Shattered
Aku membenci tahun ini, demikian pula aku akan membenci tahun yang akan datang.
Aku tak berdaya tanpa adanya dirimu yang sudah lenyap menyisakan luka menganga dalam hati.
Aku benci diriku sendiri karena semua adalah salahku. Ya, aku memang bodoh.
--oOo--
Bahu pria tersebut melemas sesaat setelah pria berambut ungu yang biasa merawatnya menghilang di balik pintu, ditelan benda berwarna putih tersebut.
Tubuh dan anggota geraknya sedikit gemetar, terguncang. Bibir bergerak hendak berucap, tapi suara tercekat tepat di tenggorokan. Tak ada kata-kata yang keluar, semua tak berarti.
Seorang gadis dengan setelan jas putih serta stetoskop yang terkalung di lehernya itu menoleh. Iris kehitamannya melirik sang pria yang tampak tak nyaman di dekatnya.
"Kannonzaka Doppo-san?"
Leher pria tersebut menoleh patah-patah ke arah si gadis. Senyuman hangat menyambutnya, membuat hati pria itu sedikit lebih tenang jika dibandingkan dengan yang sebelumnya.
"Jangan panik ... Namaku [Fullname]. Mulai sekarang aku adalah dokter yang akan mengurusmu dan kau adalah pasienku. Mohon bantuannya."
Tubuh gadis itu membungkuk seratus delapan puluh derajat. Kannonzaka Doppo pun ikut melakukan hal yang sama. Setelah salam singkat, mata keduanya bertemu.
Netra jelaga milik nona itu memandang dalam netra tosca milik Doppo. Pria tersebut mudah dibaca--kelihatannya. Ia tampak begitu gelisah saat ini. Namun, [Name] tak tahu apa yang benar-benar Doppo pikirkan.
ー Hari itu adalah kali pertama kami bertemu. Aku Kannonzaka Doppo dan sang bidadari rupawan itu [Fullname]. Dia terus menatapku. Matanya seolah mampu menelanjangiku dalam sekali pandang. Perlukah aku menjauhinya?
***
Dari hari ke hari, Kannonzaka Doppo mulai menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada. Awalnya memang sulit apalagi Doppo sering melewatkan janji dengan [Name] sampai gadis itu harus datang sendiri kepada Doppo.
Entah ke apartemen pria itu atau ke kantor, [Name] melakukan pertemuan rutin mendadak yang sering membuat sang pria kewalahan dengan tingkah nekat junior sekaligus keponakan Jakurai itu.
Namun, kalau Doppo boleh jujur, ia merasa nyaman jika [Name] berada di sisinya. Perasaannya jauh lebih nyaman dan tenang daripada saat bersama dengan Izanami Hifumi yang notabene adalah teman masa kecilnya.
Doppo tidak tahu kapan perasaan itu datang. Tanpa permisi dan begitu tiba-tiba sampai Doppo tak mampu mempersiapkan apa-apa. Namun, yang pasti dia menyukai setiap detik saat jantungnya berdetak lebih cepat, menikmati alunan degupnya.
Seperti saat ini. Tatkala dirinya sedang sibuk bekerja di kantor hingga larut malam, [Name] datang mengunjunginya. Sungguh keberuntungan bagi Doppo karena memiliki dokter seperti [Fullname].
"Pelayanan khusus untuk Kannonzaka-sama," ucap [Name] diikuti kekehan pelan. Tangannya terulur ke depan untuk meletakkan satu cup kopi yang sempat dia beli dari luar.
Doppo menghentikan gerakan jemari di atas keyboard kemudian menoleh menatap sang nona cantik. Seutas senyum terulas di wajah suram pria itu. Bahkan, Sensei tidak pernah melakukan ini untukku, batin Doppo.
[Name] tersenyum lebar setelah Doppo menerima kopi darinya. Gadis itu pun duduk di salah satu kursi putar sambil meniup kopi dalam genggaman. Dirasa sudah tidak begitu panas, [Name] menyesap kopinya sedikit demi sedikit dari bibir cup.
Doppo pun ikut menyeruput kopi pemberian gadis itu dengan perasaan tenang yang jarang ia rasakan sebelum bertemu dengannya. Kalau perasaan ini terus tumbuh, Doppo bisa mati bahagia. Membayangkannya membuat pria itu tersenyum tanpa henti.
"Doppo-san!"
[Name] memekik, membuat Doppo tersentak dari lamunannya. Pria itu mengerjapkan mata lalu mengunci penglihatannya pada sang gadis yang kini sibuk mengambil tisu dari sebuah kotak.
Jemari lentik milik [Name] bergerak mengusap bibir Doppo, turun menyusuri rahang bawahnya sampai leher dan dada. Pria itu baru sadar kalau kopi yang ia minum tumpah sampai membasahi kemeja kerjanya.
"Ma-maafkan aku, [Name]-san!"
Doppo menjauhkan badan dari [Name], menyambar tisu di dekatnya lalu membersihkan kekacauan yang ia buat sendiri. Tidak sepantasnya ia sibuk melamunkan [Name] di tengah waktu istirahat singkat tadi. Apa yang ia pikirkan?
Tidak lama tangan Doppo ditahan oleh dua tangan lain. Jemari [Name] melingkar di pergelangan tangannya. Doppo mengangkat wajah, memandang muka gadis itu di bawah sinar lampu.
[Name] menggelengkan kepalanya. "Jangan menyalahkan dirimu sendiri, ingat? Aku ada di sini. Masalah seperti ini tidak perlu kau tumpahkan pada dirimu sendiri jika ada aku."
Netra tosca milik Doppo berbinar mendengar perkataan [Name]. Bagai suatu sugesti yang mampu membuatnya luluh dan bertekuk lutut. Kannonzaka Doppo tidak bisa menolak pesona dari dokter di hadapannya.
Jarak keduanya tak begitu jauh, juga tak begitu dekat. Namun, hembusan napas mereka cukup untuk saling menerpa leher satu sama lain. Bulu roman Doppo tergelitik rasanya, ia menikmati setiap afeksi yang [Name] berikan padanya.
"Ah, sekarang lanjutkan pekerjaanmu. Aku akan menunggu. Maaf telah menganggumu, Doppo-san," ucap [Name] yang kemudian menarik diri dari Doppo, dia sudah sadar dengan situasi.
Doppo dapat melihat semburat merah samar di pipi gadis yang kini mengamati jam dinding itu. Senyum kembali terulas di bibir Doppo. Sekali ini, ia ingin bersyukur karena Tuhan telah membiarkan [Name] berada di sampingnya.
ー Ya. Kali ini aku, Kannonzaka Doppo, bersyukur karena eksistensi [Fullname] yang tampak nyata di kedua mataku. Jika ini mimpi, aku lebih memilih membunuh diriku dalam tidur.
***
Semakin banyak kalender yang tersobek, menandakan bulan telah berganti. Kannonzaka Doppo tak pernah sesenang ini dalam hidupnya setelah mengungkapkan perasaan yang terus menganggu hatinya kepada sang pujaan hati.
Suatu kali ia benar-benar tidak tahan dengan degupan jantung yang semakin tak terkontrol setiap bersama sang gadis. Sampai tiba akhirnya ia memutuskan mengungkapkan perasaannya.
Siapa perempuan beruntung yang mampu memporak-porandakan hati si pria suram?
[Fullname].
Betapa spesialnya gadis itu di mata seorang Kannonzaka Doppo. Jika diminta menyebutkan alasan kenapa ia begitu menyukai [Name], Doppo akan menjawab ada berjuta-juta alasan yang tak bisa ia sebutkan satu per satu.
Beruntungnya Doppo karena [Name] juga memiliki perasaan yang sama dengannya. Apa karena mereka sering bersama? Jika memang begitu, pepatah memang benar adanya. Cinta tumbuh karena terbiasa bersama.
Hari itu Kannonzaka Doppo mengajak [Fullname] untuk menikmati hanabi--festival kembang api di Tokyo. Bulan Juli-Agustus adalah bulan yang cocok untuk menikmati acara semacam itu di Jepang. Festival yang tidak boleh dilewatkan turis maupun domestik lokal.
Sang gadis tentunya sangat senang menerima tawaran Doppo, mengingat pria itu akhir-akhir ini sedang didera kesibukan yang merenggut banyak waktu.
Kannonzaka Doppo sudah bersiap dengan kemeja dan celana panjang berwarna agak gelap. Pria tersebut berdiri di dekat pintu mobil sembari melihat ponselnya yang terus berdering, tanda telepon masuk.
"Kenapa tidak diangkat?"
Ketika kekasihnya keluar dari rumah, Doppo tak henti menatap gadis itu lekat-lekat. Tubuh mungil sang gadis terlihat sangat manis dengan balutan yukata ungu. Rambutnya disanggul ke atas, menyisakan anak rambut di belakang telinga. Jemari mungilnya terlihat menggenggam sebuah uchiwa--kipas.
Cantik. Oh, bukan. Memesona. Ah, bukan.
Entah kata apa yang cocok untuk menggambarkan [Name] saat ini karena di mata Doppo, gadis itu terlihat sangat sempurna.
Wajah sang gadis yang berkilauan seperti disiram minyak zaitun, aroma dari tubuhnya yang seharum wewangian bunga. Pria itu hanya bisa meneguk ludah saat dapat melihat pemandangan indah dari kekasihnya sendiri.
[Name] berdeham untuk menyamarkan rasa malunya yang sekaligus membuat Doppo terlempar kembali ke realita. Kannonzaka Doppo pun sedikit membungkuk, mengulurkan tangannya pada gadis itu layaknya seorang gentleman.
"Ayo."
Sang gadis menyambut uluran tangan Doppo dengan rona merah yang sudah menjalar sampai ke telinganya. Kedua insan itu melangkahkan kaki menjauhi perumahan rumah [Name], menelusuri jalan-jalan yang sudah dipenuhi lautan manusia.
Tujuan mereka adalah Meiji Jingu Stadium yang berada di daerah Shinjuku. Di sanalah para anak-anak sampai tua-tua berkumpul untuk menikmati festival kembang api dan musik.
Ketika sampai di tempat tujuan, keduanya menempatkan diri agak jauh dari keramaian. Acara musik masih berlangsung dan mereka terlihat santai menunggu peluncuran kembang api.
"Bagaimana perasaanmu sekarang, Doppo?" tanya [Name] sambil mengibaskan uchiwa miliknya ke wajah.
Doppo berdeham cukup lama, senyum terulas di wajah yang kini sudah tidak begitu suram. Matanya terpejam, menikmati angin sepoi-sepoi yang mengelitik rambut.
"Tidak bisa lebih baik dari ini. Aku bahagia setiap bersamamu, [Name]-san." Doppo membuka matanya kemudian memamerkan senyum lebar yang cukup langka untuk dilihat.
Semburat merah kembali melanda wajah sang gadis. Dia memalingkan muka, menghindari kontak mata dari kekasihnya. Namun, Doppo terlihat tidak begitu senang dengan respon si gadis.
Tangan pria itu terulur, meraih dagu [Name] untuk dihadapkan ke arahnya. Netra keduanya bertemu, membuat suatu ikatan tersambung saat itu juga.
Dentuman dari pertunjukan musik terdengar memelan seiring Doppo mendekatkan wajahnya pada [Name]. Gadis itu menelan ludah saat diintimidasi oleh si iris tosca.
Mata bertemu mata, bibir bertemu bibir. Tepat saat kembang api ditembakkan ke langit, keduanya berciuman. Saling menikmati sensasi sentuhan permukaan bibir satu sama lain.
Di antara teriakan 'tamaya', keduanya membagi afeksi dari bibir. [Name] memejamkan mata, begitu pun Doppo. Pria itu mengabaikan ponsel yang terus menjerit minta diangkat.
Panggilan dari bosnya sama sekali tak ia gubris sedari tadi. Nekat? Ya, Doppo memang nekat jika itu sudah berhubungan dengan sumber kenekatan itu sendiri.
[Name] dan Doppo masih menempelkan bibir mereka kemudian saling mengecap rasa bibir masing-masing dengan lumatan singkat.
'Orang sebaik apa yang mampu bertahan dengan pria suram sepertimu, Kannonzaka Doppo?'
ー Aku dan dirinya tidak akan terpisah, 'kan? Kami sudah bertukar rasa bibir satu sama lain. Namun, bisikan apa ini?
***
Kannonzaka Doppo meringkuk di permukaan futon lusuh. Sudah hampir beberapa minggu pria itu mengurung diri di dalam ruangan sempit tersebut.
Iris tosca miliknya melirik kalender yang tak jauh dari tempatnya berbaring. Sinar dalam mata pria itu meredup, bibirnya terasa kering karena tak mendapat cairan selama beberapa jam.
Tanggal 31 Desember.
Sebentar lagi tahun akan berganti. Kannonzaka Doppo mengulas senyum getir. Seutas senyum yang lebih mirip disandingkan dengan seorang maniak.
Ruangan terasa sunyi dan gelap. Cahaya hanya dapat masuk lewat celah-celah ventilasi. Pria itu terlihat menyedihkan. Nasibnya begitu malang setelah diPHK oleh pihak atasan.
Ia lari dari kenyataan, pergi jauh dan jauh sampai tidak diketahui siapa pun. Hanya satu yang mengetahui keberadaannya sekarang dan dia bukanlah sang kekasih, melainkan sang sahabat sejiwa, Izanami Hifumi.
Berdiam diri di dalam sebuah apartemen murah di sudut Kota Shinjuku bukanlah perkara mudah. Doppo benar-benar diajak melakukan survival life di tengah krisis hidupnya.
Kekurangan makanan dan air layaknya anjing jalanan yang hanya dapat mengais sampah. Uang? Doppo tak punya, ingin meminjam Hifumi pun enggan karena pria baik itu sudah mau merendahkan hati membayar sewa apartemen barunya.
Doppo terdiam. Sejenak ia menoleh pada sebotol air kemasan yang tersisa seperempat beserta pil yang terserak di dekat futon tempatnya berbaring.
'Pilihan yang sangat bagus untuk meninggalkan kekasih hatimu, ya, Doppo?'
Doppo berdecak pelan. Suara mengerikan itu datang lagi. Lamunan yang terasa seperti mimpi buruknya setiap hari. Menghantui dan terus meneror tanpa henti.
Hanya rasa frustrasi, hanya rasa frustrasi yang terus mengelilingi tubuh ringkih tak berdaya itu.
"Berhenti bicara. Gema suaramu busuk. Tak pantas didengar telingaku, tidak pantas diproses otakku."
Tak ada orang sama sekali. Lalu dengan siapa pria itu bicara?
Dirinya sendiri.
Ingat tentang survival life yang sempat disinggung di awal? Ya, pria tersebut berjuang bertahan hidup dari pemikiran menjijikan dari dirinya sendiri.
'Apa yang kau harapkan? Jangan berpikir akan kembali padanya. Hei, hei, manusia hidup di dunia dengan penuh kesusahan, bukan?'
Gemeletuk gigi terdengar saat Doppo menggesekkan rahang. Iris pria itu menyoroti secercah cahaya yang masuk dari ventilasi.
Jemarinya tak henti meremas-remas helaian rambut, sedangkan tangan yang satu terlihat sibuk merengkuh kedua lutut.
'Takdir hidupmu adalah kesusahan. Kebahagiaan hanya mitos. Yang bisa kau lakukan adalah bekerja, bekerja dan menyumpahi bosmu.'
"Berhenti mengucap omong kosong." Doppo menggeram pelan. Jika saja Hifumi atau [Name] ada di sini, kedua orang cengeng itu pasti menangis melihat kondisi si pria sekarang.
'Oh, tidak, tidak. Aku tidak mengucap omong kosong, sayang, tidak. Aku hanya mengingatkan bagaimana hidupmu berakhir dengan menyusahkan kekasihmu.'
Doppo sudah mendengar celotehan dalam kepalanya tentang hal tersebut berkali-kali. Sangat membuatnya muak sampai ingin sekali mengecap kematian rasanya.
'Hidupmu terasa lebih mudah saat bersamanya. Kau mampu mendapatkan semua yang kau inginkan. Kebahagiaan, cinta, oh, masa muda?'
Memang. Hidup Doppo sangatlah indah dan berwarna saat bersama dengan [Name]. Gadis itu tak pernah absen mengunjungi, merawat dan menjadi pendengar yang baik untuk semua kutuk yang ia tujukan pada sang atasan.
'Bagaimana rasanya saat hidupmu terasa lebih mudah dari biasanya, Doppo? Kau terlena sampai melewati batas, um?'
Doppo sangat membenci bagian ini dan setelahnya. Pria itu gusar kemudian memukul tembok di dekatnya dengan tangan terkepal kuat sampai urat menonjol dari sana.
'Gadis itu pulang dari apartemenmu seusai memadu cinta. Dimurkai habis-habisan oleh kedua orang tuanya. Mereka menyumpahimu ketika mengetahui kebenaran. Oh, bagian kesukaanku adalah saat ayahnya meludah tepat di sepatu pantofel milikmu.'
"Diam."
Jika saja ia--Doppo saat itu lebih mengontrol dirinya, mungkin kebencian dan rasa jijik tak akan tumbuh dalam diri pria itu dan orang-orang di dekat [Name].
'Kau menghancurkan hidupnya. Lalu kau kabur. Namun, dia masih mau menerimamu dengan tangan terbuka. Pria macam apa dirimu ini?'
Suara itu tidak henti-hentinya menghancurkan mental Doppo sedikit demi sedikit. Rasanya sudah seperti dieksekusi, seperti dikuliti hidup-hidup.
'Jangan harap kau akan kembali. Semua yang kau pikirkan, termasuk aku bisa menghancurkan hidupnya untuk kedua kali, ahaha.'
"Tutup mulutmu, brengsek!"
Doppo mulai meracau, menjambaki rambutnya secara brutal seraya mengumpat. Ia ingin meminta ampun, tapi pada siapa?
Sayup-sayup terdengar suara pintu diketuk. Doppo menoleh ke arah pintu. Asumsinya tentang orang di balik pintu adalah pemilik apartemen yang menagih uang sewa atau mungkin Hifumi.
Melangkah tergopoh-gopoh, pria itu mengulurkan tangan kemudian menarik kenop pintu. Tebakannya salah dan gadis di hadapannya adalah sebuah bencana.
Doppo bergeming di tempatnya, mengamati sang gadis yang begitu kurus sama sepertinya.
Apakah gadis itu tak menjaga diri?
Apakah gadis itu menyiksa diri hanya karena kehilangan pria buruk sepertinya?
Bukankah seharusnya gadis itu melihat dan mementingkan dirinya sendiri!?
‘Kau pria paling buruk. Kekasih paling buruk. Pantas saja [Name] seperti itu sekarang.’
Suara itu datang lagi setelah bungkam untuk sejenak. Iris tosca milik Doppo menatap tajam ke arah [Name] yang kini memandangnya dengan raut wajah khawatir.
Tangan gadis itu ditarik kasar. Dipaksa masuk ke apartemen sempit dan lusuh tersebut. Doppo mengunci pintu agar tak seorang pun dapat mengetahui eksistensi mereka berdua.
Hati [Name] makin teriris tatkala melihat betapa menyedihkannya kehidupan Doppo saat ini. Persis seperti yang dikatakan Hifumi.
“Aku ke sini karena aku memaksa Hifumi memberitahuku di mana keberadaanmu, Doppo. Kumohon jangan tinggalkan aku lagi. Aku tidak apa, Doppo. Aku baik-baik saja. Orang tuaku juga sudah luluh dan aku yakin mereka akan merestui kita.”
Hilang sudah sinar dalam mata Doppo. Tak ada lagi setitik cahaya kebajikan pun di sana. Pria suram kini benar-benar menunjukkan taringnya di depan sang kekasih.
“Kau tidak akan bahagia jika bersamaku. Aku hanyalah pria suram.”
Doppo mendekati [Name]. Gadis itu mendapat sinyal bahaya, tapi tetap bergeming di tempatnya. Asyik menyelami pikirannya tentang kemalangan kekasih tersayang.
Tangan Doppo terulur ke depan. Jemarinya melingkari leher [Name]. Lama-kelamaan semakin kencang hingga oksigen seolah lenyap dari saluran pernapasan sang gadis. Kannonzaka Doppo telah gelap mata.
“Orang baik haruslah pergi lebih dulu karena mereka terlalu bernilai untuk dibiarkan berada di dunia yang begitu busuk dan menjijikan ini. Maafkan aku, aku tidak dapat menahannya lagi. Aku bagian dari dunia ini, jadi aku harus bertahan dan menebus semuanya sendiri.”
-- Hari itu aku, Kannonzaka Doppo, membuat akhir yang baru bagi kami berdua. Tragedi mengerikan yang menghancurkan segalanya.
Bukan aku yang pergi seperti pernyataanku pada Jakurai tempo lalu, melainkan aku tetap bertahan dan membiarkan gadisku pergi agar tak lagi tersiksa karenaku.
Pada akhirnya aku membiarkanmu pergi agar dalam kehidupan yang selanjutnya ruhmu masih sudi menyertaiku yang pernah mencintaimu.
***
Berteriak dan terus teriak sampai tenggorokan kering. Secara disengaja berharap pita suara segera putus.
Jemari berkuku panjang tak henti menarik helaian rambut scarlet bersemu tosca seolah hendak mencabutnya sampai ke akar tanpa ampun.
Air mata meleleh dari pelupuk. Mengalir layaknya sungai deras, membasahi pipi yang sudah benar-benar lembap. Turun sampai dagu hingga leher terlihat berkilauan.
Netra semakin menjadi sayu. Sinar menghilang. Kosong bak sebuah cangkang tak berisi.
Ratapan terus terdengar. Harapan-harapan tabu terus dipanjatkan. Permintaan maaf terus berucap tanpa jeda. Menjerit agar dapat didengar oleh Tuhan.
Delusi singkat menghampirinya. Dirinya berada dalam sebuah rumah peribadatan. Yang sang pendosa lakukan hanya bersimpuh di depan simbol yang dikelilingi lilin-lilin sembari menangisi kesalahannya. Aku mohon ampun, Tuhan.
Delusi menghilang, pikirannya kembali mengirim sinyal kalau dirinya masih berada dalam jeruji besi yang dingin.
Apa yang ia harapkan sekarang?
Semua sudah berakhir. Eksekusi matinya sebentar lagi akan dilakukan. Dosa yang dilakukannya sudah tak dapat dimaafkan. Terlampau besar.
Kannonzaka Doppo lebih tahu itu dari siapa pun, bahkan lebih dari orang-orang--yang tak rela orang baik pergi lebih dahulu dan hanya bisa menyumpahi si pria dengan kata-kata kasar.
Dasar para pendosa dan penghasut. Membusuklah kalian di dunia yang fana. Biarkan yang baik bergembira di alam surgawi.
Pria itu hanya bisa pasrah. Bibirnya terus bergerak menggumamkan penyesalan berulang kali. Seluruh kenangan yang ia rangkai bercecer di dalam otak, tak mampu disambung lagi. Semua hancur.
"Maafkan aku, [Fullname]. Aku benar-benar bodoh. Maafkan aku."
-- Pada akhirnya aku merasakan suatu kehilangan yang luar biasa melebihi rasa benciku pada ketidakadilan dunia. Semuanya salahku dan pikiran busukku.
---
You, who shined so brightly, are now far away.
I grasp for the scattered memories.
I miss you every day.
Yes I know I'm late late.
Just come back like nothing was wrong baby.
---
[Name] tak bisa tidur. Gadis itu mengurut batang hidungnya yang terasa pegal karena sempat menjadi tumpuan bridge kacamata. Cukup lama dia membaca dan menelaah kumpulan berkas yang berserakan di mejanya.
Semua dokumen yang ada memiliki isi yang sedikit berbeda, tapi seluruhnya terdata atas nama yang sama.
Kannonzaka Doppo.
Ya, [Name] sedang mencoba menjadi orang 'pengertian' dengan membaca data-data pria itu untuk melanjutkan perawatan yang sempat dilakukan sang paman, Jinguji Jakurai.
Tiba-tiba perkataan Jakurai terngiang dalam kepala. Tepatnya kemarin, saat [Name] berada di ruangan sang paman. Pria itu memberi kabar terbaru dari pasien tetapnya.
"Doppo-kun akan melakukan percobaan bunuh diri saat tahun baru nanti."
Sungguh, hal tersebut sangat menganggunya. [Name] tidak habis pikir kenapa pria itu memberitahukan kabar tersebut saat masih di pertengahan tahun pada Jakurai.
Apa Doppo berharap akan ada yang mencegahnya?
Apa Doppo berharap kalau akan ada yang memakinya karena hendak bunuh diri?
Atau Doppo lebih berharap mendapat hari baik jika telah mendengar khotbah orang perihal dosa bunuh diri?
Apapun itu [Name] hanya bisa mengutuki keputusan bodoh pria ini.
Keputusan yang sangat bodoh kalau laki-laki itu benar-benar merealisasikan ide konyolnya.
Namun, [Name] bertekad dalam hati untuk 'menyelamatkan' pria itu dari niat bunuh dirinya. Mencoba mencegah agar Kannonzaka Doppo mengakhiri hidup dan setidaknya membuat suasana hati pria itu membaik.
---
[Fullname] berharap dia benar-benar berhasil melakukannya. Sayang semuanya tinggallah harapan.
Hal tersebut hanyalah menjadi angan dan ratapan sekarang. Kegagalan yang diwujudkan dalam bentuk nyawa. Jiwanya telah pergi, berpulang.
Jangankan bergerak, bernapas pun sudah tidak diizinkan. Netra kehitaman yang telah memudar menyoroti sosok pria di balik jeruji besi yang sibuk menjerit, menyesali perbuatannya sendiri.
Ribuan kata maaf dan harap yang sudah sia-sia untuk diucapkan jika itu benar tertuju untuk sang gadis saat telinga gadis itu sudah tertutup dan hanya diisi oleh nyanyian surgawi.
--oOo--
OWARI
---
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro