Surat Dari Pengagum Rahasia
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Lelah tidak kalau ada orang yang mengagumimu, tapi dia tidak pernah muncul, tidak tahu siapa, hanya suratnya yang suka bergelimpangan di depan mata. Surat yang sopan, yang selalu bikin hati nyeri karena isinya begitu puitis. Begitu juga Shareen, menemui surat di mejanya, Shareen mendadak ngilu. Kenapa harus main kucing-kucingan, Shareen butuh tahu siapa orangnya.
Assalamualaikum, Shareen.
Maaf surat saya terus menganggu. Hanya ini media yang bisa saya tempuh. Maaf saya pengecut, sampai hari ini belum berani muncul. Tapi Shareen, andai kamu tahu saya ini siapa, saya takut, kamu menolak. Karena saat hari itu tiba saya tidak pernah main-main dengan niat. Insha Allah, saya ingin ... nanti saja, saya akan bilang kalau kita sudah bertemu, semoga Allah meridhoi niat saya.
Kamu adalah candu yang paling nyata dalam setiap doa. Namamu boleh saja tersebut sebagai yang diharapkan, tetapi pengabulan atas itu hanya Allah yang berhak menentukan.
SA (Secret Admirer)
Shareen bukannya tidak senang, tapi ia lelah kalau disuruh main tebak-tebakan. Dia belum mahir dalam membaca pikiran. Saking penasaran, ia tanyai teman seruangannya satu per satu, dan jawaban mereka nihil, tidak ada satu pun pembawa berita baik kecuali gelengan kepala yang Shareen dapat.
Ujung-ujungnya Shareen kabur ke warung Nafhan. Curhat dengan Tania sementara Mahda cuti kuliah karena masih harus istirahat total.
"Kenapa Mbak? Kok cemberut." Baru saja masuk ke warung Nafhan, wajah Shareen sudah seperti kertas lipat yang tidak berbentuk.
"Kamu senang nggak Tan, kalau ada yang kagum sama kamu, kasih-kasih surat, isinya sedikit buaian?" Segera Tania lepas gelas yang sedang ia rapikan. Berpindah menuju meja Shareen untuk bergabung duduk. Topik yang menarik.
"Kagum ya Mbak? Kalau saya sih senang, karena selama ini jarang-jarang ada model cowok seperti itu. Yang ada malah ngajak pacaran. Emang dia bilang apa Mbak di surat?"
Opini Tania bisa diterima. "Entahlah Tan. Masih abu-abu, belum jelas maksudnya."
"Ah, kalau saya mah nggak usah dipikirin Mbak. Nanti juga kalau sudah waktunya dia bakal keluar nunjukin diri. Mungkin sekarang dia masih memumpuk kepercayaan dulu Mbak. Mbak Shareen kan cantik, sudah hijrah, jadi mungkin dia sungkan." Mendengar asumsi Tania, Shareen sebenarnya setuju. Tetapi yang namanya penasaran, akan tetap penasaran.
"Tapi, Tan. Aku penasaran."
"Sungguh mati aku jadi penasaran, sampai mati pun akan kuperjuangkan." Tania mengolok Shareen dengan bernyanyi. Kesal, Shareen melempari tisu ke tubuh Tania yang bisa ditangkapnya dengan gaya mengejek.
***
Pulang ke rumah, Shareen disambut Aryo dengan pelukan. Bapak satu ini memang suka hiperbolis. Putrinya lambat sedikit pulang saja, ia merasa ada yang tidak beres. Tingkat kepekaannya jauh di atas rata-rata, mengalahkan sang istri yang lebih tenang. Coba lihat, sekarang Shareen kebingungan didekap.
"Bapak kenapa?" Lontaran tanya yang spontan.
"Kamu itu. Kenapa pulangnya telat? Bapak takut kamu diganggu laki-laki nakal di jalan. Apalagi Syahka nggak bisa jemput, dan Bapak tadi ada lembur di kantor." Shareen dan ibunya saling melirik. Aryo menambah ocehan. "Ibu juga. Kenapa pakai acara nggak bisa bawa motor? Kan kalau Ibu bisa, enak jemput Shareen atau Shila, pas bapak sama Syahka lagi berhalangan." Astaghfirullah. Shareen kadang heran, apa Aryo dan ibunya bertukar peran. Kenapa ibunya jarang sekali mengomel, sedang Aryo lebih cerewet. Ibu Shareen tipe ibu-ibu kalem. Anaknya pulang kemalaman, dinasihati baik-baik. Tidak seperti Aryo yang langsung menghantamnya dengan seribu kalimat yang ribut di telinga.
"Pak, ibu tadi masak oseng kangkung sama ikan asin goreng. Ayo bapak makan, kan lapar pasti habis lembur." Tarikan tangan di pergelangan Aryo menghentikan kebisingan rumah. Ibunya paling pengertian memang. Tahu saja, Shareen capek sehabis kuliah lalu pulangnya menjenguk Mahda.
"Ren, kamu nggak makan, Nak?"
Shareen melempar senyum ke arah meja makan. "Nanti Bu, Shareen mau mandi sama salat isya dulu." Aryo ingin bersuara, tapi dicegah oleh istrinya. Biasa ada saja kalimat proteksi yang akan keluar.
Baru saja Shareen selesai salat isya, Syahka menelepon.
"Ren, di mana?" Suara khawatirnya bersinyalir akan timbulnya ocehan.
Shareen menjeda kalimat, coba tarik napas menghadapi dua lelaki kesayangannya yang hiperbolis. "Shareen udah di rumah, Bang."
"Kamu nggak papa kan? Maaf ya Abang tadi banyak kerjaan di kantor, mau jemput kamu mendadak ada rapat."
"Adek Abang baik-baik aja. Ini mau makan ke bawah. Abang di mana? Kalau udah dekat Shareen tunggu biar makan sama-sama."
"Iya, tunggu. Sepuluh menit lagi abang sampai rumah. Dah Sayang."
"Bang, Shareen bukan istri Abang ya. Makanya Bang, nikah sana biar ada yang dipanggil sayang dengan konotasi yang benar." Diujung telepon Syahka terkekeh.
"Iya. Hitung-hitung abang latihan dulu sama kamu. Kalau yang benaran pasti canggung." Ah, benar juga. Jangankan Syahka, Shareen pun perlu latihan. Kelak ia pasti akan menikah dan memanggil seseorang dengan sebutan mesra.
"Apa Shareen perlu latihan juga Bang?"
"Kamu? Latihan apa?"
"Nggak bukan apa-apa. Ya udah Shareen tunggu di rumah. Dah Abang."
Ya Allah, Syahka tidak paham sekali kalau yang Shareen maksud latihan memanggil seseorang yang akan menjadi pasangan hidup.
***
Tiba di rumah Syahka dan Shareen makan berdua. Jangan tanya Aryo dan istrinya, pasti sudah nina boboan di kamar. Shila, sibuk belajar karena sebentar lagi akan menghadapi ujian sekolah. Tersisa dua penghuni rumah kakak beradik yang tidak punya aktivitas. Jomlo pula, apa yang bisa mereka lakukan selain saling menghibur diri.
"Ren. Abang kepikiran, tadi yang kamu maksud latihan apa?" Dalam visual menyamping, Shareen terciduk malu-malu.
Shareen menyerong tubuhnya. "Latihan." Duh, Shareen gigit bibirnya, malu. "Memanggil sayang untuk seseorang yang halal buat Shareen, Bang."
Dalam satu hentakan, sendok Syahka jatuh ke piring. Ia berbalik menghadap Shareen. "Kamu ada yang mau lamar? Siapa orangnya? Udah kerja? Rajin salat? Imam yang baik bukan?" Ya Allah, Syahka dengan segala keposesifannya. Replika Aryo tubuh di jiwa Syahka. Mereka bak pinang di belah dua.
Ragu bercerita Shareen memilih melanjutkan makan. "Ren! Jawab dong, abang nanya."
"Belum ada, Bang. Ini hanya persiapan. Cuma memang." Jeda lagi, Syahka makin penasaran.
"Cuma memang, apa?"
"Ada orang suka ngirimin Shareen surat. Katanya dia pengagum rahasia."
Dari sudut pandang laki-laki macam Syahka. Pria yang berani mengirim surat lalu mengaku sebagai pengagum rahasia, adalah orang yang merasa belum yakin dengan dirinya. Ini hanya asumsi Syahka sebagai laki-laki. Terlepas apa alasan sebenarnya pria itu mengirimi surat.
"Coba cari tahu dia siapa."
"Caranya?"
"Jadi dektetif. Kamu datang lebih pagi ke kampus. Intip dia dari jauh, kamu akan tahu orangnya siapa. Dia pasti naruh surat itu di jam-jam sepi. Dan itu cuma ada di pagi hari, sebelum anak kampus berdatangan." Benar, ide Syahka patut diapresiasi. Shareen perlu mengawasi, siapa pria yang selama ini mengirimnya surat.
***
Subuh masih malas beranjak pagi, tapi Shareen sudah datang ke kampus dan memilih salat subuh di sana. Ia yakin, orang itu pasti masuk ke dalam kelasnya sekitaran pukul setengah tujuh pagi, saat pagi baru mulai merangkak muda. Bersembunyi di balik tembok, Shareen melihat ada seseorang datang dari sisi kanan tempatnya berdiri. Seseorang dengan jaket tebal berwarna biru dengan kepala yang ditutupi topi. Dari jarak yang lumayan jauh seperti ini tentu Shareen tidak jelas melihatnya. Matanya terus berfokus pada ikhwan itu, ketika topinya mulai dibuka, Shareen menutup mulut, ia menghirup oksigen sebanyak mungkin. Matanya ia kerjapkan berkali-kali, Shareen takut ia salah melihat. Tetapi wajah laki-laki itu terbingkai jelas memantul ke kaca ruangan kelas Shareen. Dan dia bukan laki-laki asing yang Shareen temui, melainkan--- dia adalah orang yang sering Shareen jumpai sehari-hari.
"Dia kan?" Shareen seolah bertanya pada diri sendiri.
Ternyata, seseorang bisa hadir tanpa bisa ditebak. Entah ia datang menawari ajakan maksiat atau serius membawa ke mahligai pernikahan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro