagimu?!"
"Crys.... Kau—"
"Setelah ini apa? Kau masuk ke kehidupanku—lalu kau pergi lagi?! Lakukan saja. Bukankah itu memang keahlianmu, Vee?! Soal Axelion tenang saja, tanpa kau ada—keluarga kami juga mampu mengurusnya."
"CRYSTAL LEONIDAS!" sentak Aurora. Crystal membatu, tidak menduga Aurora akan membentaknya sekeras itu.
"Semua yang aku lakukan, itu karena Axelion. Aku diam juga karena Axelion. Bahkan aku kembali juga karena Axelion. Kalau bukan karena kakakmu yang brengsek—yang mengancam akan mengambil putraku—aku tidak akan kembali. Tapi semua ini kulakukan hanya untuk Axelion, Crys! Demi Putraku!" Tangan Aurora terkepal—menahan emosi seperti yang selama ini dia lakukan. Tidak bisa. Air mata Aurora jatuh. Untuk kali pertama setelah sekian lama—Aurora meledak.
"Ya, kau mungkin melihat Xavier memberiku banyak hal, terutamaa kemewahan—termasuk tiga black cardnya. Tapi tetap saja—disini posisiku hanya pelacur. Pelacur Xavier! Aku hanya menempati tempat hingga pemilik aslinya datang. Aku hanya barang yang akan Xavier buang ketika dia bosan."
Crsytal menggeleng. Aurora tersenyum miris—langsung teringat dengan kebahagiaannya tadi. Kebahagiaan semu. Kenapa dia dengan mudahnya terbuai?
"Aku yang sekarang sudah bukan teman yang takut sahabatnya pergi. Aku juga sudah bukan wanita yang takut ditinggal kekasihnya. Aku hanya seorang Ibu yang takut kehilangan putraku, Crys."
"Vee..." Crystal makin menggeleng—tangisnya makin keras.
"Kalau alasan itu yang membuatmu marah—aku minta maaf." Aurora menghapus air matanya dengan punggung tangan. "Kau benar, saat itu aku memang berniat menghapus kalian. Aku berniat menjauh dari semua yang berhubungan dengan Xavier. Kenapa sekarang aku kembali? Kau bisa tanyakan itu sendiri pada kakakmu," ucap Aurora lelah. Aurora lalu mengambil satu langkah mundur—berbalik dan berjalan meninggalkan Crystal—mengabaikan Crystal yang masih menangis.
Aurora melewati lorong mansion sembari menghapus air mata. Lalu berhenti dan mendongak—menatap nanar langit-langit yang dihiasi chandelier. Dadanya masih sesak—tapi sekarang dia lega. Baru kali ini Aurora benar-benar merasa bebas menyalurkan emosinya. Tapi setelah itu Aurora jadi kesal sendiri—sadar betul jika akhir-akhir ini dia bersikap tidak benar. Pasrah seperti ini adalah sikap Victoria—bukan Aurora. Victoria sudah mati. Dia harus menjadi Aurora Regina lagi.
***
"Tadi itu hampir saja. Bisa-bisanya kau salah memberikan jenis kopi pada Tuan muda."
Aurora baru sampai di pintu clean kitchen—hendak mengambil minum ketika dia mendengar pembicaraan pelayan. Rupanya seorang maid paruh baya tengah menasehati maid yang lebih muda.
"Maafkan aku. Aku benar-benar tidak sengaja."
"Lain kali jangan ceroboh. Pagi ini mood Tuan Xavier sepertinya sedang bagus., karena itu kau bisa selamat. Bayangkan jika tidak, kau bisa dipecat."
"Jadi Xavier masih suka memecat orang?" tanya Aurora sembari melangkah masuk. Maid tadi langsung terkesiap, begitu pula dengan tiga pelayan yang lain—mereka semua menunduk takut-takut. Aurora terkekeh geli. "Tidak usah takut. Aku tidak menggigit," canda Aurora—sengaja mencairkan suasana.
Memang tidak banyak pelayan di dapur ini, berbeda dengan di main kitchen—tempat menyiapkan santapan utama keluarga Leonidas—bukan hanya pelayan, koki-koki kelas dunia juga berkeliaran disana.
"Mrs. Leonidas...," sapa maid tadi. Aurora mengerutkan hidung—merasa jengah dengan panggilan semua orang. Mrs. Leonidas? Memangnya dia istri Xavier?
"Ada yang bisa bisa kami bantu, Nyonya?"
"Tidak ada. Terima kasih. Aku hanya ingin mengambil minum." Dibanding mengoreksi panggilan pelayan tadu—Aurora lebih memilih melanjutkan langkah ke arah lemari es. Tanpa disangka-sangka satu maid langsung medahuluinya—bahkan satu maid lain sudah mengambilkannya gelas.
"Anda ingin minuman apa, Nyonya?"
"Astaga... Kalian ini...." Aurora menghela napas. "Aku bisa sendiri."
Maid itu tersenyum, menggeleng pelan. "Itu memang tugas kami, Nyonya. Anda jangan segan-segan," ucapnya. "Lain kali Anda hanya perlu memerintahkan salah satu dari kami. Tidak perlu kemari. Kami akan dengan senang hati melayani Anda."
"Seperti di jaman kerajaan saja," gerutu Aurora.
Lagi, Maid paruh baya itu tersenyum—ujung matanya sampai berkerut ketika menyipit. "Tidak apa-apa. Malah kami senang jika Anda Ratunya," ucap maid paruh baya itu balas—agak bersikeras.
Akhirnya Aurora mengalah. Dulu di Palacio Kakeknya sebenarnya juga sama—tapi kebanyakan pelayan sudah menuruti perintahnya untuk bersikap biasa saja. Tapi di sini sepertinya susah.
"Air mineral saja kalau begitu," ujar Aurora—lalu duduk di kursi, membiarkan pelayan-pelayan itu menaruh minuman, sementara matanya tertuju ke ponsel yang baru saja berbunyi. Pesan dari Xavier. Lelaki itu mengirimkan foto Axelion. Terlihat menggemaskan—bibirnya maju ke depan, sementara mata birunya menatap penuh harap.
I don't wanna go home. I'm with Daddy—he said. Tulis Xavier di bawah foto itu.
Aurora tersenyum. Axelion dan kekeras-kepalaannya—pantas saja singa kecilnya itu belum pulang. Tapi begitu Aurora melihat jam di ponselnya—dia mengernyit. Bukankah katanya Xavier ada pertemuan penting dengan Secretary of State? Bagaimana jadinya kalau Axelion masih ada disana?
Aurora meneguk minumnya, hendak membalas pesan Xavier ketika notifikasi permintan video call muncul. Xavier lagi. Aurora langsung mengangkatnya. Awalnya tidak terlihat apapun—hingga layar itu bergerak menjauh, memperlihatkan Xavier tengah mencium pipi Axelion. Rupanya Axelion sedang duduk di pangkuan Xavier.
"Hei, Boy.... Lihat... Itu Mommy...," ucap Xavier.
Axelion menoleh ke layar. Tertawa girang melihat Aurora. "Mommy! Mommy!"
"Singa kecil... I miss you." Aurora tersenyum, melambaikan tangannya. "Kau dimana? Ayo pulang—ajak Margareth. Mommy sendirian."
"Mommy alone?"
Aurora mengangguk, berpura-pura manampakkan raut wajah sedih. Biasanya Axelion akan luluh. Benar saja, Axelion tampak bingung—lalu menatap Xavier. "Daddy! Mommy alone...."
"Benarkah?" tanya Xavier balik.
Axelion mengangguk—wajahnya tampak serius. "Bring Mommy here, Daddy! Poor her alone!"
"Kau yang pulang, Baby. Bukan Mommy yang kesana," sanggah Aurora.
Axelion kembali menatapnya, bibirnya mencebik ke bawah—lalu menggeleng cepat. "I won't! I'm with Daddy. Mommy come here," ucap Axelion keras kepala. Lalu kamera bergerak-gerak lagi, Axelion tidak terlihat—sepertinya dia turun dari pangkuan Xavier. Kini hanya wajah Xavier yang muncul di layar.
"Are you okay?" tanya Xavier. Datar.
"Huh?" Aurora mengernyit bingung—berpikir, lalu mengangguk. "I'm okay. Tadi aku hanya berpura-pura sedih saja agar Axelion mau pulang," jawab Aurora. Xavier makin memicing—menatapnya lekat. Tidak berkata apapun.
Aurora jadi gelisah sendiri, berdehem—sebisa mungkin membuka percakapan lagi. "Pertemuanmu bagaimana? Axelion mengganggumu ya?"
"Baru dimulai sebentar lagi. Kemungkinan besar Axelion akan ikut," jawab Xavier. "Dia tadi membuat geger kantor, kau tahu? Semua orang menatapnya gemas."
"Iyakah?" Aurora tersenyum. "Tentu saja—mereka pasti ingin tahu seperti apa putra Xavier Leonidas."
"That's right," ucap Xavier membenarkan. Tersenyum tipis, menoleh ke arah lain—lalu terkekeh pelan. Sepertinya dia menatap Axelion. "Beberapa dari mereka juga menanyakan Ibunya. Bisakah kau kesini, Mommy?" tanya Xavier—menatap Aurora lagi.
Aurora mengerjap-ngerjap, dadanya berdebar—belum bisa mempercayai pertanyaan Xavier barsan. Tapi setelah itu kenyataan menghatamnya. Aurora menggeleng. "Tidak perlu," tolak Aurora, senyumnya pudar. "Axelion putramu, kau bisa menunjukkannya pada semua orang. Berbeda denganku—kita tidak mempunyai hubungan apapun. Kehadiranku hanya akan menyulitkan pasangan kita nanti."
Xavier mengernyit, hendak berbicara—tapi Aurora langsung menyelanya. "Sudah dulu ya. Jika Axelion rewel—minta saja Margareth mengantarkannya pulang. Aku menunggunya di mansion," jawab Aurora cepat—secepat dia mematikan pangggilannya.
Auora mengela napas, menyandarkan punggungnya di kursi—dan memejamkan mata. Berusaha menyadarkan diri dimana posisinya. Dia tahu dia tidak boleh berharap pada Xavier, apalagi pada hubungan mereka—karena dia tahu, cepat atau lambat semua ini akan berakhir. Tapi memikirkan itu membuat Aurora langsung memikirkan Axelion. Makin lama singa kecilnya itu semakin bergantung pada Xavier. Bagaimana jadinya dia nanti? Apa nanti Aurora sanggup bersikap egois dengan memisahkan keduanya?
"Vee...."
Aurora membuka mata. Sepertinya dia terlalu larut dalam pikirannya hingga dia tidak menyadari kedatangan Crystal. Crystal Leonidas sudah duduk di sampingnya—menatapnya menyesal. "Maafkan aku. Aku tidak tahu," ucap Crystal. Tangannya meraih tangan Aurora—menggenggamnya.
"Seharusnya aku mendukungmu, bukan malah makin menambah pikiranmu." Mata biru Crystal berkaca-kaca.
Benak Aurora menghangat, dia balas menggenggam tangan Crystal. "It's okay, Crys—bukan salahmu. Aku juga minta maaf—aku bukan sahabat yang baik."
Crystal menggeleng, "Tidak... tidak... Kau masih sahabat terbaikku, Vee!"
"Benarkah?" Aurora tersenyum. Menular. Crystal ikut tersenyum juga.
"Mau bagaimana lagi, kau sendiri tahu—dari dulu hanya hanya kau sahabat yang kupunya," gerutu Crystal sembari memeluk Aurora manja. Aurora balas memeluknya—terkekeh pelan, tidak menyangka pertengkaran mereka berakhir semudah ini.
"Jadi sekarang kau tidak marah lagi padaku, Crys?" goda Aurora.
Crystal melepas pelukannya—lalu menatap Aurora kesal. "Tentu saja tidak! Semua ini salah Kakakku yang brengsek! Dasar Xavier sialan! Apa tidak cukup dia membuat semua orang susah tiga tahun belakangan!" rutuk Crystal.
Aurora menahan tawa—teringat masa kecil mereka. Dulu juga selalu begini—tiap mereka usai bertengkar, pasti Crystal akan menyalahkan Xavier—lalu mengajak Aurora memusuhinya bersama. Ternyata Crystal masih sama. Tunggu....Aurora juga baru sadar—Crystal sudah tidak mengenakan tampilan gangster seperti kemarin, dia sudah mengenakan kaos simple berwarna putih. Sepertinya memang banyak cerita yang harus mereka bagi nanti.
"Memangnya apa yang Xavier lakukan?"
"Dia menjadi monster! Aku saja kadang sampai takut padanya!"
"Hah? Kau takut pada Xavier?" ulang Aurora—tidak percaya. Crystal mengangguk. Padahal setahu Aurora, seberapapun menyeramkan Xavier dulu—Crystal tidak pernah takut. "Aku tidak akan mengatakannya, kau juga tidak akan percaya," ucap Crystal.
"Tapi dibanding itu semua—aku paling tidak terima dengan perlakuannya padamu! Kau bilang apa tadi? Xavier memperlakukanmu seperti pelacur? Kau hanya menempat tempat hingga pemilik aslinya datang?! Ck! Memangnya dia siapa?" Crystal menatap Aurora penuh tekad—lalu berdiri, menarik Aurora agar bediri bersamanya. "Ingat. Sekarang kau bersamaku. Aku tidak akan membiarkan Xavier memperlakukanmu seenaknya. Sekarang masuk—berdandanlah yang cantik, lalu ikut aku. Kita balas dia!"
"Hah? Membalas bagaimana?" tanya Aurora binging.
Crystal berdecak tidak sabar, langsung menarik Aurora ke dalam kamarnya—mendadani Aurora tanpa penjelasan apapun—lalu mengulurkan satu gaun berwarna hitam pada Aurora, menyuruh Aurora berganti.
Dua puluh menit kemudian Aurora sudah siap dengan dressnya—terlihat cantik dengan rambut yang digerai. Crystal ternyata juga sama—tampak bagai princess dengan dress berwarna hitam juga.
***
"Kita mau kemana, Crys?" tanya Aurora begitu Limousine yang mereka naiki sudah melaju melintasi jalanan Manhattan. Crystal tidak menjawab—sejak tadi gadis itu hanya terfokus pada ponselnya. Lalu....
Aurora terbelalak melihat dimana Limousine mereka berhenti. Gedung pencakar langit dimana-mana, semuanya dihiasi logo L E O N I D A S! Ini Leonidas Center! Kantor Xavier!
"Tidak... Tidak... Tidak, Crys... Untuk apa kita kemari?" ucap Aurora panik. Crystal tidak merespon—hanya menarik Aurora keluar bersamanya setelah Limousine berhenti di depan pintu Lobby bening dengan tulisan Leonidas Skyscraper Building.
"Crys!"
"Ini yang kita namakan; memberi Xavier Matthew Leonidas pelajaran," ucap Crytal sembari menarik tangan Aurora masuk—melewati pintu yang terbuka otomatis. Masuk melewati Lobby—langsung mengarah ke lift khusus. Orang-orang yang lewati langsung berhenti, menunduk hormat—Aurora makin merasa tidak nyaman.
"Astaga, Crystal... Kegilaan macam apa ini?! Untuk apa kita kemari?"
Crystal tersenyum. "Tentu saja memberitahu semua orang siapa Nyonya Leonidas yang baru."
"A—apa?!"
"Katamu Xavier memperlakukanmu bak pelacur—memberimu kemewahan lalu menggantikanmu dengan orang lain. Sekarang kita perlihatkan, pelacur ini juga bisa memproklamirkan dirinya menjadi Ratu. Bahkan sebelum wanita Xavier. Jadi nanti ketika wanita itu datang—orang akan bisa berpikir siapa pelacurnya kan?" jelas Crystal di dalam lift.
Aurora speechless—hanya bisa menggeleng. Dia ingin kabur—tapi terlambat. Lift sudah naik. Apalagi beberapa saat selanjutnya denting lift terdengar—menandakan mereka sudah sampai di lantai yang di tuju Crystal. Lantai 93.
Parahnya lagi, begitu pintu lift terbuka—Aurora langsung melihat Xavier beserta rombongannya hanya beberapa langkah darinya. Xavier tengah berbicara serius dengan seorang laki-laki paruh baya—Scretary of State Amerika—sembari menggendong Axelion.
"Mommy!" teriak Axelion begitu melihat Aurora. "Daddy, look! That's Mommy, Daddy!" teriak Axelion lagi—jemarinya menunjuk Aurora. Sontak—semua pandangan orang-orang terarah pada Aurora.
Aurora hanya tersenyum kaku, menunduk—lalu mengikuti Crystal yang kembali menariknya—membawanya tepat ke hadapan orang-orang itu. Sengaja menghindari tatapan Xavier. Di saat yang sama Axelion mengulurkan tangan—meminta digendong. Aurora meraihnya—mengambilnya dari Xavier.
"Mr. Thomson, senang bertemu Anda disini," sapa Crystal berbasa-basi.
"Senang juga bertemu Anda, Nona Leonidas," jawab pria bernama Mike Thomson—tapi pandangannya terarah pada Aurora. "Apa ini Ibu putra Anda, Mr. Leonidas."
"Benar. Dia calon Kakak iparku, the next Mrs. Leonidas yang baru," jawab Crystal cepat. Aurora menoleh—memeringatkan Crystal. Tapi Crystal hanya tersenyum.
"Maaf mengganggu kesibukan kalian, tapi Saya dan Aurora Petrova hanya ingin mengambil Axelion. Seperti biasa, kami ingin mengajaknya belanja."
"Ah... Jadi namanya Aurora Petrova. It's okay... Lagipula kasian bocah kecil ini—sepertinya dia bosan," tanggap Mike Thompson ramah.
Lagi, Crystal tersenyum—tapi ketika dia menoleh pada Xavier, Crystal menatapnya kesal. "X... Ponselmu. Kosongkan mallnya. Itu tugasmu."
Masih dengan satu alis naik, Xavier malah menahan senyum. Lalu mengambil satu langkah maju—menghampiri Aurora yang masih menolak menatapnya. "Well, jadi ucapanmu kemarin serius?" bisik Xavier sembari mengulurkan jemarinya, menyelipkan untain rambut Aruora ke belakang telinga.
Mau tidak mau Aurora balas menatap Xavier dengan hidung mengernyit sebal. Kesalahan. Xavier malah menyeringai—mengambil kesempatan untuk mengecup kening Aurora, lalu berbisik di telinganya. "Katakan... Kau mau Mall yang mana?"
TO BE CONTINUED.
__________________________
HOPE YOU LIKE IT!
JANGAN LUPA KOMEN, VOTE + SHARE KE TEMAN KALIAN YA!
Emoticon untuk part ini?
Tell me, apa yang bikin kalian tetep betah ikutin cerita ini? hehe
Sejauh ini adakah yang ganti team?
#TeamAra
#TeamX
Tulis nama sahabat kalian :P Tag kalau ada wkwk.
See you soon! Sayang kalian!
With Love,
Dy Putina
Istri Sah Sean O'Pry
Note : [Secretary of state di AS itu kepala departemen luar negeri—bertanggung jawab untuk urusan luar negeri.] Kalau disini mungkin menteri luar negeri ya.
Jangan lupa follow :
@dyah_ayu28
@the.angels05
@xavier.leonidas1
@aurora.regina1
@axelion.leonidas
@crystal.leonidas01
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro